Petugas keamanan itu melihat ke arah sang asisten. Pria yang tadi merasa orang penting itu juga memucat. Mereka bersikap begitu percaya diri tadi, mengapa sekarang mereka gugup? Pasti karena perintah pengusiran kami tidak berasal dari Kakek. Aku kembali melihat ke bagian dalam hotel. Kenneth sudah tidak ada di sana. Dia pasti bersembunyi di suatu tempat. “Jangan berdiri di sini terus. Ayo, masuk,” ucap Kakek yang datang bersama asisten pribadinya. “Acara akan segera dimulai. Aku tidak mau kalian terlambat menerima potongan kue.” Delima melihat ke arah kedua pria itu dengan tajam, lalu menggandeng tanganku untuk mengikuti Kakek menuju aula. Genggamannya terasa hangat sehingga jantungku kembali berdebar lebih cepat. Aku melihat orang-orang menatap kagum ke arah Delima dan melihat aku dengan tatapan tidak suka. Aku mengabaikan sikap mereka dengan mengangkat dagu dan berjalan dengan bangga di sisinya. Dengan Kakek berjalan bersama kami, tidak ada lagi yang berani menghalangi aku dan Del
Dia menoleh ke arahku dan menatap aku dengan bingung. “Apa maksud pertanyaanmu itu? Aku adalah istrimu. Apa yang salah dengan bersikap peduli dan perhatian kepada suamiku sendiri?” “Kamu mengerti apa maksudku. Kita tidak menikah untuk selamanya, Ima. Ini hanya sementara saja,” ucapku mengingatkannya. Aku percaya sepenuhnya kepada Karno, karena itu aku tidak keberatan dia mendengar percakapan ini. “Jadi, kamu mau kita saling mengabaikan dan tidak saling menyapa satu sama lain, begitu? Kamu mau aku diam saja dan menutup mata atas apa yang terjadi kepadamu?” tantangnya. “Aku tidak bilang begitu.” “Tetapi itu yang kamu maksudkan. Kamu tidak mau aku peduli dan perhatian kepadamu. Itu artinya kamu mau aku mengabaikan kamu,” katanya tidak mau kalah. “Karno, apa tuanmu selalu bersikap begini kepada orang yang peduli kepadanya?” “Anda seratus persen benar, Nyonya,” jawab Karno sambil melirik ke arahku lewat kaca spion. “Kalau ada orang di dunia ini yang menghabiskan hidupnya untuk membukti
~Delima~ Aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepala Elan ketika aku meminta dia untuk tidak melakukan ini lagi. Apa dia pikir aku tidak serius dengan ucapanku itu? Saat aku memasuki bilikku, setangkai mawar merah terletak di samping kibor komputerku. Aku langsung tahu bahwa dia yang mengirimnya. Jerome dan Dhini yang selalu ingin tahu mengenai aku, segera berdiri di sisiku. Dhini mengeluh karena tidak ada cokelat, hanya setangkai bunga. Tetapi dia tidak kembali ke biliknya sebelum menyampaikan pendapatnya mengenai tujuan Elan mengirim bunga tersebut. “Kalian bertiga sedang menggosipkan apa di sana? Ayo, bersiap-siap. Sebentar lagi jam kerja dimulai.” Puput melewati bilikku, tetapi dia menyempatkan untuk mengintip apa yang ada di atas mejaku. Aku hanya menggelengkan kepala. Sudah beberapa hari ini mereka bertiga berharap akan menemukan sekotak cokelat lagi di atas meja kerjaku. Tidak seperti pada minggu sebelumnya, Puput mulai memercayai aku untuk mengurus transaksi yang terjadi pa
Aku tidak memberi komentar mengenai apa yang terjadi saat kami makan malam. Ketika dia kembali dengan mata yang tidak mau melihat ke arahku, aku berusaha untuk tidak memerhatikannya. Aku justru membahas apa yang rekan-rekanku bahas tadi saat kami makan siang. Wajahnya terlihat sedikit lebih santai saat aku menceritakan tanggapan Dhini dan Jerome mengenai mereka yang mendapatkan predikat karyawan terbaik. Aku juga menyampaikan pujian mereka tentang tempat kerja mereka. Juga apa yang aku pikirkan mengenai hubungan Dhini dan Jerome. “Mereka mirip sekali seperti kita. Jerome sangat terbuka menyampaikan pendapatnya, sedangkan Dhini selalu menghindari topik pribadi. Dia akan berusaha untuk mengganti topik pembicaraan agar bukan dia lagi yang menjadi fokus. Tetapi Jerome sangat pintar mengembalikan lampu sorot pada rekan kami itu.” Aku tertawa kecil. “Aku tidak seperti Dhini.” Dia segera membantah. “Aku tidak menyebut kamu mirip dengan Dhini,” kataku penuh arti. “Aku hanya bilang mereka m
Pria itu berjalan mendekati aku dengan senyum menghiasi wajahnya. Seandainya saja suasananya berbeda, aku dengan senang hati akan berbincang dengannya. Seperti yang aku lakukan saat kami bertemu di hotel. Tetapi aku selalu percaya dengan firasatku. Keputusanku untuk menjaga jarak di tempat kerja terbukti benar. Karyawan yang melewati kami melihat ke arahku dengan tatapan tidak suka. Seandainya karyawan wanita lain yang bicara akrab dengannya, mereka tidak akan peduli. Aku perhatikan tidak ada yang terganggu saat Elan bicara dengan Dhini atau Natasha. Ini pasti karena statusku sebagai janda. Tidak benar bahwa Elan punya perasaan atau perhatian khusus kepadaku. Kami hanya berteman dan dia melakukan semua ini karena dia prihatin dengan keadaanku. Dia hanya memberi aku dukungan setelah berbagai hal buruk yang menimpa aku. “Berhari-hari menunggu kamu di sini, aku tidak pernah beruntung. Aku sampai berpikir bahwa kamu punya kekuatan super sehingga kamu bisa keluar lingkungan gedung tanpa
~Benedict~ Kalau bukan karena bengkel yang mengingatkan mengenai kartu memori yang mereka keluarkan dari kamera dasbor mobil untuk menggantinya dengan yang baru, maka aku akan butuh waktu lama untuk tahu siapa yang berada di balik kecelakaan tersebut. Aku tidak mau orang lain yang melakukan pemecatan, karena itu aku datang sendiri ke pabrik. Tentu saja semua orang terkejut melihat kedatanganku. Aku sengaja tidak memberi tahu siapa pun. Nelson hanya memastikan bahwa pria itu bekerja pada hari kedatangan kami. Supaya para karyawan tidak mencurigai apa pun, aku dan Nelson sengaja melakukan inspeksi ke setiap divisi. Hal yang biasanya aku lakukan pada setiap kunjunganku. “Saya benar-benar minta maaf atas kejahatan yang dia lakukan, Pak. Kami akan menyerahkan dia ke kantor polisi dan saya berjanji hal yang serupa tidak akan terjadi lagi,” ucap kepala keamanan pabrik. “Bila kalian sedang mengalami kesulitan keuangan, beri tahu supervisor atau siapa saja atasan kalian. Pak Benedict selalu
Dia menoleh ke arahku dengan senyum di wajahnya. Lalu dia kembali menundukkan kepalanya dan menatap ke tangan kami yang saling bertautan. Rasa rendah diriku menyerang melihat betapa kecilnya tanganku dalam genggamannya. Persis tangan anak kecil, bukan tangan orang dewasa. “Mengapa kamu begitu baik kepadaku, Ben? Apakah kamu bersikap seperti ini kepada semua orang? Atau kamu memperlakukan aku seperti ini karena rasa kasihan?” tanyanya pelan. “Kamu adalah istriku. Aku tidak akan membiarkan istriku sendiri merasa sedih. Bukankah itu tugas seorang suami?” Aku balik bertanya. Dengan emosinya saat ini, aku harus berhati-hati saat memberi jawaban. “Ada apa? Apa yang bisa aku bantu?” “Sudah terjadi, kamu tidak bisa membantu aku. Lagi pula ini bukan hal yang membutuhkan bantuan.” Dia mengambil selembar tisu yang ada di atas meja, lalu mengeringkan hidungnya yang berair. “Aku melewatkan satu bulan kematian Bakti.” Dia tertawa sedih. “Aku jahat, ya.” “Kamu punya utang warisan almarhum suamimu
~Delima~ Aku meletakkan sekotak cokelat masing-masing satu di meja Puput, Dhini, dan Jerome. Ada sebuah kartu di setiap kotak agar mereka tidak berteriak atau memberi tahu siapa pun mengenai cokelat tersebut. Walaupun mereka tidak mengatakannya secara langsung, mereka menggunakan aplikasi pada komputer mereka untuk berterima kasih kepadaku. Kami makan siang bersama di ruang kerja Puput dengan meminta seorang OB untuk memesan makanan mereka bertiga di kantin dan membawanya ke ruangan itu. Aku tidak perlu repot karena punya bekal sendiri. Dugaan Dhini benar. Puput sangat kecewa dengan kekalahannya dari Elan. Dia sangat berharap akan mendapat predikat supervisor terbaik bulan ini agar dia bisa menjadi supervisor terbaik tahun ini. Mereka bersaing demi bonus liburan lengkap dengan tiket pesawat dan akomodasinya untuk dua orang selama dua hari dua malam. Tempat tujuan dipilih sendiri oleh pemenang. “Dengan bonus yang kamu dapatkan setiap kali memenangkan predikat bulanan, kamu bisa perg
~Delima~ Setiap kali mengingat Rora, aku selalu tertawa. Idenya dan saudara sepupunya itu termasuk biasa, namun brilian. Rora memanfaatkan ketidaktahuannya mengenai hubungan Elan dan Sania. Mereka beranggapan bahwa keluarga besar mereka juga tidak mengetahuinya. Elan datang dengan santainya ke acara ulang tahun Nenek Rora dan Sania. Keluarga Sania yang segera mengenalinya, langsung memarahinya habis-habisan. Ternyata Elan memutuskan hubungan secara sepihak. Dia tidak datang dan bicara baik-baik dengan keluarga Sania. Spontan saja kedua kakak laki-laki Sania dan ayahnya menggelar sidang di depan keluarga besar tersebut. Rora dan Sania membuat siaran langsung kejadian itu di media sosial mereka. Semoga saja Elan jera mempermainkan hati wanita. Aku bisa memahami perasaannya yang dia pendam untukku. Tetapi aku tidak bisa mengerti keegoisannya yang memaksa aku meninggalkan suamiku dan memberi dia kesempatan untuk menjalin hubungan denganku. Sania adalah wanita yang cantik dan dari cerit
~Benedict~ Delima dan kedua bayi kami sudah bukan milikku seorang begitu kedua orang tua kami mengetahui kehamilannya. Apalagi saat mereka tahu ada dua bayi yang tumbuh di rahimnya. Setiap akhir pekan, mereka ada di mana kami berada, lalu memanjakan Delima. Aku tersingkir dan hanya bisa manyun melihat istriku mereka monopoli. Bahkan saat kami mengunjungi dokter kandungan untuk melakukan USG pada minggu kedua puluh. Sesuai kesepakatan, kami ingin tahu jenis kelamin kedua bayi kami. Ayah, Ibu, Papa, dan Mama juga tidak mau ketinggalan untuk menjadi yang pertama mengetahui gender cucu mereka. Untung saja dokter melakukan hal yang bijak dengan mengusir para orang tua itu dan mengizinkan aku mendampingi istriku. Tetapi setelah aku melihat sendiri dan mendengarkan penjelasan dari dokter, maka aku mempersilakan kedua orang tua kami untuk bergantian melihatnya juga. Ada begitu banyak perayaan yang aku adakan pada akhir tahun. Aku tidak menyesal telah merogoh kocek dalam-dalam demi membahag
Elan segera keluar dari bilikku tanpa menunggu responsku. Laudya menatap aku dengan khawatir. Aku tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Apa yang Elan lakukan kepada Rora? Apa mereka sedang menjalin hubungan asmara? “Apa yang terjadi, Delima?” tanya Dhini yang melihat dari atas papan pemisah bilik kami. “Mengapa Elan datang menemui kamu pada jam kerja? Aku hanya mengangkat kedua bahuku. “Pria yang aneh.” Dhini menggeleng pelan, sedangkan aku tertawa mendengarnya. Pada jam istirahat makan siang, aku mengerti mengapa Elan sampai nekat datang ke bilikku tadi. Ternyata dia mengundurkan diri. Dia sangat mencintai pekerjaannya, jadi aku tahu bahwa dia tidak melakukan itu dengan sukarela. Pasti Ben yang menyuruhnya memberikan surat pengunduran diri itu. Aku bertemu pandang dengan Natasha yang melihat aku dengan hormat, begitu juga teman-teman dari divisinya. Dia tidak lagi menatap aku dengan tajam. Itu perubahan yang sangat baik. “Menjadi istri bos memang ada keuntung
~Delima~ Aku melihat seorang wanita muda yang cantik sedang menatap Ben sambil berkedip genit. Dia salah satu pemenang lomba yang tadi makan bersama kami. Apa yang dia lakukan di sini? Bukankah acara sudah selesai? Lalu mengapa dia lancang sekali memanggil Ben dengan namanya saja tanpa gelar bapak seperti yang mereka lakukan di dalam? “Apa yang perlu diingat lagi?” Ben balik bertanya. “Oh, ayolah, Ben. Kita hampir menikah. Bagaimana mungkin kamu bisa melupakan aku secepat itu? Kamu memilih aku sebagai pemenang pasti karena kamu ingat denganku, ‘kan?” katanya menggoda. “Ooo. Apa kamu wanita yang kabur pada hari pernikahan setelah melihat aku? Pantas saja aku butuh waktu untuk mengingatnya. Kamu salah paham. Saat memilih pemenang, aku memilih desain. Tidak ada nama yang tertera supaya penilaiannya adil,” jawab Ben dengan senyum mengejek di wajahnya. “Aku masih di sini sampai besok. Kamu pasti tahu nomor kamarku. Bila kamu ingin mengobrol ….” Dia melirik ke arahku sebelum kembali men
Suasana ruang kerja yang semula tenang itu berubah ramai dengan suara Ayah yang memarahi Kenneth dan Ibu yang menangis setengah menjerit tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Aku segera meminta rekaman CCTV ruang kerja Kenneth untuk melihat apa benar dia yang telah menelepon Kakek lewat ponsel itu pada saat Kakek terkena serangan jantung. Petugas keamanan bingung saat Ayah memerintahkan mereka untuk membawa Kenneth ke kantor polisi. Nelson mengikuti mereka. Dia juga sudah membawa bukti rekaman CCTV di mana adikku itu telah beberapa kali melakukan kekerasan kepadaku beberapa bulan belakangan. Dengan semua bukti itu, aku yakin dia tidak akan diizinkan keluar dari tahanan sampai proses pengadilan selesai. Kemudian aku meminta semua laporan keuangan terbaru yang asli, bukan yang palsu untuk aku pelajari. Sekretaris Kenneth menoleh ke arah Ayah untuk meminta persetujuannya. Ayah segera mengangguk setuju dan memberi tahu bahwa mulai dari hari ini aku yang pegang kendali penuh. T
~Benedict~ Dadaku sakit sekali mendengar dia mengatakan pisah. Seketika itu juga aku tidak peduli dengan apa pun yang ada di dunia ini. Aku juga tidak peduli bila aku harus berlutut memohon kepadanya. Aku tidak mau dia pergi dariku. Walaupun dia meminta seluruh hartaku, aku akan memberikan semua kepadanya. Benda itu tidak ada artinya tanpa dia di sisiku. Namun Delima memberi aku kejutan lainnya. Dia sedang hamil. Kenneth dan Eloisa selalu mengejek aku tidak akan pernah menikah apalagi punya anak seperti mereka. Jadi, berita itu adalah keajaiban bagiku. Ketika melihat foto hitam putih mereka, aku tidak tahu di mana mereka berada. Tetapi aku percaya bahwa mereka ada di dalam perut istriku. Selama ini aku berpikir bahwa aku adalah ciptaan yang dilupakan oleh Tuhan. Dia pasti bercanda pada saat menciptakan aku dengan segala kekuranganku. Ternyata Dia masih mengingat aku dan memberikan aku bukan satu, tetapi dua orang anak sekaligus. Aku tidak muda lagi, tetapi aku berjanji akan bertahan
Pikiranku kacau, dadaku terasa sesak, karena aku tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Aku bahagia, karena penantian panjangku sudah berakhir. Kehamilan ini sudah lama aku harapkan, tetapi keadaannya sedang tidak memungkinkan. Ben tidak mau kami punya anak. Jika alat ini akurat, maka hubunganku dan Ben juga berakhir. Aku tidak berhenti menangis memikirkan hubungan kami harus usai secepat ini. Memikirkan kondisi janin yang aku kandung tidak membuat aku cukup kuat menghentikan air mata yang mengalir jatuh dengan deras di pipiku. Seharusnya ini adalah kabar baik, kabar yang membahagiakan. Sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tidak terlalu memerhatikan apa yang terjadi di makam Kakek. Eloisa entah bicara apa, Ayah dan Ibu yang kemudian datang membahas apa, tidak aku dengarkan. Ben mengajak aku ke mana pun, aku hanya mengikutinya saja. Namun saat tiba di rumah, aku segera kembali ke kamar dan menyendiri. Aku perlu memikirkan hal ini seorang diri. Yang pasti, aku menginginkan bayi in
~Delima~ Beraninya dia mengatakan cinta pada tarikan napas yang sama dia menyebut tidak mau memiliki anak bersamaku. Dengan intensitas kami melakukan hubungan suami istri, apa dia pikir kami bisa mencegah seorang anak lahir? Juga beraninya dia menuduh aku akan berubah pikiran terhadap anakku sendiri seandainya dia mempunyai kekurangan. Aku bukan ayah atau ibunya. Aku tidak akan membuang anakku sendiri seperti yang mereka lakukan. Malam itu, usai bicara dengannya, aku tidak melarang dia tidur bersamaku. Tetapi aku tidak sudi berbaring menghadapnya seperti kebiasaan kami tidur bersama. Aku sangat kesal dan tidak mau melihat wajahnya agar amarahku tidak semakin memuncak. Untuk pertama kalinya, kiriman bunga darinya aku buang ke tempat sampah. Aku tidak butuh bunga atau kartu untuk mewakili dia menyampaikan pesannya. Dia bisa bicara langsung denganku. Elan yang tidak tahu diri itu juga masih berani mengajak aku bicara. Tidak tahan lagi dengan sikapnya, aku memarahinya panjang lebar dan
Mama tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia justru cepat-cepat mengakhiri percakapan kami. Mungkin Delima sedang berada di dekatnya dan Mama tidak mau istriku sampai tahu bahwa Mama melaporkan sakitnya kepadaku. Aku semakin panik, karena tidak tahu sakitnya parah atau tidak. Ini semua salahku. Seharusnya aku mengajak dia bicara baik-baik. Bukan memaksakan kehendakku kepadanya. Dia seorang wanita, wajar saja dia memiliki jiwa keibuan yang mengharapkan memiliki anak sendiri. Apalagi kakak iparnya sedang hamil. Sedikit banyak, dia pasti merindukan kehadiran anak-anak juga. Aku malah tidak peka dan bersikap egois. Untuk meminta maaf kepadanya, aku meneruskan rencanaku. Setidaknya saat dia pulang nanti, dia tahu bahwa aku menyesal sudah menyakiti perasaannya. Aku tidak mau tidur sendirian lagi. Deva dan semua pelayan membantu aku menyiapkan kejutan untuk istriku. Namun saat dia pulang, dia hanya diam saja melihat balon dan bunga yang ada di sekitarku, juga papan bertuliskan maafkan aku yan