Dario mendekat. Namun—Ruby lebih dulu menangkis pukulan pria itu. Ruby berkacak pinggang. Dario mundur beberapa langkah. “Sini. kau tidak akan berhenti sampai kau pingsan!” Ruby sedikit meregangkan tubuhnya. Takutnya kalau terlalu banyak bergerak—dressnya bisa sobek. Tapi ternyata aman saja. Dress ini sangat lentur, jadi ia bisa bergerak dengan bebas. Emosi Dario semakin memuncak. Egonya terluka atas kekalahaannya memukul Ruby. Dario berlari—kali ini ia bersiap menendang perut Ruby. Namun Ruby lebih dulu menedang lebih dulu kaki pria itu. Ruby menendang kaki Dario menggunakan seluruh kekuatannya. Sehingga—tubuh Dario sampai melayang. Jatuh ke tanah dengan posisi terlentang! BRUUUK Ruby mengusap rambutnya. “Menyebalkan!” “Jika dia mati. Aku bisa berurusan dengan polisi.” Ruby berlari—menunduk dan melihat Dario lebih dekat. Menyentuh tangan pria itu dengan jijik. Lalu memeriksa denyut nadi pria itu masih berdetak. Dario masih hidup! namun Ruby tidak bisa
“Berhenti!” Ruby menoleh ketika ada yang berani menyentuh tangannya. “Berhenti. Dia bisa mati!” Pria itu menunjuk salah satu cctv yang ada di pojok bangunan. “Jika kau ingin membunuhnya. Lakukan di tempat yang aman. Setidaknya jangan di depan orang-orang!” Ruby menatap sekitarnya. Banyak orang ternyata. Ia menjatuhkan tubuh Dario begitu saja. Ruby mengusap rambutnya kasar. Beginilah…. Ia hilang kendali… Berakhir dengan menggunakan kekuatannya yang sudah lama ia sembunyikan. Ruby menatap pria itu. “Terima kasih atas bantuannya. Suatu hari aku pasti akan membalasmu. Aku juga akan mengganti sepatumu.” “Dan maaf. Aku muncul di hadapanmu. Tapi setelah ini aku tidak akan muncul lagi di hadapanmu.” Ruby melewati pria itu. Ia mendekati Stormi yang masih saja tidur. “Kalau begitu, berikan aku kartu namamu,” ucap pria itu. Ruby mengerjap. kartu nama… Apakah ia masih punya. Kartu nama yang mana. kartu nama sebagai barista, pelayan klub atau penjaga roti.. atau bisa j
Ada yang tidak diketahui Leonard di sini. Tentang Ruby… Leonard berusaha mencari tahu siapa perempuan itu. Namun—saat ia berusaha untuk mencari tahu, tubuhnya belum siap. Ia pusing—kepalanya berat. Leonard menghela napas dan memilih untuk bersandar pada kursi. Ia memejamkan mata—ada banyak foto mereka di ponselnya tapi tidak ada satupun moment yang bisa ia ingat. Leonard rasanya frustasi dengan dirinya sendiri. Mengambil beberapa obat di dalam nakas. Leonard meminumnya dan memilih untuk beristirahat saja. Ia mengirimkan pesan pada seseorang. “Cari tahu kehidupan Ruby dari lahir sampai sekarang.” Ia juga mengirimkan pesan pada orang yang mengawasi Ruby. [Terus awasi Ruby. Lindungi Ruby dan pastikan tetap aman sampai dia memutuskan kembali.] Leonard meletakkan ponselnya. Sepertinya dia tidak bisa menyusul Ruby. Kesehatannya benar-benar belum pulih. Ia juga harus memberikan Ruby ruang untuk berpikir dengan jernih. Mereka tidak boleh bertengkar lagi. Leonard mem
“Apa yang terjadi denganku…” Stormi bangkit dari ranjang dengan kepala yang pusing. Ia menoleh—Ruby tidak ada di sampingnya. Stormi mendekati Ruby yang berada di balkon. “Apa yang terjadi tadi malam?” tanya Stormi mengambil duduk di samping Ruby. Ruby menoleh dengan kesal—ia mengangkat cangkir kopinya. “Diam sebentar.” Ruby menatap lurus ke depan. Stormi menyipitkan mata. Ia akhirnya mengikuti arah pandang Ruby. Di depan… Danau—dengan matahari yang berajak terbit. Sinarnya yang hangat mengenai kulit. Udara yang dingin dengan sinar matahari yang hangat. Ruby menyeruput kopinya. “Oh Angsa!” tunjuk Stormi pada para angsa yang berenang di Danau. “Pilihanku tidak pernah salah.” Stormi beranjak dari duduknya—berjalan ke arah pembatas balkon. Matahari seakan muncul dibalik gunung. Sangat indah—langitnya juga cerah. Langit biru dengan awan yang berwarna putih. “Aku jadi ingin terus di sini…” Stormi mengusap rambutnya pelan. Ia memegang pembatas balkon dengan memejamkan mata. M
“Kau menemukan sesuatu?” tanya Leonard. Di sebuah ruangan yang tertutup. Ruangan yang benar-benar privat. Tidak ada yang bisa menguping pembicaraan mereka. Orang di hadapan Leonard itu mengambil dokumen. Lalu ditaruh di atas meja. “Ternyata, Mrs. Ruby sering bertengkar saat masih kecil. Dia sering membuat teman-temannya masuk ke rumah sakit. Namun…” “Semenjak ayahnya meninggal. Mrs. Ruby tidak pernah terlibat dalam pertengkaran. Hanya waktu SMA. Itupun katanya tidak sengaja melempar bola dan mengenai temannya.” “Tidak ada yang mengatakan jika itu dilakukan dengan sengaja. Bahkan teman-temannya yang ada di sana tidak sadar kalau Mrs. Ruby memukul dengan keras.” “Saya bahkan meminta sesuatu ataupun bukti cctv pada guru yang masih mengajar di sekolah lamanya.” Aiden menunjukkan rekaman cctv yang tidak terlalu jelas itu pada Leonarnd. “Lihat, Sir.” Menunjukkan videonya. “Di sini, Mrs. Ruby hanya melempar bola seperti biasa. Tapi tiba-tiba ada laki-laki yang lewat dan ter
Bersenang-senang. Menikmati waktu di tempat yang indah. Ruby dan Stormi benar-benar menikmati waktunya di kota ini. Mereka berbelanja banyak sekali. makanan dan pakaian. Mereka juga sempat mencoba pakaian tradisional kota ini. Sembari berfoto ria. Ruby juga menghubungi Diego. meminta informasi sepatu pria itu. Mereka masuk ke toko pakaian dan melihat ada sepatu dengan kualitas bagus. Dan… Katanya, Diego itu sibuk. jadi, Ruby diminta untuk mengantar sepatu itu ke kediaman pria itu. Malam ini—Ruby dan Stormi memberanikan diri datang ke tempat pria itu. Untungnya ada sepeda yang bisa mereka naiki untuk sampai di kediaman pria itu. Namun—mereka berhenti di gerbang utama. Stormi yang berada di belakang Ruby—nampak sedikit takut dengan rumah di hadapan mereka. Stormi memeluk pinggang Ruby dengan erat dari belakang. “Bagaimana kalau kita pulang saja? Kenapa rumahnya besar sekali? aku jadi takut.” “Bagaimana kalau setelah kita ke sana, kita tidak bisa kembali. Ba
“Kau sudah mencari tahu?” tanya Diego. “Ruby Marlowe Wren merupakan istri dari Leonard Byron Francesco. Katanya, baru-baru ini mereka mengalami kecelakaan yang membuat Leonard kehilangan ingatannya.” “Mereka baru menikah beberapa bulan yang lalu.” Diego menghisap rokoknya pelan. Kemudian menghembuskannya ke udara. “Leonard…” lirihnya. “Aku merasa tidak asing dengan perempuan itu.” “Itu karena Ruby kota kelahiran kalian sama. Mungkin kalian pernah bertemu.” Diego mengangguk. “Lalu, kenapa dia ke sini sendiri?” “Tidak tahu apa yang terjadi, Sir. Kemungkinan hubungan mereka memburuk. Tidak ada tanda-tanda Leonard berada di sini.” Diego tersenyum miring. “Apakah ini kesempatanku?” Diego menoleh. “Menurutmu bagaimana? Bukankah dia manusia yang spesial? Dia bisa memiliki kekuatan yang sangat besar.” “Benar. kekuataannya sangat besar untuk ukuran manusia biasa. Dia memang luar biasa, Sir.” Bahkan bawahan Diego mengakui kekuatan Ruby. Walaupun hanya melihatnya
“Sepertinya aku jatuh cinta.” Stormi merebahkan dirinya di atas kasur. Ia tersenyum dengan tangan yang memegangi dadanya. “Meskipun dia sedikit menyeramkan, tapi dia sangat perhatian pada kita…” Stormi memeluk guling dengan gembira. “Aku jadi ingin bertemu dengannya lagi.” Ruby mengambil duduk di tepi ranjang. “Katanya takut… katanya menyeramkan… ujung-ujungnya suka.” “Perasaan kan bisa berubah.” Stormi menoleh pada Ruby. “Tapi aku merasa dia menyukaimu. Matanya tidak bisa terlepas darimu. Waktu berbicara denganmu saja dia selalu tersenyum meskipun tipis.” Ruby menggeleng pelan. “Meskipun suka, aku tidak akan bisa suka. Aku tidak gampang suka pada orang lain…” “Dan juga..” Ruby masih sangat mengingat Leonard. “Aku masih mencintai suamiku..” Stormi bertopang dagu dengan tubuh yang tengkurap. “Benar juga. Kau sudah punya suami.” “Apa kau benar-benar berencan untuk bercerai?” tanya Stormi. Ruby merebahkan tubuhnya—menatap langit-langit kamar motel ini. Di sini tera
21++ “Katakan padaku sayang.” Ruby mendongak. “Aku bisa menjaga rahasia.” Leonard terdiam sebentar. “Kamu ingin tahu karena menghawatirkan Stormi?” Ruby mengangguk jujur. Ia takut kalau Diego tidak sebaik yang ia kira. Ia takut suatu saat Diego bisa menyakiti Stormi. Apalagi Stormi baru saja gagal menikah. diselingkuhi mantan kekasihnya. “Yang aku lihat hanya sekilas karena aku menahan diriku. Tapi kejadian itu tetap terlihat.” Leonard mengusap punggung Ruby. “Aku melihatnya banyak menembak orang…” lirih Leonard. Ruby mengerjap. “Sungguh?” Leonard mengangguk. “Seperti Papa dulu..” lanjutnya. “Dia banyak terlibat keributan. Hidupnya memang dipenuhi dengan bahaya.” Ruby melepaskan pelukannya. “Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku memberitahu Stormi?” “Jangan.” Leonard menggeleng. “Di antara banyaknya kejadian yang terlintas di kepalaku. Aku tidak melihatnya menyakiti wanita.” “Dan juga…” Leonard menyipitkan mata. Ruby menunggu ucapan suaminya. “Dan juga?”
Waktunya pulang…. Ruby dan Leonard sudah berada di pesawat. Dengan menggunakan pesawat pribadi seperti ini, mereka hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai ke kota. Ruby turun perlahan dibantu Leonard yang selalu menggenggam tangannya. “Perutku..” Ruby mengernyit. Lagi-lagi mual. “Aku sangat bosan…” Ruby mengernyit. “Aku selalu seperti ini setelah melakukan perjalanan.” Leonard menunduk. “Kita ke rumah sakit dulu.” Ruby menggeleng. “aku baik-baik saja. hanya sedikit mual. Tidak sampai ingin muntah.” Leonard mengusap punggung Ruby pelan. “Jangan menahannya.” Ruby mengangguk. mereka masuk ke dalam mobil. Perjalanan akan berlanjut sekitar 15 menit untuk sampai ke rumah kakek neneknya. Tapi tujuan mereka bukan rumah dahulu. Tapi… Mereka akhirnya sampai di sebuah pemakaman. Ruby membawa bunga yang ia beli saat perjalanan ke sini. Ia menggandeng tangan Leonard—sampai berada di depan makam kakek neneknya. Makam yang sangat sejuk. Tidak seperti kebanyaka
Berkeliling mansion… Berkeliling peternakan hewan yang ada di Mansion lebih tepatnya. Di belakang Mansion ada bangunan yang khusus digunakan sebagai ternak hewan. Mereka berempat sedang berjalan ke sana. bangunan yang mirip dengan kebun binatang. “Kenapa kau membangun kebun binatang di belakang rumahmu?” tanya Leonard yang begitu heran. Ia memeluk pinggang Ruby dari samping. Diego dan Stormi berjalan lebih dulu memimpin perjalanan mereka dari berkeliling ini. “Ini bukan kebun binatang,” balas Diego. “Ini Peternakan.” Mereka sampai peternakan buaya. Bentuknya seperti rawa. Namun mereka berdiri di ruangan yang dilapisi dengan dinding dan kaca. Sehingga mereka bisa memantau para buaya yang berada di depan mereka. “Buaya?” tanya Leonard. “Waah..” Stormi mendekat. “Ini menakjubkan.” Di depan sana—ada beberapa petugas yang sudah ahli memberi makan buaya dengan daging ayam. Ruby mengerjap—ia tidak pernah melihat buaya secara langsung. Tapi ini—sungguh membuatnya m
“Aku akan mengajakmu berkeliling. Tapi makan dulu.” Diego memundurkan kursi untuk Stormi. Stormi mengangguk. ia duduk di samping Diego. “Kenapa barang-barang di bawa orang? Mau pindah?” tanya Stormi. “Pembangunan Mansionku yang baru sudah selesai. aku akan segera pindah ke sana. dan ada barang-barang yang tidak bisa aku tinggalkan. Jadi aku membawanya.” “Lalu bagaimana dengan Mansion ini?” tanya Stormi. “Mansion ini akan dijadikan sebagai Markas sekaligus kantorku.” Stormi mengerti. “Ooh…” “Makanlah. Jangan banyak berpikir.” Diego mengambil satu roti. “Mau pakai apa?” “Cokelat saja.” Diego mengoleskan selai cokelat di roti yang sudah dipanggang. Dengan pelan-pelan dan teliti. “Kau seperti pangeran,” ucap Stormi memperhatikan tingkah perilaku Diego. “Tidak ada pangeran yang memiliki banyak tato sepertiku.” Diego menaruh roti itu di atas piring Stormi. Tidak tanggung-tanggun. Ia melakukannya pada lima lembar roti. “Hanya perilakumu..” Stormi menyipitkan mata. “Wajahmu juga
Diego menghela nafas. ia memejamkan mata sebentar. Sekali lagi ia harus menyadarkan diri. Stormi memiliki pemikiran yang berbeda dari kebanyakan wanita yang ia temui. “Bilang saja menyelamatkanku.” Stormi menoleh. “Mana bisa…” “Kenapa tidak bisa?” “Aku memberitahu ibuku kalau aku dan kekasihku batal menikah. lalu bagaimana jika aku bilang kalau aku terluka karena menyelamatkan seorang pria lain….” Stromi berhenti bicara. Ia menoleh pada Diego yang sedari tadi menyimak ucapannya. Bukankah ini terlalu awal untuk menceritakan bagaimana kisahnya pada pria ini. Tapi mulutnya memang tidak bisa dikondisikan. “Aku pasti sudah gila..” lirihnya. “Pria mana yang meninggalkanmu?” tanya Diego. “Pria mana yang menyia-nyiakan wanita secantik dirimu?” Tangan Diego terangkat mengusap pipi Stormi. “Dia memang brengsek. Aku menjalin hubungan dengannya 2 tahun. Tapi dia berselingkuh dengan teman kantorku. Kita sudah bertunangan dan berencana akan menikah di waktu dekat. Tapi dia
Stormi memejamkan mata. Ia membiarkan Diego yang berusaha melepaskan pakaiannya. Ciuman mereka semakin dalam. Stormi tidak menolak sentuhan Diego. sama sekali tidak menolak. Sentuhan pria itu sangat hati-hati dan lembut. Memperlakukannya dengan sangat hati-hati. Namun… “Akh!” Jari Diego tidak sengaja mengenai lukanya. “Kau baik-baik saja?” tanya Diego segera melepaskan Stormi. Stormi mengangguk. Namun, sesungguhnya masih sedikit nyeri. “Biar aku lihat.” Diego melepaskan kancing piyama Stormi lagi. Kali ini bukan karena nafsu. Tapi karena ia mencemaskan wanita itu. ia ingin melihat luka Stormi apakah terbuka dan semakin parah. “Tidak parah kan?” tanya Stormi. Ia sedikit malu. pakaiannya berantakan karena dibuka Diego. Ia menggigit bibirnya lagi. tapi untungnya pria itu tidak fokus pada tubuhnya dan hanya fokus pada lukanya. Diego melihat Luka Stormi yang mengeluarkan darah. “Lukamu harus diperiksa dokter,” ucap Diego. Pria itu hendak berdiri. Namun Stor
Diego tersenyum lagi. Kali ini tertawa kecil. “Bagaimana kalau aku bilang aku juga tertarik denganmu?” tanyanya. Stormi menggigit bibirnya. “Kenapa? Karena kasihan padaku? atau karena aku menyelamatkanmu?” Stormi menggeleng. “Jangan merasa bersalah. Aku baik-baik saja kalau kau tidak tertarik denganku. Jangan memaksa dirimu hanya karena merasa bersalah padaku.” “Aku tidak pernah merasa bersalah pada orang.” Diego mendekat. “Kau tahu aku akan? Aku bahkan bisa membunuh orang dengan mudah. Untuk apa membohongi perasaanku sendiri.” “Aku juga tertarik denganmu.” Stormi mengerjap—menunjuk dirinya. “Denganku?” Diego mengangguk. “Bukankah kau suka dengan Ruby? Kau terlihat menyukai Ruby?” tanya Stormi. “Pada awalnya aku hanya penasaran dengannya karena wajahnya tidak asing. Aku semakin penasaran karena melihat kekuatannya. Hanya sebatas itu.. ketertarikanku hanya sebatas itu..” “Aku juga merasa kita khanya cocok menjadi teman. Dia juga sudah bersuami. Meskipun aku kejam. Aku tidak
“Ruby pergi bersama suaminya.” Suara itu membuat Stormi menoleh. Di sanalah—di sofa. Diego sedang duduk sembari mengusap wajah sebentar. Apa pria itu menunggunya? “Aku takut…” lirih Stormi. Hanya ada dua lampu tidur yang menyala. Sehingga cahaya di kamar ini gelap. Diego berdiri dari duduknya. Menyalakan saklar lampu sehingga semuanya menjadi cerah. “Aku pikir mematikan lampunya agar kau bisa tidur dengan nyaman.” Stormi menatap Diego… Sedikit takut.Masih takut. “Apa yang membuatmu takut? aku membuatmu takut?” tanya Diego berjalan mendekat. Stormi menggangguk namun segera menggeleng lagi. “Ti-tidak. Aku tidak takut padamu.” Diego nampak lebih santai. tidak sepergi biasanya yang selalu menggunakan pakaian formal. Kali ini, pria itu hanya menggunakan celana pendek dan kaos hitam. Memang tidak pernah jauh-jauh dari warna hitam. Diego mengambil duduk di samping ranjang Stormi. Menatap Stormi lekat. Stormi mengerjap—kedua tangannya meremas selimut yang membungkus tubuhnya
Ruby mendongak. “Jika minta maaf lagi. aku tidak akan mau dicium!” Leonard mengerjap. “Mana bisa seperti itu..” leonard melepaskan pelukan mereka. “Maka dari itu berhentilah meminta maaf.” Ruby tersenyum. menyentuh rahang Leonard yang begitu tegas. Rahang Leonard yang dipenuhi dengan bulu-bulu halus. “Baiklah.” Leonard menatap bola mata Ruby. “Aku jadi tahu kenapa aku tidak bisa melihat kejadian yang kamu alami.” Jemarinya menyentuh kelopak mata Ruby. “Karena mata ini bukan mataku yang asli?” tanya Ruby. Leonard mengangguk. “Mata ini yang membawaku padamu.” “Setelah operasi, apa mata kamu pernah sakit?” tanya Leonard. Ruby menggeleng. “Tidak, sayang. Aku baik-baik saja.” Ruby mengecup rahang Leonard singkat. “Berhentilah kawatir.” Leonard mengangguk. mengecup punggung tangan Ruby. “Kamu yang tidak bisa berhenti membuatku kawatir. Datang ke tempat berbahaya sendiri. berurusan dengan mafia.” Ruby memejamkan mata—menutup telinganya dengan kedua tanganya. Leonard se