Ardhan begitu resah setelah mendengar ucapan Alea bahwa Naysila datang untuk memeriksakan kandungannya. Dia benar-benar tidak akan berdaya ketika Naysila ternyata mengandung anaknya.
Keluarga besarnya adalah keluarga yang paham agama dan sangat menjunjung kemanusiaan. Jika mereka mengetahui hal ini, kemungkinan besarnya adalah mereka pasti akan tetap mendesak Ardhan bertanggung jawab terlepas bahwa itu hanyalah sebuah kesalahan. Karena anak di dalam kandungan Naysila adalah darah dagingnya.
Ardhan takut itu akan membuat Alea menjadi korban sekali lagi. Dia sudah cukup merasa bersalah atas apa yang selama ini dilakukannya pada gadis baik hati itu. Kepalanya jadi pening memikirkan bagaimana jika Naysila benar sedang mengandung?
Dia tidak bisa tidur lalu duduk menatap istrinya yang sudah terlelap. Dia merasa harus menghubungi Pram untuk membantunya.
Setelah merapikan selimut dan mencium kening Alea, dia bangkit menghubungi Pram. Ardhan tida
Alea mengumpulkan beberapa bahan untuk mengeksekusi resep yang sudah dia dapatkan dari beberapa sumber. Dia sudah beberapa pertemuan tidak mengikuti kelas memasak hingga tertinggal banyak materi. Hari ini, tiba-tiba Chef Randi memberikan tantangan untuk membuat aneka tumpeng dari aneka masakan nasi. Baginya yang memang sehari-hari memasak nasi, tidak masalah juga walau tidak mendapat banyak teori.“Apa sudah tidak masalah dengan kandunganmu?” tanya Dhea di bangku sebelah saat Alea mencuci beras di kitchen sink.“Oh, tidak!” Alea tahu pasti Devano memintakan ijin dengan alasan kehamilan Alea. Semua tahu Alea sedang hamil.“Tidak apa, materinya juga di share di grup. Kamu bisa mempelajarinya. Ibu hamil memang dikit-dikit sakit!” tukas Dhea lagi memberi semangat Alea.Alea hanya tersenyum dan berterima kasih karena Dhea sudah perhatian. Dia harus kembali ke mejanya dan memasak sedikit cepat. Sore ini dia sudah janji dengan
Alea terdiam dan merasa bahwa sepertinya dia tidak mengenal pria yang sedang berbiacara dengannya ini.Devano tidak seperti ini. Entah apa yang membuatnya berubah. Tidak mungkin hanya karena ambisi mencintainya dia sampai sebegininya. Dirinya masih ada di sini, bisa bicara dengan baik bersamanya, juga masih menjalin hubungan baik. Tidak terpikir kalau pria ini begitu rakus ingin memilikinya juga.“Devan, maafkan aku. Aku hanya tidak ingin hubungan baik kita berakhir hanya karena dugaan kau menghancurkan keluargaku!”Alea sebenarnya sudah merasa salah sikap. Seharusnya dia tidak secepat ini menuduh Devano yang merusak rumah tangganya. Kalau sudah begini, dia tidak akan mendapatkan apapaun kecuali reaksi buruk dari Devano.Alea memang tidak berbakat dalam hal misi seperti ini. Bodoh sekali dirinya karena justru membuat Devano semakin ingin menghancurkan rumah tangganya. “Kau memikirkan rumah tanggamu yang hancur?” Devano menatap Alea dengan berkaca-kaca. Antara kesal dan lelah menghara
Lama Alea mematut dirinya di depan cermin. Menatap dirinya sendiri. Seolah melihat bayangannya saat masih berseragam putih abu-abu dulu. Berlari-lari memperebutkan bola basket dengan Dina dan Valen di lapangan. Ketika Alea mendapatkan bola itu, sebisa mungkin dia ingin mengerjai teman-temannya. Dibawanya bola itu lari keluar lapangan.“Alea usil banget, sih!” Valen dan Dina berteriak mengejarnya.Seseorang datang tiba-tiba hingga mereka bertabrakan dan terjatuh berdua di lantai. Keduanya saling menatap beberapa detik. Alea yang baru sadar masih berada di atas tubuh Devano, segera bangkit dengan sangat canggung.“Ceilah, Alea…” goda Valen dan Dina menyenggol lengan Alea. Ketiganya jadi salah tingkah karena ada siswa baru yang ganteng dan manis. Dari sanalah kemudian mereka berkenalan dan lebih dekat.Devano siswa pindahan di semester kedua kelas awal SMA. Merupakan siswa penyendiri dan tidak suka bergaul dengan banyak orang.
Ardhan pergi pagi-pagi sekali bahkna tanpa sarapan terlebih dahulu. Dia sudah mengatakan pada Alea kalau ada urusan penting. Alea yang masih malas bicara hanya mengangguk saja saat Ardhan pamit keluar.Tiba-tiba dia merasa perut bagian bawahnya keram dan nyeri sekali. Alea bahkan tidak bisa berjalan karena hal itu. Dia duduk di tempat tidur berusaha menunggu hingga rasa keram di perutnya menghilang. Beberapa saat kemudian dia bangkit ke kamar mandi. Merasa lega nyeri perut bagian bawahnya mulai berkurang. Mungkin sebentar lagi juga menghilang sendiri.Selesai membersihkan diri, Alea tidak sengaja melihat celana dalamnya bernoda kemerahan. Segera dia memeriksanya dan jadi begitu cemas. Tangannya bergetar lalu segera keluar memanggil Sika. Sika dulu seorang perawat, mungkin tahu apa yang terjadi?“Mbak Sika, tolong Mbak!”Sika yang sedang mengepel lantai melihat Alea terlihat cemas lalu tergesa menghampirinya. “Ada apa, Bu?”&
Ardhan tersenyum miring lalu duduk dengan santai di sofa. Dia meminta Mario menghampirinya dengan gerakan jarinya. Ardhan tahu kelemahan pria ini. Harga dirinya sangatlah mudah dijatuhkan dengan uang.“Kau mau membuat penawaran?” Mario menyeringai, merasa ancamannya menyebarkan video itu berhasil.“Boleh” Ardhan ikut tersenyum seolah menyetujui ucapan Mario.“Hmm, kalau kau koperatif sejak awal kan semua bisa di atur!”Mario mendekati Ardhan dan hendak duduk di sampingnya. Tapi Ardhan menolaknya dan memintanya duduk di bawahnya.Tentu saja Mario terkejut. Ardhan bukan pria yang suka mempelakukan buruk orang lain. Kenapa dia memintanya duduk di lantai sementara dirinya duduk di di sofa depannya? Apa memang harga dirinya sudah begitu jatuh hingga pria ini memintanya melakukan demikian?Keterlaluan sekali Ardhan. Bagaimanapun juga dia adalah pria yang terhormat dan digilai banyak wanita di luar sana. Bagaimana kalau kekasihnya yang artis dan punya circle sesama artis mengetahui hal ini?
Sesampai di tempat parkir rumah sakit, Ardhan keluar dari mobil dengan langkah tidak sabar untuk bisa mengetahui kondisi istrinya. Dia belum menanyakan di mana Alea di rawat. Karenanya mencoba menghubungi papanya.Tidak diangkat, Ardhan mengirim pesan. Dia menjadi tidak sabar hingga semua orang di telponnya. Sika, Toni, Mamanya, dan juga nomor Alea sendiri. Sayangnya semua nomor yang dihubunginya tidak mengangkat panggilannya.‘Tenang, semua baik-baik saja!’ Ardhan menghibur dirinya sendiri. Dia mencari tempat duduk sekedar menunggu balasan pesan yang sudah dia kirim. Dia bangkit lagi karena baru ingat seharusnya bisa menanyakannya pada resepsionis. “Atas nama Nyonya Alea?” Petugas resepsionis itu dengan ramah mencarikan data Alea. “Baik, Pak. Nyonya Alea ada di ruang VIP Melati nomor 5. Apa ada yang bisa kami bantu lagi?”“Oh, terima kasih!”Ardhan bergegas menuju ruang yang disampaikan resepsionist tadi. Ada beberapa papan penunjuk arah di rumah sakit itu, Ardhan segera menemukan r
Alea pulang di hari berikutnya dari rumah sakit. Hera dan Hamid masih enggan balik karena tidak tega meninggalkan menantunya itu. Mereka sedang bersantai di ruang tengah. Ardhan tidak pernah jauh dari Alea sejak di rumah sakit. Dia bahkan tidak membiarkan Alea berjingkat mengambil sesuatu sendiri. Membuat Alea justru tidak nyaman.“Aku cuma ambil remot, Kak!” tukas Alea saat Ardhan menahannya karena hendak mengambil sesuatu.“Kamu tinggal bilang kalau mau ambil remot. Aku bisa kok ambilkan!” Ardhan dengan cepat bergerak mengambil remot di samping Alea.Astaga! Berlebihan sekali pria ini.Hamid hanya tersenyum melihat anak dan menantunya itu. Diam-diam memperhatikannya di sela dia memeriksa ponselnya. Keduanya terlihat serasi dengan segala perbedaan itu. Ardhan pria yang keras sementara Alea gadis yang lebih terlihat lemah lembut. Secara dipikir memang tidak akan sejalan. Tapi bagi Hamid perbedaan itulah yang justru membuat mereka saling melengkapi.Hamid jadi sedih jika Alea sampai ti
PLAK!Naysila menampar pria itu dengan begitu murka karena sudah lancang menemui Ardhan. Rencana yang sudah disiapkannya jadi berantakan. Pria ini memang tidak pernah bisa diandalkan. Itu pasti karena Maminya yang selalu memanjakannya sedari kecil.“Kenapa kau malah menamparku?!” Mario melotot dan hendak menampar balik adik perempuannya itu. Dia selalu menyalahkan Naysila karena putus dari Ardhan. Jadinya dia tidak bisa memeras adiknya itu dan memintai uangnya.“Jangan melotot! Kau sudah membuat berantakan apa yang sudah aku rencanakan!”“Memang apa rencanamu? Ardhan sudah tahu banyak hal tentangmu, bahkan kehamilanmu yang berusia lebih lama dari kalian tidur bersama. Kamu sajalah yang bodoh! Pikir pakai otak kalau tidur dengan pria lain? Malah hamil lagi!” Mario masih mengelus pipinya yang panas karena tamparan Naysila.“Kau tahu aku tidur dengan siapa?!” Naysila berteriak, kecewa dengan sikap kakaknya itu.“Siapa lagi kalau bukan Dygta!” jawab Mario yang juga berteriak. “Kau bohong