“Auh, sakit Kak!”Teriakan itu sontak membuat Ardhan seketika berjingkat dari tubuh istrinya. Dia langsung memeriksa Alea dan memastikan dia baik-baik saja.“Apa aku bilang tadi!” ucapnya dengan cemas lalu segera mengambilkan air putih untuk Alea.“Enggak apa, Kak. Jangan secemas itu. Hanya sedikit keram.” Alea menenangkan Ardhan yang nampak bersalah dan takut terjadi sesuatu padanya itu.“Udah ah, Sayang. Gak lucu ini!”Kaos yang terserak di lantai ditarik lalu dipakainya. Ardhan juga mengambilkan gaun Alea dan melekatkan di tubuh polosnya. Demi menuruti keinginan sang istri tadi, dia jadi membuatnya sampai keram begitu. Ardhan tentu panik karena membayangkan baby mungil di perut itu jadi terusik.Dia menyadari bahwa dirinya sedikit kasar. Meski sudah dicobanya untuk berhati-hati, terkadang bisa khilaf juga. Karenanya Ardhan pasti was-was kalau saja akan melukai sang baby di dalam sana saat me
“HENTIKAN KATAKU!”Ardhan dengan ketus menghampiri pria itu dan menahan tangannya lalu dengan kasar menghempaskannya.“Kau?!” Digta, nama pria itu. Dia terkejut melihat Ardhan ada di depannya. Dia tahu bahwa wanita yang bersamanya ini dulunya adalah kekasih pria itu. “Apa masalahmu hingga memukuli seorang perempuan?” Ardhan geram menatap Dygta.Naysila melihat Ardhan datang lalu menatapnya dengan pancaran penuh kebahagiaan. Dia tidak mengira bisa bertemu dengannya di tempat ini. Naysila berpikir, Ardhan sudah tidak terlalu tertarik mengikuti komunitas pebisnis muda ini.“Astaga, bukankah kata Leon kau sudah menikah? Kenapa kau masih membela wanita ini?” Digta malah mencecar Ardhan.“Nay, kenapa kau berurusan dengan pria seperti ini?”Ardhan tidak ingin meladeni ucapan dari mulut pecundang itu. Bagaimanapun dia mengenal Naysila dan pernah dekat dengannya bertahun-tahun.
Suara ponsel berdering beberapa kali namun Alea belum juga terbangun. Di deringan yang kesekian kali Alea baru tergugah dan nampak enggan membuka matanya lantaran semalam dia sulit sekali memejamkan matanya. Jadinya dia masih sangat mengantuk sepagi ini.“Iya, Kak?” suara serak Alea mengangkat panggilan itu.“Belum bangun, Sayang?” tanya suara dari seberang sana.“Masih ngantuk” jawab Alea dengan suara bantalnya.“Makanya jangan begadang, sekarang mending sholat subuh dulu terus tidurnya bisa dilanjut lagi.”Ardhan semalam menghubungi Alea dan menanyakan apa Alea ingin dia pulang ke rumah keluarga untuk menemaninya. Namun Alea dengan penuh pengertian tidak menginginkannya. Alasan agar Ardhan bisa beristirahat dengan baik di rumah mereka sendiri karena esok harinya masih harus kerja. Pagi ini Ardhan sudah merindukan istri dan baby yang masih di perutnya itu.Selesai sholat subuh Alea inginnya ke
Alea sudah nampak baikan dan sekarang merasakan perutnya lapar. Dia keluar kamar dan melihat Mbak Sri sedang menyiapkan beberapa makanan di meja. Ini sudah agak siangan. Apa mertuanya itu belum sarapan hingga pembantu rumah baru menyiapkan makanan? Atau jangan-jangan mereka menunggunya bangun tidur dulu? Kalau begitu adanya Alea harusnya tidak bangun sampai sesiang ini.“Banyak sekali makanannya, Mbak. Papa dan Mama belum sarapan?” tanya Alea melihat hidangan di meja makan itu.“Sudah kok, Mbak Alea. Ini semua untuk Mbak Alea.” Sri menyampaikan hal itu.“Ya Allah, semeja ini?” Alea merasa perutnya sudah penuh saja membayangkan semua hidangan itu untuknya.“Kamu harus banyak makan yang bergizi, Al. Sekarang makannya harus dobel, karena bukan hanya kamu yang butuh asupan, tapi janin di rahim kamu juga. Jadi makan untuk dua orang.” Hera terlihat keluar dan menghampiri Alea.“Ma, mana mu
Mereka mampir di kantin rumah sakit sekedar membasahi tenggorokan sembari menunggu supir menjemput. Romi, supir Hera tadi minta ijin untuk mengantar sesuatu ke rumah. Karena Hera tahu pemeriksaan akan sedikit lama menunggu dokter kandungan yang belum datang, akhirnya dia mengijinkannya. Sekarang mereka sedang menunggu sang supir yang belum datang itu.“Al, kamu masih marah dengan ayahmu?” tanya Hera menatap Alea yang sejak tadi terdiam itu setelah berpapasan dengan ayahnya.Alea menatap Hera dan dia sepertinya sedikit keberatan menjawabnya. Namun Alea jadi tidak enak sendiri kalau tidak menyahuti pertanyaan mertuanya itu. “Tidak, Ma. Tapi jujur, hal itu membuat saya kecewa dan tidak bisa lagi bersikap seperti sedia kala pada Ayah.”“Aku mengerti, Al. Tidak baik Nak, menyimpan benci dan marah pada orang tua sendiri. Apalagi kamu sedang hamil. Ikhlaskan saja, ya!” tutur Hera mengelus lengan Alea.“Baik, Ma.” H
Deg!Apa Alea salah dengar tadi saat Ardhan menyebut nama panggilan seseorang?Nay? Apa yang dia maksud adalah Naysila?Apakah itu Naysila yang sama?Ardhan juga menegaskan agar seseorang yang berkomunikasi dengannya dalam telepon itu tidak lagi menghancurkan kepercayaannya. Dan lihatlah, Ardhan seterkejut itu ketika melihatnya ada di belakangnya.Ya Allah, tolong jangan penuhi pikiranku dengan hal-hal yang negatif. Batin Alea yang membeku itu.“Alea?” tukas Ardhan yang langsung menutup panggilan itu. “Hei, duduklah. Aku tidak tahu kau ada di belakang.” Ardhan membimbing Alea duduk di bangku taman belakang rumah.“Kenapa, Kak?” tanya Alea.Pertanyaan itu tentu membuat Ardhan heran. “Kenapa? Maksudnya apa?” tanyanya meminta penjelasan.“Kenapa tiba-tiba telponnya diputus?” Alea menelisik.“Oh, astaga. Aku kira apa, tadi aku hanya terkejut tiba-
Mobil Ardhan memasuki parkir pemakaman yang nampak sepi itu. Setelah membantu Alea membukakan pintu mobil, dia menggandengnya masuk ke area pemakanam. Ardhan jadi ingat saat ikut mengantar jenazah ibu Alea. Dia bisa melihat Alea begitu terpukul dan bebrapa kali harus ditenangkan. Genggamannya semakin erat saat melihat di makam ibunya sana sudah ada Nadhim bersama istri dan anak kecilnya.“Kau mau menunggu saja?” tanya Ardhan ketika kaki Alea tidak bergerak setelah melihat mereka.Alea terdiam sembari berpikir. Kenapa bisa kebetulan mereka ada di pemakaman ini? Apakah ayahnya sering datang bersama anak dan istrinya itu menziarahi makam ibunya? Seandainya begitu, artinya ayahnya memang masih sangat mencintai ibunya itu meski sudah meninggal.Hera juga pernah bercerita bahwa di rumah mereka, ayahnya memasang foto keluarga yang terdiri dari dirinya, ibu dan ayahnya sendiri. Arya juga sudah di ajari untuk bisa menerima tentang keluarga ayahnya sebelum ini
Hera mondar-mandir di depan rumahnya karena anak dan menantunya belum juga terlihat. Saat menjelang maghrib tadi dia sudah ingin menghubungi Ardhan dan menanyakan sedang di mana mereka. Namun Hamid melarangnya dengan alasan bisa jadi mereka sedang ingin jalan-jalan. Sekarang sudah hampir jam 9 malam. Hera jadi mencemaskan Alea.“Sudah, Ma. Masuk dulu. Nanti juga mereka pulang” ujar Hamid melihat istrinya yang sejak tadi di halaman itu.“Aku sudah telpon lho, Pa. Tapi tidak ada yang menyahuti. Balas pesan kek!” Hera masih resah menatap ke arah gerbang rumahnya itu kemudian beralih ke layar ponselnya.“Ya bisa jadi mereka ingin bersenang-senang sebentar,” tukas Hamid lagi.“Bersenang-senang di rumah kan bisa, Pa.” ujar Hera lagi menghampiri suaminya itu dan duduk di sampingnya.“Kalau bersenang-senang di luar lebih hot!” Hamid mentowel lengan istrinya sambil berkedip nakal.Hera seket