Semalam, setelah merasa kedinginan di kamar mandi, Alea beranjak keluar. Dia tidak boleh egois dengan menyiksa dirinya untuk apa yang sudah terjadi. Ada mahluk kecil di perutnya yang harus dipastikannya baik-baik saja.
Mengetahui tidak ada bayangan pria itu di kamar, Alea bergegas mengunci pintu kamar. Malam ini dan entah sampai kapan, Alea enggan sekali tidur bersama pria itu. Bayangan bahwa dia juga tidur bersama wanita lain sungguh sangat melukainya.
Saat terbangun, perutnya terasa lapar. Alea bangkit memeriksa bayangannya di cermin. Lalu sebentar mengompres matanya agar tidak terlihat sembab lantaran semalaman dia menangis. Sepagi ini Sika dan Toni sudah datang. Alea tidak mau mereka melihat sisa-sisa penderitaannya sepanjang malam tadi.
“Mau bikin susu, Bu?” tanya Sika melihat Alea mengambil toples susu dan gelas.
“Iya, Mbak. Tidak apa aku bisa buat sendiri,” ujar Alea yang tidak mau merepotkan Sika yang sudah mengerjakan hal
“Maaf!” kata itu meluncur begitu mudah dari mulut pria kejam itu saat mendapat tatapan tajam Alea. Dia berjongkok dan memunguti barang-barang yang tercecer di lantai itu.Alea tidak suka bersikap membiarkan sang tuan rumah itu terlihat seperti pembantu yang membereskan barang-barangnya. Dia pun berjongkok tidak membiarkan Ardhan mengemasi barangnya. Mengambil barang-barangnya dengan kasar dan memasukannya di tas lagi. sudah begitu Ardhan masih juga ikut campur. Benar-benar membuat Alea tidak bisa terus mengunci mulutnya.“Bisa gak sih, gak usah sok-sok an peduli! Aku bisa kalau hanya mengemasi barangku yang sudah kau jatuhkan!” Omel Alea pada Ardhan dengan menolak tangan pria itu.Ardhan jadi merasa lega bisa mendengar lagi suara yang sudah dirindukannya itu. Dia tidak peduli Alea mengomel maupun bawel. Itu akan lebih baik daripada harus diam tak bersuara semalamam. Ardhan tidak bisa!“Maaf, Sayangku!”Ardh
Di luar sudah terdengar ramai saat Alea ikut membantu menyiapkan makanan di dapur. Kamila meminta Sri untuk memeriksa, begitu pembantu itu kembali dia mengatakan bahwa rombongan nyonyanya sudah datang.“Sudah, Alea. Itu Mama mertuamu sudah datang. Kau sambutlah dia!” titah Kamila menghentikan kesibukan Alea. Sejak tadi dia tampak sangat rajin namun lebih banyak diam. Mungkin bawaan baby, pikir Kamila.“Baik, Tante!” ucap Alea mengambil jilbab selendang dan memakainya di kepala lalu beranjak keluar.Hera dan Hamid memeluk Ardhan bergantian kemudian menyalami beberapa kerabat yang memang sengaja menunggunya di rumah untuk menyambut. Alea baru terlihat mendekat ketika mereka sudah duduk di rung keluarga yang besar.“Alea!?” panggil Hera sembari mengulurkan kedua tangannya. Dia selalu memikirkan menantunya itu di sana. Berharap cucu yang sedang dikandungnya baik-baik saja. “Kemari, Nak!” ucap Hera lagi.A
Melihat kedatangan sosok pria yang dirindukan, Alea yang sudah tampak lebih baik bangkit dari duduknya.“Ayah!” panggilnya begitu Nadhim masuk ruang perawatannya.Nadhim segera menghampiri sang putri lalu memeluknya. Alea merangkul ayahnya dengan erat. Dia terlihat menangis di dada sang ayah dan Nadhim merasakan hal itu.Di dalam kamar itu ada Ardhan dan Hera yang sejak tadi menunggui Alea. Hamid baru juga bergabung. Ketiganya menatap ayah dan putrinya itu dengan pikiran masing-masing.“Alea kangen sama Ayah!” ujar Alea lirih masih memeluk ayahnya itu.“Iya, Ayah juga kangen sama kamu. Kenapa sampai pingsan? Apa kamu tidak menjaga pola makannya? Kasihan dedek bayinya kalau kamu tidak jaga kesehatan!” tutur Nadhim mengelus kepala putrinya itu.Alea adalah putri yang dicintainya. Dulu saat harus memutuskan untuk menikahkan Alea dengan Ardhan, dia jadi tidak napsu makan dan sampai harus sakit beberapa hari. L
Delon melemparkan sebuah map di meja Naysila saat wanita itu melamun di meja kerjanya. Sedikit sebal dia melirik Delon yang sudah menggugahnya dari lamunan.“Bisa ‘kan ketuk pintu dulu!” tukasnya mengambil map itu dan memeriksanya.“Soft copy-nya sudah aku kirimkan ke emailmu. Kau tinggal menyeleksinya.”Delon mendaratkan bokongnya di kursi dan menghempaskan punggung di sandarannya sambil berpangku kaki.“Ardhan mampir ke apartemenku malam itu untuk sekedar membersihkan diri. Apa yang sudah kalian lakukan berdua?” tanya Delon sambil meyipitkan matanya.“Bukan urusanmu!” tukas Naysila ketus.“Hmm, jangan munafik! Kamu memang masih mencintai Ardhan, ‘kan?”Naysila tidak menjawab. Kemudian dia baru beralih pada Delon setelah menutup laptopnya.“Aku baru tahu kalau ada pria tapi suka bergosip sepertimu!” ledek Naysila pada Delon.“Kau p
BUGH!Sebuah pukulan mendarat keras di muka pria itu. Darah segar mengucur dari lubang hidungnya. Ardhan kembali menjambak rambutnya hingga wajah pria itu terdongak ke atas menatapnya.“Kau pikir dengan berurusan polisi semua akan berakhir, hah!?” tandas Ardhan setelah mendapat laporan bahwa pria ini bersedia dilaporkan ke polisi dan akan menyelesaikan kewajiban secara hukum baik dari pihak pengelola kafe dan juga laporan dari orangnya.“A-ku terdesak Pak!” ucapnya mulai menciut nyalinya.“Siapa yang menyuruhmu?” Ardhan memaksanya mengaku.“Ba-baiklah, tapi lepaskan aku dulu! Aku merekam orang itu di ponselku!” pria itu menatap ponselnya yang terpental di ujung ruangan.Ardhan menyipitkan matanya menilai tingkat keseriusan ucapannya, lalu memutuskan melepaskan pria itu. di ruang ada Pram yang juga mengawasinya. Dia bisa membekuknya kalau masih berani macam-macam.Namun begitu terlepas pr
Alea menyiangi rumput yang tumbuh di pot bunganya. Nampak kurang terawat walau ayahnya mengatakan meminta tetangga membersihkan dan merawat rumahnya. Dia kemudian mengambil teko penyiram tanaman dan mengisinya dengan air di keran depan. Bergegas menyiramkanya di atas bunga-bunga yang seharusnya sudah bermekaran dengan indah. Lalu kupu-kupu akan terbang menari-nari di atasnya. Alea suka sekali melihat kupu-kupu yang berwarna-warni. Dia jadi teringat lukisan Ardhan. Lukisan dirinya yang sedang menyentuh kupu-kupu di pucuk daun. Katanya, sudah mencintainya sejak masih SMP. Nyatanya, dia terlena dengan kehadiran wanita itu dan tergila-gila padanya. Katanya lagi, ingin memulai semua dari awal. Nyatanya lagi, Ardhan kembali terjerat cinta wanita itu. Bahkan sudah tidur bersamanya. Kalaupun Ardhan benar dijebak dan tidak sengaja tidur bersama mantan kekasihnya itu, Alea menjadi lelah jika akan membayangkan saat Ardhan menjadi dilema dan tidak tega andai saja Naysila hamil. Lagipula Ardhan s
“Alea bilang rindu ibunya. Dia ingin tinggal di rumah ibunya sambil berziarah. Karenanya sudah dua hari ini dia di sana,” ucap Wulan pada Ardhan yang baru datang itu.“Sendirian, Ma?” tanya Ardhan.Seminggu tidak bertemu dengan istrinya, Ardhan tentu merindukannya. “Tadinya kami yang antar, tapi dia tidak mau langsung balik. Katanya dia hanya ingin sebentar lagi ada di sana dan meminta kami pulang,” jelas Wulan.Dia tahu Ardhan mencemaskan Alea. Pasalnya Ardhan hampir setiap hari mengirim pesan padanya menanyakan kabar Alea. Wulan pernah bertanya kenapa tidak menghubunginya langsung, Ardhan hanya bilang tidak ingin menganggu Alea karena sebelumnya, setiap kali dia menghubungi, Alea belum mau diusik olehnya.“Jangan cemas! Lingkungan di sana padat penduduk. Tetangga kanan kiri sudah mengenal Alea sejak lahir. Lagipula hari ini Arya datang ke sana untuk mengajaknya balik. Baru semalam di tinggal kakaknya sudah gelisah saja dia!”“Arya ke sana sama Ayah?” Sambil bertanya, Ardhan menegu
“EH!”Seketika Alea berjingkat setelah menoleh dan melihat Ardhan lah yang ada di sana. Bukan Neni.“Kenapa Kau di sini?” tukas Alea menyilangkan kedua tangannya menutupi bagian tubuh depannya yang terbuka.“Jangan cemaskan aku, Sayang! Aku tidak capek kok walau tadi ada meeting seharian di kantor Papa. Jadi kalau aku ke sini, itu karena aku merindukan istri dan anakku!”Ardhan menjawab panjang lebar, mumpung Alea mau bicara padanya. Dia rindu berdebat ringan dengan gadis bawelnya itu. Sungguh dia tidak mau Alea membungkam mulutnya lagi. hidupnya terasa sepi dan hampa kalau tidak mendengarnya berceloteh.Oh, mungkin ini karma. Dulu dia begitu membenci mamanya yang cerewet itu. Sekarang dia malah jatuh cinta pada gadis bawelnya ini.“Mpok Nenii…!” panggil Alea agar Neni datang dan membantunya membuat pria ini keluar dari kamarnya.“Neni di jemput suaminya tadi.”
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b