~Delima~ Aku meletakkan sekotak cokelat masing-masing satu di meja Puput, Dhini, dan Jerome. Ada sebuah kartu di setiap kotak agar mereka tidak berteriak atau memberi tahu siapa pun mengenai cokelat tersebut. Walaupun mereka tidak mengatakannya secara langsung, mereka menggunakan aplikasi pada komputer mereka untuk berterima kasih kepadaku. Kami makan siang bersama di ruang kerja Puput dengan meminta seorang OB untuk memesan makanan mereka bertiga di kantin dan membawanya ke ruangan itu. Aku tidak perlu repot karena punya bekal sendiri. Dugaan Dhini benar. Puput sangat kecewa dengan kekalahannya dari Elan. Dia sangat berharap akan mendapat predikat supervisor terbaik bulan ini agar dia bisa menjadi supervisor terbaik tahun ini. Mereka bersaing demi bonus liburan lengkap dengan tiket pesawat dan akomodasinya untuk dua orang selama dua hari dua malam. Tempat tujuan dipilih sendiri oleh pemenang. “Dengan bonus yang kamu dapatkan setiap kali memenangkan predikat bulanan, kamu bisa perg
Dia sama sekali tidak terkejut melihat aku berada di lantai ini juga. Atau dia hanya berpura-pura bersikap biasa, aku tidak tahu. Pandangannya tertuju pada tas bekal makanan yang aku bawa. Aku sengaja tidak bicara agar dia yang memulai lebih dahulu. “Aku melihat kamu sering sekali naik ke lantai ini sebelum pergi ke kantin.” Dia melihat ke sekitar kami. “Apa yang kamu lakukan di sini?” “Kamu benar-benar tidak tahu atau sedang menguji aku?” Aku balik bertanya, sama sekali tidak menyembunyikan rasa tidak sukaku. Dia tersenyum. “Maaf, aku tidak bermaksud mengikuti kamu. Tetapi saat aku ke sini, aku tidak menemukan kamu di mana pun. Aku tidak berniat ke sana karena itu tempat parkir khusus para pimpinan. Aku tidak mau dituduh mencuri ketika ada dari mereka yang kehilangan sesuatu. Mungkin kamu tidak tahu, tetapi hal itu pernah terjadi dua kali. Sejak itu, tidak ada seorang karyawan pun yang berani ke sana tanpa didampingi orang yang berwenang.” Aku tidak puas dengan jawabannya, tetapi
Dia tertawa kecil. “Semua pelayan yang bekerja di rumah ini tidak mungkin tinggal di rumah yang hanya menyediakan lima kamar tidur, Ima. Rumah itu juga rumah kita yang aku beli khusus untuk tempat tinggal mereka.” Mulutku otomatis menganga mendengarnya. Dia punya dua rumah mewah, tetapi adik serta adik iparnya menyebut dia tidak kaya?? Aku yakin harga rumah ini lebih dari lima miliar. Ben tidak hanya punya satu, tetapi dua. Mungkin ada baiknya aku memeriksa daftar propertinya yang tertera pada surat perjanjian pranikah kami. “Ini adalah kamarku,” katanya membuka pintu yang ada di sebelah kanan kami. “Keadaannya sama saja dengan kamarmu hanya beda posisi.” “Jendela dan balkon kamu ada di sebelah kanan kamar, sedangkan aku berada di sebelah kiri.” Aku mengangguk mengerti. Dua pintu yang berada di sebelah kiri itu pasti kamar mandi dan ruang pakaian. Berbeda dengan kamarku yang bernuansa putih, maka kamarnya didominasi warna hitam, putih, dan abu-abu. Warna yang maskulin. “Dan pintu y
Rumah itu nyaris tidak bisa aku kenali lagi. Dari pagar berukir bercat putihnya saja, aku butuh waktu untuk mengenali bahwa itu adalah rumah orang tuaku. Rumah di mana aku tumbuh besar. Warna cat rumah itu diganti dengan kuning lembut dan putih. Garasi luar diberi atap baru yang bergaya modern. Pekarangan kecil di depan rumah diberi rumput yang segar dan ada beberapa tanaman bunga yang pucuknya mulai bermunculan. Ada dua kursi di teras dengan sebuah meja kecil di antaranya. Pintu dan jendela terlihat diganti dengan kayu dengan lebih baik. Bahkan plafonnya tidak ada lagi yang terlepas. Atapnya juga terlihat diganti dengan yang baru. Aku menoleh ke arah Ben. Dia hanya tersenyum. Terbuat dari apa hati pria ini sehingga dia begitu baik kepada orang tuaku? “Hai! Ayo, masuk!” Mama membuka pintu. Kak Pangestu segera mendekati pagar dan membuka gemboknya. Aku masuk lebih dahulu, lalu Ben menyusul. “Bagaimana perjalanan kalian tadi? Ayo, kalian pasti sudah lapar!” Aku yang berada di dekatnya
~Benedict~ Delima bersikap aneh saat kami sarapan pagi bersama. Dia tidak mau menatap mataku saat bicara, juga terlihat tidak nyaman berada di dekatku. Dia terus-menerus melihat ke arah luar jendela ruang makan atau ke arah pintu. Seolah-olah dia lebih suka berada di tempat lain daripada bersamaku. Namun saat kami dalam perjalanan menuju rumah orang tuanya, dia sudah kembali bersikap biasa. Dia mengajak aku membahas hal-hal ringan, lalu bersekutu dengan Karno ketika aku menghindari topik yang sifatnya pribadi. Sepertinya dia sengaja melakukan itu agar ada orang yang bisa diajaknya untuk menyerang sifat tertutupku itu. Sambutan keluarganya sangat hangat. Mama menggandeng tanganku untuk masuk ke rumahnya dan tidak menggubris putrinya. Aku senang melihat dia puas dan bahagia dengan kondisi rumahnya yang serba baru. Aku tidak menyesal mengeluarkan uang untuk merenovasi rumah tersebut. Nelson memilih jasa yang sama dengan desainer interior yang mengurus rumah Delima, jadi aku tidak terke
Suasana rumah itu senyap ketika wanita tadi pulang. Aku hanya duduk diam membiarkan mereka menenangkan diri. Delima yang tadi memanggil aku untuk kembali duduk bersama mereka. Aku sudah menyiapkan kalimat untuk menghiburnya, tetapi melihat wajahnya saat masuk kamar, aku mengurung niatku tersebut. Ini bukan saat yang tepat untuk bercanda. Mama yang duduk di samping Papa mengusap-usap lengannya untuk membantu ayah mertuaku itu menenangkan emosinya. Pria itu tidak terlihat seperti seorang pemarah, jadi aku tahu bahwa dia membentak tadi karena dia sudah tidak tahan lagi. “Jadi, lima tahun kalian menikah, selama itu juga dia mengambil semua gaji Bakti?” tanya Papa kepada Delima. Dia mengangguk pelan. “Suamimu itu diam saja dan tidak melakukan apa pun?” “Dia beberapa kali mencoba memberi pengertian bahwa dia juga butuh uang, tetapi ibunya selalu berhasil menang dalam perdebatan mereka. Papa tahu sendiri Bakti tidak akan tega menyakiti ibunya. Akhirnya, gajinya selalu diberikan kepada mama
~Delima~ Oh, Tuhan. Apa yang sudah aku lakukan? Mengapa aku melakukan itu tadi?? Aku rasanya mau mati saja. Ini pasti gara-gara film bodoh itu! Kedua pemain utamanya berciuman begitu intens membuat aku menginginkannya juga. Aku sudah lama tidak pernah merasakan dorongan sekuat itu. Tetapi aku biasanya bisa mengendalikan diriku sendiri. Ini Ben. Ben yang seharusnya aku perlakukan dengan hati-hati. Bagaimana bisa aku malah mencium dia begitu saja tanpa izin dan tanpa peringatan? Apa yang dia pikirkan tentang aku sekarang? Dia pasti berpikir bahwa aku hanya mencoba untuk menaklukkan hatinya, seperti yang aku katakan beberapa hari yang lalu. Padahal aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya asal bicara. Hari ini kami akan ke rumah Kakek, aku harus bersikap bagaimana? Aku tidak mungkin berpura-pura tidur sampai besok pagi, ‘kan? Matilah aku. Ada apa sebenarnya denganku? Saat aku melihat dia berenang, aku berdebar-debar seperti tidak pernah melihat laki-laki bertelanjang dada. Lalu … lalu sem
“Yess! Yuhuu!!” sorakku girang. “Aku menang lagi. Aku menang lagi.” Aku menyusun kembali bidak demi bidak ke posisi mereka semula. “Kakek mau bidak warna apa sekarang? Hitam atau putih lagi?” “Aku tidak mau main lagi,” tolak Kakek dengan kesal. Aku mengangkat kepalaku dan melihat ke arahnya. “Kamu bilang kamu tidak pernah main catur. Lalu bagaimana kamu bisa menang mudah begitu?” katanya penuh protes. Aku menoleh ke arah Melvin yang menatap aku tidak percaya, kemudian ke arah Ben yang menutup mulut dengan tangannya. Kelihatannya dia berusaha untuk menyembunyikan senyumnya, karena matanya terlihat bersinar bahagia. Aku kembali menoleh ke arah Kakek yang cemberut. Mirip seperti ekspresi wajah Melvin saat kalah berulang kali darinya. “Kakek lihat sendiri aku bergerak sembarangan saja. Aku tidak tahu kalau semua langkah itu akan memojokkan posisi raja.” Aku mengangkat kedua bahuku dengan lugu. “Bagaimana kalau kita coba sekali lagi? Siapa tahu kali ini Kakek yang menang.” “Tidak. Aku s
~Delima~ Setiap kali mengingat Rora, aku selalu tertawa. Idenya dan saudara sepupunya itu termasuk biasa, namun brilian. Rora memanfaatkan ketidaktahuannya mengenai hubungan Elan dan Sania. Mereka beranggapan bahwa keluarga besar mereka juga tidak mengetahuinya. Elan datang dengan santainya ke acara ulang tahun Nenek Rora dan Sania. Keluarga Sania yang segera mengenalinya, langsung memarahinya habis-habisan. Ternyata Elan memutuskan hubungan secara sepihak. Dia tidak datang dan bicara baik-baik dengan keluarga Sania. Spontan saja kedua kakak laki-laki Sania dan ayahnya menggelar sidang di depan keluarga besar tersebut. Rora dan Sania membuat siaran langsung kejadian itu di media sosial mereka. Semoga saja Elan jera mempermainkan hati wanita. Aku bisa memahami perasaannya yang dia pendam untukku. Tetapi aku tidak bisa mengerti keegoisannya yang memaksa aku meninggalkan suamiku dan memberi dia kesempatan untuk menjalin hubungan denganku. Sania adalah wanita yang cantik dan dari cerit
~Benedict~ Delima dan kedua bayi kami sudah bukan milikku seorang begitu kedua orang tua kami mengetahui kehamilannya. Apalagi saat mereka tahu ada dua bayi yang tumbuh di rahimnya. Setiap akhir pekan, mereka ada di mana kami berada, lalu memanjakan Delima. Aku tersingkir dan hanya bisa manyun melihat istriku mereka monopoli. Bahkan saat kami mengunjungi dokter kandungan untuk melakukan USG pada minggu kedua puluh. Sesuai kesepakatan, kami ingin tahu jenis kelamin kedua bayi kami. Ayah, Ibu, Papa, dan Mama juga tidak mau ketinggalan untuk menjadi yang pertama mengetahui gender cucu mereka. Untung saja dokter melakukan hal yang bijak dengan mengusir para orang tua itu dan mengizinkan aku mendampingi istriku. Tetapi setelah aku melihat sendiri dan mendengarkan penjelasan dari dokter, maka aku mempersilakan kedua orang tua kami untuk bergantian melihatnya juga. Ada begitu banyak perayaan yang aku adakan pada akhir tahun. Aku tidak menyesal telah merogoh kocek dalam-dalam demi membahag
Elan segera keluar dari bilikku tanpa menunggu responsku. Laudya menatap aku dengan khawatir. Aku tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Apa yang Elan lakukan kepada Rora? Apa mereka sedang menjalin hubungan asmara? “Apa yang terjadi, Delima?” tanya Dhini yang melihat dari atas papan pemisah bilik kami. “Mengapa Elan datang menemui kamu pada jam kerja? Aku hanya mengangkat kedua bahuku. “Pria yang aneh.” Dhini menggeleng pelan, sedangkan aku tertawa mendengarnya. Pada jam istirahat makan siang, aku mengerti mengapa Elan sampai nekat datang ke bilikku tadi. Ternyata dia mengundurkan diri. Dia sangat mencintai pekerjaannya, jadi aku tahu bahwa dia tidak melakukan itu dengan sukarela. Pasti Ben yang menyuruhnya memberikan surat pengunduran diri itu. Aku bertemu pandang dengan Natasha yang melihat aku dengan hormat, begitu juga teman-teman dari divisinya. Dia tidak lagi menatap aku dengan tajam. Itu perubahan yang sangat baik. “Menjadi istri bos memang ada keuntung
~Delima~ Aku melihat seorang wanita muda yang cantik sedang menatap Ben sambil berkedip genit. Dia salah satu pemenang lomba yang tadi makan bersama kami. Apa yang dia lakukan di sini? Bukankah acara sudah selesai? Lalu mengapa dia lancang sekali memanggil Ben dengan namanya saja tanpa gelar bapak seperti yang mereka lakukan di dalam? “Apa yang perlu diingat lagi?” Ben balik bertanya. “Oh, ayolah, Ben. Kita hampir menikah. Bagaimana mungkin kamu bisa melupakan aku secepat itu? Kamu memilih aku sebagai pemenang pasti karena kamu ingat denganku, ‘kan?” katanya menggoda. “Ooo. Apa kamu wanita yang kabur pada hari pernikahan setelah melihat aku? Pantas saja aku butuh waktu untuk mengingatnya. Kamu salah paham. Saat memilih pemenang, aku memilih desain. Tidak ada nama yang tertera supaya penilaiannya adil,” jawab Ben dengan senyum mengejek di wajahnya. “Aku masih di sini sampai besok. Kamu pasti tahu nomor kamarku. Bila kamu ingin mengobrol ….” Dia melirik ke arahku sebelum kembali men
Suasana ruang kerja yang semula tenang itu berubah ramai dengan suara Ayah yang memarahi Kenneth dan Ibu yang menangis setengah menjerit tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Aku segera meminta rekaman CCTV ruang kerja Kenneth untuk melihat apa benar dia yang telah menelepon Kakek lewat ponsel itu pada saat Kakek terkena serangan jantung. Petugas keamanan bingung saat Ayah memerintahkan mereka untuk membawa Kenneth ke kantor polisi. Nelson mengikuti mereka. Dia juga sudah membawa bukti rekaman CCTV di mana adikku itu telah beberapa kali melakukan kekerasan kepadaku beberapa bulan belakangan. Dengan semua bukti itu, aku yakin dia tidak akan diizinkan keluar dari tahanan sampai proses pengadilan selesai. Kemudian aku meminta semua laporan keuangan terbaru yang asli, bukan yang palsu untuk aku pelajari. Sekretaris Kenneth menoleh ke arah Ayah untuk meminta persetujuannya. Ayah segera mengangguk setuju dan memberi tahu bahwa mulai dari hari ini aku yang pegang kendali penuh. T
~Benedict~ Dadaku sakit sekali mendengar dia mengatakan pisah. Seketika itu juga aku tidak peduli dengan apa pun yang ada di dunia ini. Aku juga tidak peduli bila aku harus berlutut memohon kepadanya. Aku tidak mau dia pergi dariku. Walaupun dia meminta seluruh hartaku, aku akan memberikan semua kepadanya. Benda itu tidak ada artinya tanpa dia di sisiku. Namun Delima memberi aku kejutan lainnya. Dia sedang hamil. Kenneth dan Eloisa selalu mengejek aku tidak akan pernah menikah apalagi punya anak seperti mereka. Jadi, berita itu adalah keajaiban bagiku. Ketika melihat foto hitam putih mereka, aku tidak tahu di mana mereka berada. Tetapi aku percaya bahwa mereka ada di dalam perut istriku. Selama ini aku berpikir bahwa aku adalah ciptaan yang dilupakan oleh Tuhan. Dia pasti bercanda pada saat menciptakan aku dengan segala kekuranganku. Ternyata Dia masih mengingat aku dan memberikan aku bukan satu, tetapi dua orang anak sekaligus. Aku tidak muda lagi, tetapi aku berjanji akan bertahan
Pikiranku kacau, dadaku terasa sesak, karena aku tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Aku bahagia, karena penantian panjangku sudah berakhir. Kehamilan ini sudah lama aku harapkan, tetapi keadaannya sedang tidak memungkinkan. Ben tidak mau kami punya anak. Jika alat ini akurat, maka hubunganku dan Ben juga berakhir. Aku tidak berhenti menangis memikirkan hubungan kami harus usai secepat ini. Memikirkan kondisi janin yang aku kandung tidak membuat aku cukup kuat menghentikan air mata yang mengalir jatuh dengan deras di pipiku. Seharusnya ini adalah kabar baik, kabar yang membahagiakan. Sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tidak terlalu memerhatikan apa yang terjadi di makam Kakek. Eloisa entah bicara apa, Ayah dan Ibu yang kemudian datang membahas apa, tidak aku dengarkan. Ben mengajak aku ke mana pun, aku hanya mengikutinya saja. Namun saat tiba di rumah, aku segera kembali ke kamar dan menyendiri. Aku perlu memikirkan hal ini seorang diri. Yang pasti, aku menginginkan bayi in
~Delima~ Beraninya dia mengatakan cinta pada tarikan napas yang sama dia menyebut tidak mau memiliki anak bersamaku. Dengan intensitas kami melakukan hubungan suami istri, apa dia pikir kami bisa mencegah seorang anak lahir? Juga beraninya dia menuduh aku akan berubah pikiran terhadap anakku sendiri seandainya dia mempunyai kekurangan. Aku bukan ayah atau ibunya. Aku tidak akan membuang anakku sendiri seperti yang mereka lakukan. Malam itu, usai bicara dengannya, aku tidak melarang dia tidur bersamaku. Tetapi aku tidak sudi berbaring menghadapnya seperti kebiasaan kami tidur bersama. Aku sangat kesal dan tidak mau melihat wajahnya agar amarahku tidak semakin memuncak. Untuk pertama kalinya, kiriman bunga darinya aku buang ke tempat sampah. Aku tidak butuh bunga atau kartu untuk mewakili dia menyampaikan pesannya. Dia bisa bicara langsung denganku. Elan yang tidak tahu diri itu juga masih berani mengajak aku bicara. Tidak tahan lagi dengan sikapnya, aku memarahinya panjang lebar dan
Mama tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia justru cepat-cepat mengakhiri percakapan kami. Mungkin Delima sedang berada di dekatnya dan Mama tidak mau istriku sampai tahu bahwa Mama melaporkan sakitnya kepadaku. Aku semakin panik, karena tidak tahu sakitnya parah atau tidak. Ini semua salahku. Seharusnya aku mengajak dia bicara baik-baik. Bukan memaksakan kehendakku kepadanya. Dia seorang wanita, wajar saja dia memiliki jiwa keibuan yang mengharapkan memiliki anak sendiri. Apalagi kakak iparnya sedang hamil. Sedikit banyak, dia pasti merindukan kehadiran anak-anak juga. Aku malah tidak peka dan bersikap egois. Untuk meminta maaf kepadanya, aku meneruskan rencanaku. Setidaknya saat dia pulang nanti, dia tahu bahwa aku menyesal sudah menyakiti perasaannya. Aku tidak mau tidur sendirian lagi. Deva dan semua pelayan membantu aku menyiapkan kejutan untuk istriku. Namun saat dia pulang, dia hanya diam saja melihat balon dan bunga yang ada di sekitarku, juga papan bertuliskan maafkan aku yan