Siapa yang teman-teman bayangkan setiap kali memikirkan orang yang sesuai dengan gambaran fisik Ben? Beberapa hari yang lalu, aku berpapasan dengan pria dewasa bertubuh imut. ♡ Sayang, suaranya tidak sedalam dan seberat Ben. Jadi, aku tidak meminta berfoto bersamanya. Karena kalau mirip, aku ingin menjadikan dia sebagai model. XD Bagi teman-teman yang mau membaca karyaku yang lain, silakan intip media sosialku, ya. Cukup ketik nama Meina H. di search engine, nanti akan muncul akunku di efbi, Ins, dan Twit. Nah, lanjutannya aku publikasikan besok, ya. Salam sayang, Meina H.
~Benedict~ Aku sudah terbiasa mendengar kata itu seumur aku hidup. Syarat. Saat aku akan masuk sekolah baru, ada syaratnya. Memilih jurusan yang aku inginkan di kampus, juga ada syaratnya. Sampai urusan hak yang aku miliki sebagai anak sulung keluargaku pun, ada syaratnya. Salah satu bentuk ketidakadilan di rumahku sendiri. Kenneth dan Eloisa tidak pernah susah payah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka mau sekolah di mana, bekerja di mana, berlibur ke mana, bahkan sesederhana pakaian atau makanan yang mereka mau, akan mereka dapatkan secara cuma-cuma. Tanpa syarat. Orang-orang seperti mereka yang seharusnya tidak dimanja sejak kecil. Karena mereka sudah memiliki segalanya yang didambakan setiap orang di dunia ini. Wajah mereka menarik, tubuh mereka bagus, mudah mendapatkan teman, otak mereka juga cemerlang, berbeda denganku yang kadang-kadang butuh bantuan orang lain. Aku membutuhkan pengaruh ayahku untuk melindungi aku dari perundungan di sekolah. Aku perlu perlindungan d
Aku tidak perlu membalikkan badanku untuk mengetahui siapa yang masuk begitu saja ke ruang keluarga. Suara itu sudah aku kenal karena kami tumbuh besar bersama. Suara yang sudah sering berteriak kasar kepadaku dan mengucapkan kata-kata yang tidak pantas diucapkan seorang saudara. Delima menyentuh tanganku dan aku bisa merasakan tatapannya kepadaku. Aku menoleh dan bertemu pandang dengan wajah khawatirnya. Aku tersenyum. Tidak ada yang perlu dia takutkan dari pemilik suara besar itu. Dia bagaikan anjing yang hanya berani menggonggong tapi tidak punya nyali untuk menggigit. “Ada apa ini, Ken? Siapa yang mengizinkan kamu masuk dan berteriak sesukamu di rumahku?” kata Kakek dengan wajah tidak suka. “Maafkan aku, Kakek. Aku tidak bermaksud lancang. Aku mendengar anak tidak tahu diri ini datang ke rumah Kakek, jadi aku menyusul ke sini secepatnya.” Kenneth berjalan mendekati sofa di mana Kakek berada. “Apa dia mengatakan sesuatu yang membuat Kakek susah?” “Dia hanya datang bersama istrin
“Mama di rumah Kakak? Apakah terjadi sesuatu?” Delima melirik ke arahku. Dia mendekati mobil, maka aku mengikutinya. Karno membukakan pintu mobil untuk kami, lalu menutupnya setelah kami duduk di jok belakang. “Baik. Kami akan ke sana.” “Ada apa?” tanyaku saat dia memasukkan ponselnya kembali ke tasnya. Wajahnya terlihat cerah, jadi ini pasti bukan kabar buruk. “Kak Pangestu menghubungi Papa dan Mama tadi dan mengatakan ada kabar baik. Mereka terlalu bahagia sampai pergi ke rumah Kakak tanpa sempat memberi tahu kita,” jawabnya dengan riang. “Kamu tidak keberatan kita menemui mereka di rumah Kakak, ‘kan?” “Tentu saja tidak,” jawabku cepat. Aku melihat ke arah Karno. “Kita ke rumah kakak Ima.” “Baik, Tuan,” jawab Karno dengan patuh. Delima melihat ke arahku dengan heran. “Kamu tahu di mana kakakku tinggal?” Dia memandang aku dan Karno secara bergantian. “Apa kamu lupa aku pernah menawarkan untuk menyediakan mobil jemputan untuk keluargamu pada hari pernikahan kita? Aku tidak akan m
~Delima~ Ben menang banyak dariku. Hanya dalam satu kunjungan saja, dia berhasil memenangkan hati seluruh anggota keluargaku. Papa, Mama, Kak Pangestu, dan Kak Mikha terdengar santai mengobrol dengannya. Mereka bahkan sesekali terdengar sedang tertawa. Sedangkan aku baru berhasil bicara dengan kakeknya. Masih ada keluarga intinya yang belum duduk bersama denganku. Aku bahagia melihat Papa akan sibuk lagi dengan usaha barunya. Aku yakin kali ini dia akan sukses besar karena didampingi oleh pengusaha sesukses Ben. Papa tidak harus tinggal di rumah sepanjang hari lagi dan mengeluhkan dua usahanya yang gagal total. “Jadi, kabar bahagia apa yang membuat papa dan mamaku melupakan putri kesayangan mereka?” Aku memicingkan mata ke arah Kak Mikha. Kakak iparku itu mengusap perutnya, memberi tanda. Aku melihat ke arah gerakan tangannya itu. Begitu aku menyadari kabar bahagia yang mereka maksudkan, aku menjerit senang. “Kakak sedang hamil??” Kak Mikha menganggukkan kepalanya. “Usianya sudah e
Seorang wanita berwajah ramah berambut pendek di atas bahu, tersenyum kepada Nelson. Dia memakai setelan dengan rok sepan yang ujungnya sedikit di atas lutut dilengkapi dengan sepatu berhak tinggi. Meskipun begitu, tubuhku masih lebih tinggi darinya. “Selamat pagi, Puput.” Nelson menatapnya sambil mengangkat kedua alisnya. “Aku sudah lama mengenal kamu, sejak kamu masih memakai seragam putih hitam. Naik jabatan tidak membuat kamu pantas aku panggil dengan sebutan ibu.” “Ha! Ucapan apa itu? Lihat saja nanti kalau aku sudah naik menggantikan posisimu. Kamu tidak akan bisa memandang rendah aku lagi.” Wanita itu mengibaskan rambutnya ke belakang dengan tangan kirinya. Aku tersenyum melihatnya. “Puput, andai kamu tahu. Aku akan sangat senang kalau bisa lepas dari pekerjaan yang melelahkan ini.” Nelson membuat gerakan menyeka keringat dengan mengusap keningnya. “Ah, bos sudah memanggil.” Dia melirik ke arah ponselnya yang bergetar. “Aku harus pergi, jadi aku akan cepat. Ini Delima Aruna,
~Benedict~ Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku tidak bisa tidur. Rasanya sudah lama aku hidup dengan tenang, meskipun aku tidak punya banyak teman. Aku hanya punya Nelson dan Karno, tetapi hidupku terasa lengkap. Keteledoranku sendiri pada malam sebelumnya yang membuat aku jadi begini. Mengapa? Mengapa aku menoleh saat dia berniat mencium pipiku? Aku tidak akan merasa bersalah bila kecelakaan itu tidak pernah terjadi. Aku juga tidak akan merasa malu untuk menghadapi dia lagi. Seharusnya aku tidak mengabaikan dia sepanjang pagi tadi. Tetapi ini adalah pengalaman pertamaku dan aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Aku tergoda untuk bertanya kepada Nelson, apalagi dia sudah pengalaman berpacaran dengan calon istrinya. Mengingat kami tidak pernah berbagi masalah pribadi, aku mengurung niatku tersebut. Seperti orang bodoh yang kehilangan akalnya, aku juga tidak bisa konsentrasi bekerja. Nelson sudah berulang kali menangkap basah aku tidak mendengarkan laporan darinya. Kecepatanku
Ini semua adalah salahku. Aku sudah tahu bahwa Ken dalam keadaan panas ketika dia datang. Aku malah terus memprovokasinya, sengaja menguji batas kesabarannya. Kehilangan dua monitor bukanlah kerugian besar, karena aku bisa segera mendapat gantinya. Tetapi Delima, bila sesuatu yang buruk terjadi kepadanya, aku tidak akan pernah bisa mengampuni diriku sendiri. Dengan tubuh kerdilku, kakiku tidak cukup panjang untuk berlari mendekat agar bisa menolongnya. Aku bahkan tidak bisa mengeluarkan suaraku untuk memberinya peringatan. Ekspresi wajahku pasti sama dengannya. Hanya bisa pasrah melihat benda itu melayang tepat ke arah kepalanya. “Ibu, awas!!” seru Nelson yang segera menarik tangan Delima. Aku tidak membiarkan mataku terpejam agar bisa menyaksikan sendiri akibat dari kecerobohanku. Untungnya, apa yang aku takutkan tidak terjadi. Nelson berhasil menolong Delima pada detik-detik terakhir dan terhindar dari papan nama tersebut. Benda itu membentur pintu dengan bunyi yang keras sebelum
~Delima~ Aku dan kakakku bukanlah saudara kandung yang ideal, yang bisa dijadikan contoh oleh orang lain. Kami sering bertengkar, suka membuat satu sama lain kehilangan kesabaran, sampai orang tua kami pusing dan lepas tangan. Tetapi tidak pernah tebersit dalam benak kami untuk menyakiti dengan melempar barang-barang berat untuk menimbulkan rasa takut. Ya, Tuhan. Tubuh Kenneth lebih tinggi dan besar daripada Ben. Hanya dengan menaikkan suaranya, aku yakin Ben sudah merasa gentar. Dia tidak perlu bertindak ekstrem dengan melempar monitor kerjanya atau papan namanya. Ben tidak akan berani melawan permintaannya. Dan seperti biasa. Ben lebih memilih diam dan tidak membahas apa yang baru saja terjadi. Semua hal yang ada hubungannya dengan keluarganya atau perasaannya adalah hal yang tidak akan pernah mau dibicarakannya denganku. Aku tahu dia tidak membahas masalah pribadi dengan Nelson atau Karno, tetapi masa denganku juga tidak? Lalu siapa lagi yang akan membela dia kalau bukan istrinya
~Delima~ Setiap kali mengingat Rora, aku selalu tertawa. Idenya dan saudara sepupunya itu termasuk biasa, namun brilian. Rora memanfaatkan ketidaktahuannya mengenai hubungan Elan dan Sania. Mereka beranggapan bahwa keluarga besar mereka juga tidak mengetahuinya. Elan datang dengan santainya ke acara ulang tahun Nenek Rora dan Sania. Keluarga Sania yang segera mengenalinya, langsung memarahinya habis-habisan. Ternyata Elan memutuskan hubungan secara sepihak. Dia tidak datang dan bicara baik-baik dengan keluarga Sania. Spontan saja kedua kakak laki-laki Sania dan ayahnya menggelar sidang di depan keluarga besar tersebut. Rora dan Sania membuat siaran langsung kejadian itu di media sosial mereka. Semoga saja Elan jera mempermainkan hati wanita. Aku bisa memahami perasaannya yang dia pendam untukku. Tetapi aku tidak bisa mengerti keegoisannya yang memaksa aku meninggalkan suamiku dan memberi dia kesempatan untuk menjalin hubungan denganku. Sania adalah wanita yang cantik dan dari cerit
~Benedict~ Delima dan kedua bayi kami sudah bukan milikku seorang begitu kedua orang tua kami mengetahui kehamilannya. Apalagi saat mereka tahu ada dua bayi yang tumbuh di rahimnya. Setiap akhir pekan, mereka ada di mana kami berada, lalu memanjakan Delima. Aku tersingkir dan hanya bisa manyun melihat istriku mereka monopoli. Bahkan saat kami mengunjungi dokter kandungan untuk melakukan USG pada minggu kedua puluh. Sesuai kesepakatan, kami ingin tahu jenis kelamin kedua bayi kami. Ayah, Ibu, Papa, dan Mama juga tidak mau ketinggalan untuk menjadi yang pertama mengetahui gender cucu mereka. Untung saja dokter melakukan hal yang bijak dengan mengusir para orang tua itu dan mengizinkan aku mendampingi istriku. Tetapi setelah aku melihat sendiri dan mendengarkan penjelasan dari dokter, maka aku mempersilakan kedua orang tua kami untuk bergantian melihatnya juga. Ada begitu banyak perayaan yang aku adakan pada akhir tahun. Aku tidak menyesal telah merogoh kocek dalam-dalam demi membahag
Elan segera keluar dari bilikku tanpa menunggu responsku. Laudya menatap aku dengan khawatir. Aku tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Apa yang Elan lakukan kepada Rora? Apa mereka sedang menjalin hubungan asmara? “Apa yang terjadi, Delima?” tanya Dhini yang melihat dari atas papan pemisah bilik kami. “Mengapa Elan datang menemui kamu pada jam kerja? Aku hanya mengangkat kedua bahuku. “Pria yang aneh.” Dhini menggeleng pelan, sedangkan aku tertawa mendengarnya. Pada jam istirahat makan siang, aku mengerti mengapa Elan sampai nekat datang ke bilikku tadi. Ternyata dia mengundurkan diri. Dia sangat mencintai pekerjaannya, jadi aku tahu bahwa dia tidak melakukan itu dengan sukarela. Pasti Ben yang menyuruhnya memberikan surat pengunduran diri itu. Aku bertemu pandang dengan Natasha yang melihat aku dengan hormat, begitu juga teman-teman dari divisinya. Dia tidak lagi menatap aku dengan tajam. Itu perubahan yang sangat baik. “Menjadi istri bos memang ada keuntung
~Delima~ Aku melihat seorang wanita muda yang cantik sedang menatap Ben sambil berkedip genit. Dia salah satu pemenang lomba yang tadi makan bersama kami. Apa yang dia lakukan di sini? Bukankah acara sudah selesai? Lalu mengapa dia lancang sekali memanggil Ben dengan namanya saja tanpa gelar bapak seperti yang mereka lakukan di dalam? “Apa yang perlu diingat lagi?” Ben balik bertanya. “Oh, ayolah, Ben. Kita hampir menikah. Bagaimana mungkin kamu bisa melupakan aku secepat itu? Kamu memilih aku sebagai pemenang pasti karena kamu ingat denganku, ‘kan?” katanya menggoda. “Ooo. Apa kamu wanita yang kabur pada hari pernikahan setelah melihat aku? Pantas saja aku butuh waktu untuk mengingatnya. Kamu salah paham. Saat memilih pemenang, aku memilih desain. Tidak ada nama yang tertera supaya penilaiannya adil,” jawab Ben dengan senyum mengejek di wajahnya. “Aku masih di sini sampai besok. Kamu pasti tahu nomor kamarku. Bila kamu ingin mengobrol ….” Dia melirik ke arahku sebelum kembali men
Suasana ruang kerja yang semula tenang itu berubah ramai dengan suara Ayah yang memarahi Kenneth dan Ibu yang menangis setengah menjerit tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Aku segera meminta rekaman CCTV ruang kerja Kenneth untuk melihat apa benar dia yang telah menelepon Kakek lewat ponsel itu pada saat Kakek terkena serangan jantung. Petugas keamanan bingung saat Ayah memerintahkan mereka untuk membawa Kenneth ke kantor polisi. Nelson mengikuti mereka. Dia juga sudah membawa bukti rekaman CCTV di mana adikku itu telah beberapa kali melakukan kekerasan kepadaku beberapa bulan belakangan. Dengan semua bukti itu, aku yakin dia tidak akan diizinkan keluar dari tahanan sampai proses pengadilan selesai. Kemudian aku meminta semua laporan keuangan terbaru yang asli, bukan yang palsu untuk aku pelajari. Sekretaris Kenneth menoleh ke arah Ayah untuk meminta persetujuannya. Ayah segera mengangguk setuju dan memberi tahu bahwa mulai dari hari ini aku yang pegang kendali penuh. T
~Benedict~ Dadaku sakit sekali mendengar dia mengatakan pisah. Seketika itu juga aku tidak peduli dengan apa pun yang ada di dunia ini. Aku juga tidak peduli bila aku harus berlutut memohon kepadanya. Aku tidak mau dia pergi dariku. Walaupun dia meminta seluruh hartaku, aku akan memberikan semua kepadanya. Benda itu tidak ada artinya tanpa dia di sisiku. Namun Delima memberi aku kejutan lainnya. Dia sedang hamil. Kenneth dan Eloisa selalu mengejek aku tidak akan pernah menikah apalagi punya anak seperti mereka. Jadi, berita itu adalah keajaiban bagiku. Ketika melihat foto hitam putih mereka, aku tidak tahu di mana mereka berada. Tetapi aku percaya bahwa mereka ada di dalam perut istriku. Selama ini aku berpikir bahwa aku adalah ciptaan yang dilupakan oleh Tuhan. Dia pasti bercanda pada saat menciptakan aku dengan segala kekuranganku. Ternyata Dia masih mengingat aku dan memberikan aku bukan satu, tetapi dua orang anak sekaligus. Aku tidak muda lagi, tetapi aku berjanji akan bertahan
Pikiranku kacau, dadaku terasa sesak, karena aku tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Aku bahagia, karena penantian panjangku sudah berakhir. Kehamilan ini sudah lama aku harapkan, tetapi keadaannya sedang tidak memungkinkan. Ben tidak mau kami punya anak. Jika alat ini akurat, maka hubunganku dan Ben juga berakhir. Aku tidak berhenti menangis memikirkan hubungan kami harus usai secepat ini. Memikirkan kondisi janin yang aku kandung tidak membuat aku cukup kuat menghentikan air mata yang mengalir jatuh dengan deras di pipiku. Seharusnya ini adalah kabar baik, kabar yang membahagiakan. Sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tidak terlalu memerhatikan apa yang terjadi di makam Kakek. Eloisa entah bicara apa, Ayah dan Ibu yang kemudian datang membahas apa, tidak aku dengarkan. Ben mengajak aku ke mana pun, aku hanya mengikutinya saja. Namun saat tiba di rumah, aku segera kembali ke kamar dan menyendiri. Aku perlu memikirkan hal ini seorang diri. Yang pasti, aku menginginkan bayi in
~Delima~ Beraninya dia mengatakan cinta pada tarikan napas yang sama dia menyebut tidak mau memiliki anak bersamaku. Dengan intensitas kami melakukan hubungan suami istri, apa dia pikir kami bisa mencegah seorang anak lahir? Juga beraninya dia menuduh aku akan berubah pikiran terhadap anakku sendiri seandainya dia mempunyai kekurangan. Aku bukan ayah atau ibunya. Aku tidak akan membuang anakku sendiri seperti yang mereka lakukan. Malam itu, usai bicara dengannya, aku tidak melarang dia tidur bersamaku. Tetapi aku tidak sudi berbaring menghadapnya seperti kebiasaan kami tidur bersama. Aku sangat kesal dan tidak mau melihat wajahnya agar amarahku tidak semakin memuncak. Untuk pertama kalinya, kiriman bunga darinya aku buang ke tempat sampah. Aku tidak butuh bunga atau kartu untuk mewakili dia menyampaikan pesannya. Dia bisa bicara langsung denganku. Elan yang tidak tahu diri itu juga masih berani mengajak aku bicara. Tidak tahan lagi dengan sikapnya, aku memarahinya panjang lebar dan
Mama tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia justru cepat-cepat mengakhiri percakapan kami. Mungkin Delima sedang berada di dekatnya dan Mama tidak mau istriku sampai tahu bahwa Mama melaporkan sakitnya kepadaku. Aku semakin panik, karena tidak tahu sakitnya parah atau tidak. Ini semua salahku. Seharusnya aku mengajak dia bicara baik-baik. Bukan memaksakan kehendakku kepadanya. Dia seorang wanita, wajar saja dia memiliki jiwa keibuan yang mengharapkan memiliki anak sendiri. Apalagi kakak iparnya sedang hamil. Sedikit banyak, dia pasti merindukan kehadiran anak-anak juga. Aku malah tidak peka dan bersikap egois. Untuk meminta maaf kepadanya, aku meneruskan rencanaku. Setidaknya saat dia pulang nanti, dia tahu bahwa aku menyesal sudah menyakiti perasaannya. Aku tidak mau tidur sendirian lagi. Deva dan semua pelayan membantu aku menyiapkan kejutan untuk istriku. Namun saat dia pulang, dia hanya diam saja melihat balon dan bunga yang ada di sekitarku, juga papan bertuliskan maafkan aku yan