Bunga duduk dalam beban pikiran, sambil mengayun pelan tubuh Raisa dalam gendongannya, duduk di tepi kasur. Pikirannya kacau, selain memikirkan masalah Kafkha dan Jelita, Marissa dan masa lalu wanita itu juga mengguncang benaknya. Raisa di baringkan di atas kasur setelah melihat anak itu tidur. Karena kondisi Raisa kurang baik beberapa hari terakhir, bocah itu mengalami gangguan tidur. Tubuh Bunga bangkit dari kasur setelah menyelimuti Raisa, ia berjalan keluar dari kamar, beranjak akan ke gudang di samping rumah. Apa yang dilakukannya? Bunga menggeledah kotak penyimpanan barang-barang Marissa yang disimpan di sana. Buku diary mendiang istrinya pertama suaminya itu dibolak-balik, mencari sesuatu yang bisa membawanya kepada sebuah kebenaran yang nyata. "Ada satu helai yang hilang," kata Bunga, sadar ada satu halaman telah robek di bagian buku paling akhir. "Mungkinkah sesuatu yang ingin aku cari tahu ada di kertas yang sudah disobek ini?" Bunga berpikir keras. "Bunga ...!" panggil J
Bunga bergegas menghampiri kedua wanita yang masih saling tatap menatap di ambang pintu rumah sakit. Sebelumnya, Bunga baru selesai memarkirkan mobil di parkiran dan tidak beriringan masuk bersama Jelita. Bunga menengahi mereka sebelum terjadi perdebatan. Ia memberikan penjelasan kepada Jelita kalau wanita yang membuat kaget ibu mertuanya itu adalah Stella, bukan Marissa. "Ini Stella, Ma," terang Bunga, mengingatkan Jelita mengenai ceritanya tadi. Jelita menurunkan pandangan, menenangkan perasaan yang sempat syok dan ingin meledak marah. Ia mendongak kembali pandangannya, menatap Stella sambil mengingat perbuatan buruk wanita yang sempat hadir dalam hubungan rumah tangga Kafkha dan Bunga. "Ternyata benar, kamu masih hidup," ucapJelita, geram. Dahi Bunga sedikit mengerut bingung menatap menyelidiki wajah Stella yang memucat, terlihat menahan rasa sakit. "Ma ... kita ke kamar Kafkha. Ayo," ajak Bunga, ingin menghindari terjadinya perdebatan berlanjut di antara mereka. Sesekali Bu
Kafkha duduk di atas ranjang rumah sakit dengan punggung bersandar di bantal yang tersandar di bagian kepala ranjang. Mata pria itu sesekali melirik Bunga yang tengah duduk di sampingnya dengan posisi sama. Kedua tangan wanita itu berada di atas keyboard laptop yang ada di pangkuannya, tengah mengetik, melanjutkan pembuatan cerita dalam bentuk novel yang biasa dibuatnya. Bibir Kafkha tersenyum senang memperhatikan keseriusan Bunga saat bekerja.Perlahan Bunga menoleh ke kiri, menatap suaminya itu. “Kenapa?” Bunga sedikit mengerutkan dahi, bingung.Pria itu hanya diam. Volume senyuman Kafkha bertambah, melengkungkan bibir, membuat Bunga salah tingkah dan mengalihkan pandangan darinya. Bunga mengontrol perasaannya, berusaha tenang dan kembali menatap Kafkha dengan wajah biasa saja. “Kamu ingin sesuatu?” tanya Bunga, mengalihkan suasana dengan memunculkan topik pembicaraan baru. “Tidak ada. Melihatmu di sampingku, rasanya sudah lega. Tidak ada kekhawatiran lagi bagiku,” jawab Kafkha,
Bunga berhenti melangkah setelah melihat Haidan baru keluar dari kamar Kafkha. Ia sontak kaget dan bergegas melangkah mundur, sembunyi dari penampakan Haidan, sekaligus sengaja menghindari pria itu karena masih ada sisa trauma di masa lalu dengan pria itu. Perasaan Bunga lega setelah Haidan melewati keberadaannya tanpa sadar akan posisinya. Beranjak ia berjalan menuju pintu kamar Kafkha, memasukinya. Haidan pun berhenti melangkah, lalu menoleh ke belakang, memasang wajah murung. Bukan tidak sadar, Haidan sengaja berpura-pura tidak melihat Bunga karena tahu wanita itu berusaha menghindarinya karena takut. "Maafkan aku," ucap Haidan dan kembali melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat itu. Setelah memasuki kamar Kafkha, Bunga menghampiri suaminya itu, berdiri di samping Kafkha yang fokus membaca novel tulisannya yang dengan posisi duduk bersandar ke kepala ranjang yang ditidurinya. "Tadi aku melihat Haidan ke sini. Kalian bertengkar?" tanya Bunga, penasaran. Kafkha hanya diam den
Bunga melepaskan pelukan Haidan dan melanjutkan kaki melangkah memasuki mobil yang terparkir di tepi jalan. Haidan terus mengikutinya dan ikut masuk, duduk di samping Bunga, masih membujuk wanita itu untuk bersamanya dan meninggalkan Kafkha yang sakit-sakitan. “Untuk apa kamu masih ingin bersamanya? Tidakkah kamu kewalahan menjaga orang yang tidak tau sampai kapan umurnya itu?” tanya Haidan, menatap Bunga yang duduk dengan pandangan menahan amarah yang mengarah ke depan. Bunga mendelik ke arah Haidan. “Entah siapa yang duluan tidak berumur panjang. Jangan berkata begitu jika kamu bukan Tuhan. Ingat, sudah tanggung jawabku untuk menjaga suamiku. Sekarang, keluar!” titah Bunga. Haidan terdiam. Perlahan senyuman muncul di bibirnya dan beranjak keluar dari mobil itu. Sejenak Bunga dibuat sedikit bingung dengan tingkah Haidan yang mudah di usir dari sikap kerasa pria itu sebelumnya. Bunga mengabaikan sikap pria itu dan mengemudikan mobil meninggalkan keberadaan Haidan. Pria itu masih
Bunga meredam emosi, berusaha kembali untuk berpikiran positif. Ia mengikuti Risa dan Kafkha dari belakang, sampai akhirnya mengambil alih tugas yang diberikan suaminya itu kepada Risa sebelumnya untuk mendorongnya kembali ke kamarnya. Karena tidak ingin Bunga mengambil tugas Risa, Kafkha menepis kasar kedua tangan istrinya itu dari kursi rodanya. Ia menoleh ke belakang, mengangkat pandangan dengan mata sinis kepada sang istri. “Kamu kenapa tiba-tiba berubah begini? Salah aku, apa? Seharusnya aku yang marah kepadamu karena kamu dan ….” Bunga menggantungkan perkataannya setelah sadar emosi terselubung rasa marah yang terpendam itu hendak dikeluarkan seluruhnya. "Jika aku membuat kesalahan, kamu bisa bilang," kata Bunga, berbicara baik-baik. Kafkha mengeluarkan selembar kertas dari saku baju pasien yang masih terpasang di badannya, ia menaruh kertas berukuran kecil itu yang merupak foto, di atas telapak tangan kanan Bunga. Kemudian, Kafkha memutar sendiri ban kursi rodanya. "Ayo," a
Bunga menuruni tangga kamar bersama Raisa dalam gendongannya bersama perasaan bahagia karena ingin mengajak anaknya itu bertemu Kafkha. Setelah membuka pintu kamar tamu, Bunga melihat Risa sudah di sana, sedang berbicara bersama Kafkha dengan topik tampak menyenangkan sampai mereka tertawa ringan. Selain merasa kaget, Bunga merasa kedatangannya malah mengganggu karena mereka sontak diam menatapnya yang baru masuk. “Aku mengajak Raisa bertemu denganmu. Sepertinya dia merindukan mu,” kata Bunga dengan sedikit senyuman. Kafkha menatap Raisa dengan wajah datar. Pria itu menyodorkan tangan, meminta anak itu diberikan padanya. Bunga tersenyum ringan dan lanjut berjalan dari pintu menghampiri mereka, memberikan bocah itu pada Kafkha. “Hai, Sayang …!” Risa yang duduk di bangku di samping kasur, ikut menyapa bocah itu. “Iya, Tante ....” Kafkha bertingkah sok asik dan akrab bersama Risa. Mereka berdua terlihat dekat, memunculkan kecemburuan di hati Bunga yang ditahan wanita itu dengan gigi
Deringan telepon menghentikan tangis Bunga. Wanita itu berdiri, bangkit dari posisi duduknya di lantai sambil menyeka air mata dan berjalan menghampiri ponsel yang ada di atas meja, di samping kasur. Ia melihat nomor baru menghubungi nomornya dan menjawab sambungan telepon itu.“Bu Bunga? Proses pencetakan bukunya hampir selesai. Ceritanya bagus sekali, sampai saya sendiri terbawa perasaan saat membacanya,” kata seorang wanita dari seberang sana, berbicara seolah mereka akrab. Dahi Bunga mengerut bingung, tidak mengerti dengan perkataan wanita yang tidak diketahui siapa orang itu. “Ini siapa? Perasaan saya tidak menggunakan jasa cetak buku akhir-akhir ini karena saya sedang sibuk mengurus naskah film. Ini penerbit apa, ya?” tanya Bunga, penasaran. Tidak ada jawaban dari seberang sana, senyap, dan sambungan telepon berakhir begitu saja, tanpa ada jawaban. Bunga menurunkan ponsel yang sempat di tempelkan di telinga kanannya, ia memperhatikan nomor itu dengan perasaan bingung dan pena
Sembilan Bulan Kemudian ….Bunga dan Kafkha duduk di salah satu bangku kosong di sebuah bioskop, mereka duduk berdampingan di bangku paling depan, berhadapan dengan layar lebar yang akan menampilkan sebuah film yang akan tayang dalam hitungan menit. Beberapa mata memperhatikan mereka dari belakang, menaruh rasa kagum kepada sepasang suami-istri jari manis dan jari kelingking itu. Baru beberapa detik Kafkha duduk, tangan pria itu mengelus perut besar Bunga, menambah mereka menjadi terbawa perasaan dan iri.“Pasangan yang serasi,” kata seorang wanita yang duduk di belakang mereka. Perkataan wanita muda itu tertangkap samar di telinga mereka, membuat Bunga sedikit malu dan salah tingkah dengan diam. “Katanya kita serasi. Menurutmu?” tanya Kafkha dengan berbisik ke telinga kanan Bunga. “Aku rasa begitu,” balas Bunga dan tersenyum lebar kepada suaminya itu. Film yang akan mereka tonton mulai. Bunga, Kafkha, dan semua pengunjung di dalam bioskop memperhatikan lakon dari pemain film itu
Bunga menceritakan semua yang terjadi sebelum Kafkha sadar kepada suaminya itu sambil mengelus batu nisan kayu yang sementara tertancap di bagian kepala makan Stella. Kafkha mendengar jelas dengan seksama cerita istrinya itu dengan posisi masih berdiri memperhatikan makan tersebut. Tidak hanya masalah donor jantung maupun penyakit yang dialami Stella saja yang dibuka olehnya, Bunga juga ikut bercerita mengenai hubungan Marissa dan pria yang bernama Angga itu. “Ternyata ayah anak itu Angga namanya. Stella bilang, itu temanmu. Benarkah?” tanya Bunga, menoleh ke sisi kanan dengan pandangan naik. “Bukan hanya sekedar teman, dia sudah seperti saudara ku sendiri. Pantas saja,” kata Kafkha, mengingat mimpinya saat tidak sadarkan diri, ketika ia melihat Marissa bergandeng tangan bersama Angga. “Pantas apa?” tanya Bunga, sedikit penasaran. “Bukan apa-apa,” balas Kafkha, tersenyum. Bunga berdiri dan menghadap badan ke arah Kafkha. “Kamu tidak marah?” tanya Bunga dengan mata menyelidik. “
Bunga berdiri dari duduknya di hadapan seorang pria dan seorang wanita yang lebih tua darinya. Bunga menjabat tangan mereka secara bergantian untuk mengakhiri pertemuan kali ini sebelum akhirnya meninggal mereka di kafe tempat mereka bertemu. Siapa kedua orang yang ada di hadapan Bunga? Pria itu seorang sutradara dan wanitanya seorang produser film. “Terima kasih, Pak, Buk. Kalau begitu, saya pamit pergi. Kebetulan, mau menghadiri acara lain,” pamit Bunga dengan senyuman. Mereka yang ada di hadapan Bunga tersenyum. Keluar dari kafe tersebut, Bunga memasuki mobil Kafkha, mengemudikannya menuju tujuan keduanya setelah membicarakan perjanjian temu kemarin. Bunga datang ke salah satu perpustakaan yang cukup besar, di mana di sana sedang diadakan pertemuan antara Bunga bersama para penggemarnya melalui buku barunya yang terbit, diterbitkan oleh Kafkha secara diam-diam di belakangnya. ‘Istri Best Seller’ itulah judul buku itu. Uniknya, akhir dari tulisan itu ditulis oleh Kafkha sendiri,
Bunga mengajari Raisa melambaikan tangan kepada Lintang yang sudah berada di dalam sebuah mobil yang ada di halaman rumah. Lintang membalas lambaian tangan mereka dan mengemudikan mobil keluar dari pekarangan rumah itu dengan senyuman, tampak sudah bisa menerima kenyataan mengenai kepergian Stella yang tidak akan pernah bisa kembali lagi dalam pelukannya. Bunga melipat kecil kertas yang diberikan Lintang sebelum meninggalkan rumah itu dan menyelipkannya ke dalam saku celana kulotnya, lalu mengajak Riasa masuk. “Mulai hari ini, princes Icha akan tinggal di rumah ini ….” Bunga mempersilakan Raisa masuk.“Iya. Tapi, ini akan sulit,” kata Raisa, berlagak sedang berpikir. “Kenapa?” tanya Bunga, penasaran. “Panggil Icha dan Raisa tetap dipanggil Raisa. Nanti aku jadi bingung karena nama kami sama,” kata Raisa dengan pintarnya. “Baiklah Tuan putri,” balas Bunga dengan senyuman. Bunga menggenggam tangan Raisa dan mengajak anak itu ke kamar yang ada di samping kamar Jelita, kamar tamu it
Bunga dan beberapa orang berpakaian hitam berdiri mengelilingi sebuah makan yang baru saja membukit dengan banyaknya kelopak bunga mawar merah muda yang bertebaran di atasnya. Bunga yang berdiri di sisi kanan makam itu diam dalam kebisuan. Cairan bening menetes membasahi kedua pipinya dalam rasa sedih.Jelita merangkul bahu kiri Bunga dari belakang, mengelusnya pelan sambil menatap Bunga yang membuat wanita itu menoleh dan menunjukkan raut wajah sedih yang berusaha ditahan sejak tadi. "Mama ...!" panggil Raisa, histeris sambil memeluk batu nisan Stella, di mana Lintang juga melakukan hal yang sama. Hancurnya hati Bunga melihat kesedihan anak itu terutamanya. Sejak mengetahui Stella tidak bisa diselamatkan, Raisa tidak bisa diam. Memori Bunga berputar ke beberapa jam lalu, saat pertama kali dirinya mendengar kabar Stella tidak bisa diselamatkan. 'Stella tidak bisa diselamatkan.' Bunga jadi paham, catatan kematian yang dimaksud Danar bukan untuk Kafkha seperti yang dianggap Bunga se
Jelita yang belum berada jauh dari kamar kafkha mendengar jelas suara teriakan Bunga. Wanita paruh baya itu menghampiri Bunga dengan mengurung niat untuk mengunjungi Stella sebelumnya tanpa sepengetahuan Bunga. “Kafkha kenapa?” tanya Jelita. Danar datang bersama Risa, mereka berlari kecil menghampiri mereka dan memasuki ruangan itu dengan kecemasan. “Kalian di luar dulu. Biar kami yang tangani,” kata Risa sambil menarik kedua pintu dan menutupnya. Seorang perawat lain berlarian menghampiri mereka, bertanya kepada Bunga mengenai keberadaan Danar dengan ekspresi perawat itu tampak panik sampai napasnya terdengar ngos-ngosan, seperti baru dikejar anjing. “Di dalam. Ada apa?” tanya Bunga, penasaran. “Bu Stella, dia mencari dokter Danar. Sekarang kondisinya kritis, dia bersikeras ingin bertemu dokter Danar," kata perawat itu. "Dia berada di dalam. Biarkan Danar menangani Kafkha, dia juga membutuhkannya. Bukankah dia kanker darah? Cari dokter yang sesuai," kata Jelita, tidak ingin Da
Bunga berjalan sambil menjinjing plastik makanan dengan rasa senang memasuki hotel, berjalan di lorong hotel yang akan membawanya ke kamar Stella. Suara tangis anak kecil yang amat dikenalinya, sejenak menghentikan kaki Bunga melangkah. Wanita itu berlari kecil ke arah kamar Stella, membuka pintu kamar itu, dan melihat Stella terkapar tidak sadarkan diri di tengah kamar dengan Raisa berusaha membangun wanita itu. “Ma …!” panggil Raisa. “Stella,” lirih Bunga dari pintu kamar.Raisa berdiri dan mendekati Bunga, mengadukan ketidaksadaran Stella kepada wanita itu. “Mama, Tante …,” adu Raisa, menangis. Bunga memasuki kamar itu, menaruh plastik di tangannya ke atas meja, lalu hendak mengambil ponsel dari tasnya. Kedatangan seorang pria memasuki kamar itu membuat Bunga berhenti ingin mengambil ponselnya, akan menghubungi ambulans tadinya. Bunga menatap pria itu yang tidak pernah dilihat olehnya sebelumnya. Bunga tidak tahu kalau pria itu adalah Lintang, kekasih masa lalu Stella yang sem
Bunga yang duduk di kursi roda didorong Willa menuju kamar Kafkha dengan tiang impus ikut didorong di samping wanita itu yang dilakuan oleh Risa. "Aku dengar dokter Kafkha kritis, dia sempat dinyatakan kehilangan nyawa tadi, tetapi beberapa menit kemudian, jantungnya berdetak kembali, meskipun lemah. Sungguh keajaiban. Hari ini Bu Bunga juga bari diketahui sedang hamil. Mungkin karena itu," kata salah satu perawat yang akan melewati keberadaan Bunga dan yang lainnya, tanpa disadari perawat itu mereka ada di hadapannya. "Diam, itu Bu Bunga," kata teman perawat yang berbicara tadi dengan suara kecil. Kedua perawat yang berjalan beriringan itu merasa tidak enak dan melewati keberadaan mereka dengan senyuman ringan dan menganggukkan kepala. "Mungkin mereka benar. Anak itu pembawa keberuntungan," kata Risa kepada Bunga. Bunga hanya diam dengan sedikit senyuman di dalam kekhawatiran masih menghantui jiwanya sebelum Kafkha dinyatakan stabil dan bisa mendapat donor jantung secepatnya. "
Bunga duduk di bangku taman dan Kafkha duduk di kursi roda di hadapan wanita itu. Mereka membicarakan banyak kenangan indah di masa lalu dengan mengenepikan masalah yang sempat memisahkan mereka. Selain itu, mereka juga membicarakan tentang masa depan Raisa, anak semata wayang mereka. "Jika Raisa besar nanti, dia pasti akan cantik sepertimu. Hanya saja, dia mungkin akan meniru proporsi tubuhku yang tinggi," kata Kafkha, bercanda. "Kamu menghinaku? Bukankah nyaman memeluk wanita mungil seperti ku?" Bunga membalas candaan sang suami. "Iya. Saking nyamannya, aku sampai kehilangan dirimu saat tidur. Aku sempat khawatir mencari mu karena tidak ada di sampingku, ternyata kamu berada dalam selimut yang aku kira bantal guling," kata Kafkha, mengingat satu momen lucu saat tidur bersama Bunga. "Benarkah? Berarti, aku cukup penting dalam hidupmu?" tanya Bunga, dengan rasa bangga yang masih di tangguh. "Benar." Bunga tertawa bangga dan memeluk suaminya itu. Dalam dekapan Bunga, dada Kafkha