Agar suaraku tidak bergema di dalam toilet, aku menjawab panggilan tersebut di luar. Seorang wanita memperkenalkan dirinya kepadaku dan menyebut bahwa dia dan suaminya tertarik untuk membeli rumahku. Aku hampir saja berteriak senang mendengarnya. Mereka ingin bertemu denganku secepatnya karena tidak mau didahului oleh pembeli yang lain. Aku menjauhkan ponsel itu dari telingaku untuk memerhatikan layarnya. Iya, ponsel itu masih terhubung dengan penelepon tersebut. Aku tidak sedang bermimpi. “Bila memungkinkan, kami ingin bertemu dengan Anda malam ini. Kami sedang melewati gang di mana rumah Anda berada dan kami tertarik dengan rumah itu. Kami memang mencari rumah kecil untuk bisa kami tempati. Kami baru saja menikah dan tidak berencana memiliki anak. Jadi, rumah ini sangat sempurna!” ucap wanita itu setengah mendesak. “Ah, tetapi ada yang perlu Ibu ketahui mengenai rumah tersebut,” kataku tidak mau merasa senang sebelum semuanya pasti. “Suami saya meninggal di rumah itu dan—” “Kami
~Benedict~ Delima bicara dengan antusias dengan pasangan suami istri yang terlihat begitu bahagia di depan rumahnya. Tangan kiri pria itu melingkari pinggang istrinya dan mereka terlihat sangat serasi. Tubuh pria itu sedikit lebih tinggi dari istrinya. Pemandangan yang ideal. Aku tidak akan bisa memberikan kesan yang sama kepada siapa pun bila aku berdiri di samping Delima. Karno bahkan terlihat lebih serasi berada di sisinya. Dengan tubuh pendekku, aku lebih cocok menjadi anaknya daripada suaminya. Lagi pula aku perlu menjaga perasaan pasangan itu. Mereka bisa saja membatalkan niat mereka untuk membeli rumah itu jika melihat keadaanku. Jadi, lebih baik aku menunggu di dalam mobil sampai urusan mereka selesai. Aku menoleh ke arah rumah yang telah membuat mereka jatuh cinta. Nelson memang tidak salah memilih orang untuk merenovasi rumah tersebut. Hanya dalam waktu satu hari mereka berhasil membuatnya sangat indah hingga membuat pembeli jatuh cinta pada pandangan pertama. Delima men
Mobil berhenti dengan kasar sampai tubuhku terdorong jauh ke depan, kemudian terhempas dengan keras ke sandaran jok. Aku mengerang kesakitan, begitu juga dengan Nelson dan Karno. Setelah bunyi ledakan yang memekakkan telinga dan mobil yang sempat kehilangan kendali, situasi di sekitar kami pun hening sejenak. Jantungku berdebar dengan liar di dadaku, membuat aku kesulitan bernapas. Dadaku terasa sakit sekali. Aku memeriksa badanku, tidak ada yang terluka. Kaca jendela mobil di sisiku ditutupi dengan kantong udara keselamatan, begitu juga dengan jendela di seluruh mobil. “Apa yang terjadi?” tanyaku heran. “Bunyi apa itu tadi?” “Bunyinya berasal dari luar mobil, Tuan. Saya akan periksa, Anda tunggu di dalam mobil saja.” Karno membuka pintu mobil di sisinya, lalu menutupnya kembali. “Temani Karno. Aku akan menunggu di dalam mobil. Bila dia butuh bantuan, kamu bisa menolong, sedangkan aku tidak.” Aku mengusap-usap kepalaku yang tadi terantuk keras di sandaran jok. “Baik, Pak.” Nelson
~Delima~ “Ahh … akhirnya aku bisa menarik napas sejenak.” Ayu mendesah lega saat kami makan siang di kantin bersama Adel. “Aku salut kepadamu bisa bertahan menghadapi Pak Luis selama lima tahun, Ima. Aku baru beberapa hari saja rasanya ingin menyerah.” “Ima adalah sekretaris terlama yang pernah bekerja untuk Pak Luis. Aku sudah katakan itu berkali-kali kepadamu. Sekretaris sebelum dia tidak ada yang bertahan sampai satu tahun, apalagi lima tahun.” Adel menggeleng pelan. “Sekarang kamu mengerti alasannya.” “Jika dia memberi aku gaji sepuluh juta sebulan, aku tidak keberatan dihina, dikritik keras, atau diamati setiap gerak langkahku. Tetapi gajiku bahkan tidak jauh berbeda dengan gaji sekretaris manajer. Apa aku bisa meminta dikembalikan ke posisi semula? Aku berjanji tidak akan pernah mengeluhkan pekerjaanku lagi.” Ayu memasang wajah memelas. “Kamu tahu bahwa itu tidak mungkin. Jika kamu menolak menjadi sekretaris Pak Luis, maka satu-satunya jalan untukmu adalah mengundurkan diri.
Teriakan wanita itu menarik perhatian petugas keamanan gedung. Mereka segera datang dan mencoba untuk melepas rambutku dari cengkeraman perempuan yang sedang marah itu. Tulus tidak melakukan apa pun untuk menolong aku. “Lepaskan dia!” ucap suara yang sudah sangat aku kenal. Aku tidak bisa menoleh karena khawatir rambutku akan semakin rontok bila aku menggerakkan kepalaku. “Lepaskan Ima, Tante!” “Perempuan sialan ini harus diberi pelajaran! Dia berani menghina aku dan mengadu domba aku dengan anakku!” Tarikan wanita itu semakin kuat. Aku memegang kedua tangannya agar dia tidak bisa menarik rambutku. Sebisa mungkin aku ikut mundur saat dia menjambaknya. “Aargh!!” Tiba-tiba wanita itu berteriak kesakitan dan pegangannya pada rambutku melonggar. Kali ini, dua petugas keamanan berhasil menjauhkan tangan wanita itu dari rambutku. Aku segera menjauh darinya. Ternyata Aurora melakukan hal yang sama padanya, menjambak rambutnya. Aku menarik napas terkejut. Dari mana sahabatku mendapat kebera
Bakti adalah pria yang setia kepada satu pasangan saja. Aku tidak pernah melihat gejala-gejala aneh yang dia tunjukkan setiap kali kami bersama. Dia tidak menyembunyikan ponselnya dariku, tidak pernah menerima telepon dengan menjauh dariku, juga tidak pernah pergi ke mana pun sepulang kerja. Sikapnya kepadaku juga tidak berubah. Meskipun kami punya masalah, dia sangat sayang dan peduli kepadaku. Mustahil dia punya selingkuhan. Namun mengenai hubungan dia dengan mantannya, aku memang tidak tahu banyak. Aku juga tahu bahwa dia sudah tidak perjaka lagi saat kami menikah. Hal yang tidak menjadi masalah bagiku, asalkan dia tidak bermain perempuan selama kami menikah. Dia menepati janjinya. Memiliki anak dengan perempuan lain adalah sebuah rahasia yang besar dan aku yakin Bakti tidak akan bisa menutup mulutnya dariku. Tetapi uang sebanyak itu cukup untuk menutup mulut seorang perempuan dan membesarkan seorang anak sampai tamat sekolah. “Tidak, Rora. Bakti tidak mungkin punya anak dengan p
Tanganku refleks menyentuh pipi depanku dan aku merasakan cairan. Aku tidak sadar bahwa aku menangis. Aku segera menyeka kedua pipiku dengan punggung tanganku. Memalukan sekali. Aku malah menangis di depan orang lain. Namun Ben kelihatannya baik-baik saja. Tidak ada luka yang terlihat oleh mata. Tidak ada benjol di kepala, jalannya juga normal dan tidak pincang, lalu kedua tangannya berfungsi dengan baik. Dia tidak mengerutkan kening yang menunjukkan dia sedang menahan sakit. “Ka-kamu tidak memeriksa keadaan ponselmu. A-aku tidak bisa menghubungi kamu dan Karno juga lupa membawa ponselnya bersamanya.” Aku menarik napas panjang menyadari suaraku terisak. “Aku pikir sesuatu yang buruk terjadi padamu.” “Oh.” Dia melihat ponselnya, lalu mengeluarkan ponsel yang kedua. “Maafkan aku. Aku tidak tahu bahwa ponselku kehabisan daya. Maaf, aku sudah membuat kamu khawatir.” “Aku tidak punya nomor Nelson, jadi aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa untuk mengetahui keadaanmu. Aku ingin bert
~Benedict~ Aku sudah terbiasa mendengar kata itu seumur aku hidup. Syarat. Saat aku akan masuk sekolah baru, ada syaratnya. Memilih jurusan yang aku inginkan di kampus, juga ada syaratnya. Sampai urusan hak yang aku miliki sebagai anak sulung keluargaku pun, ada syaratnya. Salah satu bentuk ketidakadilan di rumahku sendiri. Kenneth dan Eloisa tidak pernah susah payah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka mau sekolah di mana, bekerja di mana, berlibur ke mana, bahkan sesederhana pakaian atau makanan yang mereka mau, akan mereka dapatkan secara cuma-cuma. Tanpa syarat. Orang-orang seperti mereka yang seharusnya tidak dimanja sejak kecil. Karena mereka sudah memiliki segalanya yang didambakan setiap orang di dunia ini. Wajah mereka menarik, tubuh mereka bagus, mudah mendapatkan teman, otak mereka juga cemerlang, berbeda denganku yang kadang-kadang butuh bantuan orang lain. Aku membutuhkan pengaruh ayahku untuk melindungi aku dari perundungan di sekolah. Aku perlu perlindungan d
~Delima~ Setiap kali mengingat Rora, aku selalu tertawa. Idenya dan saudara sepupunya itu termasuk biasa, namun brilian. Rora memanfaatkan ketidaktahuannya mengenai hubungan Elan dan Sania. Mereka beranggapan bahwa keluarga besar mereka juga tidak mengetahuinya. Elan datang dengan santainya ke acara ulang tahun Nenek Rora dan Sania. Keluarga Sania yang segera mengenalinya, langsung memarahinya habis-habisan. Ternyata Elan memutuskan hubungan secara sepihak. Dia tidak datang dan bicara baik-baik dengan keluarga Sania. Spontan saja kedua kakak laki-laki Sania dan ayahnya menggelar sidang di depan keluarga besar tersebut. Rora dan Sania membuat siaran langsung kejadian itu di media sosial mereka. Semoga saja Elan jera mempermainkan hati wanita. Aku bisa memahami perasaannya yang dia pendam untukku. Tetapi aku tidak bisa mengerti keegoisannya yang memaksa aku meninggalkan suamiku dan memberi dia kesempatan untuk menjalin hubungan denganku. Sania adalah wanita yang cantik dan dari cerit
~Benedict~ Delima dan kedua bayi kami sudah bukan milikku seorang begitu kedua orang tua kami mengetahui kehamilannya. Apalagi saat mereka tahu ada dua bayi yang tumbuh di rahimnya. Setiap akhir pekan, mereka ada di mana kami berada, lalu memanjakan Delima. Aku tersingkir dan hanya bisa manyun melihat istriku mereka monopoli. Bahkan saat kami mengunjungi dokter kandungan untuk melakukan USG pada minggu kedua puluh. Sesuai kesepakatan, kami ingin tahu jenis kelamin kedua bayi kami. Ayah, Ibu, Papa, dan Mama juga tidak mau ketinggalan untuk menjadi yang pertama mengetahui gender cucu mereka. Untung saja dokter melakukan hal yang bijak dengan mengusir para orang tua itu dan mengizinkan aku mendampingi istriku. Tetapi setelah aku melihat sendiri dan mendengarkan penjelasan dari dokter, maka aku mempersilakan kedua orang tua kami untuk bergantian melihatnya juga. Ada begitu banyak perayaan yang aku adakan pada akhir tahun. Aku tidak menyesal telah merogoh kocek dalam-dalam demi membahag
Elan segera keluar dari bilikku tanpa menunggu responsku. Laudya menatap aku dengan khawatir. Aku tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Apa yang Elan lakukan kepada Rora? Apa mereka sedang menjalin hubungan asmara? “Apa yang terjadi, Delima?” tanya Dhini yang melihat dari atas papan pemisah bilik kami. “Mengapa Elan datang menemui kamu pada jam kerja? Aku hanya mengangkat kedua bahuku. “Pria yang aneh.” Dhini menggeleng pelan, sedangkan aku tertawa mendengarnya. Pada jam istirahat makan siang, aku mengerti mengapa Elan sampai nekat datang ke bilikku tadi. Ternyata dia mengundurkan diri. Dia sangat mencintai pekerjaannya, jadi aku tahu bahwa dia tidak melakukan itu dengan sukarela. Pasti Ben yang menyuruhnya memberikan surat pengunduran diri itu. Aku bertemu pandang dengan Natasha yang melihat aku dengan hormat, begitu juga teman-teman dari divisinya. Dia tidak lagi menatap aku dengan tajam. Itu perubahan yang sangat baik. “Menjadi istri bos memang ada keuntung
~Delima~ Aku melihat seorang wanita muda yang cantik sedang menatap Ben sambil berkedip genit. Dia salah satu pemenang lomba yang tadi makan bersama kami. Apa yang dia lakukan di sini? Bukankah acara sudah selesai? Lalu mengapa dia lancang sekali memanggil Ben dengan namanya saja tanpa gelar bapak seperti yang mereka lakukan di dalam? “Apa yang perlu diingat lagi?” Ben balik bertanya. “Oh, ayolah, Ben. Kita hampir menikah. Bagaimana mungkin kamu bisa melupakan aku secepat itu? Kamu memilih aku sebagai pemenang pasti karena kamu ingat denganku, ‘kan?” katanya menggoda. “Ooo. Apa kamu wanita yang kabur pada hari pernikahan setelah melihat aku? Pantas saja aku butuh waktu untuk mengingatnya. Kamu salah paham. Saat memilih pemenang, aku memilih desain. Tidak ada nama yang tertera supaya penilaiannya adil,” jawab Ben dengan senyum mengejek di wajahnya. “Aku masih di sini sampai besok. Kamu pasti tahu nomor kamarku. Bila kamu ingin mengobrol ….” Dia melirik ke arahku sebelum kembali men
Suasana ruang kerja yang semula tenang itu berubah ramai dengan suara Ayah yang memarahi Kenneth dan Ibu yang menangis setengah menjerit tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Aku segera meminta rekaman CCTV ruang kerja Kenneth untuk melihat apa benar dia yang telah menelepon Kakek lewat ponsel itu pada saat Kakek terkena serangan jantung. Petugas keamanan bingung saat Ayah memerintahkan mereka untuk membawa Kenneth ke kantor polisi. Nelson mengikuti mereka. Dia juga sudah membawa bukti rekaman CCTV di mana adikku itu telah beberapa kali melakukan kekerasan kepadaku beberapa bulan belakangan. Dengan semua bukti itu, aku yakin dia tidak akan diizinkan keluar dari tahanan sampai proses pengadilan selesai. Kemudian aku meminta semua laporan keuangan terbaru yang asli, bukan yang palsu untuk aku pelajari. Sekretaris Kenneth menoleh ke arah Ayah untuk meminta persetujuannya. Ayah segera mengangguk setuju dan memberi tahu bahwa mulai dari hari ini aku yang pegang kendali penuh. T
~Benedict~ Dadaku sakit sekali mendengar dia mengatakan pisah. Seketika itu juga aku tidak peduli dengan apa pun yang ada di dunia ini. Aku juga tidak peduli bila aku harus berlutut memohon kepadanya. Aku tidak mau dia pergi dariku. Walaupun dia meminta seluruh hartaku, aku akan memberikan semua kepadanya. Benda itu tidak ada artinya tanpa dia di sisiku. Namun Delima memberi aku kejutan lainnya. Dia sedang hamil. Kenneth dan Eloisa selalu mengejek aku tidak akan pernah menikah apalagi punya anak seperti mereka. Jadi, berita itu adalah keajaiban bagiku. Ketika melihat foto hitam putih mereka, aku tidak tahu di mana mereka berada. Tetapi aku percaya bahwa mereka ada di dalam perut istriku. Selama ini aku berpikir bahwa aku adalah ciptaan yang dilupakan oleh Tuhan. Dia pasti bercanda pada saat menciptakan aku dengan segala kekuranganku. Ternyata Dia masih mengingat aku dan memberikan aku bukan satu, tetapi dua orang anak sekaligus. Aku tidak muda lagi, tetapi aku berjanji akan bertahan
Pikiranku kacau, dadaku terasa sesak, karena aku tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Aku bahagia, karena penantian panjangku sudah berakhir. Kehamilan ini sudah lama aku harapkan, tetapi keadaannya sedang tidak memungkinkan. Ben tidak mau kami punya anak. Jika alat ini akurat, maka hubunganku dan Ben juga berakhir. Aku tidak berhenti menangis memikirkan hubungan kami harus usai secepat ini. Memikirkan kondisi janin yang aku kandung tidak membuat aku cukup kuat menghentikan air mata yang mengalir jatuh dengan deras di pipiku. Seharusnya ini adalah kabar baik, kabar yang membahagiakan. Sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tidak terlalu memerhatikan apa yang terjadi di makam Kakek. Eloisa entah bicara apa, Ayah dan Ibu yang kemudian datang membahas apa, tidak aku dengarkan. Ben mengajak aku ke mana pun, aku hanya mengikutinya saja. Namun saat tiba di rumah, aku segera kembali ke kamar dan menyendiri. Aku perlu memikirkan hal ini seorang diri. Yang pasti, aku menginginkan bayi in
~Delima~ Beraninya dia mengatakan cinta pada tarikan napas yang sama dia menyebut tidak mau memiliki anak bersamaku. Dengan intensitas kami melakukan hubungan suami istri, apa dia pikir kami bisa mencegah seorang anak lahir? Juga beraninya dia menuduh aku akan berubah pikiran terhadap anakku sendiri seandainya dia mempunyai kekurangan. Aku bukan ayah atau ibunya. Aku tidak akan membuang anakku sendiri seperti yang mereka lakukan. Malam itu, usai bicara dengannya, aku tidak melarang dia tidur bersamaku. Tetapi aku tidak sudi berbaring menghadapnya seperti kebiasaan kami tidur bersama. Aku sangat kesal dan tidak mau melihat wajahnya agar amarahku tidak semakin memuncak. Untuk pertama kalinya, kiriman bunga darinya aku buang ke tempat sampah. Aku tidak butuh bunga atau kartu untuk mewakili dia menyampaikan pesannya. Dia bisa bicara langsung denganku. Elan yang tidak tahu diri itu juga masih berani mengajak aku bicara. Tidak tahan lagi dengan sikapnya, aku memarahinya panjang lebar dan
Mama tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia justru cepat-cepat mengakhiri percakapan kami. Mungkin Delima sedang berada di dekatnya dan Mama tidak mau istriku sampai tahu bahwa Mama melaporkan sakitnya kepadaku. Aku semakin panik, karena tidak tahu sakitnya parah atau tidak. Ini semua salahku. Seharusnya aku mengajak dia bicara baik-baik. Bukan memaksakan kehendakku kepadanya. Dia seorang wanita, wajar saja dia memiliki jiwa keibuan yang mengharapkan memiliki anak sendiri. Apalagi kakak iparnya sedang hamil. Sedikit banyak, dia pasti merindukan kehadiran anak-anak juga. Aku malah tidak peka dan bersikap egois. Untuk meminta maaf kepadanya, aku meneruskan rencanaku. Setidaknya saat dia pulang nanti, dia tahu bahwa aku menyesal sudah menyakiti perasaannya. Aku tidak mau tidur sendirian lagi. Deva dan semua pelayan membantu aku menyiapkan kejutan untuk istriku. Namun saat dia pulang, dia hanya diam saja melihat balon dan bunga yang ada di sekitarku, juga papan bertuliskan maafkan aku yan