Bugh! Bugh! Entah dihajar yang ke berapa. Yang pasti, wajah Omar sudah babak belur. Lucas menyugar rambutnya. “Kepergian Lila karena murni kesalahanmu!” Omar mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Ia menunduk. “Maaf, Sir.” “Apa yang dilakukannya sampai tidak mau diikuti bodyguard?” tanya Lucas. “Apa dia bermesraan dengan pria tua itu?” Omar menggeleng. “Tidak, Sir. Dari keterangan pegawai yang di sini. Hari ini ulang tahun Nona Lila. Jadi nona Lila selalu kesini dan merayakan ulang tahun dengan pamannya.” “Saya menuruti keinginan nona Lila yang ingin menghabiskan waktu dengan pamannya. Ketika Carlo pergi—saya sudah buru-buru mengecek ke dalam. Namun, nona Lila begitu cepat dibawa kabur.” “Saya sudah berusaha mencari nona di sekitar sini. tapi saya tidak mendapatkan apapun. Tidak ada rekaman cctv di sini yang merekam nona Lila.” Lucas berkacak pinggang. “Hal ini sudah direncanakan lama.” Lucas menatap Omar yang babak belur dihajar tangannya. “Ini belum cukup. Kau a
24 jam… Lamanya seorang perempuan tertidur tanpa terbuka sama sekali. Lila menggerakkan jemarinya perlahan. Lila mencium aroma sekitarnya. Asing… Tidak di kamarnya. tidak di rumah. lalu di mana ia sekarang… Ia merasa tangannya sedikit kebas. Seperti ada yang menancap. Ketika ia meraba tangannya—satu infus yang tertancap di punggung tangannya. Lila memejamkan mata kembali. “Berhenti!” Lucas mendekat. “Jangan menggunakan kekuatanmu lagi. kau berada di rumah sakit.” “Di mana ponselku. Aku harus menghubungi bi Rosa.” “Anakmu baik-baik saja. aku menambah keamanan di rumah itu,” balas Lucas. Kau sudah tidur 24 jam tanpa terbangun sama sekali.” Lila bernapas lega. “Selama itu…” lirihnya. Lucas menarik satu kursi hingga berada di samping ranjang Lila. “Apa yang terjadi denganmu saat di sana?” “Kenapa saat aku di sana kau sendiri?” tanya Lucas. Lila terdiam. “Karena aku ditinggal…” “Aku tahu.” Lucas tidak sabar. “Maksudnya bagaimana sampai kau ditinggal. Lalu apa ya
Tok tok! Pintu diketuk. Lucas berdecak menatap pintu. kemudian menjauh dari Lila. “Sir, ada yang ingin saya katakan!” suara bodyguard di ambang pintu. Lucas berdiri—tangannya terangkat menunjuk Lila. “Ingat perkataanku. Jangan memikirkan bajingan itu!” Lila mengangguk. Lucas berdiri—kemudian berjalan. Mendengar dari bodyguard siapa yang ingin bertemu dengannya. Lucas berjalan menuju taman rumah sakit yang sepi. Di sanalah ia bertemu dengan pria tua yang ingin sekali ia hajar. Lucas menatap pria itu. kemudian mengusap tangannya pelan. “Kau tahu..” Menatap Carlo. “….Aku sangat ingin menghajarmu sekarang.” “Kau memang berhak marah.” Carlo mengangguk. “Semua salahku. Tidak seharusnya aku meninggalkannya begitu saja.” Carlo mengusap wajahnya kasar. “Aku terburu-buru karena mendengar ada kekacauan di tempatku yang lain. Jadi aku langsung pergi begitu saja. Aku juga tidak tahu kalau anak buahku ada mengincarnya.” Lucas menatap Carlo tajam. “Mulai sekarang, aku tidak
“Maaf.” Paman Carlo duduk di kursi samping ranjang Lila. “Seharusnya Paman tidak meninggalkan kamu.” “Bukan salah paman.” Lila menggeleng. “Tidak ada yang tahu kalau dia mengincarku.” “Bagaimana keadaan kamu?” tanya paman. “Aku baik-baik saja. aku tidak terluka. Hanya saja, energiku habis karena mencoba melihat aku sedang berada di mana saat itu.” “Kata Lucas aku tidur hampir 24 jam.” “Lila..” panggil paman Carlo. “Mulai sekarang, jangan datang lagi ke tempat usaha paman. Jika kamu ingin bertemu dengan paman, paman akan mendatangi kamu. atau kita bisa bertemu di luar bersama suamimu juga.” Lila berdecak pelan. “Karena Lucas pasti..” lirihnya. “Semua demi kebaikan kamu. Ada banyak musuh yang mengincar kamu. Kali ini dari musuh paman. Siapa yang tahu kalau musuh-musuh Lucas juga melakukannya…” “Jadi lebih baik memang melakukan pencegahan.” Lila mengangguk. “Baiklah.” “Bagaimana dengan Alma?” tanya Lila. “Apa dia tertangkap?” “Hm. Diurus Lucas. Entah Lucas akan memb
Lucas berdecak mendengar pertanyaan dari Lila. Namun tangannya malah bergerak menepuk pelan kepala wanita itu. “Kalau bisa sudah aku serap semua energi keberuntunganmu!” Tangan Lucas bergerak turun—mengusap pelan pipi wanita itu. “Kenapa kau diam saja?” tanya Lucas heran tidak mendengar sahutan dari wanita itu. “Aku sedang berpikir,” balas Lila. Ia tidak menyingkirkan tangan Lucas yang begitu betah mengusap pipinya. "Edward dan Maria…” lirih Lila. “Itu karenamu ya?” Lucas mengangguk. Ia mengambil duduk di samping ranjang Lila. “Aku sudah menghancurkan dua orang.” Lucas menatap Lila yang menatap lurus. Sekali saja… Ia berharap kalau bola wanita itu menghadap ke arahnya. Tapi sayang… Sampai kapanpun tidak akan terjadi. “Setengah jalan.” Lucas tersenyum. “Aku sudah menyelesaikan setengah dari permintaanmu.” “Apa rencanamu pada orang tuaku?” tanya Lila. “Kenapa?” tanya Lucas kembali. “Kau berharap aku tidak terlalu kejam pada mereka?” tanyanya. Lila terdiam
Lucas menatap Lila yang terdiam. “Aku tidak punya pilihan untuk menolak kan?” tanya Lila. Lucas tersenyum miring. “Kau boleh menolak tapi—” Lucas mengusap helaian rambut Lila ke belakang. “Kau akan mendapatkan hukuman.” Lucas mendekat—deru nafas mereka bisa dirasakan masing-masing. Lucas tersenyum menatap kedua mata Lila sudah tertutup. Baiklah ia akan memberikan apa yang wanita itu nantikan. Lucas menarik tengkuk Lila dan mencium wanita itu. Menggigit pelan bibir Lila sampai terbuka. Lucas mencium bibir Lila lebih dalam. Ciumannya turun. Lucas menghirup leher Lila yang jenjang. Menghisapnya dan menggigitnya pelan. Jejak itu tidak akan hilang hingga beberapa hari. Jemari Lucas mengusap pelan pinggang Lila. Tubuh wanita itu masih terbalut dengan pakaian rumah sakit. Lila tidak menghalangi Lucas melakukan apapun pada tubuhnya. “Hmmph!” Lucas kembali mencium bibirnya. Jemari pria itu bergerak mengusap dadanya. melepaskan kancing kemeja rumah sakit yang diguna
Terdiam… Lucas tidak menjawab langsung pertanyaan Lila. “Kau tidak tahu,” genggam tangan Lila pada tangan Lucas merenggang. Lucas yang kembali menggenggam tangan wanita itu. “Dua manusia yang saling mencintai dan berkomitmen untuk hidup bersama selamanya.” Lila menggerakkan tubuhnya—hingga menghadap Lucas. “Aku ingin menyentuh wajahmu.” “Kenapa kau tiba-tiba seperti ini?” tanya Lucas. “Kau membuatku takut.” Lila tertawa. “Aku hanya mencoba dekat denganmu. Karena, sebentar lagi aku akan mengandung anakmu.” Lagi… terus Lila dalam hati. “Baiklah. Aku akan menunjukkanmu wajahku yang tampan ini.” Lucas membawa tangan Lila menyentuh wajahnya. Lila menelusuri wajahnya dengan intens. “Alismu masih lebat.” “Hidungmu mancung.” “Rahangmu tegas..” “Dan..bibirmu tebal.” Itu ulasan yang diberikan Lila pada wajah Lucas. “Aku menjadi percaya kalau kau tampan,” lanjut Lila. Lucas tersenyum miring. “Jika kau bisa melihat, kau pasti sudah jatuh cinta denganku.” “Lantas?”
“Akhirnya mama pulang.” Lila menggendong anaknya. Mencium pipi anaknya pelan. “Apa Leonard rewel saat aku tidak ada bi?” “Tidak, kok. Leonard pintar. Hanya saja, saat malam hari. Terkadang suka terbangun dan menangis.” Bi Rosa mendekat dan mengusap pelan punggung Leonard. “Pasti merindukan mama kamu ya..” Lila mengangguk. “Mama sudah pulang. Mama tidak akan pergi-pergi lagi…” Menimang anaknya dengan sayang. “Terima kasih ya, Bi.” “Sama-sama.” Bi Rosa tersenyum. “Nanti…” ucap Lila. “Seandainya nanti Lucas sering ke sini. Aku minta tolong, jangan sampai Leonard bertemu dengannya.” Sampai saat ini, tidak ada yang tahu kebenaran dengan Leonard. Lila tidak memiliki kepercayaan pada orang sekitarnya. Sedikit kebenaran tentangnya, sering dimanfaatkan orang sekitarnya. Untuk itu, Lila akan menyimpan rahasianya sendiri. “Baik, Non. Bibi akan berusaha.” Bibi mengambil Leonard dari Lila. “Nona istirahatlah, bibi akan menjaga Leonard.” Lila mengangguk. “Nanti main lagi sa
“Berhenti!” Ruby menoleh ketika ada yang berani menyentuh tangannya. “Berhenti. Dia bisa mati!” Pria itu menunjuk salah satu cctv yang ada di pojok bangunan. “Jika kau ingin membunuhnya. Lakukan di tempat yang aman. Setidaknya jangan di depan orang-orang!” Ruby menatap sekitarnya. Banyak orang ternyata. Ia menjatuhkan tubuh Dario begitu saja. Ruby mengusap rambutnya kasar. Beginilah…. Ia hilang kendali… Berakhir dengan menggunakan kekuatannya yang sudah lama ia sembunyikan. Ruby menatap pria itu. “Terima kasih atas bantuannya. Suatu hari aku pasti akan membalasmu. Aku juga akan mengganti sepatumu.” “Dan maaf. Aku muncul di hadapanmu. Tapi setelah ini aku tidak akan muncul lagi di hadapanmu.” Ruby melewati pria itu. Ia mendekati Stormi yang masih saja tidur. “Kalau begitu, berikan aku kartu namamu,” ucap pria itu. Ruby mengerjap. kartu nama… Apakah ia masih punya. Kartu nama yang mana. kartu nama sebagai barista, pelayan klub atau penjaga roti.. atau bisa j
Dario mendekat. Namun—Ruby lebih dulu menangkis pukulan pria itu. Ruby berkacak pinggang. Dario mundur beberapa langkah. “Sini. kau tidak akan berhenti sampai kau pingsan!” Ruby sedikit meregangkan tubuhnya. Takutnya kalau terlalu banyak bergerak—dressnya bisa sobek. Tapi ternyata aman saja. Dress ini sangat lentur, jadi ia bisa bergerak dengan bebas. Emosi Dario semakin memuncak. Egonya terluka atas kekalahaannya memukul Ruby. Dario berlari—kali ini ia bersiap menendang perut Ruby. Namun Ruby lebih dulu menedang lebih dulu kaki pria itu. Ruby menendang kaki Dario menggunakan seluruh kekuatannya. Sehingga—tubuh Dario sampai melayang. Jatuh ke tanah dengan posisi terlentang! BRUUUK Ruby mengusap rambutnya. “Menyebalkan!” “Jika dia mati. Aku bisa berurusan dengan polisi.” Ruby berlari—menunduk dan melihat Dario lebih dekat. Menyentuh tangan pria itu dengan jijik. Lalu memeriksa denyut nadi pria itu masih berdetak. Dario masih hidup! namun Ruby tidak bisa
Dario… Pria itu ada di sini. Penampilan pria itu terlihat kumuh. Tidak ada lagi pakaian mewah yang selalu membalut tubuh pria itu. Akhirnya Dario mau keluar dan membawa Stormi bersamanya. Masih memeluk Stormi seakan wanita itu adalah kekasihnya. Sedangkan, Stormi yang sudah mabuk tidak punya kendali atas tubuhnya untuk melawan. Ruby frustasi melihatnya. “Lepaskan temanku!” “Beri aku lima belas ribu dollar.” Dario tersenyum miring. Ruby berdecih pelan—mimpi saja. Ruby melepaskan heels yang berada di kakinya. menggulung rambut panjangnya. “Kau masih ingat dengan pelajaran olahraga dulu?” tanya Ruby. “Apa kau tidak trauma setelah bola itu mengenai tubuhmu?” tanya Ruby. Dario tertawa. “Dulu itu kau hanya beruntung. Tidak sekarang!” Dario membawa tubuh Stormi ke belakang—menududukkan Stormi di tembok belakangnya. “Kau harus ingat kalau aku juga pemegang sabuk hitam bela diri.” Dari tersenyum miring. “Jangan melawanku dan beri saja aku uang!” “Hidupku berantakan ka
“Kau gila?!” Stormi menyeka bibirnya—tidak lupa mengusap meja dengan tisu. Ia menoleh—menunduk dan membisikkan sesuatu pada Ruby. “Dia yang tadi di kereta!” Ruby melebarkan mata. Bagaimana? pria itu bilang jangan pernah bertemu lagi. bagaimana sekarang? apakah Ruby harus pergi? Ruby terpaku—tubuhnya membeku. Pria itu juga menatapnya. Namun untungnya hanya sekilas. “Dia tidak mengingat kita. kau diam saja. jangan membuat keributan!” Ruby membungkam bibir Stormi. Dari sudut matanya—Ruby melihat pria itu berjalan kemudian duduk di salah satu bangku yang sepertinya sangat spesial. Bangku itu berada di tengah. Menggunakan sofa besar. Meja panjang yang dipenuhi dengan berbagai minuman dan makanan. Ruby mengalihkan pandangannya. Jangan sampai pria itu menyadarinya. “Haruskah kita pergi?” tanya Stormi. “Aku takut dia mengingat kita dan membalas dendam karena sepatunya!” Ruby menoleh. “Tidak masalah. Dia tidak akan mengingat kita. lagipula kita tidak se
Stormi menggeleng. “Kau sakit.” Semua testpack yang digunakan oleh Ruby bergaris satu. Ruby mundur—mengusap perutnya. “Mungkin aku memang lapar.” Stormi mendesah kecewa. “Aku sangat antusias menyambut bayimu. Tapi yasudahlah…” Ruby mengambil duduk di sofa. setelah meminum obat yang diberikan oleh Stormi, ia akhirnya makan. Untungnya Stormi membeli banyak obat. Ia bisa memilih obat mana yang bisa ia minum. “Bagaimana dengan suamimu…” ucap Stormi. “Apa dia tidak mencarimu?” “Mungkin.” Ruby mengangguk. “Dia bisa mencariku dengan mudah—bahkan menemukanku. Tapi kalau hari ini aku melihatnya, aku tidak akan bisa menahan emosiku.” “Aku bertengkar dengannya.” Ruby menoleh. “Itulah kenapa—aku ingin sedikit menenangkan diri dari dia. Jika aku melihatnya saat ini—aku akan marah lagi.” Stormi mengangguk dengan paham. “Siapa suamimu? Aku penasaran.” “melihat kartu yang ada di dompetmu, pasti suamimu orang kaya kan?” tanya Stormi. “Sangat kaya,” balas Ruby. “Dia bahkan bisa melakukan ap
“Hueek!” Ruby kembali muntah. Tubuhnya serasa lemas. Selain memang lapar, ia juga lelah ditambah kembali muntah. Ruby memegang wastafel. “Apa yang terjadi denganku…” “Sebentar lagi layanan makan akan datang.” Stormi mendekat. “Sebenarnya…” Stormi menatap Ruby. “Aku curiga pada satu hal.” Stormi menyipitkan mata. “Apa kau punya pacar?” Ruby menggeleng. “Ah..” Stormi mengangguk. “Kalau begitu mungkin memang kau sedang kelalahan dan mabuk perjalanan saja—” “Aku punya suami. Tapi sebentar lagi—” “APA?!” nampak Stormi sangat kaget. “Kau punya suami dan kau baru bilang sekarang?” Stormi mendekat—tiba-tiba saja mengusap perut Ruby. “Bagaimana jika kau hami? Kau mual kan? Itu gejala orang hamil. Kenapa kau tidak berpikir ke arah sana?” “Atau kau selalu menggunakan pengaman?” tanya Stormi lagi. Ruby menggeleng. “Aku tidak pernah menggunakannya…” Tidak pernah. sekalipun tidak pernah. Leonard dan dirinya memang menginginkan bayi. Mereka sepakat untuk tidak menggunak
Kota Ardotalia terletak di ujung barat negeri ini. Kota yang memiliki suhu paling rendah. Memiliki penduduk yang juga sedikit. Di kelilingi pegunungan. Terlihat modern dengan bangunan tinggi meski desain bangunan ala eropa kuno. Udaranya begitu sejuk. “Kita harus membeli jaket.” Stormi menarik Ruby untuk masuk ke sebuah toko. Di sanalah ada berbagai jenis jaket. Uniknya semua jaket di jahit sendiri oleh si penjahit yang di sini. Bahkan mereka bisa memesan dahulu. Seperti yang dilakukan oleh beberapa orang di sana. Mereka nampak mengukur tubuh mereka. Ruby memilih untuk membeli langsung. Namun… Apakah uangnya cukup? Ia mengeluarkan dompetnya dari dalam tas. Perjalanan panjang ini ia hanya membawa tas kecil yang ia selempangkan di bahunya. “Uangku tidak cukup.” Ruby menghitung uang yang berada di dompetnya. Stormi juga—uangnya hanya cukup membeli satu jaket saja. Namun matanya cemerlang ketika melihat satu kartu hitam yang berada di dompet Ruby. “Kau bisa me
Ruby terbelalak. Muntahannya terkena sepatu pria itu. “Maaf. Maafkan aku!” Ruby menunduk. ia hendak menyeka sepatu pria itu dengan roknya. Namun—perutnya bergejolak lagi. Ruby menutup mulutnya lagi. Ia segera berlari ke toilet. Di dalam toilet. Ruby memuntahkan seluruh isi perutnya. Hueeek! Hueeek! Ruby memejamkan mata—perutnya terasa langsung kosong. Di belakangnya—Stormi mengusap punggungnya. Tidak lupa mengambil tisu. Ia mengusapkan tisu di bibir Ruby. “Kau sepertinya mabuk perjalanan.” Stormi mengeluarkan sebuah minyak. Kemudian di oleskannya di leher Ruby. Minyak yang memiliki aroma khas. Minyak itu juga membuatnya Ruby hangat. “Aku tidak tahu. Aku tidak pernah naik kereta. Tapi aku tidak separah itu. aku biasanya naik bus atau mobil. Tidak pernah mabuk perjalanan. Aku juga pernah naik Yacht. Juga tidak masalah…” jawabnya. “Tentu saja berbeda. Kereta dengan kendaraan yang kau sebutkan tidak sama. bisa jadi tubuhmu tidak begitu kuat naik kereta.”
“Maaf tuan…” petugas itu menunduk. Ruby mengernyit—ia mundur selangkah. Begitupun Stormi yang tidak melepaskannya sama sekali. Pria dengan setelan hitam. Pria itu lumayan tampan sebenarnya, namun sangat menyeramkan. Tapi tidak akan mengalahkan ketampanan Leonard. “Apa kalian sengaja tinggal di sini?” tanya pria itu. Ruby dan Stormi langsung menggeleng. “Tidak. tentu saja tidak. kami ketiduran, seharusnya kami turun sejak tadi.” “Kalian memang seharusnya tidak ketiduran!” ucap petugas kereta itu. nadanya meninggi seperti memarahi Ruby dan Stormi. “Seharusnya kalian lebih hati-hati. kenapa kalian ketiduran segala. Hanya satu jam kan. Hanya satu jam seharusnya kalian bisa menahannya.” Ruby berkacak pinggang. “Bagaimana kami tidak ngantuk? Pemandangannya bagus. udaranya dingin. Satu jam itu lama, pak! Satu jam itu cukup membuat energi saya kembali!” “Bapak tidak tahu kan? Kami ini sangat kelelahan!” omel Ruby. Petugas kereta itu mengerjap. “Kenapa jadi kami yang memarahi saya?”