Hai, teman-teman pembaca. Terima kasih banyak atas kesabaran teman-teman menunggu lanjutan kisah Delima dan Benedict, ya. Aku usahakan menambah satu bab per hari bila tidak ada halangan yang berarti. Aku akan publikasikan lanjutannya besok. Salam sayang, Meina H.
Seorang pria bertubuh lebih tinggi dariku, tersenyum ramah. Wajahnya persegi dengan tulang pipi yang menonjol dan rahang yang tegas. Hidungnya mancung dengan bibir yang tipis di atas dan tebal di bagian bawah. Dahinya yang lebar dia tutupi dengan poni berbelah pinggir yang sedikit menutupi matanya. Rambutnya lurus dan tebal. Yang menarik adalah matanya tertutup saat dia tersenyum. “Jangan bilang, kamu sudah lupa kepadaku,” kata pria itu sambil memicingkan matanya. “Baru-baru ini kita bicara di telepon, bagaimana mungkin aku melupakan kamu?” Aku membalas senyumnya. “Kamu banyak berubah, jadi aku sedikit pangling.” Pria bernama Elan ini adalah teman sekelasku semasa SMU. Aku tidak ingat apa yang membuat kami dekat, tetapi kami cukup sering bersama sampai teman-teman berpikir kami berpacaran. Dia adalah sahabat baikku, jadi aku tidak tertarik untuk punya hubungan lebih dari itu. Lagi pula semasa SMU, aku sudah jatuh cinta pada sahabat baik Kak Pangestu. Bakti datang ke rumah hampir se
Aku diam sejenak dan tidak tergesa-gesa menanggapi kalimatnya itu. Seingatku, tidak ada satu poin pun dalam surat perjanjian pranikah kami yang membahas tentang pekerjaanku. Lagi pula aku terikat kontrak kerja, tidak mungkin bisa meninggalkan posisiku sembarangan. Selama aku menikah dengan Ben, dia akan memberi aku uang bulanan yang cukup besar. Jumlah uang itu jauh lebih besar dari gajiku sebagai sekretaris Pak Luis. Bila aku tidak bekerja, maka aku tidak akan kekurangan uang. Aku yakin uang pemberiannya itu tidak akan habis aku gunakan. Aku akan tinggal bersamanya, makan di rumahnya, tidak ada yang perlu aku beli dengan uangku sendiri. Tetapi ketika kami bercerai nanti, bagaimana aku membiayai hidupku? Meskipun dia akan memberi aku banyak uang saat kami berpisah, uang itu hanya akan aku terima apabila kami genap menikah selama satu tahun. Usia manusia tidak ada yang tahu, bagaimana kalau kakeknya meninggal dalam waktu dekat? Aku tidak akan mendapat uang satu miliar yang tertera pad
Dia tertawa kecil. “Apa kamu tidak membaca detail properti yang aku miliki? Ini bukan satu-satunya apartemen di gedung ini yang aku punya, Ima.” Wow. Dia tidak membeli sebuah penthouse melainkan beberapa apartemen? Itu di luar dugaanku. “Ben, daftar harta yang kamu miliki ada banyak dan aku tidak tertarik membacanya. Semua itu milikmu, untuk apa aku menghafal semuanya?” Dia berjalan menuju ruang tengah, aku mengikutinya. “Karno tinggal di apartemen nomor tiga, sedangkan Gayuh dan Mara di apartemen nomor dua. Mereka adalah pengurus apartemenku. Mara juga bertugas sebagai koki. Tetapi sebulan sekali aku meminta mereka untuk memanggil jasa untuk membersihkan ketiga apartemen secara menyeluruh.” Dia duduk di sofa. “Apartemen dua dan tiga yang ada di lantai ini juga?” tanyaku mengonfirmasi. “Iya. Gayuh dan Mara sudah menyusun barang-barang pribadi kamu di kamar utama. Aku akan tidur di kamar kedua. Kita hanya tinggal di sini pada hari kerja agar kita tidak perlu berangkat terlalu pagi k
~Benedict~ Pernikahanku dengan Delima hanya sementara, jadi aku tidak mau kami terlalu akrab. Setiap kali dia mengarahkan percakapan kami ke area pribadi, aku memilih untuk diam atau tersenyum. Dia tidak bersikap seperti perempuan manja dan kekanak-kanakan. Begitu dia melihat bahwa aku tidak akan membicarakan hal pribadi, dia tidak marah atau protes. Sebaliknya, dia mencari topik aman sampai aku mau meresponsi pertanyaan atau pernyataannya. Kali ini aku tidak salah memilih istri. Dia bukan sekadar perempuan depresi yang ingin lepas dari utang besar yang melilitnya. Namun dia juga adalah wanita yang memegang kata-katanya. Dia tidak lari dari pernikahan kami dan sepertinya dia adalah istri yang baik yang suka melayani suami. Selama suaminya masih hidup, dia pasti sering membuatkan makanan atau minuman untuknya. Aku terbiasa menerima tatapan jijik, kasihan, atau mengejek dari perempuan, bahkan laki-laki, yang melihat keadaanku. Tetapi dia tidak pernah melihat aku seperti itu. Dia bersi
Yang aku sukai dari Karno adalah kejujurannya. Delima pasti meminta dia untuk tidak melaporkan apa pun kepadaku, tetapi sopirku lebih memilih untuk mendengarkan perintahku. Ini adalah salah satu alasan aku memercayai Karno. Aku sudah terbiasa mendengar laporan buruk. Segala hal yang terjadi dalam hidupku, selama aku masih menjadi anak yang disembunyikan oleh keluargaku sendiri, akan selalu buruk. Jadi, aku tidak terkejut saat Karno menyebut ada hal yang terjadi di luar rencana. “Masalah apa?” tanyaku sambil lalu. Aku tidak mau memberi kesan bahwa aku khawatir, juga tidak mau dianggap tidak peduli kepadanya. Biar bagaimana pun, wanita itu adalah bagian terpenting dari rencana besarku ke depan. “Nyonya tidak sengaja bertemu dengan Ibu Eloisa dan Ibu Jennifer di toko perabotan, Tuan. Mereka memperlakukan Nyonya dengan buruk,” lapornya dengan jujur. Aku mengangguk mengerti, sudah bisa membayangkan apa yang dilakukan adik dan adik iparku kepada istriku di tempat umum. “Delima bisa melad
“Jangan khawatirkan apa yang mereka katakan. Aku menangani segalanya dengan baik,” katanya dengan santai. “Aku tahu hubungan kamu dengan mereka tidak baik, jadi sebaiknya kamu tidak mencari masalah dengan mereka.” Dia menghindar untuk menjawab pertanyaanku. Aku sudah bisa bayangkan apa yang mereka katakan kepadanya. Semoga saja mereka tidak menghina dia dan menyinggung mengenai statusnya sebagai seorang janda. Dia masih dalam suasana duka dan menyerang dia lewat statusnya itu sangatlah jahat. Eloisa dan Jennifer ternyata belum berubah. Mereka tidak membutuhkan apa pun lagi di rumah mereka. Setiap ruangan sudah mempunyai perabotannya masing-masing yang dipilih langsung oleh desainer interior ternama. Mereka pasti hanya mau membuang-buang duit membeli perabotan yang tidak akan mereka gunakan untuk jangka waktu panjang. Karena lokasi kantor Delima lebih jauh, Karno mengantar aku terlebih dahulu. Delima menolak dan berniat menggunakan angkutan umum, tetapi aku tidak mengizinkannya. Dia
~Delima~ Aku sudah lama tidak membeli perabotan baru, apalagi ke tempat yang menyediakan barang mahal dan sangat bagus seperti ini. Karno mengantar aku ke pusat penjualan segala hal yang dibutuhkan di sebuah rumah yang menjadi langganan Ben. Aku meminta dia untuk pergi ke tempat lain, tetapi Ben menginstruksikannya untuk membawa aku ke tempat ini. Harga yang tertera pada setiap perabotan yang ingin aku beli sangatlah mahal. Walaupun aku memegang sebuah kartu yang nilainya pasti melebihi semua barang yang akan aku beli, aku tidak tega mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk perabotan saja. “Beli saja apa yang Anda butuhkan, Nyonya. Saya yakin Tuan tidak akan keberatan,” ucap Karno menghalangi aku untuk pergi dari meja makan yang sedari tadi menarik perhatianku. Aku mendesah pelan. “Baiklah.” Aku meminta kepada seorang pelayan yang kebetulan lewat untuk membuat kuitansi pembelian meja makan tersebut. Setelah membeli dua lemari, meja dan kursi santai untuk diletakkan di teras, aku
Agar suaraku tidak bergema di dalam toilet, aku menjawab panggilan tersebut di luar. Seorang wanita memperkenalkan dirinya kepadaku dan menyebut bahwa dia dan suaminya tertarik untuk membeli rumahku. Aku hampir saja berteriak senang mendengarnya. Mereka ingin bertemu denganku secepatnya karena tidak mau didahului oleh pembeli yang lain. Aku menjauhkan ponsel itu dari telingaku untuk memerhatikan layarnya. Iya, ponsel itu masih terhubung dengan penelepon tersebut. Aku tidak sedang bermimpi. “Bila memungkinkan, kami ingin bertemu dengan Anda malam ini. Kami sedang melewati gang di mana rumah Anda berada dan kami tertarik dengan rumah itu. Kami memang mencari rumah kecil untuk bisa kami tempati. Kami baru saja menikah dan tidak berencana memiliki anak. Jadi, rumah ini sangat sempurna!” ucap wanita itu setengah mendesak. “Ah, tetapi ada yang perlu Ibu ketahui mengenai rumah tersebut,” kataku tidak mau merasa senang sebelum semuanya pasti. “Suami saya meninggal di rumah itu dan—” “Kami
~Delima~ Setiap kali mengingat Rora, aku selalu tertawa. Idenya dan saudara sepupunya itu termasuk biasa, namun brilian. Rora memanfaatkan ketidaktahuannya mengenai hubungan Elan dan Sania. Mereka beranggapan bahwa keluarga besar mereka juga tidak mengetahuinya. Elan datang dengan santainya ke acara ulang tahun Nenek Rora dan Sania. Keluarga Sania yang segera mengenalinya, langsung memarahinya habis-habisan. Ternyata Elan memutuskan hubungan secara sepihak. Dia tidak datang dan bicara baik-baik dengan keluarga Sania. Spontan saja kedua kakak laki-laki Sania dan ayahnya menggelar sidang di depan keluarga besar tersebut. Rora dan Sania membuat siaran langsung kejadian itu di media sosial mereka. Semoga saja Elan jera mempermainkan hati wanita. Aku bisa memahami perasaannya yang dia pendam untukku. Tetapi aku tidak bisa mengerti keegoisannya yang memaksa aku meninggalkan suamiku dan memberi dia kesempatan untuk menjalin hubungan denganku. Sania adalah wanita yang cantik dan dari cerit
~Benedict~ Delima dan kedua bayi kami sudah bukan milikku seorang begitu kedua orang tua kami mengetahui kehamilannya. Apalagi saat mereka tahu ada dua bayi yang tumbuh di rahimnya. Setiap akhir pekan, mereka ada di mana kami berada, lalu memanjakan Delima. Aku tersingkir dan hanya bisa manyun melihat istriku mereka monopoli. Bahkan saat kami mengunjungi dokter kandungan untuk melakukan USG pada minggu kedua puluh. Sesuai kesepakatan, kami ingin tahu jenis kelamin kedua bayi kami. Ayah, Ibu, Papa, dan Mama juga tidak mau ketinggalan untuk menjadi yang pertama mengetahui gender cucu mereka. Untung saja dokter melakukan hal yang bijak dengan mengusir para orang tua itu dan mengizinkan aku mendampingi istriku. Tetapi setelah aku melihat sendiri dan mendengarkan penjelasan dari dokter, maka aku mempersilakan kedua orang tua kami untuk bergantian melihatnya juga. Ada begitu banyak perayaan yang aku adakan pada akhir tahun. Aku tidak menyesal telah merogoh kocek dalam-dalam demi membahag
Elan segera keluar dari bilikku tanpa menunggu responsku. Laudya menatap aku dengan khawatir. Aku tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Apa yang Elan lakukan kepada Rora? Apa mereka sedang menjalin hubungan asmara? “Apa yang terjadi, Delima?” tanya Dhini yang melihat dari atas papan pemisah bilik kami. “Mengapa Elan datang menemui kamu pada jam kerja? Aku hanya mengangkat kedua bahuku. “Pria yang aneh.” Dhini menggeleng pelan, sedangkan aku tertawa mendengarnya. Pada jam istirahat makan siang, aku mengerti mengapa Elan sampai nekat datang ke bilikku tadi. Ternyata dia mengundurkan diri. Dia sangat mencintai pekerjaannya, jadi aku tahu bahwa dia tidak melakukan itu dengan sukarela. Pasti Ben yang menyuruhnya memberikan surat pengunduran diri itu. Aku bertemu pandang dengan Natasha yang melihat aku dengan hormat, begitu juga teman-teman dari divisinya. Dia tidak lagi menatap aku dengan tajam. Itu perubahan yang sangat baik. “Menjadi istri bos memang ada keuntung
~Delima~ Aku melihat seorang wanita muda yang cantik sedang menatap Ben sambil berkedip genit. Dia salah satu pemenang lomba yang tadi makan bersama kami. Apa yang dia lakukan di sini? Bukankah acara sudah selesai? Lalu mengapa dia lancang sekali memanggil Ben dengan namanya saja tanpa gelar bapak seperti yang mereka lakukan di dalam? “Apa yang perlu diingat lagi?” Ben balik bertanya. “Oh, ayolah, Ben. Kita hampir menikah. Bagaimana mungkin kamu bisa melupakan aku secepat itu? Kamu memilih aku sebagai pemenang pasti karena kamu ingat denganku, ‘kan?” katanya menggoda. “Ooo. Apa kamu wanita yang kabur pada hari pernikahan setelah melihat aku? Pantas saja aku butuh waktu untuk mengingatnya. Kamu salah paham. Saat memilih pemenang, aku memilih desain. Tidak ada nama yang tertera supaya penilaiannya adil,” jawab Ben dengan senyum mengejek di wajahnya. “Aku masih di sini sampai besok. Kamu pasti tahu nomor kamarku. Bila kamu ingin mengobrol ….” Dia melirik ke arahku sebelum kembali men
Suasana ruang kerja yang semula tenang itu berubah ramai dengan suara Ayah yang memarahi Kenneth dan Ibu yang menangis setengah menjerit tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Aku segera meminta rekaman CCTV ruang kerja Kenneth untuk melihat apa benar dia yang telah menelepon Kakek lewat ponsel itu pada saat Kakek terkena serangan jantung. Petugas keamanan bingung saat Ayah memerintahkan mereka untuk membawa Kenneth ke kantor polisi. Nelson mengikuti mereka. Dia juga sudah membawa bukti rekaman CCTV di mana adikku itu telah beberapa kali melakukan kekerasan kepadaku beberapa bulan belakangan. Dengan semua bukti itu, aku yakin dia tidak akan diizinkan keluar dari tahanan sampai proses pengadilan selesai. Kemudian aku meminta semua laporan keuangan terbaru yang asli, bukan yang palsu untuk aku pelajari. Sekretaris Kenneth menoleh ke arah Ayah untuk meminta persetujuannya. Ayah segera mengangguk setuju dan memberi tahu bahwa mulai dari hari ini aku yang pegang kendali penuh. T
~Benedict~ Dadaku sakit sekali mendengar dia mengatakan pisah. Seketika itu juga aku tidak peduli dengan apa pun yang ada di dunia ini. Aku juga tidak peduli bila aku harus berlutut memohon kepadanya. Aku tidak mau dia pergi dariku. Walaupun dia meminta seluruh hartaku, aku akan memberikan semua kepadanya. Benda itu tidak ada artinya tanpa dia di sisiku. Namun Delima memberi aku kejutan lainnya. Dia sedang hamil. Kenneth dan Eloisa selalu mengejek aku tidak akan pernah menikah apalagi punya anak seperti mereka. Jadi, berita itu adalah keajaiban bagiku. Ketika melihat foto hitam putih mereka, aku tidak tahu di mana mereka berada. Tetapi aku percaya bahwa mereka ada di dalam perut istriku. Selama ini aku berpikir bahwa aku adalah ciptaan yang dilupakan oleh Tuhan. Dia pasti bercanda pada saat menciptakan aku dengan segala kekuranganku. Ternyata Dia masih mengingat aku dan memberikan aku bukan satu, tetapi dua orang anak sekaligus. Aku tidak muda lagi, tetapi aku berjanji akan bertahan
Pikiranku kacau, dadaku terasa sesak, karena aku tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Aku bahagia, karena penantian panjangku sudah berakhir. Kehamilan ini sudah lama aku harapkan, tetapi keadaannya sedang tidak memungkinkan. Ben tidak mau kami punya anak. Jika alat ini akurat, maka hubunganku dan Ben juga berakhir. Aku tidak berhenti menangis memikirkan hubungan kami harus usai secepat ini. Memikirkan kondisi janin yang aku kandung tidak membuat aku cukup kuat menghentikan air mata yang mengalir jatuh dengan deras di pipiku. Seharusnya ini adalah kabar baik, kabar yang membahagiakan. Sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tidak terlalu memerhatikan apa yang terjadi di makam Kakek. Eloisa entah bicara apa, Ayah dan Ibu yang kemudian datang membahas apa, tidak aku dengarkan. Ben mengajak aku ke mana pun, aku hanya mengikutinya saja. Namun saat tiba di rumah, aku segera kembali ke kamar dan menyendiri. Aku perlu memikirkan hal ini seorang diri. Yang pasti, aku menginginkan bayi in
~Delima~ Beraninya dia mengatakan cinta pada tarikan napas yang sama dia menyebut tidak mau memiliki anak bersamaku. Dengan intensitas kami melakukan hubungan suami istri, apa dia pikir kami bisa mencegah seorang anak lahir? Juga beraninya dia menuduh aku akan berubah pikiran terhadap anakku sendiri seandainya dia mempunyai kekurangan. Aku bukan ayah atau ibunya. Aku tidak akan membuang anakku sendiri seperti yang mereka lakukan. Malam itu, usai bicara dengannya, aku tidak melarang dia tidur bersamaku. Tetapi aku tidak sudi berbaring menghadapnya seperti kebiasaan kami tidur bersama. Aku sangat kesal dan tidak mau melihat wajahnya agar amarahku tidak semakin memuncak. Untuk pertama kalinya, kiriman bunga darinya aku buang ke tempat sampah. Aku tidak butuh bunga atau kartu untuk mewakili dia menyampaikan pesannya. Dia bisa bicara langsung denganku. Elan yang tidak tahu diri itu juga masih berani mengajak aku bicara. Tidak tahan lagi dengan sikapnya, aku memarahinya panjang lebar dan
Mama tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia justru cepat-cepat mengakhiri percakapan kami. Mungkin Delima sedang berada di dekatnya dan Mama tidak mau istriku sampai tahu bahwa Mama melaporkan sakitnya kepadaku. Aku semakin panik, karena tidak tahu sakitnya parah atau tidak. Ini semua salahku. Seharusnya aku mengajak dia bicara baik-baik. Bukan memaksakan kehendakku kepadanya. Dia seorang wanita, wajar saja dia memiliki jiwa keibuan yang mengharapkan memiliki anak sendiri. Apalagi kakak iparnya sedang hamil. Sedikit banyak, dia pasti merindukan kehadiran anak-anak juga. Aku malah tidak peka dan bersikap egois. Untuk meminta maaf kepadanya, aku meneruskan rencanaku. Setidaknya saat dia pulang nanti, dia tahu bahwa aku menyesal sudah menyakiti perasaannya. Aku tidak mau tidur sendirian lagi. Deva dan semua pelayan membantu aku menyiapkan kejutan untuk istriku. Namun saat dia pulang, dia hanya diam saja melihat balon dan bunga yang ada di sekitarku, juga papan bertuliskan maafkan aku yan