~Delima~
Tanggal dua puluh lima adalah tanggal suamiku menerima gaji dari tempat kerjanya. Setiap tanggal itu pula, ibu dan adik laki-lakinya datang ke rumah untuk meminta uang. Seakan-akan ingin memberi tanda kepada kami semua, tanggal itu juga yang dipilihnya untuk mati.
Aku hanya bisa duduk dan menatap kosong ke arah tangan suamiku yang berada di atas perutnya. Dia berbaring kaku di dalam kotak kayu jati berukir indah berukuran satu kali dua meter. Benda yang sangat mahal untuk hidup kami yang serba kekurangan.
Orang-orang berpakaian serba hitam datang silih berganti menyatakan duka. Beberapa dari mereka menyelipkan sesuatu di tanganku yang terpaksa aku terima. Uang tunai atau amplop berisi uang duka yang aku masukkan ke tasku. Keluargaku menangis, sahabatku bersedih, bahkan rekan kerjaku meneteskan air mata, tetapi aku tidak.
Setelah ritual singkat di rumah, kami menuju tempat peristirahatan terakhir belahan jiwaku selama lima tahun terakhir. Aku ingin berada di dalam mobil jenazah untuk mendampingi dia yang terakhir kali, tetapi ibu mertuaku melarang. Dia yang masuk ke mobil dan menjerit sedih menangisi putra yang katanya adalah kesayangannya itu.
Aku mengalah dengan duduk di mobil bersama keluargaku. Mama memegang tanganku sepanjang perjalanan. Dia tidak mengatakan apa pun untuk menghibur aku, dan itu sangat menenangkan. Karena aku sedang tidak membutuhkan kata-kata pada saat ini, hanya kehadiran.
Kami semua berdiri melingkari lubang yang telah digali, di mana jasad suamiku akan tinggal untuk seterusnya. Suara isak tangis terdengar saat tanah dijatuhkan ke atas petinya. Jeritan penuh duka memekakkan telinga memenuhi tempat itu ketika kayu nisan ditancapkan.
Hanya aku yang sama sekali tidak menangis. Aku percaya bahwa suamiku sudah meninggal, aku juga tahu bahwa dia tidak sedang berpura-pura mati. Begitu aku kembali ke rumah, aku tahu bahwa dia tidak akan pulang sekalipun aku menunggu hingga larut malam. Dia telah pergi untuk selamanya.
Mungkin aku hanya butuh waktu untuk memproses semua ini. Kami adalah pasangan yang sangat bahagia. Kami saling mencintai dan telah menjalin hubungan sejak kami kuliah. Memang kami juga bertengkar layaknya pasangan suami istri yang lain. Tetapi bukan karena kami sudah tidak cinta lagi.
Pertengkaran itu selalu mengenai uang. Kami sama-sama bekerja, jadi uang seharusnya bukan hal yang perlu dipermasalahkan. Namun hanya aku yang memiliki pendapatan yang bisa kami gunakan untuk bertahan hidup. Gajinya yang jauh lebih besar dikuasai oleh keluarganya. Mereka hanya menyisakan uang sebesar saldo minimal di tabungannya.
“Aku akan bicara baik-baik dengan mamaku, sayang,” katanya yang selalu menjanjikan hal yang sama selama bertahun-tahun, tetapi tidak pernah berani dia lakukan.
“Kapan?” tanyaku menuntut. Dia menyisir rambut dengan tangan kanannya. Gerakan yang dia lakukan setiap kali dia gugup.
“Pada saat gajian nanti, aku akan bicara dengan Mama. Aku janji.”
Tetapi janji hanyalah tinggal janji. Hari di mana dia seharusnya bicara dengan ibunya untuk memberi pengertian malah menjadi hari penuh tangisan. Mama yang melihat putranya itu tergantung tak bernyawa lagi di ambang pintu kamar kami menjerit seperti orang yang kesetanan. Aku bertanya-tanya. Dia sedih karena kehilangan putranya atau sumber pendapatannya?
“Ima, kamu yakin tidak mau tinggal di rumah mama saja? Kamu tinggal sendirian di rumah begini tidak baik. Bagaimana kalau ada apa-apa?” ucap Mama khawatir saat kami sudah kembali ke rumah dan duduk di ruang depan.
“Tidak akan ada bedanya, Ma. Aku tetap tidak akan bisa tidur malam ini. Lebih baik aku tinggal di sini untuk lebih cepat memproses bahwa Bakti sudah tiada,” kataku pelan. Bakti. Namanya memang cocok untuk orangnya. Sampai matinya, dia sangat berbakti kepada orang tuanya.
“Ima benar, Ma. Lagi pula kita bisa datang besok pagi untuk melihat keadaannya.” Kak Pangestu menyentuh bahu Mama.
“Baiklah. Segera kabari kami kalau ada apa-apa.” Mama mengusap-usap tanganku. Aku mengangguk.
Begitu mereka keluar dari rumah, aku mengunci pintu dan membiarkan Kakak yang menggembok pagar. Hal pertama yang aku lakukan adalah mandi dan berganti pakaian. Aroma tubuhku sangat tidak sedap karena seharian berkeringat menyambut tamu di rumah kecil ini.
Merasakan perutku lapar, aku memeriksa meja makan dan menemukan ada banyak makanan yang tidak dihabiskan oleh pelayat. Beberapa makanan itu aku simpan di dalam kotak bekal dan aku masukkan ke kulkas. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan, aku tidak perlu memasak.
Aku baru selesai mencuci piring di wastafel ketika ada yang memukul pagar pertanda ada tamu yang datang. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Siapa yang datang? Apa masih ada yang ingin melayat?
Melihat ibu mertua dan adik iparku yang berdiri di balik pagar, aku mendesah pelan. Apa lagi yang mereka inginkan? Aku membuka pintu, kemudian membuka gembok. Mama yang terlihat tidak sabar segera membuka gerendel dan mendorong aku ke samping.
“Ada apa datang ke sini, Ma?” tanyaku bingung. Aku membiarkan pagar tetap terbuka dan mengikuti mereka masuk ke rumah. “Apa ada barang yang tertinggal?”
“Ini adalah rumah anakku. Apa karena dia sudah mati, jadi aku dilarang datang ke sini?” hardik ibu mertuaku hingga aku berhenti melangkah karena terkejut.
“Bukan begitu, Ma. Bila ada yang tertinggal, akan aku bantu carikan.”
Dia melihat ke sekeliling ruang depan entah mencari apa. Lalu dia masuk ke kamarku, membuka setiap laci bufet, lemari, bahkan tasku. Setiap lembar uang, amplop berisi uang duka dimasukkan ke tas tangannya. Dia kemudian berjalan ke dapur memeriksa setiap pakaian kotorku dan memastikan tidak ada isi di dalam setiap kantong.
“Bagaimana bisa kalian berdua tidak punya hati sama sekali? Bahkan uang duka untukku sebagai istri Bakti pun kalian rampas?” Aku tertawa histeris. “Apa uang itu cukup? Kurang berapa lagi? Nanti aku akan berikan uang hasil menjual barang-barang suamiku untuk kalian. Supaya kalian puas.”
“Aku yang mengandung dia selama sembilan bulan. Aku yang menyabung nyawa saat melahirkan dia. Aku juga yang membesarkan, merawat, menyekolahkan hingga dia menjadi orang besar.” Wanita itu menatap aku dengan tajam. “Yang aku minta darinya ini tidak seberapa dibandingkan yang sudah aku korbankan untuknya. Kamu yang tidak pernah punya anak, tidak akan mengerti.”
“Jangan lupa. Mama juga yang sudah membuat dia memilih mati. Dia—” Kalimatku itu terhenti karena sebuah tamparan keras di pipiku.
“Lancang sekali mulutmu! Perempuan tidak tahu diri! Bukan aku yang membuat dia mati tapi kamu! Dia tidak tahan dengan omongan orang karena kamu tidak hamil juga!” tuduhnya dengan jahat.
“Hamil?” Aku mendengus keras. “Bakti tidak mau punya anak sekarang karena ibu dan adiknya yang terus datang merampas uangnya. Memangnya anak kami mau diberi makan apa?”
“Diam! Uang ini hanya untuk menutupi kebutuhan kuliah adikmu selama bulan ini. Aku akan datang bulan depan dan sebaiknya kamu siapkan uang kebutuhan mereka. Bakti sudah tidak ada, maka itu menjadi tanggung jawabmu. Kamu mengerti?” ancamnya. Aku nyaris tertawa mendengarnya.
“Aku tidak punya tanggung jawab apa pun pada kalian. Bakti sudah meninggal, maka kami bercerai secara sah. Kamu sudah bukan ibu mertuaku lagi,” kataku dengan berani. “Kalau kalian masih berani datang mengusik hidupku, aku tidak akan segan-segan mengadu kepada polisi.”
Untuk pertama kalinya, ibu mertuaku tidak bisa berkata-kata. Siapa yang tidak takut pada polisi? Ancaman ini tidak akan berlaku pada saat suamiku masih hidup. Tetapi sekarang, itu menjadi senjata terkuatku. Meskipun dia sering bertindak tanpa berpikir, dia tidak bodoh. Dia pasti tahu bahwa aku tidak punya tanggung jawab apa pun lagi pada mereka setelah suamiku tiada.
Begitu mereka pergi, aku menggembok pagar dan masuk ke rumah. Aku mengingatkan diriku sendiri agar tidak membukakan pintu rumahku untuk mereka lagi. Aku menyandarkan tubuhku ke pintu saat jantungku berdebar lebih kencang dan lututku melemas. Pipiku kini berdenyut dan terasa sakit. Tenagaku seolah-olah mendadak habis hanya beberapa menit bicara dengan ibu mertuaku.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak mau menjadi korban mereka seperti yang mereka lakukan kepada suamiku. Bakti, mengapa dia meninggalkan aku sendiri? Apa masalah yang begitu berat sehingga dia mengakhiri hidupnya?
Terima kasih sudah berkenan mampir. Semoga teman-teman menyukai cerita ini. ♡
“Ima? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Ayu, teman baik sekaligus rekan kerjaku di tempat ini. Melihat dia yang masuk ke ruanganku, sepertinya dia yang ditunjuk untuk menggantikan posisiku sementara selama aku cuti karena duka. “Tentu saja melakukan tugasku,” kataku seraya tersenyum. Aku membawa dokumen yang telah aku periksa ke ruangan direktur utama. “Apa kamu yakin kamu sudah siap untuk bekerja?” Dia mengikuti aku hanya sampai ambang pintu. “Jangan khawatir. Bekerja justru membantu aku menjauh dari rasa sedih.” Aku meletakkan semua dokumen itu di atas meja kerja, lalu merapikan beberapa peralatan tulis yang berantakan. “Baiklah. Kalau kamu butuh bantuanku, kamu tahu mencari aku di mana.” Ayu tersenyum. “Terima kasih,” ucapku tulus. Kami keluar ruangan bersama karena aku harus melewati elevator menuju dapur. Ayu menunggu pintu lift terbuka, sedangkan aku menyiapkan kopi hangat untuk atasanku. Saat aku berjalan kembali ke ruang kerjaku, sahabatku sudah tidak ada lagi di depa
Kondisi kamarku seperti kapal pecah. Tempat tidur berantakan, lemari pakaian dibiarkan terbuka dengan baju berceceran di sekitarnya, pigura foto dengan kaca yang retak juga berserakan di lantai, dan ada tiga orang pria yang tidak aku kenal. Mereka tiba-tiba berhenti bergerak dan bicara, lalu menatap ke arahku dengan tajam. Aku menelan ludah dengan berat. “Ibu Delima Aruna?” tanya seorang pria berpakaian serba hitam dan bertubuh besar yang mendekati aku dengan wajah garang. Aku mengangguk pelan, takut bila aku membuka mulut, suaraku tidak akan keluar. “Kami datang untuk menagih cicilan utang.” “Ci-cicilan utang?” tanyaku tidak mengerti dengan suara tertahan. Dia mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya, lalu memberikan kepadaku. “Bakti Ekaputra adalah suami Anda, bukan?” tanyanya. Aku kembali mengangguk pelan. “Dia telah meminjam uang sebesar lima ratus juta rupiah dan pembayaran cicilan ketiganya sudah lewat dua puluh hari.” “Li-lima ratus juta?” tanyaku bingung. Aku segera
“Apa kau sedang mempermainkan kami!?” hardik pria itu di depan wajahku. Pria yang datang kali ini adalah pria yang berbeda. Bila sebelumnya yang datang adalah tiga orang, maka yang datang malam ini adalah empat orang. Dua di antaranya bertubuh lebih tinggi dariku. Mereka pasti sengaja memilih orang-orang ini untuk mengintimidasi aku. Jantungku yang sudah berdebar sangat cepat, kini serasa akan lepas dari dadaku. Telingaku nyaris tuli mendengar detak jantungku sendiri dan gertakan mereka. Tubuhku bergetar dengan hebat menahan rasa takut. Aku menggigit bibirku dengan kuat menahan diriku agar tidak berteriak. “Hanya itu yang bisa aku kumpulkan dalam waktu sepuluh hari yang kalian berikan.” Aku berusaha memberanikan diriku sendiri untuk menjawab. Syukurlah, aku tidak tergagap saat bicara. “Utang itu bukan utangku. Bagaimana aku bisa mencari alternatif lain untuk mencari uang secepat ini?” “Kau seorang perempuan, mengapa kau tidak pikirkan saja cara lain untuk mendapatkan uang yang lebih
Aku tidak menduga dia akan mengajukan hal itu sebagai syaratnya. Karena dia adalah rekan bisnis bosku, aku pikir dia akan meminta aku membujuk Pak Luis untuk menyetujui proyek baru darinya atau hal lain yang ada hubungannya dengan pekerjaan. Hari Kamis artinya tiga hari lagi. Bila kami menikah pada hari Kamis, apa utangku baru akan dibayar setelah kami resmi menjadi suami istri? Tetapi kami tidak saling mengenal. Aku bahkan tidak tahu seperti apa orangnya. Tidak, tidak. Apa yang membuat aku ragu? Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Pria mana yang mau menikah dengan janda yang terlilit utang seperti aku? Terlebih lagi, Pak Benedict bukan pria biasa. Dia seorang pengusaha sukses yang punya banyak usaha lain selain yang berhubungan dengan garmen. Aku bukan hanya lepas dari utang, tetapi aku juga akan hidup nyaman selama dia masih menginginkan aku menjadi istrinya. Aku tidak akan hidup susah lagi seperti yang aku alami bersama Bakti. “Jadi, maksud Bapak, kita menikah pada hari Ka
~Benedict~ Lahir dan besar di tengah-tengah keluarga terpandang dan kaya raya memberi aku begitu banyak kemudahan. Sebagai anak pertama, aku merasakan semua kemewahan sejak aku masih sangat kecil. Pakaian yang aku kenakan lebih bagus dari anak-anak kebanyakan. Makanan yang aku santap selalu enak di lidah. Rumah dan tempat tinggalku juga sangat nyaman. Kedua orang tua juga kakek dan nenekku sangat menyayangi aku. Hidupku penuh dengan cinta dan kasih sayang yang mereka curahkan kepadaku. Meskipun aku punya seorang adik laki-laki dan adik perempuan, mereka selalu memfokuskan perhatian mereka kepadaku. Aku sadar dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadaku sebagai penerus utama keluarga kami. Karena itu sejak aku masih sangat muda, aku belajar keras untuk mempersiapkan diriku menjadi pengganti Ayah kelak. Ibu meninggalkan kariernya demi membantu aku belajar di rumah. Namun saat aku menginjak usia sebelas tahun, Ayah menemukan ada yang aneh padaku. Ketika aku berusia dua belas tahun d
Syarat yang pertama bisa dengan mudah aku penuhi. Aku membangun usaha yang aku miliki dari nol. Pengkhianatan rekan kerja pertama telah memberi aku pelajaran yang berharga. Jadi, aku berhati-hati saat memilih orang yang bekerja untukku, terutama mereka yang mengelola uangku. Berawal dari usaha pakaian yang tidak punya penjahit sendiri, kini aku punya beberapa pabrik, butik, bahkan peternakan dan perkebunan yang membantu persediaan bahan mentah usahaku. Merek dagangku diminati oleh para ibu, jadi aku tidak hanya menyediakan pakaian untuk orang spesial seperti aku, tetapi juga merambah pakaian anak-anak. Dalam waktu lima tahun, aku berhasil mengalahkan kesuksesan usaha perhotelan milik Kakek. Aku bahkan masuk daftar orang terkaya di ASEAN dua peringkat lebih tinggi dari Kakek. Keluargaku tidak berhenti mengejek dan menghina prestasiku. Tetapi aku mengabaikan hal itu dan fokus pada tujuan. Kakek adalah pria terhormat yang selalu memegang kata-katanya. Karena itu, aku percaya dia akan me
Reaksi keluargaku sudah bukan kejutan lagi. Ini bukan pertama kalinya aku datang menemui mereka menyatakan rencanaku untuk menikah. Jadi, mereka tertawa dan mengejek aku dengan kalimat yang sudah aku hapal di luar kepala. Setelah mendengar mereka akan datang pada hari pernikahanku, maka tidak ada lagi yang perlu aku lakukan di rumah itu. Aku yakin bahwa mereka pasti akan datang. Mereka tidak akan melewatkan momen di mana aku mengalami hari paling sial dalam hidupku. “Ben.” Aku menghentikan langkahku saat mendengar suara ibuku. Aku membalikkan badan dan melihat dia tersenyum kepadaku. “Apa kamu sudah makan malam?” “Aku akan makan malam di apartemenku, Bu. Karno menunggu dan dia juga belum makan malam.” Aku menolak tawarannya sehalus mungkin. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang sayang kepadaku. Tetapi aku tidak mau menjadi sumber pertengkarannya dengan Ayah. Jadi, sebelum Ayah keluar dari ruang keluarga dan melihat aku masih ada di rumah ini, lebih baik bagiku untuk pergi. “Kalau
Musik memecahkan keheningan di dalam bangunan besar yang hanya diisi oleh beberapa orang tersebut. Pianis memainkan lagu pernikahan dan pintu belakang gereja pun terbuka. Aku melihat ke arah belakang di mana Delima berjalan didampingi oleh ayahnya. Dia mengenakan gaun berwarna hitam dengan rok panjang menutupi hingga mata kakinya. Aku sudah melihat dia di ruang tunggu, jadi aku tahu dia sengaja menata rambutnya dengan sederhana tanpa hiasan apa pun. Perhiasan satu-satunya pada tubuhnya adalah anting panjang mutiara di telinganya. Dia membawa bunga mawar pada tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya melingkar di lekukan lengan ayahnya. Meskipun dia tidak tersenyum, kecantikannya sama sekali tidak berkurang. Wajahnya kini sedikit lebih rileks, tidak setegang saat aku bicara dengannya. Berbeda dengan pria yang berjalan di sisinya. Ayahnya terlihat berusaha keras untuk menutupi rasa marahnya. Itukah sebabnya mereka membutuhkan waktu cukup lama untuk datang? Apa mereka bertengkar di rua
~Delima~ Setiap kali mengingat Rora, aku selalu tertawa. Idenya dan saudara sepupunya itu termasuk biasa, namun brilian. Rora memanfaatkan ketidaktahuannya mengenai hubungan Elan dan Sania. Mereka beranggapan bahwa keluarga besar mereka juga tidak mengetahuinya. Elan datang dengan santainya ke acara ulang tahun Nenek Rora dan Sania. Keluarga Sania yang segera mengenalinya, langsung memarahinya habis-habisan. Ternyata Elan memutuskan hubungan secara sepihak. Dia tidak datang dan bicara baik-baik dengan keluarga Sania. Spontan saja kedua kakak laki-laki Sania dan ayahnya menggelar sidang di depan keluarga besar tersebut. Rora dan Sania membuat siaran langsung kejadian itu di media sosial mereka. Semoga saja Elan jera mempermainkan hati wanita. Aku bisa memahami perasaannya yang dia pendam untukku. Tetapi aku tidak bisa mengerti keegoisannya yang memaksa aku meninggalkan suamiku dan memberi dia kesempatan untuk menjalin hubungan denganku. Sania adalah wanita yang cantik dan dari cerit
~Benedict~ Delima dan kedua bayi kami sudah bukan milikku seorang begitu kedua orang tua kami mengetahui kehamilannya. Apalagi saat mereka tahu ada dua bayi yang tumbuh di rahimnya. Setiap akhir pekan, mereka ada di mana kami berada, lalu memanjakan Delima. Aku tersingkir dan hanya bisa manyun melihat istriku mereka monopoli. Bahkan saat kami mengunjungi dokter kandungan untuk melakukan USG pada minggu kedua puluh. Sesuai kesepakatan, kami ingin tahu jenis kelamin kedua bayi kami. Ayah, Ibu, Papa, dan Mama juga tidak mau ketinggalan untuk menjadi yang pertama mengetahui gender cucu mereka. Untung saja dokter melakukan hal yang bijak dengan mengusir para orang tua itu dan mengizinkan aku mendampingi istriku. Tetapi setelah aku melihat sendiri dan mendengarkan penjelasan dari dokter, maka aku mempersilakan kedua orang tua kami untuk bergantian melihatnya juga. Ada begitu banyak perayaan yang aku adakan pada akhir tahun. Aku tidak menyesal telah merogoh kocek dalam-dalam demi membahag
Elan segera keluar dari bilikku tanpa menunggu responsku. Laudya menatap aku dengan khawatir. Aku tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Apa yang Elan lakukan kepada Rora? Apa mereka sedang menjalin hubungan asmara? “Apa yang terjadi, Delima?” tanya Dhini yang melihat dari atas papan pemisah bilik kami. “Mengapa Elan datang menemui kamu pada jam kerja? Aku hanya mengangkat kedua bahuku. “Pria yang aneh.” Dhini menggeleng pelan, sedangkan aku tertawa mendengarnya. Pada jam istirahat makan siang, aku mengerti mengapa Elan sampai nekat datang ke bilikku tadi. Ternyata dia mengundurkan diri. Dia sangat mencintai pekerjaannya, jadi aku tahu bahwa dia tidak melakukan itu dengan sukarela. Pasti Ben yang menyuruhnya memberikan surat pengunduran diri itu. Aku bertemu pandang dengan Natasha yang melihat aku dengan hormat, begitu juga teman-teman dari divisinya. Dia tidak lagi menatap aku dengan tajam. Itu perubahan yang sangat baik. “Menjadi istri bos memang ada keuntung
~Delima~ Aku melihat seorang wanita muda yang cantik sedang menatap Ben sambil berkedip genit. Dia salah satu pemenang lomba yang tadi makan bersama kami. Apa yang dia lakukan di sini? Bukankah acara sudah selesai? Lalu mengapa dia lancang sekali memanggil Ben dengan namanya saja tanpa gelar bapak seperti yang mereka lakukan di dalam? “Apa yang perlu diingat lagi?” Ben balik bertanya. “Oh, ayolah, Ben. Kita hampir menikah. Bagaimana mungkin kamu bisa melupakan aku secepat itu? Kamu memilih aku sebagai pemenang pasti karena kamu ingat denganku, ‘kan?” katanya menggoda. “Ooo. Apa kamu wanita yang kabur pada hari pernikahan setelah melihat aku? Pantas saja aku butuh waktu untuk mengingatnya. Kamu salah paham. Saat memilih pemenang, aku memilih desain. Tidak ada nama yang tertera supaya penilaiannya adil,” jawab Ben dengan senyum mengejek di wajahnya. “Aku masih di sini sampai besok. Kamu pasti tahu nomor kamarku. Bila kamu ingin mengobrol ….” Dia melirik ke arahku sebelum kembali men
Suasana ruang kerja yang semula tenang itu berubah ramai dengan suara Ayah yang memarahi Kenneth dan Ibu yang menangis setengah menjerit tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Aku segera meminta rekaman CCTV ruang kerja Kenneth untuk melihat apa benar dia yang telah menelepon Kakek lewat ponsel itu pada saat Kakek terkena serangan jantung. Petugas keamanan bingung saat Ayah memerintahkan mereka untuk membawa Kenneth ke kantor polisi. Nelson mengikuti mereka. Dia juga sudah membawa bukti rekaman CCTV di mana adikku itu telah beberapa kali melakukan kekerasan kepadaku beberapa bulan belakangan. Dengan semua bukti itu, aku yakin dia tidak akan diizinkan keluar dari tahanan sampai proses pengadilan selesai. Kemudian aku meminta semua laporan keuangan terbaru yang asli, bukan yang palsu untuk aku pelajari. Sekretaris Kenneth menoleh ke arah Ayah untuk meminta persetujuannya. Ayah segera mengangguk setuju dan memberi tahu bahwa mulai dari hari ini aku yang pegang kendali penuh. T
~Benedict~ Dadaku sakit sekali mendengar dia mengatakan pisah. Seketika itu juga aku tidak peduli dengan apa pun yang ada di dunia ini. Aku juga tidak peduli bila aku harus berlutut memohon kepadanya. Aku tidak mau dia pergi dariku. Walaupun dia meminta seluruh hartaku, aku akan memberikan semua kepadanya. Benda itu tidak ada artinya tanpa dia di sisiku. Namun Delima memberi aku kejutan lainnya. Dia sedang hamil. Kenneth dan Eloisa selalu mengejek aku tidak akan pernah menikah apalagi punya anak seperti mereka. Jadi, berita itu adalah keajaiban bagiku. Ketika melihat foto hitam putih mereka, aku tidak tahu di mana mereka berada. Tetapi aku percaya bahwa mereka ada di dalam perut istriku. Selama ini aku berpikir bahwa aku adalah ciptaan yang dilupakan oleh Tuhan. Dia pasti bercanda pada saat menciptakan aku dengan segala kekuranganku. Ternyata Dia masih mengingat aku dan memberikan aku bukan satu, tetapi dua orang anak sekaligus. Aku tidak muda lagi, tetapi aku berjanji akan bertahan
Pikiranku kacau, dadaku terasa sesak, karena aku tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Aku bahagia, karena penantian panjangku sudah berakhir. Kehamilan ini sudah lama aku harapkan, tetapi keadaannya sedang tidak memungkinkan. Ben tidak mau kami punya anak. Jika alat ini akurat, maka hubunganku dan Ben juga berakhir. Aku tidak berhenti menangis memikirkan hubungan kami harus usai secepat ini. Memikirkan kondisi janin yang aku kandung tidak membuat aku cukup kuat menghentikan air mata yang mengalir jatuh dengan deras di pipiku. Seharusnya ini adalah kabar baik, kabar yang membahagiakan. Sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tidak terlalu memerhatikan apa yang terjadi di makam Kakek. Eloisa entah bicara apa, Ayah dan Ibu yang kemudian datang membahas apa, tidak aku dengarkan. Ben mengajak aku ke mana pun, aku hanya mengikutinya saja. Namun saat tiba di rumah, aku segera kembali ke kamar dan menyendiri. Aku perlu memikirkan hal ini seorang diri. Yang pasti, aku menginginkan bayi in
~Delima~ Beraninya dia mengatakan cinta pada tarikan napas yang sama dia menyebut tidak mau memiliki anak bersamaku. Dengan intensitas kami melakukan hubungan suami istri, apa dia pikir kami bisa mencegah seorang anak lahir? Juga beraninya dia menuduh aku akan berubah pikiran terhadap anakku sendiri seandainya dia mempunyai kekurangan. Aku bukan ayah atau ibunya. Aku tidak akan membuang anakku sendiri seperti yang mereka lakukan. Malam itu, usai bicara dengannya, aku tidak melarang dia tidur bersamaku. Tetapi aku tidak sudi berbaring menghadapnya seperti kebiasaan kami tidur bersama. Aku sangat kesal dan tidak mau melihat wajahnya agar amarahku tidak semakin memuncak. Untuk pertama kalinya, kiriman bunga darinya aku buang ke tempat sampah. Aku tidak butuh bunga atau kartu untuk mewakili dia menyampaikan pesannya. Dia bisa bicara langsung denganku. Elan yang tidak tahu diri itu juga masih berani mengajak aku bicara. Tidak tahan lagi dengan sikapnya, aku memarahinya panjang lebar dan
Mama tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia justru cepat-cepat mengakhiri percakapan kami. Mungkin Delima sedang berada di dekatnya dan Mama tidak mau istriku sampai tahu bahwa Mama melaporkan sakitnya kepadaku. Aku semakin panik, karena tidak tahu sakitnya parah atau tidak. Ini semua salahku. Seharusnya aku mengajak dia bicara baik-baik. Bukan memaksakan kehendakku kepadanya. Dia seorang wanita, wajar saja dia memiliki jiwa keibuan yang mengharapkan memiliki anak sendiri. Apalagi kakak iparnya sedang hamil. Sedikit banyak, dia pasti merindukan kehadiran anak-anak juga. Aku malah tidak peka dan bersikap egois. Untuk meminta maaf kepadanya, aku meneruskan rencanaku. Setidaknya saat dia pulang nanti, dia tahu bahwa aku menyesal sudah menyakiti perasaannya. Aku tidak mau tidur sendirian lagi. Deva dan semua pelayan membantu aku menyiapkan kejutan untuk istriku. Namun saat dia pulang, dia hanya diam saja melihat balon dan bunga yang ada di sekitarku, juga papan bertuliskan maafkan aku yan