Beranda / Romansa / Istri Belian / Bab 3|Uang yang Raib

Share

Bab 3|Uang yang Raib

Penulis: Meina H.
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-07 12:19:40

Kondisi kamarku seperti kapal pecah. Tempat tidur berantakan, lemari pakaian dibiarkan terbuka dengan baju berceceran di sekitarnya, pigura foto dengan kaca yang retak juga berserakan di lantai, dan ada tiga orang pria yang tidak aku kenal. Mereka tiba-tiba berhenti bergerak dan bicara, lalu menatap ke arahku dengan tajam. Aku menelan ludah dengan berat.

“Ibu Delima Aruna?” tanya seorang pria berpakaian serba hitam dan bertubuh besar yang mendekati aku dengan wajah garang. Aku mengangguk pelan, takut bila aku membuka mulut, suaraku tidak akan keluar. “Kami datang untuk menagih cicilan utang.”

“Ci-cicilan utang?” tanyaku tidak mengerti dengan suara tertahan. Dia mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya, lalu memberikan kepadaku.

“Bakti Ekaputra adalah suami Anda, bukan?” tanyanya. Aku kembali mengangguk pelan. “Dia telah meminjam uang sebesar lima ratus juta rupiah dan pembayaran cicilan ketiganya sudah lewat dua puluh hari.”

“Li-lima ratus juta?” tanyaku bingung. Aku segera mengambil kertas itu dari tangannya. “Kapan dia meminjam uang sebanyak itu? Aku tidak tahu-menahu tentang ini. Kalian pasti salah.”

“Buktinya ada di tangan Ibu. Baca saja. Itu hanya fotokopi. Aslinya ada pada bos saya. Ibu juga bisa periksa apa KTP dan semua data pribadi Ibu dan Pak Bakti adalah benar.”

Aku membaca isi pada kertas tersebut. Namanya benar, begitu juga dengan foto KTP yang tertera di sana. Setiap identitas pribadi dia dan aku juga benar. Lima ratus juta. Aku tidak pernah mendengar atau melihat uang sebanyak itu. Ke mana semua uang itu bila benar dia melakukan peminjaman ini? Oh, Tuhan. Apakah ini ulah keluarganya? Mengapa mereka jahat sekali? Sudah merampas gajinya setiap bulan dan mereka masih meminta uang sebanyak ini?

Mataku kemudian melihat ke arah jumlah cicilan setiap bulannya, lalu bunga harian apabila cicilan tidak dibayar tepat waktu. Apa yang Bakti lakukan? Mengapa dia meminjam uang sebanyak ini dan menggunakan namaku sebagai jaminan, tetapi tidak mendiskusikan hal ini lebih dahulu denganku?

Dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk membayar cicilannya saja? Gajiku tidak akan cukup karena sebagian besar akan ditarik secara otomatis untuk membayar cicilan kredit rumah ini. Aku maupun Bakti tidak punya simpanan. Emas juga tidak ada.

Kertas yang aku pegang itu bergetar. Aku menarik napas panjang menyadari bahwa tanganku yang gemetar. Jantungku berdetak dengan kencang dan aku merasakan butir keringat mengalir turun di tengah dada dan punggungku. Aku tidak tahu aku sedang marah atau gugup.

Dengan kepergian Bakti, ada satu hal yang melegakan. Aku tidak perlu berhadapan lagi dengan ibu mertua parasit yang tahunya hanya meminta uang hasil kerja keras orang lain. Aku hanya perlu membiayai hidupku sendiri karena aku tidak punya adik. Papa dan Mama punya pendapatan sendiri, Kakak juga hidup mandiri dengan istrinya. Seharusnya aku bebas, bukan malah terlilit utang yang jumlahnya jauh lebih besar seperti ini.

“Aku akan bayar cicilannya nanti. Kalian sudah mengambil barang-barang berharga dari rumah ini, jadi itu bisa menutupi untuk sementara, ‘kan?” Aku melihat mereka mengambil televisi layar datar yang ada di ruang depan, bahkan penyejuk ruangan yang ada di kamar ini pun mereka bongkar.

“Barang itu adalah barang bekas, tidak akan bernilai tinggi. Apa Anda tidak baca jumlah yang harus Anda bayar segera? Lima puluh dua juta.” Dia menunjuk ke arah di mana angka itu berada. “Jumlah itu akan terus bertambah beberapa kali lipat setiap harinya, jadi bayar sekarang juga.”

“Aku tidak punya uang sebanyak ini sekarang. Beri aku waktu. Aku akan menerima gaji pada tanggal sepuluh. Beri aku waktu sampai tanggal itu untuk mengumpulkan sisa uangnya juga,” kataku dengan suara bergetar. Ya, Tuhan. Mengapa Bakti tega sekali?

“Kamu pikir ini main-main, ya? Itu uang yang besar dan kamu meminta kami datang sepuluh hari lagi? Yang mengatur jadwal di sini adalah kami, bukan kamu!” hardik pria itu. Aku menutup mataku untuk membantu menenangkan diriku sendiri.

“Suamiku baru meninggal. Biaya pemakamannya cukup besar. Aku bahkan harus menjual murah sepeda motor miliknya. Setelah kalian mengambil semua barang dari rumah ini, memangnya apa lagi yang bisa aku jual dengan cepat untuk membayar cicilan?” ucapku memberi penjelasan.

Dia berjalan mendekat, aku mundur satu langkah. Dia sengaja memperkecil jarak di antara kami agar aku merasa terintimidasi. Aku beruntung memiliki tinggi badan seratus tujuh puluh dua senti, jadi tubuhku cukup tinggi dari rata-rata orang yang ada di sekitarku, termasuk ketiga pria ini. Tetapi itu tidak membantu mengurangi kecepatan debaran jantungku yang semakin liar.

“Kamu masih punya satu aset lagi yang bisa dijual dengan cepat. Wajah kamu cantik dan tubuh kamu bagus. Aku yakin bila kamu menawarkan diri pada bosku, dia akan mau membayar sekitar sepuluh sampai dua belas juta untuk satu malam. Lima malam bersama, kamu bisa membayar cicilan ini dengan mudah,” katanya setengah berbisik. Aku nyaris muntah mencium aroma mulutnya. “Aku mau membayar lima juta untuk satu jam saja.”

“Jika kalian berani menyentuh aku sedikit saja, aku akan menyusul suamiku. Aku yakin bos kalian lebih membutuhkan aku hidup daripada mati. Karena kalau aku mati, kalian tidak punya jaminan lagi bahwa uang yang dipinjam ini akan kembali. Jadi, hati-hati dengan apa yang akan kalian lakukan dan ucapkan kepadaku.” Aku memberanikan diri untuk menjawab.

Pria itu menatap aku sesaat, lalu mundur satu langkah. Dia saling bertukar pandang dengan kedua temannya. Mereka yang tadi memasang wajah mengejek, kini berubah serius. Jelas sekali bahwa yang aku ucapkan itu benar. Mereka lebih membutuhkan aku tetap hidup daripada mati.

“Delima?” Terdengar suara seorang wanita memanggil dari ambang pintu depan. “Apa kamu tidak apa-apa? Ada yang bisa kami bantu?”

“Sepuluh hari. Kami akan kembali pada tanggal sepuluh dan jangan coba-coba lari. Kami pasti tahu ke mana kamu bersembunyi,” ancam pria itu dengan tatapan mematikan. Dia mengangguk ke arah temannya, lalu mereka berjalan keluar kamar melewati aku.

Begitu terdengar bunyi mobil dan sepeda motor menjauh, aku membiarkan kakiku menyerah dan terduduk di lantai. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya dengan cepat. Setelah cukup lama menahan napas, akhirnya aku bisa bernapas dengan lega.

“Apa yang terjadi, Delima?” tanya wanita tadi yang sudah duduk di sisiku. Dia memberikan segelas air kepadaku. “Siapa para pria itu? Kami tidak berani bertindak karena mereka bertubuh besar dan membawa pemukul. Apa ada yang bisa kami bantu?”

“Terima kasih, Bu. Aku baik-baik saja. Jangan khawatir.” Aku meletakkan gelas yang sudah kosong tersebut ke lantai, lalu mencoba untuk berdiri. Dia segera membantu aku.

Tanpa bicara, aku menuju dapur dan menemukan apa lagi yang mereka ambil. Kulkas, kompor, dan mesin cuci. Setidaknya mereka tidak mengambil sapu dan sekop. Aku mulai membersihkan kamar dan wanita itu bersama tetanggaku yang lain membantu sebisa mereka.

Pagar dan pintu diperbaiki dengan memasang gerendel baru agar bisa dikunci. Walaupun itu tidak akan ada gunanya. Buktinya, mereka berhasil masuk ke rumah tadi. Tetapi aku berterima kasih atas usaha mereka untuk membuat aku merasa aman pada saat tidur.

Sepulang kerja pada keesokan harinya, aku pergi ke rumah mertuaku. Langkahku terhenti saat aku melihat kondisi rumah itu. Pagarnya terlihat baru dicat, ada sebuah mobil baru di garasi luar, bahkan dinding rumah bagian luar juga baru dicat. Mereka membuat taman kecil di halaman depan dengan rumput yang hijau dan berbagai tanaman bunga. Tanganku mengepal melihat semua itu.

Ayah mertua yang membukakan pintu rumah untukku dan mengajak aku masuk. Keadaan di dalam rumah lebih mengherankan lagi. Beberapa perabotan lama diganti, ada karpet baru, tirai jendela yang terlihat mewah, dan cat tembok yang juga masih baru.

“Ada apa datang kemari, Delima? Tidak biasanya kamu datang tanpa memberi tahu,” kata pria itu. Seorang wanita yang tidak aku kenal datang membawa baki berisi minuman hangat dan kudapan. Mereka bahkan mempekerjakan seorang asisten rumah tangga sekarang. Dia meletakkan gelas di depanku, Papa, dan satu lagi di sisi ayah mertuaku itu. Pasti itu untuk istrinya.

“Di mana Mama, Pa?” Aku melihat ke bagian dalam rumah.

“Sebentar lagi dia akan turun, ah, itu dia.” Wanita yang menjadi pembicaraan itu muncul dari balik tembok yang memisahkan ruang tengah dengan dapur.

“Ada apa kamu datang kemari? Setelah mengusir aku dari rumah anakku sendiri dan mengancam akan melapor ke polisi, apa kamu datang untuk meminta maaf?” tanya wanita itu dengan arogan.

“Mama sudah mencuri uang dari rumahku, bersyukurlah, aku tidak melaporkan perbuatan Mama ke polisi.” Aku membuka tas dan mengeluarkan buku tabungan suamiku. “Ke mana uang lima ratus juta yang ada di buku ini? Berapa pun yang tersisa, tolong, kembalikan kepadaku.”

Wanita itu segera merebut buku itu dari tanganku dan matanya membulat melihat angka tersebut. Matanya bergerak-gerak dengan liar seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu telunjuknya bergerak di atas buku itu, mungkin sedang menghitung jumlah angka nol di sana.

“Ma, apa benar ini? Mama meminta uang sebanyak ini dari Bakti?” tanya Papa tidak percaya.

“Aku tidak pernah tahu tentang uang ini. Bakti tidak pernah memberi uang sebanyak ini kepadaku.” Wanita itu melemparkan buku itu dengan marah ke atas meja. Pembohong. Papa segera mengambil dan membukanya.

“Uang ini diambil secara tunai dan tidak ditransfer. Bagaimana kamu bisa tahu bahwa ibumu yang memiliki uang ini, Delima?” tanya Papa. Aku nyaris tertawa mendengar pertanyaan itu. Selama ini hanya mereka yang berani datang meminta uang dengan cara mengancam pada kami. Siapa lagi yang tega melakukan ini kalau bukan mereka?

“Gampang saja. Aku akan cari tahu jawabannya sekarang.” Aku berdiri dan berjalan memasuki bagian dalam rumah.

“Apa yang kamu lakukan? Kamu mau ke mana?” pekik ibu mertuaku panik dari arah belakangku.

Aku tahu di mana kamar mereka, jadi aku segera menaiki tangga dan memasuki kamar yang ada di lantai atas. Lemari pakaian menjadi tempat pertama yang aku periksa. Nihil. Aku menarik tanganku dari genggaman Mama yang memaksa aku untuk keluar dari kamarnya, lalu memeriksa semua laci nakas, bufet, sampai di bawah kasur. Nihil. Uang tunai yang aku temukan jumlahnya tidak sampai sepuluh juta. Wanita itu segera mengambil uang itu dari tanganku.

“Di mana Mama sembunyikan uang itu? Katakan, di mana?” tuntutku mulai frustrasi. Lima ratus juta itu bukan jumlah yang main-main.

“Keluar dari rumah ini sebelum aku memanggil polisi!” usirnya sambil menarik tanganku dengan paksa. Aku melepaskan diri darinya, lalu menuju kamar adik iparku. Bisa jadi dia menyembunyikan uang itu di sana.

Aku memeriksa kamar kedua adik Bakti. Setiap lemari, laci, dan sudut ruangan aku periksa dengan teliti, tetapi uang itu juga tidak ada. Aku tidak mau menghabiskan seluruh hidupku membayar utang yang sama sekali tidak aku gunakan. Rasanya aku ingin sekali berteriak marah, menangis, ketika membayangkan sepuluh hari bukanlah waktu yang lama. Ke mana? Ke mana uang sebanyak itu bisa hilang tidak berbekas?

Bab terkait

  • Istri Belian   Bab 4|Bukan Utangku

    “Apa kau sedang mempermainkan kami!?” hardik pria itu di depan wajahku. Pria yang datang kali ini adalah pria yang berbeda. Bila sebelumnya yang datang adalah tiga orang, maka yang datang malam ini adalah empat orang. Dua di antaranya bertubuh lebih tinggi dariku. Mereka pasti sengaja memilih orang-orang ini untuk mengintimidasi aku. Jantungku yang sudah berdebar sangat cepat, kini serasa akan lepas dari dadaku. Telingaku nyaris tuli mendengar detak jantungku sendiri dan gertakan mereka. Tubuhku bergetar dengan hebat menahan rasa takut. Aku menggigit bibirku dengan kuat menahan diriku agar tidak berteriak. “Hanya itu yang bisa aku kumpulkan dalam waktu sepuluh hari yang kalian berikan.” Aku berusaha memberanikan diriku sendiri untuk menjawab. Syukurlah, aku tidak tergagap saat bicara. “Utang itu bukan utangku. Bagaimana aku bisa mencari alternatif lain untuk mencari uang secepat ini?” “Kau seorang perempuan, mengapa kau tidak pikirkan saja cara lain untuk mendapatkan uang yang lebih

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-07
  • Istri Belian   Bab 5|Sang Penolong

    Aku tidak menduga dia akan mengajukan hal itu sebagai syaratnya. Karena dia adalah rekan bisnis bosku, aku pikir dia akan meminta aku membujuk Pak Luis untuk menyetujui proyek baru darinya atau hal lain yang ada hubungannya dengan pekerjaan. Hari Kamis artinya tiga hari lagi. Bila kami menikah pada hari Kamis, apa utangku baru akan dibayar setelah kami resmi menjadi suami istri? Tetapi kami tidak saling mengenal. Aku bahkan tidak tahu seperti apa orangnya. Tidak, tidak. Apa yang membuat aku ragu? Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Pria mana yang mau menikah dengan janda yang terlilit utang seperti aku? Terlebih lagi, Pak Benedict bukan pria biasa. Dia seorang pengusaha sukses yang punya banyak usaha lain selain yang berhubungan dengan garmen. Aku bukan hanya lepas dari utang, tetapi aku juga akan hidup nyaman selama dia masih menginginkan aku menjadi istrinya. Aku tidak akan hidup susah lagi seperti yang aku alami bersama Bakti. “Jadi, maksud Bapak, kita menikah pada hari Ka

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-07
  • Istri Belian   Bab 6|Tidak Dianggap

    ~Benedict~ Lahir dan besar di tengah-tengah keluarga terpandang dan kaya raya memberi aku begitu banyak kemudahan. Sebagai anak pertama, aku merasakan semua kemewahan sejak aku masih sangat kecil. Pakaian yang aku kenakan lebih bagus dari anak-anak kebanyakan. Makanan yang aku santap selalu enak di lidah. Rumah dan tempat tinggalku juga sangat nyaman. Kedua orang tua juga kakek dan nenekku sangat menyayangi aku. Hidupku penuh dengan cinta dan kasih sayang yang mereka curahkan kepadaku. Meskipun aku punya seorang adik laki-laki dan adik perempuan, mereka selalu memfokuskan perhatian mereka kepadaku. Aku sadar dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadaku sebagai penerus utama keluarga kami. Karena itu sejak aku masih sangat muda, aku belajar keras untuk mempersiapkan diriku menjadi pengganti Ayah kelak. Ibu meninggalkan kariernya demi membantu aku belajar di rumah. Namun saat aku menginjak usia sebelas tahun, Ayah menemukan ada yang aneh padaku. Ketika aku berusia dua belas tahun d

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-01
  • Istri Belian   Bab 7|Syarat Kedua

    Syarat yang pertama bisa dengan mudah aku penuhi. Aku membangun usaha yang aku miliki dari nol. Pengkhianatan rekan kerja pertama telah memberi aku pelajaran yang berharga. Jadi, aku berhati-hati saat memilih orang yang bekerja untukku, terutama mereka yang mengelola uangku. Berawal dari usaha pakaian yang tidak punya penjahit sendiri, kini aku punya beberapa pabrik, butik, bahkan peternakan dan perkebunan yang membantu persediaan bahan mentah usahaku. Merek dagangku diminati oleh para ibu, jadi aku tidak hanya menyediakan pakaian untuk orang spesial seperti aku, tetapi juga merambah pakaian anak-anak. Dalam waktu lima tahun, aku berhasil mengalahkan kesuksesan usaha perhotelan milik Kakek. Aku bahkan masuk daftar orang terkaya di ASEAN dua peringkat lebih tinggi dari Kakek. Keluargaku tidak berhenti mengejek dan menghina prestasiku. Tetapi aku mengabaikan hal itu dan fokus pada tujuan. Kakek adalah pria terhormat yang selalu memegang kata-katanya. Karena itu, aku percaya dia akan me

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-03
  • Istri Belian   Bab 8|Persiapan Matang

    Reaksi keluargaku sudah bukan kejutan lagi. Ini bukan pertama kalinya aku datang menemui mereka menyatakan rencanaku untuk menikah. Jadi, mereka tertawa dan mengejek aku dengan kalimat yang sudah aku hapal di luar kepala. Setelah mendengar mereka akan datang pada hari pernikahanku, maka tidak ada lagi yang perlu aku lakukan di rumah itu. Aku yakin bahwa mereka pasti akan datang. Mereka tidak akan melewatkan momen di mana aku mengalami hari paling sial dalam hidupku. “Ben.” Aku menghentikan langkahku saat mendengar suara ibuku. Aku membalikkan badan dan melihat dia tersenyum kepadaku. “Apa kamu sudah makan malam?” “Aku akan makan malam di apartemenku, Bu. Karno menunggu dan dia juga belum makan malam.” Aku menolak tawarannya sehalus mungkin. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang sayang kepadaku. Tetapi aku tidak mau menjadi sumber pertengkarannya dengan Ayah. Jadi, sebelum Ayah keluar dari ruang keluarga dan melihat aku masih ada di rumah ini, lebih baik bagiku untuk pergi. “Kalau

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-04
  • Istri Belian   Bab 9|Pernikahan Tertutup

    Musik memecahkan keheningan di dalam bangunan besar yang hanya diisi oleh beberapa orang tersebut. Pianis memainkan lagu pernikahan dan pintu belakang gereja pun terbuka. Aku melihat ke arah belakang di mana Delima berjalan didampingi oleh ayahnya. Dia mengenakan gaun berwarna hitam dengan rok panjang menutupi hingga mata kakinya. Aku sudah melihat dia di ruang tunggu, jadi aku tahu dia sengaja menata rambutnya dengan sederhana tanpa hiasan apa pun. Perhiasan satu-satunya pada tubuhnya adalah anting panjang mutiara di telinganya. Dia membawa bunga mawar pada tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya melingkar di lekukan lengan ayahnya. Meskipun dia tidak tersenyum, kecantikannya sama sekali tidak berkurang. Wajahnya kini sedikit lebih rileks, tidak setegang saat aku bicara dengannya. Berbeda dengan pria yang berjalan di sisinya. Ayahnya terlihat berusaha keras untuk menutupi rasa marahnya. Itukah sebabnya mereka membutuhkan waktu cukup lama untuk datang? Apa mereka bertengkar di rua

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-06
  • Istri Belian   Bab 10|Perjanjian Pranikah

    ~Delima~ Pria itu tidak berbohong. Dia telah membayar lunas semua utang yang diwariskan Bakti kepadaku. Jumlah totalnya kurang dari lima ratus juta karena mereka memberi diskon untuk pelunasan tunai dalam waktu kurang dari satu tahun peminjaman diterima. Nama Bakti, nomor tanda pengenal, juga namaku dan nomor tanda pengenalku ada pada selembar kertas pelunasan tersebut. Aku sudah tidak punya kewajiban apa pun lagi kepada para rentenir itu. Aku sepenuhnya bebas dari lilitan utang. Air mata menetes satu per satu membasahi surat tersebut. Aku segera menjauhkannya dariku agar bukti pembayaran itu tidak rusak. Orang-orang jahat itu tidak akan datang lagi untuk mengancam dan mengintimidasi aku. Tidak ada lagi teriakan, benda yang dilempar, atau kunjungan dadakan yang membuat aku tidak bisa tidur. Aku juga tidak perlu menahan rasa malu harus meminjam uang kepada orang lain. Aku sudah selamat. Karena pria itu telah menepati janjinya lebih cepat dari waktu yang sudah kami sepakati bersama,

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-10
  • Istri Belian   Bab 11|Percakapan Pertama

    Aku tidak berniat menjawab telepon itu karena aku tidak punya hubungan apa pun lagi dengan mereka. Tetapi mengingat sifat mantan ibu mertuaku itu, yang tidak akan berhenti mengganggu aku sampai aku menjawab panggilan darinya, maka aku menjawabnya. “Kamu ada di mana? Mengapa kamu tidak ada di rumahmu?” tanyanya tanpa basa-basi. “Maaf, Tante.” Aku sengaja memberi penegasan pada kata tante. “Kita sudah tidak punya hubungan apa pun lagi, jadi aku tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan itu.” “Tidak punya hubungan? Kamu adalah janda putraku. Sampai kamu mati nanti, kamu masih punya kewajiban kepadaku. Putraku sudah tidak ada, maka mengurus keperluanku dan adik-adiknya sudah menjadi tanggung jawabmu,” katanya dengan tegas. Perempuan ini memang sudah gila dan tidak tahu malu. Aku dan Bakti sudah bercerai secara resmi lewat kematian. Kami tidak punya anak, lalu apa yang masih mengikat antara aku dan keluarganya? Tidak ada. Apa wanita ini pura-pura tidak tahu mengenai fakta tersebut

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-08

Bab terbaru

  • Istri Belian   Bab 102|Menyayangi Selamanya

    ~Delima~ Setiap kali mengingat Rora, aku selalu tertawa. Idenya dan saudara sepupunya itu termasuk biasa, namun brilian. Rora memanfaatkan ketidaktahuannya mengenai hubungan Elan dan Sania. Mereka beranggapan bahwa keluarga besar mereka juga tidak mengetahuinya. Elan datang dengan santainya ke acara ulang tahun Nenek Rora dan Sania. Keluarga Sania yang segera mengenalinya, langsung memarahinya habis-habisan. Ternyata Elan memutuskan hubungan secara sepihak. Dia tidak datang dan bicara baik-baik dengan keluarga Sania. Spontan saja kedua kakak laki-laki Sania dan ayahnya menggelar sidang di depan keluarga besar tersebut. Rora dan Sania membuat siaran langsung kejadian itu di media sosial mereka. Semoga saja Elan jera mempermainkan hati wanita. Aku bisa memahami perasaannya yang dia pendam untukku. Tetapi aku tidak bisa mengerti keegoisannya yang memaksa aku meninggalkan suamiku dan memberi dia kesempatan untuk menjalin hubungan denganku. Sania adalah wanita yang cantik dan dari cerit

  • Istri Belian   Bab 101|Menjaga Selamanya

    ~Benedict~ Delima dan kedua bayi kami sudah bukan milikku seorang begitu kedua orang tua kami mengetahui kehamilannya. Apalagi saat mereka tahu ada dua bayi yang tumbuh di rahimnya. Setiap akhir pekan, mereka ada di mana kami berada, lalu memanjakan Delima. Aku tersingkir dan hanya bisa manyun melihat istriku mereka monopoli. Bahkan saat kami mengunjungi dokter kandungan untuk melakukan USG pada minggu kedua puluh. Sesuai kesepakatan, kami ingin tahu jenis kelamin kedua bayi kami. Ayah, Ibu, Papa, dan Mama juga tidak mau ketinggalan untuk menjadi yang pertama mengetahui gender cucu mereka. Untung saja dokter melakukan hal yang bijak dengan mengusir para orang tua itu dan mengizinkan aku mendampingi istriku. Tetapi setelah aku melihat sendiri dan mendengarkan penjelasan dari dokter, maka aku mempersilakan kedua orang tua kami untuk bergantian melihatnya juga. Ada begitu banyak perayaan yang aku adakan pada akhir tahun. Aku tidak menyesal telah merogoh kocek dalam-dalam demi membahag

  • Istri Belian   Bab 100|Kesalahan yang Fatal

    Elan segera keluar dari bilikku tanpa menunggu responsku. Laudya menatap aku dengan khawatir. Aku tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Apa yang Elan lakukan kepada Rora? Apa mereka sedang menjalin hubungan asmara? “Apa yang terjadi, Delima?” tanya Dhini yang melihat dari atas papan pemisah bilik kami. “Mengapa Elan datang menemui kamu pada jam kerja? Aku hanya mengangkat kedua bahuku. “Pria yang aneh.” Dhini menggeleng pelan, sedangkan aku tertawa mendengarnya. Pada jam istirahat makan siang, aku mengerti mengapa Elan sampai nekat datang ke bilikku tadi. Ternyata dia mengundurkan diri. Dia sangat mencintai pekerjaannya, jadi aku tahu bahwa dia tidak melakukan itu dengan sukarela. Pasti Ben yang menyuruhnya memberikan surat pengunduran diri itu. Aku bertemu pandang dengan Natasha yang melihat aku dengan hormat, begitu juga teman-teman dari divisinya. Dia tidak lagi menatap aku dengan tajam. Itu perubahan yang sangat baik. “Menjadi istri bos memang ada keuntung

  • Istri Belian   Bab 99|Hadiah dari Kakek

    ~Delima~ Aku melihat seorang wanita muda yang cantik sedang menatap Ben sambil berkedip genit. Dia salah satu pemenang lomba yang tadi makan bersama kami. Apa yang dia lakukan di sini? Bukankah acara sudah selesai? Lalu mengapa dia lancang sekali memanggil Ben dengan namanya saja tanpa gelar bapak seperti yang mereka lakukan di dalam? “Apa yang perlu diingat lagi?” Ben balik bertanya. “Oh, ayolah, Ben. Kita hampir menikah. Bagaimana mungkin kamu bisa melupakan aku secepat itu? Kamu memilih aku sebagai pemenang pasti karena kamu ingat denganku, ‘kan?” katanya menggoda. “Ooo. Apa kamu wanita yang kabur pada hari pernikahan setelah melihat aku? Pantas saja aku butuh waktu untuk mengingatnya. Kamu salah paham. Saat memilih pemenang, aku memilih desain. Tidak ada nama yang tertera supaya penilaiannya adil,” jawab Ben dengan senyum mengejek di wajahnya. “Aku masih di sini sampai besok. Kamu pasti tahu nomor kamarku. Bila kamu ingin mengobrol ….” Dia melirik ke arahku sebelum kembali men

  • Istri Belian   Bab 98|Memegang Kendali

    Suasana ruang kerja yang semula tenang itu berubah ramai dengan suara Ayah yang memarahi Kenneth dan Ibu yang menangis setengah menjerit tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Aku segera meminta rekaman CCTV ruang kerja Kenneth untuk melihat apa benar dia yang telah menelepon Kakek lewat ponsel itu pada saat Kakek terkena serangan jantung. Petugas keamanan bingung saat Ayah memerintahkan mereka untuk membawa Kenneth ke kantor polisi. Nelson mengikuti mereka. Dia juga sudah membawa bukti rekaman CCTV di mana adikku itu telah beberapa kali melakukan kekerasan kepadaku beberapa bulan belakangan. Dengan semua bukti itu, aku yakin dia tidak akan diizinkan keluar dari tahanan sampai proses pengadilan selesai. Kemudian aku meminta semua laporan keuangan terbaru yang asli, bukan yang palsu untuk aku pelajari. Sekretaris Kenneth menoleh ke arah Ayah untuk meminta persetujuannya. Ayah segera mengangguk setuju dan memberi tahu bahwa mulai dari hari ini aku yang pegang kendali penuh. T

  • Istri Belian   Bab 97|Permintaan Ayah

    ~Benedict~ Dadaku sakit sekali mendengar dia mengatakan pisah. Seketika itu juga aku tidak peduli dengan apa pun yang ada di dunia ini. Aku juga tidak peduli bila aku harus berlutut memohon kepadanya. Aku tidak mau dia pergi dariku. Walaupun dia meminta seluruh hartaku, aku akan memberikan semua kepadanya. Benda itu tidak ada artinya tanpa dia di sisiku. Namun Delima memberi aku kejutan lainnya. Dia sedang hamil. Kenneth dan Eloisa selalu mengejek aku tidak akan pernah menikah apalagi punya anak seperti mereka. Jadi, berita itu adalah keajaiban bagiku. Ketika melihat foto hitam putih mereka, aku tidak tahu di mana mereka berada. Tetapi aku percaya bahwa mereka ada di dalam perut istriku. Selama ini aku berpikir bahwa aku adalah ciptaan yang dilupakan oleh Tuhan. Dia pasti bercanda pada saat menciptakan aku dengan segala kekuranganku. Ternyata Dia masih mengingat aku dan memberikan aku bukan satu, tetapi dua orang anak sekaligus. Aku tidak muda lagi, tetapi aku berjanji akan bertahan

  • Istri Belian   Bab 96|Akhir Penantian

    Pikiranku kacau, dadaku terasa sesak, karena aku tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Aku bahagia, karena penantian panjangku sudah berakhir. Kehamilan ini sudah lama aku harapkan, tetapi keadaannya sedang tidak memungkinkan. Ben tidak mau kami punya anak. Jika alat ini akurat, maka hubunganku dan Ben juga berakhir. Aku tidak berhenti menangis memikirkan hubungan kami harus usai secepat ini. Memikirkan kondisi janin yang aku kandung tidak membuat aku cukup kuat menghentikan air mata yang mengalir jatuh dengan deras di pipiku. Seharusnya ini adalah kabar baik, kabar yang membahagiakan. Sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tidak terlalu memerhatikan apa yang terjadi di makam Kakek. Eloisa entah bicara apa, Ayah dan Ibu yang kemudian datang membahas apa, tidak aku dengarkan. Ben mengajak aku ke mana pun, aku hanya mengikutinya saja. Namun saat tiba di rumah, aku segera kembali ke kamar dan menyendiri. Aku perlu memikirkan hal ini seorang diri. Yang pasti, aku menginginkan bayi in

  • Istri Belian   Bab 95|Penantian Panjang

    ~Delima~ Beraninya dia mengatakan cinta pada tarikan napas yang sama dia menyebut tidak mau memiliki anak bersamaku. Dengan intensitas kami melakukan hubungan suami istri, apa dia pikir kami bisa mencegah seorang anak lahir? Juga beraninya dia menuduh aku akan berubah pikiran terhadap anakku sendiri seandainya dia mempunyai kekurangan. Aku bukan ayah atau ibunya. Aku tidak akan membuang anakku sendiri seperti yang mereka lakukan. Malam itu, usai bicara dengannya, aku tidak melarang dia tidur bersamaku. Tetapi aku tidak sudi berbaring menghadapnya seperti kebiasaan kami tidur bersama. Aku sangat kesal dan tidak mau melihat wajahnya agar amarahku tidak semakin memuncak. Untuk pertama kalinya, kiriman bunga darinya aku buang ke tempat sampah. Aku tidak butuh bunga atau kartu untuk mewakili dia menyampaikan pesannya. Dia bisa bicara langsung denganku. Elan yang tidak tahu diri itu juga masih berani mengajak aku bicara. Tidak tahan lagi dengan sikapnya, aku memarahinya panjang lebar dan

  • Istri Belian   Bab 94|Usaha yang Gagal

    Mama tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia justru cepat-cepat mengakhiri percakapan kami. Mungkin Delima sedang berada di dekatnya dan Mama tidak mau istriku sampai tahu bahwa Mama melaporkan sakitnya kepadaku. Aku semakin panik, karena tidak tahu sakitnya parah atau tidak. Ini semua salahku. Seharusnya aku mengajak dia bicara baik-baik. Bukan memaksakan kehendakku kepadanya. Dia seorang wanita, wajar saja dia memiliki jiwa keibuan yang mengharapkan memiliki anak sendiri. Apalagi kakak iparnya sedang hamil. Sedikit banyak, dia pasti merindukan kehadiran anak-anak juga. Aku malah tidak peka dan bersikap egois. Untuk meminta maaf kepadanya, aku meneruskan rencanaku. Setidaknya saat dia pulang nanti, dia tahu bahwa aku menyesal sudah menyakiti perasaannya. Aku tidak mau tidur sendirian lagi. Deva dan semua pelayan membantu aku menyiapkan kejutan untuk istriku. Namun saat dia pulang, dia hanya diam saja melihat balon dan bunga yang ada di sekitarku, juga papan bertuliskan maafkan aku yan

DMCA.com Protection Status