BUGH!
Sebuah pukulan mendarat keras di muka pria itu. Darah segar mengucur dari lubang hidungnya. Ardhan kembali menjambak rambutnya hingga wajah pria itu terdongak ke atas menatapnya.
“Kau pikir dengan berurusan polisi semua akan berakhir, hah!?” tandas Ardhan setelah mendapat laporan bahwa pria ini bersedia dilaporkan ke polisi dan akan menyelesaikan kewajiban secara hukum baik dari pihak pengelola kafe dan juga laporan dari orangnya.
“A-ku terdesak Pak!” ucapnya mulai menciut nyalinya.
“Siapa yang menyuruhmu?” Ardhan memaksanya mengaku.
“Ba-baiklah, tapi lepaskan aku dulu! Aku merekam orang itu di ponselku!” pria itu menatap ponselnya yang terpental di ujung ruangan.
Ardhan menyipitkan matanya menilai tingkat keseriusan ucapannya, lalu memutuskan melepaskan pria itu. di ruang ada Pram yang juga mengawasinya. Dia bisa membekuknya kalau masih berani macam-macam.
Namun begitu terlepas pr
Alea menyiangi rumput yang tumbuh di pot bunganya. Nampak kurang terawat walau ayahnya mengatakan meminta tetangga membersihkan dan merawat rumahnya. Dia kemudian mengambil teko penyiram tanaman dan mengisinya dengan air di keran depan. Bergegas menyiramkanya di atas bunga-bunga yang seharusnya sudah bermekaran dengan indah. Lalu kupu-kupu akan terbang menari-nari di atasnya. Alea suka sekali melihat kupu-kupu yang berwarna-warni. Dia jadi teringat lukisan Ardhan. Lukisan dirinya yang sedang menyentuh kupu-kupu di pucuk daun. Katanya, sudah mencintainya sejak masih SMP. Nyatanya, dia terlena dengan kehadiran wanita itu dan tergila-gila padanya. Katanya lagi, ingin memulai semua dari awal. Nyatanya lagi, Ardhan kembali terjerat cinta wanita itu. Bahkan sudah tidur bersamanya. Kalaupun Ardhan benar dijebak dan tidak sengaja tidur bersama mantan kekasihnya itu, Alea menjadi lelah jika akan membayangkan saat Ardhan menjadi dilema dan tidak tega andai saja Naysila hamil. Lagipula Ardhan s
“Alea bilang rindu ibunya. Dia ingin tinggal di rumah ibunya sambil berziarah. Karenanya sudah dua hari ini dia di sana,” ucap Wulan pada Ardhan yang baru datang itu.“Sendirian, Ma?” tanya Ardhan.Seminggu tidak bertemu dengan istrinya, Ardhan tentu merindukannya. “Tadinya kami yang antar, tapi dia tidak mau langsung balik. Katanya dia hanya ingin sebentar lagi ada di sana dan meminta kami pulang,” jelas Wulan.Dia tahu Ardhan mencemaskan Alea. Pasalnya Ardhan hampir setiap hari mengirim pesan padanya menanyakan kabar Alea. Wulan pernah bertanya kenapa tidak menghubunginya langsung, Ardhan hanya bilang tidak ingin menganggu Alea karena sebelumnya, setiap kali dia menghubungi, Alea belum mau diusik olehnya.“Jangan cemas! Lingkungan di sana padat penduduk. Tetangga kanan kiri sudah mengenal Alea sejak lahir. Lagipula hari ini Arya datang ke sana untuk mengajaknya balik. Baru semalam di tinggal kakaknya sudah gelisah saja dia!”“Arya ke sana sama Ayah?” Sambil bertanya, Ardhan menegu
“EH!”Seketika Alea berjingkat setelah menoleh dan melihat Ardhan lah yang ada di sana. Bukan Neni.“Kenapa Kau di sini?” tukas Alea menyilangkan kedua tangannya menutupi bagian tubuh depannya yang terbuka.“Jangan cemaskan aku, Sayang! Aku tidak capek kok walau tadi ada meeting seharian di kantor Papa. Jadi kalau aku ke sini, itu karena aku merindukan istri dan anakku!”Ardhan menjawab panjang lebar, mumpung Alea mau bicara padanya. Dia rindu berdebat ringan dengan gadis bawelnya itu. Sungguh dia tidak mau Alea membungkam mulutnya lagi. hidupnya terasa sepi dan hampa kalau tidak mendengarnya berceloteh.Oh, mungkin ini karma. Dulu dia begitu membenci mamanya yang cerewet itu. Sekarang dia malah jatuh cinta pada gadis bawelnya ini.“Mpok Nenii…!” panggil Alea agar Neni datang dan membantunya membuat pria ini keluar dari kamarnya.“Neni di jemput suaminya tadi.”
Alea menolak ketika Ardhan mencoba menciumnya lagi. Setelah mulai mengendurkan kemarahannya bukan berarti dia sudah melupakan bahwa mereka sedang bertengkar. Ardhan sepertinya harus banyak bersabar dulu karena melunakan hati sang istri tidak semudah membalikan telapak tangannya.“Kak Alea...!”Seperti suara Arya?Alea bangkit dan menoleh ke arah pintu. Apa Arya datang sepagi ini?“Itu memang Arya!” Ardhan merangkul pundak Alea dan menuntunnya ke depan.“Happy birth day to you....!”Lagu ucapan ulang tahun itu terlantunkan ketika Alea membuka pintu lebar dan melihat di depan sana sudah berjejer banyak orang menyambutnya. Dua anak kecil, Arya dan Laila yang membawakan kue ulang tahun berdiri di barisan paling depan. Di belakang mereka sudah berdiri sambil bertepuk tangan, kedua mertua tercintanya, Ayah dan Mama Wulannya, juga Kamila dan Razik. Alea benar-benar terkejut dan terharu atas kejutan sederhana ini. “Ya ampun...” Alea tidak bisa berkata-kata dan hanya tersenyum sambil menangis
Alea menatap Ardhan, berusaha menahan dan menguasai dirinya. Seminggu ini dia banyak merenung dan sudah mengikhlaskan beberapa hal yang membuatnya terluka. Tapi bukan berarti dia akan begitu saja kembali bersikap sama seperti dulu. Alea ingin memberi sedikit hukuman pada pria yang terus menyakiti hatinya itu.“Untuk apa aku harus tinggal di rumah Valen hanya demi bisa leluasa bertemu dengan Devano? Aku bisa leluasa bertemu dengannya di manapun kalau aku mau!” ucap Alea tenang. Dia tidak ingin menjadi serapuh sebelumnya yang akan segera meminta maaf lalu menuruti semua perintah jika merasa sudah membuat suaminya itu tidak suka dengan sikapnya.“Sayang, jangan memulai pertengkaran kita ya?” Ardhan mulai cemas kalau mereka bertengkar kembali.“Tidak, Kok! Kan Kakak yang mulai duluan, aku baik-baik saja!” Alea berjalan mencari jilbab selendangnya karena mereka akan pergi ke makam ibunya. Sikapnya terkesan abai pada Ardhan.Benar-benar ingin membalas dendam! Ah, bukan balas dendam. Dia ha
Baru juga datang ketika seseorang memberitahunya bahwa Ardhan sedang menunggunya di ruang kerja, membuat suasana hati Naysila menjadi begitu baik. Dia merapikan penampilannya dulu, menambal lipstik di bibirnya, dan menggerai rambutnya. Berlenggak lenggok di depan kaca memastikan penampilannya sudah sempurnya, Naysila menegakan tubuhnya dan berjalan anggun ke ruangan Ardhan. “Sepagi ini kau sudah merindukanku?” sapa Naysila setelah menutup pintu ruangan Ardhan. Melihat pria itu berdiri tegap dengan penuh kekuasaan membuat Naysila semakin terkesima dengannya. Sejak kapan dia merasa Ardhan sesempurna itu? Sejak dulu dia memang sudah tahu kalau mantan kekasihnya itu ganteng dan gagah. Namun saat ini Naysila menyesal baru menyadari bahwa Ardhan lebih dari itu. Dia benar-benar mendekati sempurna. Mungkin kalimat itu benar adanya, seseorang kalau sudah menjadi mantan akan terlihat lebih mengesankan. “Yah, aku merindukanmu!” ucap Ardhan memberi tanda agar wanita itu mendekatinya. “Yah, a
Begitu masuk ke ruangan Ardhan Alea langsung menarik tangannya dari genggaman suaminya itu dengan kasar. Dia juga bisa marah dengan sikap pria ini yang seenak sendiri. Apa Ardhan pernah kasar pada Naysila seperti ini?Meski Devano hanyalah sahabatnya, tapi melihatnya tidak suka dirinya diperlakukan buruk oleh Ardhan membuat Alea tentu membandingkan sikap Ardhan dan Devano.“Jangan berlebihan dengan menganggapku kasar. Aku sudah memperkirakan sikapku akan melukaimu atau tidak?” tukas Ardhan mendahului pemikiran Alea, Seolah bisa membaca apa yang ada dibenak istrinya itu. Alea pasti membandingkan sikapnya dengan Devano.“Apa-apan sih, Kak!” Protes Alea tidak suka.“Kamu yang apa-apaan! Kurang ya aku ngebolehin kamu tinggal di rumah temanmu itu? Masih juga pergi bersama pria itu!” Ardhan balik protes pada Alea.“Devano kebetulan di sana, apa salah kalau kita berangkat bareng?!” Sanggah Alea.
Suara air dari kran mengalir membuat orang di sebalah menoleh heran. Sejak tadi wanita itu mencuci tangannya namun pikirannya seolah melamun. Membiarkan keran air itu terus megalirkan air dengan sia-sia. Tidakkah dia tahu, di musim kemarau yang panjang ini, air sangat berharga. Tidak seharusnya di buang-buang dengan boros.“Mbak, jangan boros. Airnya mengalir terus!” ucap seseorang itu pada Naysila.“Oh!” Naysila baru menutup keran air itu dan berlalu begitu saja.Suasana hatinya jadi sangat berantakan dan dia tidak tahan ingin sekali melarikan diri ke bar untuk bersenang-senang. Dia punya teman yang bisa diajak minum-minum. Akhirnya Naysila tidak tahan menghubunginya.Ketika Devano megantar Alea ke rumah Valen setelah mengajaknya jalan-jalan, dia buru-buru masuk ke dalam mobil dan melihat ponselnya berkedip. Melihat sebuah nama dia hanya melengos dan merijectnya saja.Panggilan tidak berhenti ketika Devano sudah di jalan. M
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b