Alea menatap Ardhan, berusaha menahan dan menguasai dirinya. Seminggu ini dia banyak merenung dan sudah mengikhlaskan beberapa hal yang membuatnya terluka. Tapi bukan berarti dia akan begitu saja kembali bersikap sama seperti dulu. Alea ingin memberi sedikit hukuman pada pria yang terus menyakiti hatinya itu.“Untuk apa aku harus tinggal di rumah Valen hanya demi bisa leluasa bertemu dengan Devano? Aku bisa leluasa bertemu dengannya di manapun kalau aku mau!” ucap Alea tenang. Dia tidak ingin menjadi serapuh sebelumnya yang akan segera meminta maaf lalu menuruti semua perintah jika merasa sudah membuat suaminya itu tidak suka dengan sikapnya.“Sayang, jangan memulai pertengkaran kita ya?” Ardhan mulai cemas kalau mereka bertengkar kembali.“Tidak, Kok! Kan Kakak yang mulai duluan, aku baik-baik saja!” Alea berjalan mencari jilbab selendangnya karena mereka akan pergi ke makam ibunya. Sikapnya terkesan abai pada Ardhan.Benar-benar ingin membalas dendam! Ah, bukan balas dendam. Dia ha
Baru juga datang ketika seseorang memberitahunya bahwa Ardhan sedang menunggunya di ruang kerja, membuat suasana hati Naysila menjadi begitu baik. Dia merapikan penampilannya dulu, menambal lipstik di bibirnya, dan menggerai rambutnya. Berlenggak lenggok di depan kaca memastikan penampilannya sudah sempurnya, Naysila menegakan tubuhnya dan berjalan anggun ke ruangan Ardhan. “Sepagi ini kau sudah merindukanku?” sapa Naysila setelah menutup pintu ruangan Ardhan. Melihat pria itu berdiri tegap dengan penuh kekuasaan membuat Naysila semakin terkesima dengannya. Sejak kapan dia merasa Ardhan sesempurna itu? Sejak dulu dia memang sudah tahu kalau mantan kekasihnya itu ganteng dan gagah. Namun saat ini Naysila menyesal baru menyadari bahwa Ardhan lebih dari itu. Dia benar-benar mendekati sempurna. Mungkin kalimat itu benar adanya, seseorang kalau sudah menjadi mantan akan terlihat lebih mengesankan. “Yah, aku merindukanmu!” ucap Ardhan memberi tanda agar wanita itu mendekatinya. “Yah, a
Begitu masuk ke ruangan Ardhan Alea langsung menarik tangannya dari genggaman suaminya itu dengan kasar. Dia juga bisa marah dengan sikap pria ini yang seenak sendiri. Apa Ardhan pernah kasar pada Naysila seperti ini?Meski Devano hanyalah sahabatnya, tapi melihatnya tidak suka dirinya diperlakukan buruk oleh Ardhan membuat Alea tentu membandingkan sikap Ardhan dan Devano.“Jangan berlebihan dengan menganggapku kasar. Aku sudah memperkirakan sikapku akan melukaimu atau tidak?” tukas Ardhan mendahului pemikiran Alea, Seolah bisa membaca apa yang ada dibenak istrinya itu. Alea pasti membandingkan sikapnya dengan Devano.“Apa-apan sih, Kak!” Protes Alea tidak suka.“Kamu yang apa-apaan! Kurang ya aku ngebolehin kamu tinggal di rumah temanmu itu? Masih juga pergi bersama pria itu!” Ardhan balik protes pada Alea.“Devano kebetulan di sana, apa salah kalau kita berangkat bareng?!” Sanggah Alea.
Suara air dari kran mengalir membuat orang di sebalah menoleh heran. Sejak tadi wanita itu mencuci tangannya namun pikirannya seolah melamun. Membiarkan keran air itu terus megalirkan air dengan sia-sia. Tidakkah dia tahu, di musim kemarau yang panjang ini, air sangat berharga. Tidak seharusnya di buang-buang dengan boros.“Mbak, jangan boros. Airnya mengalir terus!” ucap seseorang itu pada Naysila.“Oh!” Naysila baru menutup keran air itu dan berlalu begitu saja.Suasana hatinya jadi sangat berantakan dan dia tidak tahan ingin sekali melarikan diri ke bar untuk bersenang-senang. Dia punya teman yang bisa diajak minum-minum. Akhirnya Naysila tidak tahan menghubunginya.Ketika Devano megantar Alea ke rumah Valen setelah mengajaknya jalan-jalan, dia buru-buru masuk ke dalam mobil dan melihat ponselnya berkedip. Melihat sebuah nama dia hanya melengos dan merijectnya saja.Panggilan tidak berhenti ketika Devano sudah di jalan. M
Tangannya bergetar dan napasnya naik turun menahan amarah setelah beradu mulut dengan wanita itu. Devano bingung dan cemas, bagaimana kalau Naysila benar-benar membuka aibnya. Dia tidak peduli dengan kemarahan Ardhan dan serentetan ancaman padanya. Devano masih bisa mengatasinya. Yang ditakutkan adalah, Alea mengetahui bahwa dirinyalah dalang dari kisruh rumah tangganya. Pasti Alea tidak akan bisa memaafkannya. “Tidak bisa! Aku harus bertindak dengan cepat!” gumam Devano gelisah. Dia memikirkan apa yang harus dilakukan. Dicobanya menghubungi seseorang yang begitu lama tidak mengangkat panggilannya. Devano menjadi murka dan melempar ponsel itu ke lantai. Suara ketukan pintu terdengar. Devano berteriak meminta seseorang itu segera masuk. Dia sudah menunggunya sejak tadi. “Bagaimana Jared?” Devano tidak tahan untuk mendengar kabar dari pria yang dipanggil Jared itu. “Bos, Mario aman di tempatnya. Sepertinya tidak ada pergerakan mengincar pria itu!” tukas Jared merasa tugasnya berjala
Ponselnya berkedip ketika Alea masih memperhatikan Ardhan dari tirai kamar. Pesan dari Valen. Untuk apa dia mengirim pesan kalau kamarnya ada di samping? [Aku tahu kamu juga tidak bisa tidur, mending temui suamimu dan pulanglah!] Alea baru saja hendak membalas pesan Valen, namun sudah keduluan Valen mengirim pesan lagi padanya. [Seandainya aku diperkenankan memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, maka pasti aku akan perintahkan para wanita untuk bersujud kepada suaminya, dikarenakan Allah SWT telah menjadikan bagi mereka memiliki hak lebih terhadapnya--HR. Abu Daud] Alea melotot terperangah membaca pesan Valen. Sejak kapan dia suka berceramah seperti ini? Alea ingat, ayah Valen seorang kristiani. Bahkan Alea tidak berani menanyakan agama sahabatnya itu karena sejak SMA bingung sendiri mau ikut agama sang ibu atau ayahnya. Melihatnya sekarang mengirimkan potongan hadis itu, Alea membuat dugaan bahwa sahabatnya itu sudah mantap memilih islam sebagai pedoman hidupny
Untungnya Sika dan Toni sudah datang ketika Alea beranjak ke dapur untuk membuatkan suaminya teh jahe. Melihat sang nyonya sudah ada di rumah, keduanya begitu bahagia. “Bu Alea di rumah, Mbak Sika!” Toni yang melihat Alea pertama kali terlihat terkejut senang. Bagaimana tidak senang, dengan ketidak adaan Alea posisi Toni jadi sangat meresahkan. Karena sering menganggurnya daripada bekerjanya, dia takut akan dirumahkan saja. “Bu Alea?” sapa Sika yang juga terlihat senang. Sika ikut sedih mengetahui sang nyonya tidak pulang setelah dari rumah orang tuanya. Meski kedua pembantu itu tidak tahu permasalahan rumah tangga majikan mereka, tapi dengan mendengar Alea Justru memilih tinggal di rumah temannya, sudah menjadi indikasi bahwa rumah tangga sang majikan sedang dalam masalah. “Mbak Sika, bisa minta tolong buatin bubur?” Alea tidak sempat membalas teguran mereka karena cemas dengan kondisi sang suami. Dia berkata sambil tergesa membuat teh jahe. “Oh, ibu mau makan bubur?” Sika bert
Ardhan tentu sangat tidak menyetujui apa yang dikatakan Alea. Dia bahkan tidak ingin sekedar memberinya anggukan untuk mengiyakan permintaannya. Alea sedang diuji dengan krisis kepercayaan terhadap dirinya. Tapi Ardhan bukan pria yang pantang menyerah. Dia akan terus mempertahankan rumah tangganya karena yakin dia begitu mencintai Alea dan anak di dalam kandungannya. Ardhan bahkan tidak sebegininya saat menjalin kasih dengan Naysila.“Tolong jangan egois, Kak. Ini untuk kebahagiaan kita semua. Aku ini pencemburu dan tidak suka melihat suamiku bersama wanita lain. Kalau kita berpisah, aku tidak lagi punya hak untuk cemburu. Tidak akan sesakit seperti saat mendengar Kakak tidur bersama Naysila. Padahal aku tahu kalau itu di luar kesadaran Kakak.”Alea mengatakan semua hal yang membebani hatinya pada Ardhan. Dia tidak mau menyimpan semuanya sendiri karena harus menjaga mentalnya selama kehamilan.Setelah mengetahui bahwa ayahnya jauh lebih sedih d