Aku tidak menduga dia akan mengajukan hal itu sebagai syaratnya. Karena dia adalah rekan bisnis bosku, aku pikir dia akan meminta aku membujuk Pak Luis untuk menyetujui proyek baru darinya atau hal lain yang ada hubungannya dengan pekerjaan.
Hari Kamis artinya tiga hari lagi. Bila kami menikah pada hari Kamis, apa utangku baru akan dibayar setelah kami resmi menjadi suami istri? Tetapi kami tidak saling mengenal. Aku bahkan tidak tahu seperti apa orangnya. Tidak, tidak. Apa yang membuat aku ragu? Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Pria mana yang mau menikah dengan janda yang terlilit utang seperti aku?
Terlebih lagi, Pak Benedict bukan pria biasa. Dia seorang pengusaha sukses yang punya banyak usaha lain selain yang berhubungan dengan garmen. Aku bukan hanya lepas dari utang, tetapi aku juga akan hidup nyaman selama dia masih menginginkan aku menjadi istrinya. Aku tidak akan hidup susah lagi seperti yang aku alami bersama Bakti.
“Jadi, maksud Bapak, kita menikah pada hari Kamis ini dan utang saya akan Bapak lunasi pada hari Jumat?” tanyaku mengonfirmasi ucapannya.
“Benar. Apa kamu keberatan?” tanyanya kemudian.
“Tidak. Saya sama sekali tidak keberatan. Apa yang harus saya lakukan? Apa saya perlu memberi tahu orang tua saya atau Bapak yang akan datang menemui mereka?” Aku pasti akan dimarahi Papa dan Mama, tetapi aku tidak punya jalan lain.
“Hal itu aku serahkan kepadamu. Aku hanya akan mengirim orang untuk mengukur tubuhmu besok pagi. Lalu pada Kamis pagi orangku akan menjemput dan membawa kamu ke hotel. Kamu akan bersiap-siap di sebuah kamar yang akan aku pesankan untukmu. Pemberkatan akan dipimpin oleh pendeta dari gerejaku, sedangkan resepsi akan diadakan di restoran hotel itu.”
Seperti biasanya. Dia sudah menyiapkan segala detail dengan baik. Persiapan pernikahan ini bahkan sudah dia pikirkan sebelum menelepon aku. Aku yakin itu. Bagaimana dia berbisnis, begitu juga dia mempersiapkan pernikahan kami.
“Apa kamu membutuhkan sesuatu? Ada yang perlu aku siapkan khusus untukmu?” tanyanya dengan suara yang lebih lembut, jauh dari kesan seriusnya saat membahas pekerjaan.
“Tidak, Pak. Saya sangat berterima kasih atas bantuan Anda. Apa yang sudah Bapak siapkan lebih dari apa yang bisa saya minta.” Lalu aku teringat pada sesuatu. “Ng, bila ini tidak merepotkan, apa saya boleh meminta hal khusus mengenai gaun pernikahan saya?”
Aku merasa jauh lebih baik setelah bicara dengan Pak Benedict. Beban yang sangat berat terangkat begitu saja dari pundakku sehingga air mataku tidak berhenti menetes saat aku pulang ke rumah. Bahkan untuk pertama kalinya sejak para penagih utang itu datang, aku bisa tidur pulas.
Orang yang dia katakan akan datang itu menepati janjinya. Mereka bekerja dengan cepat saat mengukur badanku. Lalu kami duduk bersama dan mereka memberi aku buku berisi foto gaun koleksi mereka. Gaun khusus yang aku minta.
“Apa kamu tidak salah bicara? Kamu akan menikah lusa ini? Bakti belum genap meninggal selama tiga minggu dan kamu sudah mendapatkan penggantinya? Apa kata orang nanti, Ima? Tidak. Kamu tidak bisa menikah secepat ini. Kamu harus membatalkan niatmu itu!” hardik Papa.
“Aku mengerti bahwa kamu kesepian dan membutuhkan perhatian seorang suami. Tetapi kamu hanya bisa menikah lagi paling cepat satu tahun setelah kematian suamimu. Tidak kurang dari itu,” timpal Mama dengan tegas.
“Bukankah kamu mencintai Bakti? Mengapa kamu bisa secepat ini melupakan dia dan berpaling hati? Aku tahu kamu berhak untuk menikah lagi karena suamimu sudah meninggal. Tetapi seperti Papa dan Mama katakan, tidak secepat ini, Ima. Kamu harus tunda rencanamu itu. Jika kamu memaksa, maka kami tidak akan menghadirinya dan Papa juga tidak akan mengantar kamu ke altar,” kata Kak Pangestu dengan tegas. Istrinya yang duduk di sisinya hanya diam, tidak ikut menasihati aku.
Aku tahu bahwa mereka tidak akan menyetujui rencanaku ini. Jangankan mereka. Aku juga tidak akan melakukan ini bila aku punya pilihan lain. Menikah lagi sebelum lewat masa duka bukan hanya merusak reputasiku sendiri, tetapi juga nama baik keluargaku. Selama beberapa hari, minggu, bahkan mungkin tahunan, kami akan menjadi bahan gunjingan orang. Aku juga tidak akan tahan.
Namun setelah mendapatkan perlakuan kasar dari para penagih utang itu, mimpi buruk yang terus menghantui aku, dan keinginan untuk mengakhiri hidupku sendiri, omongan orang menjadi hal yang tidak menakutkan lagi bagiku. Menghadapi orang jahat itu jauh lebih mengerikan.
“Jika kalian bisa memberi lima ratus juta kepadaku sekarang, maka aku tidak akan menikah pada hari Kamis nanti,” kataku dengan serius. Mereka menatap aku sejenak, lalu membulatkan mata mereka. “Aku tidak menikah karena aku punya selingkuhan atau mencintai pria lain di belakang suamiku. Pria ini mau menolong aku dan sebagai gantinya dia meminta aku untuk menikah dengannya.”
Mama terisak. “Mengapa keluarga itu jahat sekali kepadamu? Kamu dan Bakti baik-baik saja pada tahun pertama pernikahan kalian. Mengapa sekarang semuanya jadi begini?” Mama menutup mulutnya dengan tangannya untuk menahan isakannya.
“Mereka yang memakai semua uangnya, seharusnya mereka yang membayar. Mengapa Bakti tega mencantumkan namamu sebagai jaminan? Apa dia berbohong saat dia berjanji akan menjaga kamu saat datang melamar? Pangestu, kamu bilang sahabatmu itu orang baik. Lihat, apa yang sudah dia lakukan kepada adikmu.” Papa menatap Kakak dengan sedih. Kakak hanya menundukkan kepalanya.
Walaupun percakapanku dengan keluargaku tidak berakhir dengan baik, yang penting mereka setuju untuk menghadiri pernikahanku. Papa juga bersedia untuk mengantar aku ke altar. Mereka tidak tahu bahwa aku didatangi penagih utang dan mendapat ancaman. Jika mereka tahu, mereka tidak akan membiarkan aku tinggal sendiri. Bisa jadi mereka tahu, tetapi tidak berdaya untuk menolong.
Pak Luis mengejutkan aku pada Rabu sore itu saat mengucapkan sampai jumpa pada hari Senin. Aku tidak tahu apa yang dikatakan Pak Benedict sebagai alasan cutiku, tetapi dia hebat bisa mendapat kata iya darinya. Atasanku terkenal pelit memberi cuti karena dia benci harus tetap membayar karyawannya pada saat mereka tidak bekerja.
Aku bersiap untuk keluar dari ruanganku ketika pintu terbuka dan Ayu masuk. Dia segera berjalan mendekati aku. “Apa yang terjadi, Ima? Mengapa kamu mendadak mengajukan cuti? Apakah ada hal buruk yang terjadi pada keluargamu?” bisiknya.
“Tidak. Apa Pak Luis meminta kamu untuk menggantikan aku sementara?” Aku mengajaknya keluar dari ruangan itu. Aku ingin segera tiba di rumah.
“Iya. Apa ada tugas tertentu yang harus aku selesaikan segera besok pagi?” tanyanya antusias. Aku menggeleng. “Untung saja kamu akan kembali bekerja pada hari Senin. Aku tidak yakin akan bisa mempersiapkan rapat dewan direksi.” Aku tertawa mendengarnya.
Hari pernikahan tiba, seorang wanita muda datang menjemput aku di rumah. Sebuah mobil dengan seorang sopir di dalamnya telah menunggu kami di depan pagar. Mereka hanya diam saja sepanjang perjalanan kami menuju hotel.
Kamar yang dimaksud Pak Benedict ternyata sebuah apartemen dengan dua kamar. Bagian tengah apartemen itu telah diubah menjadi tempat berias. Dua orang pria dan seorang wanita berdiri di sana menyambut aku. Mereka mempersilakan aku untuk duduk dan memulai sulap mereka.
Setengah jam sebelum pemberkatan dimulai, aku sudah tiba di gereja. Pengurus gereja mengantar aku ke sebuah ruangan di mana Papa akan menjemput aku nanti. Aku tidak melewati pintu masuk utama, jadi aku tidak tahu apakah keluargaku sudah tiba. Pak Benedict menawarkan mobil untuk menjemput mereka, tetapi aku menolak. Kak Pangestu yang akan mengurus orang tuaku.
Aku tidak tahu siapa saja yang akan datang dari pihak pengantin pria, tetapi aku hanya mengundang keluargaku. Seperti kata Papa dan Mama, pernikahan ini terlalu cepat dan aku masih dalam masa berkabung. Sebisa mungkin, aku menghindari gunjingan orang. Bila saatnya tiba, semua orang akan tahu juga mengenai hal ini.
Pintu diketuk dengan halus dari luar, jantungku tiba-tiba saja berdebar lebih cepat. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan. Baiklah. Saatnya untuk memasuki lembaran baru hidupku berikutnya. Papa sudah datang, maka ini saatnya bagiku untuk berjalan menuju altar.
Namun saat aku menoleh ke arah pintu, bukan Papa yang berdiri di sana. Seorang laki-laki yang tidak aku kenal tersenyum kepadaku. Dia mengenakan setelan berwarna hitam senada dengan gaun yang aku kenakan. Penampilan fisiknya menarik perhatianku. Aku tahu bahwa dia tidak muda lagi dari bentuk wajahnya yang layaknya pria dewasa, tetapi tubuhnya sedikit lebih rendah dariku bahkan saat aku dalam posisi duduk.
“Hai, Delima. Akhirnya, kita bertemu,” sapanya dengan ramah. Aku membuka mulut ingin membalas sapaannya, namun aku tertegun begitu mengenali siapa pemilik suara itu.
Aku punya banyak gambaran di kepalaku mengenai dia hanya dari mengenali suaranya. Seorang pria berwajah tampan, ramah, dengan tubuh tinggi sedikit atletis karena suka berolahraga, tipe miliarder yang selalu tampil di televisi dan majalah. Tidak pernah tebersit di benakku bahwa Pak Benedict bertubuh kerdil.
Dia tertawa kecil. “Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku tahu bahwa penampilanku ini di luar dugaanmu.” Dia meletakkan sebuah map dan pulpen di atas meja di sampingku. “Ini adalah surat perjanjian pranikah yang perlu kamu tanda tangani sebelum kita menikah. Karena kamu setuju dengan semua syarat yang aku ajukan, maka tidak ada yang perlu kita diskusikan.”
Kemudian dia mengeluarkan sebuah amplop dari saku bagian dalam jasnya dan meletakkannya di atas map tersebut. “Ini adalah bukti bahwa semua utangmu sudah dibayar dengan lunas. Aku hanya menguji apakah kamu serius dengan ucapanmu di telepon pada malam itu. Kamu mau melakukan semua yang aku minta dan hadir di sini saja sudah cukup.
“Bila keadaanku ini membuat kamu berubah pikiran, kamu bebas untuk keluar lewat pintu itu dan pulang ke rumahmu. Aku tidak akan menuntut apa pun. Hanya ada keluargamu dan keluargaku di dalam gereja, jadi hal ini tidak akan menjadi bahan pembicaraan orang.” Dia mundur satu langkah. “Aku akan menunggu di altar. Pemberkatan akan dimulai pada pukul tiga, tetapi bila kamu tidak datang sampai pukul empat, maka pernikahan ini aku anggap batal.”
Dia memberi aku sebuah senyuman sebelum keluar dari ruangan, meninggalkan aku dengan pikiran yang berkecamuk. Aku menoleh ke arah amplop yang dia letakkan di atas map. Dengan tangan bergetar, aku mengambil, mengeluarkan kertas di dalamnya, dan membacanya.
~Benedict~ Lahir dan besar di tengah-tengah keluarga terpandang dan kaya raya memberi aku begitu banyak kemudahan. Sebagai anak pertama, aku merasakan semua kemewahan sejak aku masih sangat kecil. Pakaian yang aku kenakan lebih bagus dari anak-anak kebanyakan. Makanan yang aku santap selalu enak di lidah. Rumah dan tempat tinggalku juga sangat nyaman. Kedua orang tua juga kakek dan nenekku sangat menyayangi aku. Hidupku penuh dengan cinta dan kasih sayang yang mereka curahkan kepadaku. Meskipun aku punya seorang adik laki-laki dan adik perempuan, mereka selalu memfokuskan perhatian mereka kepadaku. Aku sadar dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadaku sebagai penerus utama keluarga kami. Karena itu sejak aku masih sangat muda, aku belajar keras untuk mempersiapkan diriku menjadi pengganti Ayah kelak. Ibu meninggalkan kariernya demi membantu aku belajar di rumah. Namun saat aku menginjak usia sebelas tahun, Ayah menemukan ada yang aneh padaku. Ketika aku berusia dua belas tahun d
Syarat yang pertama bisa dengan mudah aku penuhi. Aku membangun usaha yang aku miliki dari nol. Pengkhianatan rekan kerja pertama telah memberi aku pelajaran yang berharga. Jadi, aku berhati-hati saat memilih orang yang bekerja untukku, terutama mereka yang mengelola uangku. Berawal dari usaha pakaian yang tidak punya penjahit sendiri, kini aku punya beberapa pabrik, butik, bahkan peternakan dan perkebunan yang membantu persediaan bahan mentah usahaku. Merek dagangku diminati oleh para ibu, jadi aku tidak hanya menyediakan pakaian untuk orang spesial seperti aku, tetapi juga merambah pakaian anak-anak. Dalam waktu lima tahun, aku berhasil mengalahkan kesuksesan usaha perhotelan milik Kakek. Aku bahkan masuk daftar orang terkaya di ASEAN dua peringkat lebih tinggi dari Kakek. Keluargaku tidak berhenti mengejek dan menghina prestasiku. Tetapi aku mengabaikan hal itu dan fokus pada tujuan. Kakek adalah pria terhormat yang selalu memegang kata-katanya. Karena itu, aku percaya dia akan me
Reaksi keluargaku sudah bukan kejutan lagi. Ini bukan pertama kalinya aku datang menemui mereka menyatakan rencanaku untuk menikah. Jadi, mereka tertawa dan mengejek aku dengan kalimat yang sudah aku hapal di luar kepala. Setelah mendengar mereka akan datang pada hari pernikahanku, maka tidak ada lagi yang perlu aku lakukan di rumah itu. Aku yakin bahwa mereka pasti akan datang. Mereka tidak akan melewatkan momen di mana aku mengalami hari paling sial dalam hidupku. “Ben.” Aku menghentikan langkahku saat mendengar suara ibuku. Aku membalikkan badan dan melihat dia tersenyum kepadaku. “Apa kamu sudah makan malam?” “Aku akan makan malam di apartemenku, Bu. Karno menunggu dan dia juga belum makan malam.” Aku menolak tawarannya sehalus mungkin. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang sayang kepadaku. Tetapi aku tidak mau menjadi sumber pertengkarannya dengan Ayah. Jadi, sebelum Ayah keluar dari ruang keluarga dan melihat aku masih ada di rumah ini, lebih baik bagiku untuk pergi. “Kalau
Musik memecahkan keheningan di dalam bangunan besar yang hanya diisi oleh beberapa orang tersebut. Pianis memainkan lagu pernikahan dan pintu belakang gereja pun terbuka. Aku melihat ke arah belakang di mana Delima berjalan didampingi oleh ayahnya. Dia mengenakan gaun berwarna hitam dengan rok panjang menutupi hingga mata kakinya. Aku sudah melihat dia di ruang tunggu, jadi aku tahu dia sengaja menata rambutnya dengan sederhana tanpa hiasan apa pun. Perhiasan satu-satunya pada tubuhnya adalah anting panjang mutiara di telinganya. Dia membawa bunga mawar pada tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya melingkar di lekukan lengan ayahnya. Meskipun dia tidak tersenyum, kecantikannya sama sekali tidak berkurang. Wajahnya kini sedikit lebih rileks, tidak setegang saat aku bicara dengannya. Berbeda dengan pria yang berjalan di sisinya. Ayahnya terlihat berusaha keras untuk menutupi rasa marahnya. Itukah sebabnya mereka membutuhkan waktu cukup lama untuk datang? Apa mereka bertengkar di rua
~Delima~ Pria itu tidak berbohong. Dia telah membayar lunas semua utang yang diwariskan Bakti kepadaku. Jumlah totalnya kurang dari lima ratus juta karena mereka memberi diskon untuk pelunasan tunai dalam waktu kurang dari satu tahun peminjaman diterima. Nama Bakti, nomor tanda pengenal, juga namaku dan nomor tanda pengenalku ada pada selembar kertas pelunasan tersebut. Aku sudah tidak punya kewajiban apa pun lagi kepada para rentenir itu. Aku sepenuhnya bebas dari lilitan utang. Air mata menetes satu per satu membasahi surat tersebut. Aku segera menjauhkannya dariku agar bukti pembayaran itu tidak rusak. Orang-orang jahat itu tidak akan datang lagi untuk mengancam dan mengintimidasi aku. Tidak ada lagi teriakan, benda yang dilempar, atau kunjungan dadakan yang membuat aku tidak bisa tidur. Aku juga tidak perlu menahan rasa malu harus meminjam uang kepada orang lain. Aku sudah selamat. Karena pria itu telah menepati janjinya lebih cepat dari waktu yang sudah kami sepakati bersama,
Aku tidak berniat menjawab telepon itu karena aku tidak punya hubungan apa pun lagi dengan mereka. Tetapi mengingat sifat mantan ibu mertuaku itu, yang tidak akan berhenti mengganggu aku sampai aku menjawab panggilan darinya, maka aku menjawabnya. “Kamu ada di mana? Mengapa kamu tidak ada di rumahmu?” tanyanya tanpa basa-basi. “Maaf, Tante.” Aku sengaja memberi penegasan pada kata tante. “Kita sudah tidak punya hubungan apa pun lagi, jadi aku tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan itu.” “Tidak punya hubungan? Kamu adalah janda putraku. Sampai kamu mati nanti, kamu masih punya kewajiban kepadaku. Putraku sudah tidak ada, maka mengurus keperluanku dan adik-adiknya sudah menjadi tanggung jawabmu,” katanya dengan tegas. Perempuan ini memang sudah gila dan tidak tahu malu. Aku dan Bakti sudah bercerai secara resmi lewat kematian. Kami tidak punya anak, lalu apa yang masih mengikat antara aku dan keluarganya? Tidak ada. Apa wanita ini pura-pura tidak tahu mengenai fakta tersebut
Seorang pria bertubuh lebih tinggi dariku, tersenyum ramah. Wajahnya persegi dengan tulang pipi yang menonjol dan rahang yang tegas. Hidungnya mancung dengan bibir yang tipis di atas dan tebal di bagian bawah. Dahinya yang lebar dia tutupi dengan poni berbelah pinggir yang sedikit menutupi matanya. Rambutnya lurus dan tebal. Yang menarik adalah matanya tertutup saat dia tersenyum. “Jangan bilang, kamu sudah lupa kepadaku,” kata pria itu sambil memicingkan matanya. “Baru-baru ini kita bicara di telepon, bagaimana mungkin aku melupakan kamu?” Aku membalas senyumnya. “Kamu banyak berubah, jadi aku sedikit pangling.” Pria bernama Elan ini adalah teman sekelasku semasa SMU. Aku tidak ingat apa yang membuat kami dekat, tetapi kami cukup sering bersama sampai teman-teman berpikir kami berpacaran. Dia adalah sahabat baikku, jadi aku tidak tertarik untuk punya hubungan lebih dari itu. Lagi pula semasa SMU, aku sudah jatuh cinta pada sahabat baik Kak Pangestu. Bakti datang ke rumah hampir se
Aku diam sejenak dan tidak tergesa-gesa menanggapi kalimatnya itu. Seingatku, tidak ada satu poin pun dalam surat perjanjian pranikah kami yang membahas tentang pekerjaanku. Lagi pula aku terikat kontrak kerja, tidak mungkin bisa meninggalkan posisiku sembarangan. Selama aku menikah dengan Ben, dia akan memberi aku uang bulanan yang cukup besar. Jumlah uang itu jauh lebih besar dari gajiku sebagai sekretaris Pak Luis. Bila aku tidak bekerja, maka aku tidak akan kekurangan uang. Aku yakin uang pemberiannya itu tidak akan habis aku gunakan. Aku akan tinggal bersamanya, makan di rumahnya, tidak ada yang perlu aku beli dengan uangku sendiri. Tetapi ketika kami bercerai nanti, bagaimana aku membiayai hidupku? Meskipun dia akan memberi aku banyak uang saat kami berpisah, uang itu hanya akan aku terima apabila kami genap menikah selama satu tahun. Usia manusia tidak ada yang tahu, bagaimana kalau kakeknya meninggal dalam waktu dekat? Aku tidak akan mendapat uang satu miliar yang tertera pad
~Delima~ Setiap kali mengingat Rora, aku selalu tertawa. Idenya dan saudara sepupunya itu termasuk biasa, namun brilian. Rora memanfaatkan ketidaktahuannya mengenai hubungan Elan dan Sania. Mereka beranggapan bahwa keluarga besar mereka juga tidak mengetahuinya. Elan datang dengan santainya ke acara ulang tahun Nenek Rora dan Sania. Keluarga Sania yang segera mengenalinya, langsung memarahinya habis-habisan. Ternyata Elan memutuskan hubungan secara sepihak. Dia tidak datang dan bicara baik-baik dengan keluarga Sania. Spontan saja kedua kakak laki-laki Sania dan ayahnya menggelar sidang di depan keluarga besar tersebut. Rora dan Sania membuat siaran langsung kejadian itu di media sosial mereka. Semoga saja Elan jera mempermainkan hati wanita. Aku bisa memahami perasaannya yang dia pendam untukku. Tetapi aku tidak bisa mengerti keegoisannya yang memaksa aku meninggalkan suamiku dan memberi dia kesempatan untuk menjalin hubungan denganku. Sania adalah wanita yang cantik dan dari cerit
~Benedict~ Delima dan kedua bayi kami sudah bukan milikku seorang begitu kedua orang tua kami mengetahui kehamilannya. Apalagi saat mereka tahu ada dua bayi yang tumbuh di rahimnya. Setiap akhir pekan, mereka ada di mana kami berada, lalu memanjakan Delima. Aku tersingkir dan hanya bisa manyun melihat istriku mereka monopoli. Bahkan saat kami mengunjungi dokter kandungan untuk melakukan USG pada minggu kedua puluh. Sesuai kesepakatan, kami ingin tahu jenis kelamin kedua bayi kami. Ayah, Ibu, Papa, dan Mama juga tidak mau ketinggalan untuk menjadi yang pertama mengetahui gender cucu mereka. Untung saja dokter melakukan hal yang bijak dengan mengusir para orang tua itu dan mengizinkan aku mendampingi istriku. Tetapi setelah aku melihat sendiri dan mendengarkan penjelasan dari dokter, maka aku mempersilakan kedua orang tua kami untuk bergantian melihatnya juga. Ada begitu banyak perayaan yang aku adakan pada akhir tahun. Aku tidak menyesal telah merogoh kocek dalam-dalam demi membahag
Elan segera keluar dari bilikku tanpa menunggu responsku. Laudya menatap aku dengan khawatir. Aku tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Apa yang Elan lakukan kepada Rora? Apa mereka sedang menjalin hubungan asmara? “Apa yang terjadi, Delima?” tanya Dhini yang melihat dari atas papan pemisah bilik kami. “Mengapa Elan datang menemui kamu pada jam kerja? Aku hanya mengangkat kedua bahuku. “Pria yang aneh.” Dhini menggeleng pelan, sedangkan aku tertawa mendengarnya. Pada jam istirahat makan siang, aku mengerti mengapa Elan sampai nekat datang ke bilikku tadi. Ternyata dia mengundurkan diri. Dia sangat mencintai pekerjaannya, jadi aku tahu bahwa dia tidak melakukan itu dengan sukarela. Pasti Ben yang menyuruhnya memberikan surat pengunduran diri itu. Aku bertemu pandang dengan Natasha yang melihat aku dengan hormat, begitu juga teman-teman dari divisinya. Dia tidak lagi menatap aku dengan tajam. Itu perubahan yang sangat baik. “Menjadi istri bos memang ada keuntung
~Delima~ Aku melihat seorang wanita muda yang cantik sedang menatap Ben sambil berkedip genit. Dia salah satu pemenang lomba yang tadi makan bersama kami. Apa yang dia lakukan di sini? Bukankah acara sudah selesai? Lalu mengapa dia lancang sekali memanggil Ben dengan namanya saja tanpa gelar bapak seperti yang mereka lakukan di dalam? “Apa yang perlu diingat lagi?” Ben balik bertanya. “Oh, ayolah, Ben. Kita hampir menikah. Bagaimana mungkin kamu bisa melupakan aku secepat itu? Kamu memilih aku sebagai pemenang pasti karena kamu ingat denganku, ‘kan?” katanya menggoda. “Ooo. Apa kamu wanita yang kabur pada hari pernikahan setelah melihat aku? Pantas saja aku butuh waktu untuk mengingatnya. Kamu salah paham. Saat memilih pemenang, aku memilih desain. Tidak ada nama yang tertera supaya penilaiannya adil,” jawab Ben dengan senyum mengejek di wajahnya. “Aku masih di sini sampai besok. Kamu pasti tahu nomor kamarku. Bila kamu ingin mengobrol ….” Dia melirik ke arahku sebelum kembali men
Suasana ruang kerja yang semula tenang itu berubah ramai dengan suara Ayah yang memarahi Kenneth dan Ibu yang menangis setengah menjerit tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Aku segera meminta rekaman CCTV ruang kerja Kenneth untuk melihat apa benar dia yang telah menelepon Kakek lewat ponsel itu pada saat Kakek terkena serangan jantung. Petugas keamanan bingung saat Ayah memerintahkan mereka untuk membawa Kenneth ke kantor polisi. Nelson mengikuti mereka. Dia juga sudah membawa bukti rekaman CCTV di mana adikku itu telah beberapa kali melakukan kekerasan kepadaku beberapa bulan belakangan. Dengan semua bukti itu, aku yakin dia tidak akan diizinkan keluar dari tahanan sampai proses pengadilan selesai. Kemudian aku meminta semua laporan keuangan terbaru yang asli, bukan yang palsu untuk aku pelajari. Sekretaris Kenneth menoleh ke arah Ayah untuk meminta persetujuannya. Ayah segera mengangguk setuju dan memberi tahu bahwa mulai dari hari ini aku yang pegang kendali penuh. T
~Benedict~ Dadaku sakit sekali mendengar dia mengatakan pisah. Seketika itu juga aku tidak peduli dengan apa pun yang ada di dunia ini. Aku juga tidak peduli bila aku harus berlutut memohon kepadanya. Aku tidak mau dia pergi dariku. Walaupun dia meminta seluruh hartaku, aku akan memberikan semua kepadanya. Benda itu tidak ada artinya tanpa dia di sisiku. Namun Delima memberi aku kejutan lainnya. Dia sedang hamil. Kenneth dan Eloisa selalu mengejek aku tidak akan pernah menikah apalagi punya anak seperti mereka. Jadi, berita itu adalah keajaiban bagiku. Ketika melihat foto hitam putih mereka, aku tidak tahu di mana mereka berada. Tetapi aku percaya bahwa mereka ada di dalam perut istriku. Selama ini aku berpikir bahwa aku adalah ciptaan yang dilupakan oleh Tuhan. Dia pasti bercanda pada saat menciptakan aku dengan segala kekuranganku. Ternyata Dia masih mengingat aku dan memberikan aku bukan satu, tetapi dua orang anak sekaligus. Aku tidak muda lagi, tetapi aku berjanji akan bertahan
Pikiranku kacau, dadaku terasa sesak, karena aku tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Aku bahagia, karena penantian panjangku sudah berakhir. Kehamilan ini sudah lama aku harapkan, tetapi keadaannya sedang tidak memungkinkan. Ben tidak mau kami punya anak. Jika alat ini akurat, maka hubunganku dan Ben juga berakhir. Aku tidak berhenti menangis memikirkan hubungan kami harus usai secepat ini. Memikirkan kondisi janin yang aku kandung tidak membuat aku cukup kuat menghentikan air mata yang mengalir jatuh dengan deras di pipiku. Seharusnya ini adalah kabar baik, kabar yang membahagiakan. Sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tidak terlalu memerhatikan apa yang terjadi di makam Kakek. Eloisa entah bicara apa, Ayah dan Ibu yang kemudian datang membahas apa, tidak aku dengarkan. Ben mengajak aku ke mana pun, aku hanya mengikutinya saja. Namun saat tiba di rumah, aku segera kembali ke kamar dan menyendiri. Aku perlu memikirkan hal ini seorang diri. Yang pasti, aku menginginkan bayi in
~Delima~ Beraninya dia mengatakan cinta pada tarikan napas yang sama dia menyebut tidak mau memiliki anak bersamaku. Dengan intensitas kami melakukan hubungan suami istri, apa dia pikir kami bisa mencegah seorang anak lahir? Juga beraninya dia menuduh aku akan berubah pikiran terhadap anakku sendiri seandainya dia mempunyai kekurangan. Aku bukan ayah atau ibunya. Aku tidak akan membuang anakku sendiri seperti yang mereka lakukan. Malam itu, usai bicara dengannya, aku tidak melarang dia tidur bersamaku. Tetapi aku tidak sudi berbaring menghadapnya seperti kebiasaan kami tidur bersama. Aku sangat kesal dan tidak mau melihat wajahnya agar amarahku tidak semakin memuncak. Untuk pertama kalinya, kiriman bunga darinya aku buang ke tempat sampah. Aku tidak butuh bunga atau kartu untuk mewakili dia menyampaikan pesannya. Dia bisa bicara langsung denganku. Elan yang tidak tahu diri itu juga masih berani mengajak aku bicara. Tidak tahan lagi dengan sikapnya, aku memarahinya panjang lebar dan
Mama tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia justru cepat-cepat mengakhiri percakapan kami. Mungkin Delima sedang berada di dekatnya dan Mama tidak mau istriku sampai tahu bahwa Mama melaporkan sakitnya kepadaku. Aku semakin panik, karena tidak tahu sakitnya parah atau tidak. Ini semua salahku. Seharusnya aku mengajak dia bicara baik-baik. Bukan memaksakan kehendakku kepadanya. Dia seorang wanita, wajar saja dia memiliki jiwa keibuan yang mengharapkan memiliki anak sendiri. Apalagi kakak iparnya sedang hamil. Sedikit banyak, dia pasti merindukan kehadiran anak-anak juga. Aku malah tidak peka dan bersikap egois. Untuk meminta maaf kepadanya, aku meneruskan rencanaku. Setidaknya saat dia pulang nanti, dia tahu bahwa aku menyesal sudah menyakiti perasaannya. Aku tidak mau tidur sendirian lagi. Deva dan semua pelayan membantu aku menyiapkan kejutan untuk istriku. Namun saat dia pulang, dia hanya diam saja melihat balon dan bunga yang ada di sekitarku, juga papan bertuliskan maafkan aku yan