21++ “Lalu?” tanya Lila. “Kau akan menyentuhku? Kita akan berhubungan fisik?” “Hm.” Lucas mengangguk. “Kau pikir aku suka hal rumit seperti datang ke dokter?” Lucas tersenyum miring melihat wajah Lila yang mendadak pucat. “Aku lebih suka hal-hal praktis dan tentunya menyenangkan.” Lucas mendekat—mengikis jarak di antara mereka. Jemarinya terangkat menyentuh pipi Lila. Turun—mengusap bibir Lila pelan. “Lucas…” lirih Lila. “Pertama, kau harus terbiasa dengan sentuhanku.” Jemari Lucas menyusuri leher Lila. Turun ke bawah—sampai di belahan dada Lila yang sedikit terbuka. Lila lupa mengancing satu kancing teratas dress setelah menyusui. Lagi-lagi dadanya sedikit basah setelah menyusui anaknya. Lucas menatap dada Lila yang bulat sempurna. “A-aku..” Lila menghentikan tangan Lucas. Membawa tangan Lucas menjauh dari dadanya. “Kau terlihat sangat canggung dengan sentuhan. Bukankah kau sudah melakukannya dengan ayah anakmu itu?” tanya Lucas. Lila masih menggengga
Malam itu. Lucas meninggalkannya begitu saja. Tanpa sepatah katapun. Kosong. Meski Lila senang. Tapi setelah kejadian itu, Lucas tidak pernah menghubunginya. Sudah beberapa bulan berlalu. Masalahnya adalah Lila ingin tahu bagaimana rencana pria itu untuk membalaskan dendamnya pada orang yang telah menyakitinya. Lila meremas ponselnya—apakah ia harus menghubungi pria itu untuk bertanya? Ponsel Lila diatur hanya untuk menelepon dan mengirim pesan suara. Lila berdiri—berjalan mendekati jendela. Menguatkan tekadnya untuk menghubungi Lucas. Tapi panggilan pertama ditolak. Panggilan kedua… Panggilan seterusnya… “Dia sungguh marah denganku.” Lila akhirnya mendekatkan ponsel itu pada bibirnya. Mengirimkan pesan suara. “Lucas kalau aku ada salah aku sungguh minta maaf padamu. Jangan mengabaikanku.” Beberapa menit berlalu—Lucas tidak kunjung meneleponnya kembali. Tapi ada satu pesan suara yang masuk—pesan suara itu langsung berputar. “Aku sedang sibuk!” itu suar
Lucas berdecih pelan. Pria tua itu tidak juga menyerah mengusiknya. Thomas adalah polisi yang sering mengikutinya. Ia kira sudah berhenti dan menyerah. tapi ternyata mengumpulkan pasukan lebih banyak untuk memata-matainya. Lucas mengusap rambutnya…. Mengarahkan pistol pada jantung pria itu. “Haruskah aku bunuh dia sekarang juga?” tanya Lucas pada anak buahnya yang lain. Setidaknya ada anak buahnya yang ia percaya. Mereka nampak ragu untuk menjawab. “Kenapa kalian diam saja? kalian tidak rela melihatnya mati?” tanya Lucas. Dua anak buahnya menggeleng. “Tidak, Sir. Tapi kita belum terlalu dalam menggali informasi darinya,” balas Sam Lucas menurunkan pistolnya. “Siapa lagi temanmu di sini. katakan padaku siapa lagi temanmu yang juga membantu Thomas bajingan itu?” Pria itu menggeleng. “Tidak ada gunanya menanyainya.” Lucas berdecak pelan. “Siapapun yang berusaha kabur setelah tertangkapnya tikus ini. itulah temannya.” Lucas menoleh. “Tangkap yang berusaha kabur. M
Lila memejamkan mata—menghirup aroma dari pria yang baru datang ini. Amis—pasti darah. Lila membuka mata. “Kau habis membunuh orang?” Lucas tersenyum—menghisap rokoknya pelan sebelum menjawab. “Hm. Memang benar.” “Aku langsung ke sini setelah menembak kepala orang.” Lucas menatap kemeja putihnya yang terdapat bercak darah. “Pakaianku kotor. ada banyak darah yang menempel di kemejaku.” Lila terdiam kaku. Sungguh? padahal ia hanya bertanya asal-asalan. Tapi memang benar pria itu habis membunuh seseorang. Lila tersenyum canggung. “Siapa yang kau bunuh?” tanyanya. Lucas menarik Lila hingga duduk di sampingnya. Saat ini mereka berada di taman belakang rumah. Di taman yang terang dengan banyak lampu. Mereka bisa melihat langit yang jernih dengan bulan dan bintang. Bukan mereka, tapi Lucas yang bisa melihat cerahnya langit malam. “Orang yang berhianat,” balas Lucas mendongak—menatap langit. “Ucapanmu benar. Ada penghianat yang menyusup menjadi anak buahku. Aku menang
“Baiklah aku mengerti.” Lucas menatap Lila lebih dalam. Bagaimana wanita yang menggunakan pakaian tertutup tapi tetap menggoda di matanya. Itu hanya berlaku pada Lila. Saat ini wanita itu menggunakan dress panjang berwarna hijau. Pakaiannya pun longgar. Sama sekali tidak menampilkan lekuk tubuh.Tapi bongkahan padat dada wanita itu masih terlihat jelas. Membuat Lucas sulit untuk berkonsentrasi saat berbicara. “Apa yang kau inginkan?” “Aku ingin…” Lila menjeda ucapannya. Seolah meyakinkan diri bahwa keputusannya melakukannya adalah benar. “…Dia kalah. Aku tidak ingin menjadi menjadi dewan.” “Hm. Oke. Aku terima.” Lucas menyelipkan helaian rambut Lila ke belakang. Sebagai wanita, jika yang melakukan semua hal ini bukanlah Lucas. Lila akan menganggapnya perhatian. Tapi ini Lucas Francesco. Seorang Mafia yang terkenal memiliki tidak punya hati dan sangat kejam. Salah bersikap saja—nyawanya bisa menjadi taruhan. “Ibu tiriku.. aku juga ingin melihatnya hancur.” “Oke,” balas Lu
21++ “Bagaimana jika ada orang?” tanya Lila. Ia justru takut kalau ada orang yang melihat mereka berciuman. Lucas mengambil HT dari dari dalam sakunya. HT singkatan dari Handy talky. Alat komunikasi yang digunakan dalam jarak dekat. Bentuknya seperti telepon genggam namun memiliki sebuah antena di atas samping kanan. “Siap Sir Kami di sini!” suara anak buahnya. Lila juga bisa mendengarkannya. “Tetap di tempat kalian dan jangan biarkan siapapun masuk ke taman belakang!” “Siap, Sir. Kami akan melaksanakan perintah.” Lucas menarik HT ke samping—menyingkirkannya begitu saja. Setelah itu kembali menarik tengkuk Lila dan mencium bibir wanita itu. Tidak salah ia langsung ke sini setelah lelah mengurus tikus-tikus sialan itu. Ia mendapatkan apa yang ia inginkan! Lila membalas ciuman yang diberikan Lucas. Tangannya tidak menahan tangan Lucas yang menurunkan dressnya. Bahu putih nan mulus itu terpampang. Ciuman Lucas turun—mengecup leher Lila. Mencium bahu wanita itu d
“Berapa persen tingkat keberhasilan Bennedict?” tanya Lucas pada orang kepercayaan. Di dalam ruangan yang gelap. Bisa disebut sebagai markasnya. Tempat ini berada di dalam sebuah pabriknya yang berada di kawasan jauh dari penduduk. Pabrik yang memproduksi senjata ilegal. Markas itulah yang biasanya ia gunakan untuk rapat dengan anak buahnya. Membahas berbagai rencana dan berbagai hal. Lucas menatap dokumen yang berada di atas meja. Ia melipat kakinya—menyesap rokoknya pelan. Lucas bersandar pada kursinya. “Jelaskan padaku. Aku sedang malas membaca.” “Tingkat keberhasilan Bennedict 70 %, Sir.” Lucas mengernyit. “Sebanyak itu?” “Iya. karena citra Bennedict benar-benar baik di antara masyarakat. Meskipun gagal pada pemilihan pemimpin daerah. Dia tetap menjaga citranya dengan baik. Tidak ada skandal yang berarti. Dia dikenal sebagai orang yang baik.” “hanya saja—ada masalah mengenai partai politiknya.” “Dia sudah tidak terlalu dipercaya. Sehingga dalam proses kampan
Lila baru saja selesai menidurkan anaknya. Anaknya yang tumbuh dengan baik. perkembangannya pun kata dokter sangat baik. Di usianya sudah bisa tengkurap. Lila begitu senang bisa berada di dalam proses pertumbuhan anaknya. Lila pergi ke kamarnya sendiri—membasuh tubuhnya sehingga tubuhnya terasa begitu segar. Meraba lemari sebelum membukanya. Mengambil satu pakaian yang berada di deretan paling kanan. Itulah kebiasaannya. Ia juga menyuruh untuk Maid mengatur pakaian yang digunaknnya di dalam lemari. Sehingga semua hal itu memudahkannya melakukan aktivitas. Lila berjalan dengan bathrobe yang berada di tubuhnya. membawa pakaiannya ke ruang kamarnya. “Putar musik kesukaanku!” ucapnya pada ponselnya. Lagu dari Frank Sinatra I love you baby berputar. Bersenandung kecil. Lila memutar tubuhnya. Kepalanya yang masih tertutup handuk karena basah. Lila menggerakkan tubuhnya mengikuti irama. Menggerakkan tangannya…. “I love you baby..” menggerakkan kepalanya ke sana k
“Berhenti!” Ruby menoleh ketika ada yang berani menyentuh tangannya. “Berhenti. Dia bisa mati!” Pria itu menunjuk salah satu cctv yang ada di pojok bangunan. “Jika kau ingin membunuhnya. Lakukan di tempat yang aman. Setidaknya jangan di depan orang-orang!” Ruby menatap sekitarnya. Banyak orang ternyata. Ia menjatuhkan tubuh Dario begitu saja. Ruby mengusap rambutnya kasar. Beginilah…. Ia hilang kendali… Berakhir dengan menggunakan kekuatannya yang sudah lama ia sembunyikan. Ruby menatap pria itu. “Terima kasih atas bantuannya. Suatu hari aku pasti akan membalasmu. Aku juga akan mengganti sepatumu.” “Dan maaf. Aku muncul di hadapanmu. Tapi setelah ini aku tidak akan muncul lagi di hadapanmu.” Ruby melewati pria itu. Ia mendekati Stormi yang masih saja tidur. “Kalau begitu, berikan aku kartu namamu,” ucap pria itu. Ruby mengerjap. kartu nama… Apakah ia masih punya. Kartu nama yang mana. kartu nama sebagai barista, pelayan klub atau penjaga roti.. atau bisa j
Dario mendekat. Namun—Ruby lebih dulu menangkis pukulan pria itu. Ruby berkacak pinggang. Dario mundur beberapa langkah. “Sini. kau tidak akan berhenti sampai kau pingsan!” Ruby sedikit meregangkan tubuhnya. Takutnya kalau terlalu banyak bergerak—dressnya bisa sobek. Tapi ternyata aman saja. Dress ini sangat lentur, jadi ia bisa bergerak dengan bebas. Emosi Dario semakin memuncak. Egonya terluka atas kekalahaannya memukul Ruby. Dario berlari—kali ini ia bersiap menendang perut Ruby. Namun Ruby lebih dulu menedang lebih dulu kaki pria itu. Ruby menendang kaki Dario menggunakan seluruh kekuatannya. Sehingga—tubuh Dario sampai melayang. Jatuh ke tanah dengan posisi terlentang! BRUUUK Ruby mengusap rambutnya. “Menyebalkan!” “Jika dia mati. Aku bisa berurusan dengan polisi.” Ruby berlari—menunduk dan melihat Dario lebih dekat. Menyentuh tangan pria itu dengan jijik. Lalu memeriksa denyut nadi pria itu masih berdetak. Dario masih hidup! namun Ruby tidak bisa
Dario… Pria itu ada di sini. Penampilan pria itu terlihat kumuh. Tidak ada lagi pakaian mewah yang selalu membalut tubuh pria itu. Akhirnya Dario mau keluar dan membawa Stormi bersamanya. Masih memeluk Stormi seakan wanita itu adalah kekasihnya. Sedangkan, Stormi yang sudah mabuk tidak punya kendali atas tubuhnya untuk melawan. Ruby frustasi melihatnya. “Lepaskan temanku!” “Beri aku lima belas ribu dollar.” Dario tersenyum miring. Ruby berdecih pelan—mimpi saja. Ruby melepaskan heels yang berada di kakinya. menggulung rambut panjangnya. “Kau masih ingat dengan pelajaran olahraga dulu?” tanya Ruby. “Apa kau tidak trauma setelah bola itu mengenai tubuhmu?” tanya Ruby. Dario tertawa. “Dulu itu kau hanya beruntung. Tidak sekarang!” Dario membawa tubuh Stormi ke belakang—menududukkan Stormi di tembok belakangnya. “Kau harus ingat kalau aku juga pemegang sabuk hitam bela diri.” Dari tersenyum miring. “Jangan melawanku dan beri saja aku uang!” “Hidupku berantakan ka
“Kau gila?!” Stormi menyeka bibirnya—tidak lupa mengusap meja dengan tisu. Ia menoleh—menunduk dan membisikkan sesuatu pada Ruby. “Dia yang tadi di kereta!” Ruby melebarkan mata. Bagaimana? pria itu bilang jangan pernah bertemu lagi. bagaimana sekarang? apakah Ruby harus pergi? Ruby terpaku—tubuhnya membeku. Pria itu juga menatapnya. Namun untungnya hanya sekilas. “Dia tidak mengingat kita. kau diam saja. jangan membuat keributan!” Ruby membungkam bibir Stormi. Dari sudut matanya—Ruby melihat pria itu berjalan kemudian duduk di salah satu bangku yang sepertinya sangat spesial. Bangku itu berada di tengah. Menggunakan sofa besar. Meja panjang yang dipenuhi dengan berbagai minuman dan makanan. Ruby mengalihkan pandangannya. Jangan sampai pria itu menyadarinya. “Haruskah kita pergi?” tanya Stormi. “Aku takut dia mengingat kita dan membalas dendam karena sepatunya!” Ruby menoleh. “Tidak masalah. Dia tidak akan mengingat kita. lagipula kita tidak se
Stormi menggeleng. “Kau sakit.” Semua testpack yang digunakan oleh Ruby bergaris satu. Ruby mundur—mengusap perutnya. “Mungkin aku memang lapar.” Stormi mendesah kecewa. “Aku sangat antusias menyambut bayimu. Tapi yasudahlah…” Ruby mengambil duduk di sofa. setelah meminum obat yang diberikan oleh Stormi, ia akhirnya makan. Untungnya Stormi membeli banyak obat. Ia bisa memilih obat mana yang bisa ia minum. “Bagaimana dengan suamimu…” ucap Stormi. “Apa dia tidak mencarimu?” “Mungkin.” Ruby mengangguk. “Dia bisa mencariku dengan mudah—bahkan menemukanku. Tapi kalau hari ini aku melihatnya, aku tidak akan bisa menahan emosiku.” “Aku bertengkar dengannya.” Ruby menoleh. “Itulah kenapa—aku ingin sedikit menenangkan diri dari dia. Jika aku melihatnya saat ini—aku akan marah lagi.” Stormi mengangguk dengan paham. “Siapa suamimu? Aku penasaran.” “melihat kartu yang ada di dompetmu, pasti suamimu orang kaya kan?” tanya Stormi. “Sangat kaya,” balas Ruby. “Dia bahkan bisa melakukan ap
“Hueek!” Ruby kembali muntah. Tubuhnya serasa lemas. Selain memang lapar, ia juga lelah ditambah kembali muntah. Ruby memegang wastafel. “Apa yang terjadi denganku…” “Sebentar lagi layanan makan akan datang.” Stormi mendekat. “Sebenarnya…” Stormi menatap Ruby. “Aku curiga pada satu hal.” Stormi menyipitkan mata. “Apa kau punya pacar?” Ruby menggeleng. “Ah..” Stormi mengangguk. “Kalau begitu mungkin memang kau sedang kelalahan dan mabuk perjalanan saja—” “Aku punya suami. Tapi sebentar lagi—” “APA?!” nampak Stormi sangat kaget. “Kau punya suami dan kau baru bilang sekarang?” Stormi mendekat—tiba-tiba saja mengusap perut Ruby. “Bagaimana jika kau hami? Kau mual kan? Itu gejala orang hamil. Kenapa kau tidak berpikir ke arah sana?” “Atau kau selalu menggunakan pengaman?” tanya Stormi lagi. Ruby menggeleng. “Aku tidak pernah menggunakannya…” Tidak pernah. sekalipun tidak pernah. Leonard dan dirinya memang menginginkan bayi. Mereka sepakat untuk tidak menggunak
Kota Ardotalia terletak di ujung barat negeri ini. Kota yang memiliki suhu paling rendah. Memiliki penduduk yang juga sedikit. Di kelilingi pegunungan. Terlihat modern dengan bangunan tinggi meski desain bangunan ala eropa kuno. Udaranya begitu sejuk. “Kita harus membeli jaket.” Stormi menarik Ruby untuk masuk ke sebuah toko. Di sanalah ada berbagai jenis jaket. Uniknya semua jaket di jahit sendiri oleh si penjahit yang di sini. Bahkan mereka bisa memesan dahulu. Seperti yang dilakukan oleh beberapa orang di sana. Mereka nampak mengukur tubuh mereka. Ruby memilih untuk membeli langsung. Namun… Apakah uangnya cukup? Ia mengeluarkan dompetnya dari dalam tas. Perjalanan panjang ini ia hanya membawa tas kecil yang ia selempangkan di bahunya. “Uangku tidak cukup.” Ruby menghitung uang yang berada di dompetnya. Stormi juga—uangnya hanya cukup membeli satu jaket saja. Namun matanya cemerlang ketika melihat satu kartu hitam yang berada di dompet Ruby. “Kau bisa me
Ruby terbelalak. Muntahannya terkena sepatu pria itu. “Maaf. Maafkan aku!” Ruby menunduk. ia hendak menyeka sepatu pria itu dengan roknya. Namun—perutnya bergejolak lagi. Ruby menutup mulutnya lagi. Ia segera berlari ke toilet. Di dalam toilet. Ruby memuntahkan seluruh isi perutnya. Hueeek! Hueeek! Ruby memejamkan mata—perutnya terasa langsung kosong. Di belakangnya—Stormi mengusap punggungnya. Tidak lupa mengambil tisu. Ia mengusapkan tisu di bibir Ruby. “Kau sepertinya mabuk perjalanan.” Stormi mengeluarkan sebuah minyak. Kemudian di oleskannya di leher Ruby. Minyak yang memiliki aroma khas. Minyak itu juga membuatnya Ruby hangat. “Aku tidak tahu. Aku tidak pernah naik kereta. Tapi aku tidak separah itu. aku biasanya naik bus atau mobil. Tidak pernah mabuk perjalanan. Aku juga pernah naik Yacht. Juga tidak masalah…” jawabnya. “Tentu saja berbeda. Kereta dengan kendaraan yang kau sebutkan tidak sama. bisa jadi tubuhmu tidak begitu kuat naik kereta.”
“Maaf tuan…” petugas itu menunduk. Ruby mengernyit—ia mundur selangkah. Begitupun Stormi yang tidak melepaskannya sama sekali. Pria dengan setelan hitam. Pria itu lumayan tampan sebenarnya, namun sangat menyeramkan. Tapi tidak akan mengalahkan ketampanan Leonard. “Apa kalian sengaja tinggal di sini?” tanya pria itu. Ruby dan Stormi langsung menggeleng. “Tidak. tentu saja tidak. kami ketiduran, seharusnya kami turun sejak tadi.” “Kalian memang seharusnya tidak ketiduran!” ucap petugas kereta itu. nadanya meninggi seperti memarahi Ruby dan Stormi. “Seharusnya kalian lebih hati-hati. kenapa kalian ketiduran segala. Hanya satu jam kan. Hanya satu jam seharusnya kalian bisa menahannya.” Ruby berkacak pinggang. “Bagaimana kami tidak ngantuk? Pemandangannya bagus. udaranya dingin. Satu jam itu lama, pak! Satu jam itu cukup membuat energi saya kembali!” “Bapak tidak tahu kan? Kami ini sangat kelelahan!” omel Ruby. Petugas kereta itu mengerjap. “Kenapa jadi kami yang memarahi saya?”