Ardhan menepati janji dan pagi-pagi sudah bersiap mengantar Alea periksa kehamilan. Dia tidak sabar untuk melihat perkembangan bayinya. Jika saat ini sudah mulai menginjak 5 bulan kehamilan Alea. Artinya 4 bulan lagi dia akan dipanggil seorang ayah.
Ardhan sama sekali tidak pernah berandai atau membayangkan menjadi seorang ayah secepat ini. Apalagi teringat pernikahannya dengan Alea di luar prediksinya. Nyatanya, saat ini hatinya berbunga-bunga dan tak sabar menunggu dengan harap cemas kedatangan sang buah hati.
“Makan yang banyak, lihat kamu sudah hamil 5 bulan tapi masih kurus begini?”
Ardhan mengambilkan makanan untuk Alea. Makanan yang diambilkan Ardhan hampir memenuhi piring. Alea yang melihatnya sudah kenyang saja. Mana bisa dia menghabiskan makanan sebanyak itu?
“Bobotku sudah bertambah 5 kilogram sejak hamil. Itu normal lho. Mana bisa Kakak bilang aku masih kurus?”
Alea tidak terima jika dibilang kurus. Sebelum hamil
Ardhan begitu resah setelah mendengar ucapan Alea bahwa Naysila datang untuk memeriksakan kandungannya. Dia benar-benar tidak akan berdaya ketika Naysila ternyata mengandung anaknya.Keluarga besarnya adalah keluarga yang paham agama dan sangat menjunjung kemanusiaan. Jika mereka mengetahui hal ini, kemungkinan besarnya adalah mereka pasti akan tetap mendesak Ardhan bertanggung jawab terlepas bahwa itu hanyalah sebuah kesalahan. Karena anak di dalam kandungan Naysila adalah darah dagingnya.Ardhan takut itu akan membuat Alea menjadi korban sekali lagi. Dia sudah cukup merasa bersalah atas apa yang selama ini dilakukannya pada gadis baik hati itu. Kepalanya jadi pening memikirkan bagaimana jika Naysila benar sedang mengandung?Dia tidak bisa tidur lalu duduk menatap istrinya yang sudah terlelap. Dia merasa harus menghubungi Pram untuk membantunya.Setelah merapikan selimut dan mencium kening Alea, dia bangkit menghubungi Pram. Ardhan tida
Alea mengumpulkan beberapa bahan untuk mengeksekusi resep yang sudah dia dapatkan dari beberapa sumber. Dia sudah beberapa pertemuan tidak mengikuti kelas memasak hingga tertinggal banyak materi. Hari ini, tiba-tiba Chef Randi memberikan tantangan untuk membuat aneka tumpeng dari aneka masakan nasi. Baginya yang memang sehari-hari memasak nasi, tidak masalah juga walau tidak mendapat banyak teori.“Apa sudah tidak masalah dengan kandunganmu?” tanya Dhea di bangku sebelah saat Alea mencuci beras di kitchen sink.“Oh, tidak!” Alea tahu pasti Devano memintakan ijin dengan alasan kehamilan Alea. Semua tahu Alea sedang hamil.“Tidak apa, materinya juga di share di grup. Kamu bisa mempelajarinya. Ibu hamil memang dikit-dikit sakit!” tukas Dhea lagi memberi semangat Alea.Alea hanya tersenyum dan berterima kasih karena Dhea sudah perhatian. Dia harus kembali ke mejanya dan memasak sedikit cepat. Sore ini dia sudah janji dengan
Alea terdiam dan merasa bahwa sepertinya dia tidak mengenal pria yang sedang berbiacara dengannya ini.Devano tidak seperti ini. Entah apa yang membuatnya berubah. Tidak mungkin hanya karena ambisi mencintainya dia sampai sebegininya. Dirinya masih ada di sini, bisa bicara dengan baik bersamanya, juga masih menjalin hubungan baik. Tidak terpikir kalau pria ini begitu rakus ingin memilikinya juga.“Devan, maafkan aku. Aku hanya tidak ingin hubungan baik kita berakhir hanya karena dugaan kau menghancurkan keluargaku!”Alea sebenarnya sudah merasa salah sikap. Seharusnya dia tidak secepat ini menuduh Devano yang merusak rumah tangganya. Kalau sudah begini, dia tidak akan mendapatkan apapaun kecuali reaksi buruk dari Devano.Alea memang tidak berbakat dalam hal misi seperti ini. Bodoh sekali dirinya karena justru membuat Devano semakin ingin menghancurkan rumah tangganya. “Kau memikirkan rumah tanggamu yang hancur?” Devano menatap Alea dengan berkaca-kaca. Antara kesal dan lelah menghara
Lama Alea mematut dirinya di depan cermin. Menatap dirinya sendiri. Seolah melihat bayangannya saat masih berseragam putih abu-abu dulu. Berlari-lari memperebutkan bola basket dengan Dina dan Valen di lapangan. Ketika Alea mendapatkan bola itu, sebisa mungkin dia ingin mengerjai teman-temannya. Dibawanya bola itu lari keluar lapangan.“Alea usil banget, sih!” Valen dan Dina berteriak mengejarnya.Seseorang datang tiba-tiba hingga mereka bertabrakan dan terjatuh berdua di lantai. Keduanya saling menatap beberapa detik. Alea yang baru sadar masih berada di atas tubuh Devano, segera bangkit dengan sangat canggung.“Ceilah, Alea…” goda Valen dan Dina menyenggol lengan Alea. Ketiganya jadi salah tingkah karena ada siswa baru yang ganteng dan manis. Dari sanalah kemudian mereka berkenalan dan lebih dekat.Devano siswa pindahan di semester kedua kelas awal SMA. Merupakan siswa penyendiri dan tidak suka bergaul dengan banyak orang.
Ardhan pergi pagi-pagi sekali bahkna tanpa sarapan terlebih dahulu. Dia sudah mengatakan pada Alea kalau ada urusan penting. Alea yang masih malas bicara hanya mengangguk saja saat Ardhan pamit keluar.Tiba-tiba dia merasa perut bagian bawahnya keram dan nyeri sekali. Alea bahkan tidak bisa berjalan karena hal itu. Dia duduk di tempat tidur berusaha menunggu hingga rasa keram di perutnya menghilang. Beberapa saat kemudian dia bangkit ke kamar mandi. Merasa lega nyeri perut bagian bawahnya mulai berkurang. Mungkin sebentar lagi juga menghilang sendiri.Selesai membersihkan diri, Alea tidak sengaja melihat celana dalamnya bernoda kemerahan. Segera dia memeriksanya dan jadi begitu cemas. Tangannya bergetar lalu segera keluar memanggil Sika. Sika dulu seorang perawat, mungkin tahu apa yang terjadi?“Mbak Sika, tolong Mbak!”Sika yang sedang mengepel lantai melihat Alea terlihat cemas lalu tergesa menghampirinya. “Ada apa, Bu?”&
Ardhan tersenyum miring lalu duduk dengan santai di sofa. Dia meminta Mario menghampirinya dengan gerakan jarinya. Ardhan tahu kelemahan pria ini. Harga dirinya sangatlah mudah dijatuhkan dengan uang.“Kau mau membuat penawaran?” Mario menyeringai, merasa ancamannya menyebarkan video itu berhasil.“Boleh” Ardhan ikut tersenyum seolah menyetujui ucapan Mario.“Hmm, kalau kau koperatif sejak awal kan semua bisa di atur!”Mario mendekati Ardhan dan hendak duduk di sampingnya. Tapi Ardhan menolaknya dan memintanya duduk di bawahnya.Tentu saja Mario terkejut. Ardhan bukan pria yang suka mempelakukan buruk orang lain. Kenapa dia memintanya duduk di lantai sementara dirinya duduk di di sofa depannya? Apa memang harga dirinya sudah begitu jatuh hingga pria ini memintanya melakukan demikian?Keterlaluan sekali Ardhan. Bagaimanapun juga dia adalah pria yang terhormat dan digilai banyak wanita di luar sana. Bagaimana kalau kekasihnya yang artis dan punya circle sesama artis mengetahui hal ini?
Sesampai di tempat parkir rumah sakit, Ardhan keluar dari mobil dengan langkah tidak sabar untuk bisa mengetahui kondisi istrinya. Dia belum menanyakan di mana Alea di rawat. Karenanya mencoba menghubungi papanya.Tidak diangkat, Ardhan mengirim pesan. Dia menjadi tidak sabar hingga semua orang di telponnya. Sika, Toni, Mamanya, dan juga nomor Alea sendiri. Sayangnya semua nomor yang dihubunginya tidak mengangkat panggilannya.‘Tenang, semua baik-baik saja!’ Ardhan menghibur dirinya sendiri. Dia mencari tempat duduk sekedar menunggu balasan pesan yang sudah dia kirim. Dia bangkit lagi karena baru ingat seharusnya bisa menanyakannya pada resepsionis. “Atas nama Nyonya Alea?” Petugas resepsionis itu dengan ramah mencarikan data Alea. “Baik, Pak. Nyonya Alea ada di ruang VIP Melati nomor 5. Apa ada yang bisa kami bantu lagi?”“Oh, terima kasih!”Ardhan bergegas menuju ruang yang disampaikan resepsionist tadi. Ada beberapa papan penunjuk arah di rumah sakit itu, Ardhan segera menemukan r
Alea pulang di hari berikutnya dari rumah sakit. Hera dan Hamid masih enggan balik karena tidak tega meninggalkan menantunya itu. Mereka sedang bersantai di ruang tengah. Ardhan tidak pernah jauh dari Alea sejak di rumah sakit. Dia bahkan tidak membiarkan Alea berjingkat mengambil sesuatu sendiri. Membuat Alea justru tidak nyaman.“Aku cuma ambil remot, Kak!” tukas Alea saat Ardhan menahannya karena hendak mengambil sesuatu.“Kamu tinggal bilang kalau mau ambil remot. Aku bisa kok ambilkan!” Ardhan dengan cepat bergerak mengambil remot di samping Alea.Astaga! Berlebihan sekali pria ini.Hamid hanya tersenyum melihat anak dan menantunya itu. Diam-diam memperhatikannya di sela dia memeriksa ponselnya. Keduanya terlihat serasi dengan segala perbedaan itu. Ardhan pria yang keras sementara Alea gadis yang lebih terlihat lemah lembut. Secara dipikir memang tidak akan sejalan. Tapi bagi Hamid perbedaan itulah yang justru membuat mereka saling melengkapi.Hamid jadi sedih jika Alea sampai ti
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b