“Akhirnya mama pulang.” Lila menggendong anaknya. Mencium pipi anaknya pelan. “Apa Leonard rewel saat aku tidak ada bi?” “Tidak, kok. Leonard pintar. Hanya saja, saat malam hari. Terkadang suka terbangun dan menangis.” Bi Rosa mendekat dan mengusap pelan punggung Leonard. “Pasti merindukan mama kamu ya..” Lila mengangguk. “Mama sudah pulang. Mama tidak akan pergi-pergi lagi…” Menimang anaknya dengan sayang. “Terima kasih ya, Bi.” “Sama-sama.” Bi Rosa tersenyum. “Nanti…” ucap Lila. “Seandainya nanti Lucas sering ke sini. Aku minta tolong, jangan sampai Leonard bertemu dengannya.” Sampai saat ini, tidak ada yang tahu kebenaran dengan Leonard. Lila tidak memiliki kepercayaan pada orang sekitarnya. Sedikit kebenaran tentangnya, sering dimanfaatkan orang sekitarnya. Untuk itu, Lila akan menyimpan rahasianya sendiri. “Baik, Non. Bibi akan berusaha.” Bibi mengambil Leonard dari Lila. “Nona istirahatlah, bibi akan menjaga Leonard.” Lila mengangguk. “Nanti main lagi sa
Sebuah kasus akhirnya terungkap. Sebuah penipuan berlian dan pencucian uang yang dilakukan oleh seorang istri calon dewan. Hal tersebut membuat masyarakat begitu heboh. Karena hampir seluruh anggota keluarga Bennedict tersandung skandal besar. Hanya satu yang tidak terlibat.. Yaitu putri sulung mereka yang dikabarkan buta. Maria menghisap rokoknya. Kakinya tidak berhenti bergerak dengan gelisah. Sedangkan ibunya berjalan ke sana ke mari. Memegang telepon—mencoba berkali-kali memanggil pengacara untuk membantu. Namun, kebanyakan pengacara tidak mau memegang kasusnya karena terlanjur besar dan kemungkinan menang sangatlah tipis. “Sial.” Ibu Maria duduk. Maria tersenyum. “Aku sudah bilang pada, Mom. Harus lebih hati-hati. tapi Mom sangat ceroboh sampai semuanya ketahuan.” “Dasar anak tidak tahu diri!” sentak ibunya. “Aku menghasilkan uang denga menipu juga untukmu. Kau membeli barang-barang mahal memangnya dari mana kalau bukan dari uangku?” Maria berdecak. “Lalu
“Kita akan ke mana?” tanya Lila. “Nanti kau tahu.” Lucas menyetir mobilnya sendiri. Namun penjagaan masih ketat. Di belakang dan depan ada mobil yang penuh dengan anak buah Lucas. “Aku sudah mendengar—permintaanku sudah kau kabulkan,” ucap Lila. Lucas menoleh sebentar. “Bagus kalau kau tahu.” Lila memejamkan mata. “Jangan!” tangan Lucas terulur menangkup wajah Lila. Membawa dagu wanita itu hingga menoleh ke arahnya. “Aku akan membawamu ke tempat bagus. Jangan mencoba melihatnya!” tegas Lucas. Tidak lucu jika diperjalanan Lila pingsan setelah menggunakan kekuatannya. Lila mengerucutkan bibirnya. “Baiklah.” Lucas melepaskan tangannya. Ia mendengar, rumah Lila dijual. Sudah masuk ke sebuah situs penjualan tanah dan rumah. “Rumahmu dijual.” Lucas menoleh. “Apa kau ingin membelinya? Oh kau tidak punya uang. Kalau kau mau, aku akan membelinya.” Lila menggeleng. “Tidak usah.” “Tidak ada kenangan bagus di sana.” “Sungguh?” Lucas mengernyit. “Ada, tapi hanya sedik
“Kalau aku jawab iya?” tanya Lucas. Ia tersenyum miring. Kemudian mendekat—mengusap pipi Lila pelan. “Aku sengaja mengajakmu ke sini agar kau tidak bisa kabur dariku.” Lila tertawa pelan. “Di manapun kita berada. Memangnya aku punya pilihan kabur?” Lucas mengangguk. “Kau pintar.” Jemarinya mengusap bibir bawah Lila pelan. “Kau siap?” tanya Lucas. “Siap tidak siap, kau pasti melakukannya kan..” balas Lila. “Aku sudah menduganya. Kau pasti langsung menghampiriku saat permintaanku selesai.” Lucas mengangguk mengerti. “Aku mengerti…” kemudian tersenyum. “Kau sudah mempersiapkan diri. Aku kira aku saja yang senang, tapi kau juga menungguku..” Lila mengerjap. “Ti-tidak seperti itu!” “Tidak usah mengelak. Aku senang mendengarnya…” sembari terkekeh pelan. Melihat wajah Lila yang memerah. Jemari Lucas menelurusi pipi Lila—turun ke bawah. Menyentuh leher Lila. Sampai ke bawah—masuk ke dalam belahan dada Lila yang sedikit mengintip. “Jadi, apa yang kau persiapkan untukku?”
“Kenapa dia mengabaikanku?” Isabel meremas ponselnya. Sejak beberapa hari belakangan, Lucas selalu mengabaikan panggilan dan pesannya. Tidak ada panggilannya yang dijawab. lucas hanya membalas singkat pesannya dengan kata ‘sibuk.’ Isabel menatap dirinya dari pantulan cermin wastafel. Menyentuh satu titik merah di pipinya. “Jerawat sialan.” Mengumpat. “Wajahku berantakan karena memikirkan Lucas!” Isabel mengusap rambutnya kasar. Haruskah aku meneleponnya lagi? Ia tidak boleh kehilangan Lucas. Lucas adalah segalanya baginya. Tidak ada pria yang seperti Lucas. Lucas membawanya ke surga, memberinya kebahagiaan uang yang tidak ada nilainya. Tapi tetap saja… Lucas tidak menjawab satupun panggilan ponselnya. “Brengsek!” teriak Isabel. Di sisi lain… Di sebuah kamar… Dua insan yang masih terlelap dalam tidur mereka masing-masing. Lucas terbangun—menatap Lila yang masih tertidur. Tubuh polos mereka hanya tertutupi oleh selimut berwarna putih. Lucas meraih pon
“Kau cantik!” Lucas memeluk Lila dari belakang. Lila baru saja menyelesaikan acara bersih-bersih tubuhnya. pergerakannya mengusap handuk ke rambut terhenti saat Lucas memeluknya. “Aku tahu.” Lila mengangguk. Lucas tertawa pelan. “Kau tahu? Kau sudah tahu kau cantik?” “Hm.” Lila mengangguk dengan percaya diri. “Banyak yang menyebutku cantik. ya… meskipun aku tidak tahu wajahku seperti apa…” “Tapi sepertinya memang cantik karena aku memiliki hidung yang lumayan tinggi.” Lucas tertawa…. Ia mengambil handuk itu—kemudian mengambil alih pekerjaan Lila. Mengusap handuk itu di rambut keemasan Lila dengan telaten. Sesekali menatap pantulan mereka berdua lewat cermin di depan. “Biasanya, Bi Rosa yang membantuku,” ucap Lila. “Tapi sekarang kau…” “Ternyata selain pintar membunuh orang. Kau juga bisa melakukan hal-hal seperti ini..” “Berhenti meledekku.” Lucas menunduk dan mengecup leher Lila. “Apa leherku ada banyak jejak kissmark?” tanya Lila. “Beritahu aku jika ada. Jang
Tidak disangka oleh Lila. Lucas menyuapinya dengan telaten. Bahkan tanpa mengomel tanpa decakan penolakan. Pria itu langsung menyanggupi permintaannya. Tanpa teras, sudut bibir Lila tersenyum saat mengunyah makanan yang disuapi oleh Lucas. “Dasar manja..” lirih Lucas. “Aku lupa rasanya di suapi seperti ini.” Lila meraba gelas yang berisi air putih. Tapi Lucas tidak membiarkannya. Pria itu justru mengambilkannya gelas dan membantunya minum. Setelah minum… “Aku tidak disuapi..bahkan waktu kecil. Aku lupa rasanya disuapi.” Lila tersenyum tipis. “Berkat kau…aku bisa merasakan disuapi..” Lucas tersenyum dan mengusap pelan puncak kepala Lila. “Aku akan menyuapimu jika kau menuruti semua keinginanku.” Lila sudah tahu. “Keinginan untuk bercinta.” “Kau pintar. Kau semakin pintar sering bergaul denganku.” Lucas terkekeh pelan. “Selain itu, kalau kau ingin aku menyuapimu. Kau harus makan yang banyak!” Lucas mengambil sisa makanan yang berada di sudut bibir Lila. Bibirn
Lucas menahan nafas saat melihat tubuh Lila yang hanya terbalut oleh dalaman berwarna hitam. Ia mengerjap pelan. “Lucas!” panggil Lila. “Mana pelampungnya..” “Iya-iya.” Lucas mendekat dan memasang pelampung itu di tubuh Lila. Sedangkan dirinya hanya menggunakan celana pendek. Ia tidak memerlukan pelampung itu untuk berenang. Lucas menarik pinggang Lila. “Aku bisa gila.” “kenapa? melihat tubuhku?” “Hm.” Lucas menunduk. Mengecup pipi Lila. Lila menggeleng pelan. “Kau sendiri yang membuka pakaianku. Tapi kau sendiri yang gila. lalu aku harus apa?” tanya Lila. Lucas yang membantunya membuka pakaiannya. Padahal Lila juga tidak ingin hanya menggunakan dalaman saja. Tapi pria itu memang pemaksa. “Bagaimana kalau kita ke dalam saja?” Lucas menarik pinggang Lila yang sudah terbalut dengan pelampung. Lucas menunduk dan mencium bibir wanita itu dengan rakus. Melumat dan menyesapnya dengan candu. Lila menepuk dada pria itu sampai ciuman mereka terlepas. “Ayo berenang!” Lucas me
“Berhenti!” Ruby menoleh ketika ada yang berani menyentuh tangannya. “Berhenti. Dia bisa mati!” Pria itu menunjuk salah satu cctv yang ada di pojok bangunan. “Jika kau ingin membunuhnya. Lakukan di tempat yang aman. Setidaknya jangan di depan orang-orang!” Ruby menatap sekitarnya. Banyak orang ternyata. Ia menjatuhkan tubuh Dario begitu saja. Ruby mengusap rambutnya kasar. Beginilah…. Ia hilang kendali… Berakhir dengan menggunakan kekuatannya yang sudah lama ia sembunyikan. Ruby menatap pria itu. “Terima kasih atas bantuannya. Suatu hari aku pasti akan membalasmu. Aku juga akan mengganti sepatumu.” “Dan maaf. Aku muncul di hadapanmu. Tapi setelah ini aku tidak akan muncul lagi di hadapanmu.” Ruby melewati pria itu. Ia mendekati Stormi yang masih saja tidur. “Kalau begitu, berikan aku kartu namamu,” ucap pria itu. Ruby mengerjap. kartu nama… Apakah ia masih punya. Kartu nama yang mana. kartu nama sebagai barista, pelayan klub atau penjaga roti.. atau bisa j
Dario mendekat. Namun—Ruby lebih dulu menangkis pukulan pria itu. Ruby berkacak pinggang. Dario mundur beberapa langkah. “Sini. kau tidak akan berhenti sampai kau pingsan!” Ruby sedikit meregangkan tubuhnya. Takutnya kalau terlalu banyak bergerak—dressnya bisa sobek. Tapi ternyata aman saja. Dress ini sangat lentur, jadi ia bisa bergerak dengan bebas. Emosi Dario semakin memuncak. Egonya terluka atas kekalahaannya memukul Ruby. Dario berlari—kali ini ia bersiap menendang perut Ruby. Namun Ruby lebih dulu menedang lebih dulu kaki pria itu. Ruby menendang kaki Dario menggunakan seluruh kekuatannya. Sehingga—tubuh Dario sampai melayang. Jatuh ke tanah dengan posisi terlentang! BRUUUK Ruby mengusap rambutnya. “Menyebalkan!” “Jika dia mati. Aku bisa berurusan dengan polisi.” Ruby berlari—menunduk dan melihat Dario lebih dekat. Menyentuh tangan pria itu dengan jijik. Lalu memeriksa denyut nadi pria itu masih berdetak. Dario masih hidup! namun Ruby tidak bisa
Dario… Pria itu ada di sini. Penampilan pria itu terlihat kumuh. Tidak ada lagi pakaian mewah yang selalu membalut tubuh pria itu. Akhirnya Dario mau keluar dan membawa Stormi bersamanya. Masih memeluk Stormi seakan wanita itu adalah kekasihnya. Sedangkan, Stormi yang sudah mabuk tidak punya kendali atas tubuhnya untuk melawan. Ruby frustasi melihatnya. “Lepaskan temanku!” “Beri aku lima belas ribu dollar.” Dario tersenyum miring. Ruby berdecih pelan—mimpi saja. Ruby melepaskan heels yang berada di kakinya. menggulung rambut panjangnya. “Kau masih ingat dengan pelajaran olahraga dulu?” tanya Ruby. “Apa kau tidak trauma setelah bola itu mengenai tubuhmu?” tanya Ruby. Dario tertawa. “Dulu itu kau hanya beruntung. Tidak sekarang!” Dario membawa tubuh Stormi ke belakang—menududukkan Stormi di tembok belakangnya. “Kau harus ingat kalau aku juga pemegang sabuk hitam bela diri.” Dari tersenyum miring. “Jangan melawanku dan beri saja aku uang!” “Hidupku berantakan ka
“Kau gila?!” Stormi menyeka bibirnya—tidak lupa mengusap meja dengan tisu. Ia menoleh—menunduk dan membisikkan sesuatu pada Ruby. “Dia yang tadi di kereta!” Ruby melebarkan mata. Bagaimana? pria itu bilang jangan pernah bertemu lagi. bagaimana sekarang? apakah Ruby harus pergi? Ruby terpaku—tubuhnya membeku. Pria itu juga menatapnya. Namun untungnya hanya sekilas. “Dia tidak mengingat kita. kau diam saja. jangan membuat keributan!” Ruby membungkam bibir Stormi. Dari sudut matanya—Ruby melihat pria itu berjalan kemudian duduk di salah satu bangku yang sepertinya sangat spesial. Bangku itu berada di tengah. Menggunakan sofa besar. Meja panjang yang dipenuhi dengan berbagai minuman dan makanan. Ruby mengalihkan pandangannya. Jangan sampai pria itu menyadarinya. “Haruskah kita pergi?” tanya Stormi. “Aku takut dia mengingat kita dan membalas dendam karena sepatunya!” Ruby menoleh. “Tidak masalah. Dia tidak akan mengingat kita. lagipula kita tidak se
Stormi menggeleng. “Kau sakit.” Semua testpack yang digunakan oleh Ruby bergaris satu. Ruby mundur—mengusap perutnya. “Mungkin aku memang lapar.” Stormi mendesah kecewa. “Aku sangat antusias menyambut bayimu. Tapi yasudahlah…” Ruby mengambil duduk di sofa. setelah meminum obat yang diberikan oleh Stormi, ia akhirnya makan. Untungnya Stormi membeli banyak obat. Ia bisa memilih obat mana yang bisa ia minum. “Bagaimana dengan suamimu…” ucap Stormi. “Apa dia tidak mencarimu?” “Mungkin.” Ruby mengangguk. “Dia bisa mencariku dengan mudah—bahkan menemukanku. Tapi kalau hari ini aku melihatnya, aku tidak akan bisa menahan emosiku.” “Aku bertengkar dengannya.” Ruby menoleh. “Itulah kenapa—aku ingin sedikit menenangkan diri dari dia. Jika aku melihatnya saat ini—aku akan marah lagi.” Stormi mengangguk dengan paham. “Siapa suamimu? Aku penasaran.” “melihat kartu yang ada di dompetmu, pasti suamimu orang kaya kan?” tanya Stormi. “Sangat kaya,” balas Ruby. “Dia bahkan bisa melakukan ap
“Hueek!” Ruby kembali muntah. Tubuhnya serasa lemas. Selain memang lapar, ia juga lelah ditambah kembali muntah. Ruby memegang wastafel. “Apa yang terjadi denganku…” “Sebentar lagi layanan makan akan datang.” Stormi mendekat. “Sebenarnya…” Stormi menatap Ruby. “Aku curiga pada satu hal.” Stormi menyipitkan mata. “Apa kau punya pacar?” Ruby menggeleng. “Ah..” Stormi mengangguk. “Kalau begitu mungkin memang kau sedang kelalahan dan mabuk perjalanan saja—” “Aku punya suami. Tapi sebentar lagi—” “APA?!” nampak Stormi sangat kaget. “Kau punya suami dan kau baru bilang sekarang?” Stormi mendekat—tiba-tiba saja mengusap perut Ruby. “Bagaimana jika kau hami? Kau mual kan? Itu gejala orang hamil. Kenapa kau tidak berpikir ke arah sana?” “Atau kau selalu menggunakan pengaman?” tanya Stormi lagi. Ruby menggeleng. “Aku tidak pernah menggunakannya…” Tidak pernah. sekalipun tidak pernah. Leonard dan dirinya memang menginginkan bayi. Mereka sepakat untuk tidak menggunak
Kota Ardotalia terletak di ujung barat negeri ini. Kota yang memiliki suhu paling rendah. Memiliki penduduk yang juga sedikit. Di kelilingi pegunungan. Terlihat modern dengan bangunan tinggi meski desain bangunan ala eropa kuno. Udaranya begitu sejuk. “Kita harus membeli jaket.” Stormi menarik Ruby untuk masuk ke sebuah toko. Di sanalah ada berbagai jenis jaket. Uniknya semua jaket di jahit sendiri oleh si penjahit yang di sini. Bahkan mereka bisa memesan dahulu. Seperti yang dilakukan oleh beberapa orang di sana. Mereka nampak mengukur tubuh mereka. Ruby memilih untuk membeli langsung. Namun… Apakah uangnya cukup? Ia mengeluarkan dompetnya dari dalam tas. Perjalanan panjang ini ia hanya membawa tas kecil yang ia selempangkan di bahunya. “Uangku tidak cukup.” Ruby menghitung uang yang berada di dompetnya. Stormi juga—uangnya hanya cukup membeli satu jaket saja. Namun matanya cemerlang ketika melihat satu kartu hitam yang berada di dompet Ruby. “Kau bisa me
Ruby terbelalak. Muntahannya terkena sepatu pria itu. “Maaf. Maafkan aku!” Ruby menunduk. ia hendak menyeka sepatu pria itu dengan roknya. Namun—perutnya bergejolak lagi. Ruby menutup mulutnya lagi. Ia segera berlari ke toilet. Di dalam toilet. Ruby memuntahkan seluruh isi perutnya. Hueeek! Hueeek! Ruby memejamkan mata—perutnya terasa langsung kosong. Di belakangnya—Stormi mengusap punggungnya. Tidak lupa mengambil tisu. Ia mengusapkan tisu di bibir Ruby. “Kau sepertinya mabuk perjalanan.” Stormi mengeluarkan sebuah minyak. Kemudian di oleskannya di leher Ruby. Minyak yang memiliki aroma khas. Minyak itu juga membuatnya Ruby hangat. “Aku tidak tahu. Aku tidak pernah naik kereta. Tapi aku tidak separah itu. aku biasanya naik bus atau mobil. Tidak pernah mabuk perjalanan. Aku juga pernah naik Yacht. Juga tidak masalah…” jawabnya. “Tentu saja berbeda. Kereta dengan kendaraan yang kau sebutkan tidak sama. bisa jadi tubuhmu tidak begitu kuat naik kereta.”
“Maaf tuan…” petugas itu menunduk. Ruby mengernyit—ia mundur selangkah. Begitupun Stormi yang tidak melepaskannya sama sekali. Pria dengan setelan hitam. Pria itu lumayan tampan sebenarnya, namun sangat menyeramkan. Tapi tidak akan mengalahkan ketampanan Leonard. “Apa kalian sengaja tinggal di sini?” tanya pria itu. Ruby dan Stormi langsung menggeleng. “Tidak. tentu saja tidak. kami ketiduran, seharusnya kami turun sejak tadi.” “Kalian memang seharusnya tidak ketiduran!” ucap petugas kereta itu. nadanya meninggi seperti memarahi Ruby dan Stormi. “Seharusnya kalian lebih hati-hati. kenapa kalian ketiduran segala. Hanya satu jam kan. Hanya satu jam seharusnya kalian bisa menahannya.” Ruby berkacak pinggang. “Bagaimana kami tidak ngantuk? Pemandangannya bagus. udaranya dingin. Satu jam itu lama, pak! Satu jam itu cukup membuat energi saya kembali!” “Bapak tidak tahu kan? Kami ini sangat kelelahan!” omel Ruby. Petugas kereta itu mengerjap. “Kenapa jadi kami yang memarahi saya?”