Ini semua adalah salahku. Aku sudah tahu bahwa Ken dalam keadaan panas ketika dia datang. Aku malah terus memprovokasinya, sengaja menguji batas kesabarannya. Kehilangan dua monitor bukanlah kerugian besar, karena aku bisa segera mendapat gantinya. Tetapi Delima, bila sesuatu yang buruk terjadi kepadanya, aku tidak akan pernah bisa mengampuni diriku sendiri. Dengan tubuh kerdilku, kakiku tidak cukup panjang untuk berlari mendekat agar bisa menolongnya. Aku bahkan tidak bisa mengeluarkan suaraku untuk memberinya peringatan. Ekspresi wajahku pasti sama dengannya. Hanya bisa pasrah melihat benda itu melayang tepat ke arah kepalanya. “Ibu, awas!!” seru Nelson yang segera menarik tangan Delima. Aku tidak membiarkan mataku terpejam agar bisa menyaksikan sendiri akibat dari kecerobohanku. Untungnya, apa yang aku takutkan tidak terjadi. Nelson berhasil menolong Delima pada detik-detik terakhir dan terhindar dari papan nama tersebut. Benda itu membentur pintu dengan bunyi yang keras sebelum
~Delima~ Aku dan kakakku bukanlah saudara kandung yang ideal, yang bisa dijadikan contoh oleh orang lain. Kami sering bertengkar, suka membuat satu sama lain kehilangan kesabaran, sampai orang tua kami pusing dan lepas tangan. Tetapi tidak pernah tebersit dalam benak kami untuk menyakiti dengan melempar barang-barang berat untuk menimbulkan rasa takut. Ya, Tuhan. Tubuh Kenneth lebih tinggi dan besar daripada Ben. Hanya dengan menaikkan suaranya, aku yakin Ben sudah merasa gentar. Dia tidak perlu bertindak ekstrem dengan melempar monitor kerjanya atau papan namanya. Ben tidak akan berani melawan permintaannya. Dan seperti biasa. Ben lebih memilih diam dan tidak membahas apa yang baru saja terjadi. Semua hal yang ada hubungannya dengan keluarganya atau perasaannya adalah hal yang tidak akan pernah mau dibicarakannya denganku. Aku tahu dia tidak membahas masalah pribadi dengan Nelson atau Karno, tetapi masa denganku juga tidak? Lalu siapa lagi yang akan membela dia kalau bukan istrinya
Pria tampan bertubuh tinggi itu tersenyum ramah kepadaku. Matanya yang menyipit itu membuat aku ikut tersenyum. Dari begitu banyak gedung perkantoran yang ada di ibu kota, aku terkejut bertemu dengannya di gedung ini. Dilihat dari tanda pengenal yang menggantung di lehernya, dia adalah karyawan yang bekerja untuk perusahaan Ben. Wanita yang berdiri di sisinya tampak tidak asing bagiku. Dia yang awalnya tersenyum, kemudian memasang wajah serius setelah mengamati wajahku. Ah, iya! Aku tahu. Kami pernah bertemu. Dia adalah perempuan yang memanggil Elan saat kami bertemu di restoran hotel. “Aku tidak menyangka akan bertemu kamu di sini!” seru Elan senang. Dia segera menutup mulut dengan tangannya ketika aku meletakkan telunjukku di depan bibirku. Kami berdiri berdekatan ketika elevator menuju lantai dasar. Aku hanya tersenyum saat dia sesekali menoleh ke arahku dengan wajah heran. Begitu tiba di lantai dasar, kami sama-sama keluar dengan pengguna lift lainnya. Aku menuju kantin, dia dan
“Hari Valentine sudah lama berlalu. Siapa yang mengirimi kamu sekotak cokelat dengan setangkai mawar merah?” tanya Dhini setengah berbisik agar karyawan lain tidak mendengarnya. “Sudah pasti orang yang tahu Delima bekerja di sini dan berada di divisi ini,” bisik Jerome sambil bertukar pandang dengan Dhini. Mereka tersenyum penuh arti. Aku hanya diam, mengabaikan canda mereka. Di satu sisi, aku tahu ini bukan dari Ben. Tetapi di sisi lain, tidak ada pria lain yang mungkin mengirim hadiah ini untukku. Lalu selain rekan kerjaku, siapa lagi yang tahu aku bekerja di sini? Tanpa membuang waktu lebih lama, aku mengambil kartu yang tertempel pada kotak cokelat itu. Aku membuka dan membaca isinya. Semoga ini masih cokelat kesukaan kamu, dan aku minta maaf. E.K. Hanya satu orang yang aku kenal yang punya inisial itu. Elan Kusumajaya. “Ahh, si sahabat baik,” gumam Dhini menggoda aku. “Dia bahkan tahu cokelat kesukaanmu. Detail yang jarang diketahui oleh teman biasa.” Dia dan Jerome saling ber
Tanganku yang sedang menyendokkan bubur ke mulutku terhenti di udara. Aku meletakkan sendok itu ke mangkuk dan menoleh ke arahnya. Aku tahu bahwa kedatangan Kenneth akan berakibat buruk baginya. Dia sebelumnya sangat terharu dan bersemangat mendengar undangan Kakek untuk menghadiri acara tersebut. Kalau bukan karena adiknya, dia tidak akan berubah pikiran. “Apa ini karena ancaman adikmu?” tanyaku pelan. Dia hanya diam dengan mengunyah suapan terakhir buburnya dengan cepat. “Kakek yang mengundang kita untuk datang. Adikmu atau keluarga yang lain tidak bisa menghalangi kamu untuk menghadiri acara tersebut.” “Sebaiknya kamu mengajak Karno saat berbelanja. Dia tidak akan mengeluh bila kamu membawanya berkeliling.” Dia meneguk air minumnya, lalu turun dari kursinya. Mangkuk, piring, dan gelas yang sudah kosong itu dibawanya ke wastafel. “Baik. Kalau kamu tidak mau pergi, aku yang akan pergi sendiri.” Aku melanjutkan makanku dan mengabaikan dia yang sedang menatap aku penuh protes. Setela
~Benedict~ Aku tidak percaya bahwa aku akan kalah berdebat dengan wanita itu. Tetapi itu bukan karena aku kehilangan kemampuan dalam berargumentasi. Dia memegang tanganku begitu lama dan aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Mengapa ini selalu terjadi kepadaku? Dia selalu saja bertindak tanpa berpikir panjang. Setelah melihat bagaimana Kenneth meluapkan emosinya, seharusnya dia merasa takut kepada adikku itu. Tetapi tidak. Dua monitor yang rusak dan satu papan nama yang dia lempar tidak membuat wanita keras kepala itu gentar. Bagaimana mungkin aku membiarkan seorang wanita yang tidak tahu apa-apa, yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah antara aku dan keluargaku, menghadiri acara itu seorang diri? Dia tidak akan bisa menghadapi mereka sendirian. Karena itu aku menyeret kakiku keluar dari apartemen dan meminta Karno menjemput aku saat Delima sedang dirias di salon. Aku hanya diam ketika dia menoleh dan terkejut melihat kehadiranku. Anehnya, jantungku perlahan berdetak lebih c
Petugas keamanan itu melihat ke arah sang asisten. Pria yang tadi merasa orang penting itu juga memucat. Mereka bersikap begitu percaya diri tadi, mengapa sekarang mereka gugup? Pasti karena perintah pengusiran kami tidak berasal dari Kakek. Aku kembali melihat ke bagian dalam hotel. Kenneth sudah tidak ada di sana. Dia pasti bersembunyi di suatu tempat. “Jangan berdiri di sini terus. Ayo, masuk,” ucap Kakek yang datang bersama asisten pribadinya. “Acara akan segera dimulai. Aku tidak mau kalian terlambat menerima potongan kue.” Delima melihat ke arah kedua pria itu dengan tajam, lalu menggandeng tanganku untuk mengikuti Kakek menuju aula. Genggamannya terasa hangat sehingga jantungku kembali berdebar lebih cepat. Aku melihat orang-orang menatap kagum ke arah Delima dan melihat aku dengan tatapan tidak suka. Aku mengabaikan sikap mereka dengan mengangkat dagu dan berjalan dengan bangga di sisinya. Dengan Kakek berjalan bersama kami, tidak ada lagi yang berani menghalangi aku dan Del
Dia menoleh ke arahku dan menatap aku dengan bingung. “Apa maksud pertanyaanmu itu? Aku adalah istrimu. Apa yang salah dengan bersikap peduli dan perhatian kepada suamiku sendiri?” “Kamu mengerti apa maksudku. Kita tidak menikah untuk selamanya, Ima. Ini hanya sementara saja,” ucapku mengingatkannya. Aku percaya sepenuhnya kepada Karno, karena itu aku tidak keberatan dia mendengar percakapan ini. “Jadi, kamu mau kita saling mengabaikan dan tidak saling menyapa satu sama lain, begitu? Kamu mau aku diam saja dan menutup mata atas apa yang terjadi kepadamu?” tantangnya. “Aku tidak bilang begitu.” “Tetapi itu yang kamu maksudkan. Kamu tidak mau aku peduli dan perhatian kepadamu. Itu artinya kamu mau aku mengabaikan kamu,” katanya tidak mau kalah. “Karno, apa tuanmu selalu bersikap begini kepada orang yang peduli kepadanya?” “Anda seratus persen benar, Nyonya,” jawab Karno sambil melirik ke arahku lewat kaca spion. “Kalau ada orang di dunia ini yang menghabiskan hidupnya untuk membukti
~Delima~ Setiap kali mengingat Rora, aku selalu tertawa. Idenya dan saudara sepupunya itu termasuk biasa, namun brilian. Rora memanfaatkan ketidaktahuannya mengenai hubungan Elan dan Sania. Mereka beranggapan bahwa keluarga besar mereka juga tidak mengetahuinya. Elan datang dengan santainya ke acara ulang tahun Nenek Rora dan Sania. Keluarga Sania yang segera mengenalinya, langsung memarahinya habis-habisan. Ternyata Elan memutuskan hubungan secara sepihak. Dia tidak datang dan bicara baik-baik dengan keluarga Sania. Spontan saja kedua kakak laki-laki Sania dan ayahnya menggelar sidang di depan keluarga besar tersebut. Rora dan Sania membuat siaran langsung kejadian itu di media sosial mereka. Semoga saja Elan jera mempermainkan hati wanita. Aku bisa memahami perasaannya yang dia pendam untukku. Tetapi aku tidak bisa mengerti keegoisannya yang memaksa aku meninggalkan suamiku dan memberi dia kesempatan untuk menjalin hubungan denganku. Sania adalah wanita yang cantik dan dari cerit
~Benedict~ Delima dan kedua bayi kami sudah bukan milikku seorang begitu kedua orang tua kami mengetahui kehamilannya. Apalagi saat mereka tahu ada dua bayi yang tumbuh di rahimnya. Setiap akhir pekan, mereka ada di mana kami berada, lalu memanjakan Delima. Aku tersingkir dan hanya bisa manyun melihat istriku mereka monopoli. Bahkan saat kami mengunjungi dokter kandungan untuk melakukan USG pada minggu kedua puluh. Sesuai kesepakatan, kami ingin tahu jenis kelamin kedua bayi kami. Ayah, Ibu, Papa, dan Mama juga tidak mau ketinggalan untuk menjadi yang pertama mengetahui gender cucu mereka. Untung saja dokter melakukan hal yang bijak dengan mengusir para orang tua itu dan mengizinkan aku mendampingi istriku. Tetapi setelah aku melihat sendiri dan mendengarkan penjelasan dari dokter, maka aku mempersilakan kedua orang tua kami untuk bergantian melihatnya juga. Ada begitu banyak perayaan yang aku adakan pada akhir tahun. Aku tidak menyesal telah merogoh kocek dalam-dalam demi membahag
Elan segera keluar dari bilikku tanpa menunggu responsku. Laudya menatap aku dengan khawatir. Aku tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Apa yang Elan lakukan kepada Rora? Apa mereka sedang menjalin hubungan asmara? “Apa yang terjadi, Delima?” tanya Dhini yang melihat dari atas papan pemisah bilik kami. “Mengapa Elan datang menemui kamu pada jam kerja? Aku hanya mengangkat kedua bahuku. “Pria yang aneh.” Dhini menggeleng pelan, sedangkan aku tertawa mendengarnya. Pada jam istirahat makan siang, aku mengerti mengapa Elan sampai nekat datang ke bilikku tadi. Ternyata dia mengundurkan diri. Dia sangat mencintai pekerjaannya, jadi aku tahu bahwa dia tidak melakukan itu dengan sukarela. Pasti Ben yang menyuruhnya memberikan surat pengunduran diri itu. Aku bertemu pandang dengan Natasha yang melihat aku dengan hormat, begitu juga teman-teman dari divisinya. Dia tidak lagi menatap aku dengan tajam. Itu perubahan yang sangat baik. “Menjadi istri bos memang ada keuntung
~Delima~ Aku melihat seorang wanita muda yang cantik sedang menatap Ben sambil berkedip genit. Dia salah satu pemenang lomba yang tadi makan bersama kami. Apa yang dia lakukan di sini? Bukankah acara sudah selesai? Lalu mengapa dia lancang sekali memanggil Ben dengan namanya saja tanpa gelar bapak seperti yang mereka lakukan di dalam? “Apa yang perlu diingat lagi?” Ben balik bertanya. “Oh, ayolah, Ben. Kita hampir menikah. Bagaimana mungkin kamu bisa melupakan aku secepat itu? Kamu memilih aku sebagai pemenang pasti karena kamu ingat denganku, ‘kan?” katanya menggoda. “Ooo. Apa kamu wanita yang kabur pada hari pernikahan setelah melihat aku? Pantas saja aku butuh waktu untuk mengingatnya. Kamu salah paham. Saat memilih pemenang, aku memilih desain. Tidak ada nama yang tertera supaya penilaiannya adil,” jawab Ben dengan senyum mengejek di wajahnya. “Aku masih di sini sampai besok. Kamu pasti tahu nomor kamarku. Bila kamu ingin mengobrol ….” Dia melirik ke arahku sebelum kembali men
Suasana ruang kerja yang semula tenang itu berubah ramai dengan suara Ayah yang memarahi Kenneth dan Ibu yang menangis setengah menjerit tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Aku segera meminta rekaman CCTV ruang kerja Kenneth untuk melihat apa benar dia yang telah menelepon Kakek lewat ponsel itu pada saat Kakek terkena serangan jantung. Petugas keamanan bingung saat Ayah memerintahkan mereka untuk membawa Kenneth ke kantor polisi. Nelson mengikuti mereka. Dia juga sudah membawa bukti rekaman CCTV di mana adikku itu telah beberapa kali melakukan kekerasan kepadaku beberapa bulan belakangan. Dengan semua bukti itu, aku yakin dia tidak akan diizinkan keluar dari tahanan sampai proses pengadilan selesai. Kemudian aku meminta semua laporan keuangan terbaru yang asli, bukan yang palsu untuk aku pelajari. Sekretaris Kenneth menoleh ke arah Ayah untuk meminta persetujuannya. Ayah segera mengangguk setuju dan memberi tahu bahwa mulai dari hari ini aku yang pegang kendali penuh. T
~Benedict~ Dadaku sakit sekali mendengar dia mengatakan pisah. Seketika itu juga aku tidak peduli dengan apa pun yang ada di dunia ini. Aku juga tidak peduli bila aku harus berlutut memohon kepadanya. Aku tidak mau dia pergi dariku. Walaupun dia meminta seluruh hartaku, aku akan memberikan semua kepadanya. Benda itu tidak ada artinya tanpa dia di sisiku. Namun Delima memberi aku kejutan lainnya. Dia sedang hamil. Kenneth dan Eloisa selalu mengejek aku tidak akan pernah menikah apalagi punya anak seperti mereka. Jadi, berita itu adalah keajaiban bagiku. Ketika melihat foto hitam putih mereka, aku tidak tahu di mana mereka berada. Tetapi aku percaya bahwa mereka ada di dalam perut istriku. Selama ini aku berpikir bahwa aku adalah ciptaan yang dilupakan oleh Tuhan. Dia pasti bercanda pada saat menciptakan aku dengan segala kekuranganku. Ternyata Dia masih mengingat aku dan memberikan aku bukan satu, tetapi dua orang anak sekaligus. Aku tidak muda lagi, tetapi aku berjanji akan bertahan
Pikiranku kacau, dadaku terasa sesak, karena aku tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Aku bahagia, karena penantian panjangku sudah berakhir. Kehamilan ini sudah lama aku harapkan, tetapi keadaannya sedang tidak memungkinkan. Ben tidak mau kami punya anak. Jika alat ini akurat, maka hubunganku dan Ben juga berakhir. Aku tidak berhenti menangis memikirkan hubungan kami harus usai secepat ini. Memikirkan kondisi janin yang aku kandung tidak membuat aku cukup kuat menghentikan air mata yang mengalir jatuh dengan deras di pipiku. Seharusnya ini adalah kabar baik, kabar yang membahagiakan. Sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tidak terlalu memerhatikan apa yang terjadi di makam Kakek. Eloisa entah bicara apa, Ayah dan Ibu yang kemudian datang membahas apa, tidak aku dengarkan. Ben mengajak aku ke mana pun, aku hanya mengikutinya saja. Namun saat tiba di rumah, aku segera kembali ke kamar dan menyendiri. Aku perlu memikirkan hal ini seorang diri. Yang pasti, aku menginginkan bayi in
~Delima~ Beraninya dia mengatakan cinta pada tarikan napas yang sama dia menyebut tidak mau memiliki anak bersamaku. Dengan intensitas kami melakukan hubungan suami istri, apa dia pikir kami bisa mencegah seorang anak lahir? Juga beraninya dia menuduh aku akan berubah pikiran terhadap anakku sendiri seandainya dia mempunyai kekurangan. Aku bukan ayah atau ibunya. Aku tidak akan membuang anakku sendiri seperti yang mereka lakukan. Malam itu, usai bicara dengannya, aku tidak melarang dia tidur bersamaku. Tetapi aku tidak sudi berbaring menghadapnya seperti kebiasaan kami tidur bersama. Aku sangat kesal dan tidak mau melihat wajahnya agar amarahku tidak semakin memuncak. Untuk pertama kalinya, kiriman bunga darinya aku buang ke tempat sampah. Aku tidak butuh bunga atau kartu untuk mewakili dia menyampaikan pesannya. Dia bisa bicara langsung denganku. Elan yang tidak tahu diri itu juga masih berani mengajak aku bicara. Tidak tahan lagi dengan sikapnya, aku memarahinya panjang lebar dan
Mama tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia justru cepat-cepat mengakhiri percakapan kami. Mungkin Delima sedang berada di dekatnya dan Mama tidak mau istriku sampai tahu bahwa Mama melaporkan sakitnya kepadaku. Aku semakin panik, karena tidak tahu sakitnya parah atau tidak. Ini semua salahku. Seharusnya aku mengajak dia bicara baik-baik. Bukan memaksakan kehendakku kepadanya. Dia seorang wanita, wajar saja dia memiliki jiwa keibuan yang mengharapkan memiliki anak sendiri. Apalagi kakak iparnya sedang hamil. Sedikit banyak, dia pasti merindukan kehadiran anak-anak juga. Aku malah tidak peka dan bersikap egois. Untuk meminta maaf kepadanya, aku meneruskan rencanaku. Setidaknya saat dia pulang nanti, dia tahu bahwa aku menyesal sudah menyakiti perasaannya. Aku tidak mau tidur sendirian lagi. Deva dan semua pelayan membantu aku menyiapkan kejutan untuk istriku. Namun saat dia pulang, dia hanya diam saja melihat balon dan bunga yang ada di sekitarku, juga papan bertuliskan maafkan aku yan