“Kakak dari mana saja baru pulang? Apa ada masalah sampai pulang menjelang pagi?” tanya Alea menatap Ardhan dengan begitu cemas.
Ardhan balik menatap Alea dan mengetahui bahwa istrinya itu sangat mencemaskannya. Dia hanya merengkuhnya kembali dan mendekapnya erat.
“Apa kau tidur di depan semalaman?” tanyanya mengelus kepala Alea.
“Tidak, aku terjaga di tengah malam dan mencemaskan Kakak yang belum pulang. Karenanya aku menunggu sambil menonton televisi.”
Sedih hatinya mendengar sang istri yang mencemaskannya itu sementara dia justru tidak memikirkannya semalaman. Ardhan bahkan tidak melihat Alea menunjukan rasa curiga seperti sebelumnya, padahal Alea mengetahui dirinya ada dalam satu acara dengan Naysila semalaman.
“Maafin Kakak ya, Al.” Ardhan mencium kening Alea lagi. Lama kemudian dia baru teringat untuk mengajaknya sholat subuh.
Alea tidak menolak. Dia pun berjingkat ke kamar mandi un
Kelas masak hari ini sudah selesai. Alea mengambil ponsel dan hendak mengirim pesan pada Toni untuk menjemputnya. Dia melihat pesan dari Ardhan, beberapa jam yang lalu. [Sayang, aku ke kantor Papa. Ada meeting penting] Alea mencebik karena sebal. Bukankah dia bilang kepalanya pusing dan butuh istirahat? Masih juga dipaksa ke kantor. [Ya sudah kalau begitu, selesai meeting langsung balik, gak boleh begadang dulu] Alea membalas pesan Ardhan. Begitu pesannya terkirim dan dibaca Ardhan, ponsel Alea langsung berdering. Ardhan sudah dalam panggilan. Alea mencari tempat untuk duduk sejenak lalu menekan tombol terima. “Halo, Kak?” Alea menyapa terlebih dahulu. “Belum selesai kelasnya?” tanya Ardhan. “Ini sudah mau pulang.” “Ya sudah langsung pulang saja! Sudah makan siang belum?” tanya Ardhan lagi penuh perhatian. “Sudah, saat break tadi.” jawab Alea yang dilanjutkan bertanya,”Kepala Kakak masih pusing kan? Kenapa malah ke kantor Papa?” “Udah selesai pusingnya dipakai tidur tadi.” j
“Supnya hampir dingin lagi lho, Kak!” ujar Alea yang melihat Ardhan keluar kamar. Apa saja yang dilakukan Ardhan di kamar hingga baru keluar. Ardhan tidak berkomentar lalu duduk saja di meja makan dan meneguk air putih yang sudah disediakan di depannya. Melihat Alea mengambilkan makanan dan menyodorkan di hadapannya, Ardhan terdiam. Bagaimana kalau Alea sampai mengetahui perbuatannya itu? “Kenapa, Kak?” tanya Alea melihat suaminya menatapnya aneh. “Suapi aku ya, Al!” pintanya ingin bermanja dengan Alea. “Oh, baik Kak!” Alea menyeret kursinya agar bisa lebih dekat dengan Ardhan dan mengambil piring yang sudah berisi makanan itu. Perlahan dia menyuapkan makanan ke mulut Ardhan. Mungkin suaminya masih Lelah hingga terlihat manja dan butuh disuapi. “Bagaimana kelas masakmu?” tanya Ardhan disela-sela makan. “Seru Kak! Ada banyak temanku dari program kelas masak sebelumnya yang ikut lagi program kelas masak sesion ini.” Alea menceritakan dengan senang tentang kegiatan kelas masaknya
Keresahan yang seharian ini Ardhan rasakan butuh sebuah kompensasi. Dia tidak mau berlarut-larut dan lupa harus bergerak cepat mencari tahu siapa pelaku yang memasukan obat perangsang di minumannya. Karenanya dia butuh mengisi daya semangatnya yang sudah ngedrop seharian ini. Hanya wanita ini dan bayi mungil diperutnya yang menjadi semangatnya. “Sedang apa dia di dalam sini?” tanya Ardhan yang tidur dipangkuan Alea sambil menikmati belaian rambut dari tangan lembut istrinya itu. Telinganya ditempelkan di atas perut Alea dan sesekali menciumi perut itu. “Coba tanya sendiri, Kak!” ujar Alea tersenyum sambil meremas-remas rambut suaminya. “Nak, ngapain kamu?” tukas Ardhan berbicara dengan perut itu. “Sepertinya dia menjawab,” Ardhan menguping seolah memperjelas sesuatu. Alea tertawa lucu. Mana bisa baby mungil di perutnya bisa bicara sampai kedengaran telinga Ardhan. “Emang apa katanya?” tanya Alea sambil terkekeh. “Katanya, dia kangen sama papanya. Mamanya kangen tidak?” Ardh
Suara ponsel berdering mengusik Alea yang terlelap dalam tidurnya itu. Perlahan matanya terbuka dan butuh beberapa detik untuk mengumpulkan kesadaran. Badannya terasa pegal-pegal dan baru menyadari tangan dan kaki Ardhan menimpa tubuhnya.Tidak sadar apa kalau tubuh pria ini lebih besar darinya. Batin Alea sambil menggoncang lengan Ardhan yang melingkar di tubuhnya.“Kak?” panggil Alea sambil menyingkirkan kaki Ardhan yang mengapit pahanya.Ardhan mulai terusik dengan gerakan Alea. Dia pun terbangun.“Kenapa, Sayang?” ujarnya sambil mengucek matanya.“Pegel nih badanku ketindihan kaki dan tangan Kakak!” Alea protes. Untung tidak nindih perutnya. “Oh, astaga! Maaf-maaf!” Ardhan menggeser posisi dan melanjutkan tidurnya. Semalam dia pulang larut dan sepagi ini Alea sudah membangunkannya. Jadinya masih mengantuk.“Subuh dulu, Kak!” Alea masih mengusik Ardhan.“Hmmm…” hanya itu yang terdengar namun tidak dibarengi dengan gerakan bangkit. Sepertinya Ardhan masih lanjut tidur.Alea bangk
Kakinya menghentak dan berjalan dengan tergesa menghampiri kedua pria dan wanita itu. Kemudian dengan penuh kebencian dia menjambak rambut sang wanita lalu menariknya dan menghempaskan ke lantai. Semua orang melihatnya dan Alea dengan geram memaki. “DASAR PELAKOR!”“Alea?”Suara seseorang membuyarkan imajinasinya. Alea baru sadar kalau dia hanya melakukan hal itu dalam pikirannya saja.Astaga, bahkan saat begini Alea masih bisa-bisanya berkhayal. Sungguh tidak dewasa sekali! Batinnya sambil mengatur napasnya yang naik turun itu.“Sedang apa?” tanya Devano melihat Alea yang melamun tapi gelisah. Kelas masak masih siang nanti. Melihat Alea sudah datang Devano tentu senang bisa punya waktu mengobrol bersamanya.“Oh, tidak apa-apa” jawab Alea masih melirik tempat di sana. Dia harus menurunkan lagi over thinkingnya dan berusaha positif thinking saja. Bahwa mereka sedang membicarakan urusan kerja.‘Harsukah sepagi itu?’ batinnya yang terus merongrong.Ardhan selalu memintanya percaya tapi s
Ardhan tidak suka melihat kebersamaan mereka berdua. Di pandangannya Alea selalu terlihat lebih menikmati kebersamaan dengan sahabatnya itu ketimbang dengannya. Wajah Alea selalu sumringah dan tak berhenti tertawa kalau kebetulan Ardhan memergoki mereka sedang mengobrol berdua.Ah, ternyata dia juga bisa baper hanya karena hal kecil seperti ini!“Aku mencarimu, ternyata kau di sini!” tukas Ardhan menarik lagi tanduk yang tadinya sudah hampir keluar dari kepalanya. Dia masih ingat harus bersikap melandai karena harus minta maaf dan menyampaikan kesalahannya pada Alea.“Toni bilang kau sudah datang sejak tadi?”Ardhan menghampiri Alea lalu melirik pria yang masih berdiri di sampingnya. Apa dia tidak punya etika, masih di sana sementara suami wanita yang bersamanya itu datang?“Dia datang sejak kau bersama Naysila di foodcourt bawah. Sayangnya kau tidak tahu tentang itu! kasihan sekali sahabatku ini!” Celutuk
Alea merasa bersalah karena kelas masaknya sebenarnya sudah selesai hampir sejam yang lalu, sementara baru keluar dan mendapati suaminya duduk terpekur menunggunya di depan kelas.Dia memang sengaja tidak menghubungi Ardhan dulu karena masih ingin mengobrol sejenak bersama Chef Nugros dan beberapa kawan yang lain. Bahkan ketika Chef Nugros sudah berpamitan pun, Alea masih menyempatkan waktu mengobrol kesana kemari dengan yang lain.Tidak tahunya ada seorang pria yang duduk menunggunya entah sejak kapan?“Kan aku belum kirim pesan atau menghubungi Kakak, kenapa sudah menunggu saja?” tukas Alea merasa tidak enak. Mereka sudah berada di dalam mobil yang meluncur ke suatu tempat.“Ya sudah tidak apa. Aku rela menunggumu sepanjang waktu, kok!” ujar Ardhan menepuk tangan Alea dengan lembut sambil fokus menyetir.“Maaf ya, Kak!” Alea jadi meminta maaf.Ardhan tak bergeming dan teringat bahwa dialah yang aka
Ardhan berusaha memeluk namun Alea menolaknya. Sejak kapan pria ini suka sekali berbelit-belit? Ardhan pria yang selalu to the point menyampaikan sesuatu. Pasti ini semua karena wanita itu. Alea ingat, dulu Ardhan selalu berubah-ubah sikap jika mengenai mantan kekasihnya itu. Sebentar baik sebentar jutek padanya.Alea bertambah khawatir bahwa pria ini akan menyampikan hal yang menyedihkan.Jika itu dulu, saat dia menyadari pria ini tidak pernah mencintainya, Alea mungkin siap menerima apapun yang terjadi. Sekarang pria itu sudah membuatnya tenggelam dalam perasaan cinta yang dalam, berkali-kali meyakinkan bahwa dia mencintanya, terlebih di dalam tubuhnya sudah tumbuh benih-benih cinta mereka. Lalu tiba-tiba hendak menyampaikan sesuatu yang kelihatannya kurang berkenan. Alea takut hatinya akan patah sepatah-patahnya.“Kita duduk dulu, ya?” ajak Ardhan yang berusaha menguasai dirinya sendiri, menyembunyikan rasa panik karena belum apa-apa Alea sudah ta