Suara gelak tawa itu terdengar begitu mengerikan kala sang supir misterius menoleh ke arah Alea yang tegang itu. Sejenak Alea memicingkan matanya karena seolah mengenal suara tawa itu. Wajah tegangnya mengendur dan seketika berubah menjadi sebal ketika sang supir misterius membuka masker dan kaca matanya. “Astaga, Devan!” Alea reflek memukul pundak Devano yang masih tergelak itu. Dia pikir ini lucu apa becanda sampai seperti ini? Batin Alea pada temannya yang usil itu. Dia jadi ingat masa SMA mereka yang selalu saling mengerjai namun jika salah satu dikerjain orang lain, tidak akan pernah terima dan akan membalas sampai orang tersebut meminta maaf. Itu Devano. “Maaflah, aku hanya butuh sedikit hiburan. Udah lama gak becanda sama kamu!” Devano berujar dengan sisa-sisa tawa yang masih membekas di wajahnya. “Kurang ajar sekali, bagaimana kalau aku jantungan!” Alea protes. “Enggaklah, aku sudah kalkulasi kadar becandaanku. Aman buat jantung kamu!” “Sok tahu kamu!” “Buktinya kamu mas
Melihat wanita yang di sayanginya terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit, Ardhan segera menghampiri dan memeluknya. Tadi saat mendapat kabar bahwa Alea mengalami kecalakaan, Ardhan mengendarai mobilnya menuju rumah sakit dengan kecepatan tinggi. Dia tidak peduli lagi jika setelah ini akan ada surat tilang yang ditujukan padanya. Ardhan sangat menghawatirkan Alea.“Ada apa?” tanya Ardhan lembut membelai Alea yang masih tampak pucat itu.Alea berusaha duduk dan ingin memeluk Ardhan. Ardhan membantunya.“Tadi mobil Devan menghindari pemotor dan banting ke trotoar nabrak tiang!” Alea menyampaikan apa yang diingatnya sebelum dia tidak sadar.“Bukannya kau bilang naik taxi?” Ardhan tidak sampai hati harus marah mendengar Alea bersama Devano, dia hanya bertanya sedikit demi sedikit dengan lembut.“Iya, aku memesan taxi, tapi Devan yang ternyata jadi supirnya. Dia jahil sekali bukan?” ucap Alea lag
Ardhan pada akhirnya harus menuruti kemauan Alea yang ingin segera pulang. Dia mengkosultasikan pada dokter kandungan yang memeriksa Alea dan untungnya dokter tersebut sudah mengatakan Alea bisa dibawa pulang dengan catatan masih harus bed rest seminggu ini. Saat ini dia sedang membereskan administrsi rumah sakit Alea.“Maaf, Pak. Pasien atas nama Nyonya Alea sudah dibereskan. Terima kasih sudah menggunakan fasilitas kami. Semoga lekas sembuh!” ucap petugas pembayaran rumah sakit tersebut.Ardhan tidak merasa mengurusi administrasi Alea, karena itu dia ingin memperjelas siapa yang membereskannya? Petugas itu mencarikan dokumen pembayaran dan menemukan tandan tangan dengan tulisan tangan Devano. Ardhan tentu tidak terima hal itu.“Saya tidak mau tahu, tolong balikin pembayaran atas nama pria itu. Ini istri saya, jadi sayalah yang punya kewajiban membayarnya,” ucap Ardhan sungguh merasa tersinggung. Kurang ajar Devano. Apa dia kira Ardhan tidak bisa bayar apa?“Maaf Pak, saya tidak meng
Ardhan ingin menemui Devano dan bertanya sedang di mana dia? Devano mengiyakan pertemuan itu saat dirinya sedang ada urusan di sebuah tempat. Ardhan tidak keberatan menemuinya di manapun dia berada.Dia berjalan terburu di lorong yang sepi itu. Devano sudah menunggu di sana. Saat dia mendekat, dihempaskannya map dari rumah sakit itu ke dada Devano. Di dalamnya ada lembaran uang sebagai ganti admisnistrasi yang sudah dibayarkan Devano untuk Alea.“Lain kali permisi dulu kalau mau melakukan sesuatu. Apa aku harus terus memperingatkanmu agar kau tidak berulah lagi?” Ardhan menatap Devano dengan jengkel.“Setidaknya lihatlah hal itu sebagai permintaan maafku, aku sudah hampir mencelakai Alea!” Devano berusaha menahan diri agar tidak memunculkan amarah untuk bersihtegang dengan pria ini.“Sadar kamu kalau sudah buat Alea celaka?” Ardhan menatap Devano dengan sangat muak. Apalagi teringat dia yang diam-diam memfotonya dengan Naysila di restoran lalu mengirimkannya pada Alea. Pasti niatnya
“Auh, sakit Kak!”Teriakan itu sontak membuat Ardhan seketika berjingkat dari tubuh istrinya. Dia langsung memeriksa Alea dan memastikan dia baik-baik saja.“Apa aku bilang tadi!” ucapnya dengan cemas lalu segera mengambilkan air putih untuk Alea.“Enggak apa, Kak. Jangan secemas itu. Hanya sedikit keram.” Alea menenangkan Ardhan yang nampak bersalah dan takut terjadi sesuatu padanya itu.“Udah ah, Sayang. Gak lucu ini!”Kaos yang terserak di lantai ditarik lalu dipakainya. Ardhan juga mengambilkan gaun Alea dan melekatkan di tubuh polosnya. Demi menuruti keinginan sang istri tadi, dia jadi membuatnya sampai keram begitu. Ardhan tentu panik karena membayangkan baby mungil di perut itu jadi terusik.Dia menyadari bahwa dirinya sedikit kasar. Meski sudah dicobanya untuk berhati-hati, terkadang bisa khilaf juga. Karenanya Ardhan pasti was-was kalau saja akan melukai sang baby di dalam sana saat me
“HENTIKAN KATAKU!”Ardhan dengan ketus menghampiri pria itu dan menahan tangannya lalu dengan kasar menghempaskannya.“Kau?!” Digta, nama pria itu. Dia terkejut melihat Ardhan ada di depannya. Dia tahu bahwa wanita yang bersamanya ini dulunya adalah kekasih pria itu. “Apa masalahmu hingga memukuli seorang perempuan?” Ardhan geram menatap Dygta.Naysila melihat Ardhan datang lalu menatapnya dengan pancaran penuh kebahagiaan. Dia tidak mengira bisa bertemu dengannya di tempat ini. Naysila berpikir, Ardhan sudah tidak terlalu tertarik mengikuti komunitas pebisnis muda ini.“Astaga, bukankah kata Leon kau sudah menikah? Kenapa kau masih membela wanita ini?” Digta malah mencecar Ardhan.“Nay, kenapa kau berurusan dengan pria seperti ini?”Ardhan tidak ingin meladeni ucapan dari mulut pecundang itu. Bagaimanapun dia mengenal Naysila dan pernah dekat dengannya bertahun-tahun.
Suara ponsel berdering beberapa kali namun Alea belum juga terbangun. Di deringan yang kesekian kali Alea baru tergugah dan nampak enggan membuka matanya lantaran semalam dia sulit sekali memejamkan matanya. Jadinya dia masih sangat mengantuk sepagi ini.“Iya, Kak?” suara serak Alea mengangkat panggilan itu.“Belum bangun, Sayang?” tanya suara dari seberang sana.“Masih ngantuk” jawab Alea dengan suara bantalnya.“Makanya jangan begadang, sekarang mending sholat subuh dulu terus tidurnya bisa dilanjut lagi.”Ardhan semalam menghubungi Alea dan menanyakan apa Alea ingin dia pulang ke rumah keluarga untuk menemaninya. Namun Alea dengan penuh pengertian tidak menginginkannya. Alasan agar Ardhan bisa beristirahat dengan baik di rumah mereka sendiri karena esok harinya masih harus kerja. Pagi ini Ardhan sudah merindukan istri dan baby yang masih di perutnya itu.Selesai sholat subuh Alea inginnya ke
Alea sudah nampak baikan dan sekarang merasakan perutnya lapar. Dia keluar kamar dan melihat Mbak Sri sedang menyiapkan beberapa makanan di meja. Ini sudah agak siangan. Apa mertuanya itu belum sarapan hingga pembantu rumah baru menyiapkan makanan? Atau jangan-jangan mereka menunggunya bangun tidur dulu? Kalau begitu adanya Alea harusnya tidak bangun sampai sesiang ini.“Banyak sekali makanannya, Mbak. Papa dan Mama belum sarapan?” tanya Alea melihat hidangan di meja makan itu.“Sudah kok, Mbak Alea. Ini semua untuk Mbak Alea.” Sri menyampaikan hal itu.“Ya Allah, semeja ini?” Alea merasa perutnya sudah penuh saja membayangkan semua hidangan itu untuknya.“Kamu harus banyak makan yang bergizi, Al. Sekarang makannya harus dobel, karena bukan hanya kamu yang butuh asupan, tapi janin di rahim kamu juga. Jadi makan untuk dua orang.” Hera terlihat keluar dan menghampiri Alea.“Ma, mana mu
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b