Home / Romansa / Istri Belian / Bab 4|Bukan Utangku

Share

Bab 4|Bukan Utangku

Author: Meina H.
last update Last Updated: 2022-04-07 16:08:28

“Apa kau sedang mempermainkan kami!?” hardik pria itu di depan wajahku. Pria yang datang kali ini adalah pria yang berbeda. Bila sebelumnya yang datang adalah tiga orang, maka yang datang malam ini adalah empat orang. Dua di antaranya bertubuh lebih tinggi dariku. Mereka pasti sengaja memilih orang-orang ini untuk mengintimidasi aku.

Jantungku yang sudah berdebar sangat cepat, kini serasa akan lepas dari dadaku. Telingaku nyaris tuli mendengar detak jantungku sendiri dan gertakan mereka. Tubuhku bergetar dengan hebat menahan rasa takut. Aku menggigit bibirku dengan kuat menahan diriku agar tidak berteriak.

“Hanya itu yang bisa aku kumpulkan dalam waktu sepuluh hari yang kalian berikan.” Aku berusaha memberanikan diriku sendiri untuk menjawab. Syukurlah, aku tidak tergagap saat bicara. “Utang itu bukan utangku. Bagaimana aku bisa mencari alternatif lain untuk mencari uang secepat ini?”

“Kau seorang perempuan, mengapa kau tidak pikirkan saja cara lain untuk mendapatkan uang yang lebih banyak? Atau perlu aku tunjukkan caranya?” geramnya.

Mengapa mereka selalu memberi alternatif agar perempuan menjual tubuhnya di saat terlilit utang? Apa tidak ada cara lain yang ada di kepala mereka selain yang ada hubungannya dengan menikmati badan wanita? Aku memang sedang terjepit, tetapi aku lebih baik mati daripada melayani mereka atau bos mereka di tempat tidur.

“Rumah ini dijual dan belum ada yang berani membelinya karena ulah kalian. Kalau kalian tidak membuat suamiku takut, dia tidak akan bunuh diri di rumah ini. Kamu memaksa aku untuk memberi uang sekarang pun aku tidak punya. Hanya itu yang bisa aku kumpulkan sampai hari ini. Tolong, beri aku waktu untuk mengumpulkan sisanya.” Aku mencoba untuk tawar-menawar.

“Dalam waktu sepuluh hari kau hanya bisa mengumpulkan dua puluh juta, memangnya berapa lama yang kau butuhkan untuk membayar tiga puluh juta sisanya?” ejeknya.

“Aku tidak tahu kapan rumah ini laku,” jawabku frustrasi.

Terdengar bunyi benda dari kaca pecah di lantai. Bunyinya dari arah dapur. Pasti temannya sedang memecahkan salah satu piring atau gelasku. Aku melompat terkejut saat bunyi benda yang pecah berikutnya lebih banyak dari yang pertama. Sekali lagi aku berusaha untuk menegarkan diri.

“Aku tahu kau wanita pintar. Tetapi kau berani memandang rendah kami dengan menjawab semua kalimatku dengan nada arogan.” Pria itu meninju dinding di samping kepalaku dengan keras. Aku akhirnya menyerah pada rasa takutku dan menjerit terkejut. “Satu minggu. Kalau dalam waktu satu minggu kau tidak bisa memberi sisanya, maka bosku sendiri yang akan datang menangani ini.”

Dia menendang meja di belakangnya dengan keras sebelum berdiri menjauh dariku dan keluar dari rumah. Ketiga temannya memecahkan piring, melempar kursi, bahkan menendang pintu dengan kuat saat melewati aku. Mereka memang tidak memukul aku, tetapi teriakan, hardikan, bunyi benda yang mereka pukul dan hancurkan sudah sangat mengguncang jiwaku.

Hanya setelah bunyi kendaraan milik mereka tidak terdengar lagi, maka aku berani menyerah dan membiarkan tubuhku meluncur bebas ke lantai. Aku memeluk lutut dengan kedua tanganku dan meletakkan kepalaku di atas tanganku. Tangisku pecah dengan air mata jatuh tidak terbendung lagi.

Inikah yang Bakti rasakan? Putus asa, tertekan, pikiran buntu, tetapi harus cepat bertindak untuk mengatasi masalah yang mencekik leher. Aku menoleh ke arah ventilasi di atas pintu kamar tidur. Apa hidupku akan berakhir di tempat yang sama dengan suamiku?

Sepuluh hari aku meminta bantuan pada keluarga dan orang terdekat, tidak ada yang bisa memberi pinjaman yang cukup besar. Papa dan Mama akhirnya memberi pinjaman sebanyak dua juta dan satu juta dari Kakak. Ayu meminjamkan dua juta. Jumlah itu tidak cukup.

Papa dan Mama punya rumah, tetapi aku tidak tega meminta mereka menggadainya. Dari mana uang untuk membayar cicilannya? Bila rumah mereka dijual, ke mana orang tuaku akan tinggal? Kakakku dan istrinya tidak bisa banyak menolong karena mereka juga punya masalah keuangan sendiri. Setiap bulan gaji mereka dipotong untuk membayar kredit rumah dan mobil. Teman-teman kerja punya kebutuhan yang mendesak dan tidak bisa memberi pinjaman kepadaku.

Aku menjual semua barang yang bisa aku jual. Bahkan cincin kawin kami berdua pun terpaksa aku lepaskan. Rumah ini sebagai satu-satunya harapan juga tidak bisa terjual dengan cepat. Aku tidak mau menjualnya dengan harga murah karena aku tidak hanya memikirkan melunasi cicilan kredit. Aku juga harus pikirkan bagaimana membayar lima ratus juta itu.

“Delima?” Aku merasakan sentuhan pada lenganku. Aku mengangkat kepalaku dan melihat Pak Luis menatap aku dengan tajam. “Pak Ben menanyakan sesuatu kepadamu.”

“Oh, ma-maafkan saya, Pak. Sepertinya saya sedang melamun,” kataku menyesal. Aku melihat ke arah catatanku. Syukurlah, aku masih mencatat beberapa percakapan penting. Kami sedang diskusi sambil makan siang seperti biasanya, aku malah melamun. “Apa yang ingin Bapak tanyakan?”

“Aku hanya bertanya apa kamu baik-baik saja. Karena aku melihat kamu dari tadi sibuk dengan pikiranmu sendiri. Atau kamu ada ide yang lebih baik mengenai masalah yang kita bahas tadi?” tanya Pak Benedict dengan sopan. Gawat. Aku tidak memerhatikan percakapan mereka.

Sudah beberapa hari ini aku tidak bisa tidur karena memikirkan cara mendapatkan uang. Aku bahkan tidak bisa menutup mata dan hanya menatap pintu kamar. Mereka bisa masuk saat aku tidak ada di rumah, bagaimana kalau mereka nekat masuk waktu aku sedang tidur?

Aku ingin sekali bisa tinggal di rumah orang tuaku, tetapi aku tidak mau menyeret mereka dalam masalahku. Lagi pula para penagih utang itu pasti tahu siapa orang tuaku dan di mana tempat tinggal mereka. Aku tidak bisa membiarkan Papa dan Mama mengalami ketakutan yang aku rasakan andai mereka datang menemui aku di sana.

“Sekali lagi, maafkan saya, Pak. Saya tidak menyimak pembahasan Bapak dengan bos saya.” Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap mata tajam atasanku.

“Tidak apa-apa.” Pria misterius itu tertawa kecil. “Sepertinya aku harus mengubah jadwal diskusi kita, Luis. Menggunakan jam makan siang sekretarismu sehingga dia tidak bisa istirahat adalah kesalahan dari pihakku. Tolong, jangan marahi dia.”

Begitu panggilan video dengan Pak Benedict berakhir, Pak Luis memang tidak memarahi aku. Namun dia berteriak kesal dan melempar tangannya ke udara untuk meluapkan emosinya. Aku kembali hanya menundukkan kepala menyadari aku hampir membuat dia kehilangan kolega terpentingnya.

Aku pergi ke toilet dan merapikan penampilanku kembali. Setelah mencuci tangan dan wajah, aku merasa sedikit lebih lega. Kepalaku terasa mau meledak karena belum juga menemukan solusi untuk masalahku. Tetapi aku harus bertahan sampai jam kerja usai.

Kalau tadi aku beruntung karena rekan bisnis bosku berpihak kepadaku, lain kali aku bisa saja sial. Aku tidak bisa kehilangan pekerjaan ini sekarang. Jika aku dipecat, ke mana aku akan mencari sumber pendapatan yang baru yang memberi gaji sama tingginya dengan posisiku saat ini?

Pak Luis pamit pulang lebih dahulu saat aku masih mengerjakan dokumen yang dia minta untuk aku letakkan di atas mejanya besok pagi untuk dia periksa. Aku tahu bahwa dia sengaja menghukum aku atas keteledoran aku tadi. Tetapi aku pantas untuk menerimanya.

Semua pekerjaanku akhirnya selesai ketika ponselku bergetar. Nomor yang muncul pada layar bukan nomor yang aku kenal atau tersimpan dalam ponselku. Jangan-jangan dari penagih utang itu. Dari mana mereka tahu nomor ini? Aku sudah melihat data yang pernah mereka tunjukkan kepadaku. Tidak ada nomor ponselku di sana, hanya nomor suamiku.

Getaran itu berhenti. Aku mendesah pelan dan segera merapikan meja kerjaku. Walaupun belum satu minggu dari waktu yang dijanjikan, aku mendadak takut pulang ke rumah. Ada baiknya aku menginap di rumah teman lamaku saja. Mereka tidak akan tahu aku ada di sana.

Ponselku bergetar membuat aku melompat dari tempat dudukku. Aku melihat ada sebuah pesan baru. Aku menelan ludah dengan berat, lalu membukanya. Tolong, jawab telepon dariku. Benedict. Pesan dari Pak Benedict? Tetapi mengapa dia menggunakan nomor yang berbeda?

Sepertinya dia menyadari kesalahannya tersebut, karena saat ponselku bergetar, kali ini yang dia gunakan adalah nomor yang biasanya dia pakai. Aku menggeser tombol berwarna hijau dengan ragu. Setelah menarik napas panjang, aku menyapanya.

“Almarhum suamimu meminjam uang tanpa sepengetahuanmu dan kamu yang harus melunasi sebagai pengganti dia. Itukah yang sedang mengganggu pikiranmu?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Ba—” tanyaku tergagap.

“Bagaimana aku bisa tahu?” tukasnya dengan cepat. “Aku punya sumberku sendiri. Kapan mereka akan datang lagi untuk menagih utang itu?”

“Ha-hari Jumat ini,” kataku dengan jujur. Aku tidak tahu apa gunanya menceritakan ini kepadanya atau apa yang dia inginkan dengan mencari tahu masalahku, tetapi aku sudah tidak peduli pada apa pun lagi. Mungkin sebaiknya aku menyusul Bakti saja. Aku bisa menyeberang jalan dan membiarkan mobil yang lewat menabrak aku. Sudah tidak ada gunanya lagi aku hidup.

“Aku akan membayar semua utangmu dengan lunas. Aku hanya akan meminta satu hal sebagai balasannya. Tetapi tentu saja ada banyak syarat yang harus kamu setujui—” Aku tidak mendengar apa yang dia katakan selanjutnya, karena aku hanya peduli dengan kalimat pertamanya. Lunas, kata itu adalah kata ajaib yang ingin sekali aku dengar.

“Saya setuju,” kataku dengan cepat sebelum dia mengubah pikirannya.

“Apa? Tetapi kamu belum mendengar apa yang akan aku sampaikan—”  Dia masih mencoba untuk menjelaskan apa yang ingin dia tawarkan.

“Saya tidak peduli. Saya hanya ingin lepas dari para penagih utang itu dan hidup damai kembali. Bila Bapak bersedia membantu saya melunasi semuanya, maka saya akan memenuhi semua syarat dari Bapak.” Aku sudah muak pulang dalam keadaan takut. Aku tidak mau lagi tidur harus selalu menatap pintu kamar, berjaga-jaga siapa tahu mereka kembali lagi. Aku ingin hidupku normal lagi.

“Baiklah. Kalau begitu, aku akan bicara dengan Luis mengenai cutimu. Kamu hanya perlu datang dan tidak perlu mengurus persiapan apa pun. Orangku yang akan mengurus segalanya.”

“Cuti untuk apa? Dan persiapan apa yang Bapak maksudkan?” tanyaku tidak mengerti.

“Kita akan menikah pada hari Kamis,” jawabnya dengan suara jernih, sama sekali tanpa keraguan.

Related chapters

  • Istri Belian   Bab 5|Sang Penolong

    Aku tidak menduga dia akan mengajukan hal itu sebagai syaratnya. Karena dia adalah rekan bisnis bosku, aku pikir dia akan meminta aku membujuk Pak Luis untuk menyetujui proyek baru darinya atau hal lain yang ada hubungannya dengan pekerjaan. Hari Kamis artinya tiga hari lagi. Bila kami menikah pada hari Kamis, apa utangku baru akan dibayar setelah kami resmi menjadi suami istri? Tetapi kami tidak saling mengenal. Aku bahkan tidak tahu seperti apa orangnya. Tidak, tidak. Apa yang membuat aku ragu? Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Pria mana yang mau menikah dengan janda yang terlilit utang seperti aku? Terlebih lagi, Pak Benedict bukan pria biasa. Dia seorang pengusaha sukses yang punya banyak usaha lain selain yang berhubungan dengan garmen. Aku bukan hanya lepas dari utang, tetapi aku juga akan hidup nyaman selama dia masih menginginkan aku menjadi istrinya. Aku tidak akan hidup susah lagi seperti yang aku alami bersama Bakti. “Jadi, maksud Bapak, kita menikah pada hari Ka

    Last Updated : 2022-04-07
  • Istri Belian   Bab 6|Tidak Dianggap

    ~Benedict~ Lahir dan besar di tengah-tengah keluarga terpandang dan kaya raya memberi aku begitu banyak kemudahan. Sebagai anak pertama, aku merasakan semua kemewahan sejak aku masih sangat kecil. Pakaian yang aku kenakan lebih bagus dari anak-anak kebanyakan. Makanan yang aku santap selalu enak di lidah. Rumah dan tempat tinggalku juga sangat nyaman. Kedua orang tua juga kakek dan nenekku sangat menyayangi aku. Hidupku penuh dengan cinta dan kasih sayang yang mereka curahkan kepadaku. Meskipun aku punya seorang adik laki-laki dan adik perempuan, mereka selalu memfokuskan perhatian mereka kepadaku. Aku sadar dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadaku sebagai penerus utama keluarga kami. Karena itu sejak aku masih sangat muda, aku belajar keras untuk mempersiapkan diriku menjadi pengganti Ayah kelak. Ibu meninggalkan kariernya demi membantu aku belajar di rumah. Namun saat aku menginjak usia sebelas tahun, Ayah menemukan ada yang aneh padaku. Ketika aku berusia dua belas tahun d

    Last Updated : 2022-05-01
  • Istri Belian   Bab 7|Syarat Kedua

    Syarat yang pertama bisa dengan mudah aku penuhi. Aku membangun usaha yang aku miliki dari nol. Pengkhianatan rekan kerja pertama telah memberi aku pelajaran yang berharga. Jadi, aku berhati-hati saat memilih orang yang bekerja untukku, terutama mereka yang mengelola uangku. Berawal dari usaha pakaian yang tidak punya penjahit sendiri, kini aku punya beberapa pabrik, butik, bahkan peternakan dan perkebunan yang membantu persediaan bahan mentah usahaku. Merek dagangku diminati oleh para ibu, jadi aku tidak hanya menyediakan pakaian untuk orang spesial seperti aku, tetapi juga merambah pakaian anak-anak. Dalam waktu lima tahun, aku berhasil mengalahkan kesuksesan usaha perhotelan milik Kakek. Aku bahkan masuk daftar orang terkaya di ASEAN dua peringkat lebih tinggi dari Kakek. Keluargaku tidak berhenti mengejek dan menghina prestasiku. Tetapi aku mengabaikan hal itu dan fokus pada tujuan. Kakek adalah pria terhormat yang selalu memegang kata-katanya. Karena itu, aku percaya dia akan me

    Last Updated : 2022-05-03
  • Istri Belian   Bab 8|Persiapan Matang

    Reaksi keluargaku sudah bukan kejutan lagi. Ini bukan pertama kalinya aku datang menemui mereka menyatakan rencanaku untuk menikah. Jadi, mereka tertawa dan mengejek aku dengan kalimat yang sudah aku hapal di luar kepala. Setelah mendengar mereka akan datang pada hari pernikahanku, maka tidak ada lagi yang perlu aku lakukan di rumah itu. Aku yakin bahwa mereka pasti akan datang. Mereka tidak akan melewatkan momen di mana aku mengalami hari paling sial dalam hidupku. “Ben.” Aku menghentikan langkahku saat mendengar suara ibuku. Aku membalikkan badan dan melihat dia tersenyum kepadaku. “Apa kamu sudah makan malam?” “Aku akan makan malam di apartemenku, Bu. Karno menunggu dan dia juga belum makan malam.” Aku menolak tawarannya sehalus mungkin. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang sayang kepadaku. Tetapi aku tidak mau menjadi sumber pertengkarannya dengan Ayah. Jadi, sebelum Ayah keluar dari ruang keluarga dan melihat aku masih ada di rumah ini, lebih baik bagiku untuk pergi. “Kalau

    Last Updated : 2022-05-04
  • Istri Belian   Bab 9|Pernikahan Tertutup

    Musik memecahkan keheningan di dalam bangunan besar yang hanya diisi oleh beberapa orang tersebut. Pianis memainkan lagu pernikahan dan pintu belakang gereja pun terbuka. Aku melihat ke arah belakang di mana Delima berjalan didampingi oleh ayahnya. Dia mengenakan gaun berwarna hitam dengan rok panjang menutupi hingga mata kakinya. Aku sudah melihat dia di ruang tunggu, jadi aku tahu dia sengaja menata rambutnya dengan sederhana tanpa hiasan apa pun. Perhiasan satu-satunya pada tubuhnya adalah anting panjang mutiara di telinganya. Dia membawa bunga mawar pada tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya melingkar di lekukan lengan ayahnya. Meskipun dia tidak tersenyum, kecantikannya sama sekali tidak berkurang. Wajahnya kini sedikit lebih rileks, tidak setegang saat aku bicara dengannya. Berbeda dengan pria yang berjalan di sisinya. Ayahnya terlihat berusaha keras untuk menutupi rasa marahnya. Itukah sebabnya mereka membutuhkan waktu cukup lama untuk datang? Apa mereka bertengkar di rua

    Last Updated : 2022-05-06
  • Istri Belian   Bab 10|Perjanjian Pranikah

    ~Delima~ Pria itu tidak berbohong. Dia telah membayar lunas semua utang yang diwariskan Bakti kepadaku. Jumlah totalnya kurang dari lima ratus juta karena mereka memberi diskon untuk pelunasan tunai dalam waktu kurang dari satu tahun peminjaman diterima. Nama Bakti, nomor tanda pengenal, juga namaku dan nomor tanda pengenalku ada pada selembar kertas pelunasan tersebut. Aku sudah tidak punya kewajiban apa pun lagi kepada para rentenir itu. Aku sepenuhnya bebas dari lilitan utang. Air mata menetes satu per satu membasahi surat tersebut. Aku segera menjauhkannya dariku agar bukti pembayaran itu tidak rusak. Orang-orang jahat itu tidak akan datang lagi untuk mengancam dan mengintimidasi aku. Tidak ada lagi teriakan, benda yang dilempar, atau kunjungan dadakan yang membuat aku tidak bisa tidur. Aku juga tidak perlu menahan rasa malu harus meminjam uang kepada orang lain. Aku sudah selamat. Karena pria itu telah menepati janjinya lebih cepat dari waktu yang sudah kami sepakati bersama,

    Last Updated : 2022-05-10
  • Istri Belian   Bab 11|Percakapan Pertama

    Aku tidak berniat menjawab telepon itu karena aku tidak punya hubungan apa pun lagi dengan mereka. Tetapi mengingat sifat mantan ibu mertuaku itu, yang tidak akan berhenti mengganggu aku sampai aku menjawab panggilan darinya, maka aku menjawabnya. “Kamu ada di mana? Mengapa kamu tidak ada di rumahmu?” tanyanya tanpa basa-basi. “Maaf, Tante.” Aku sengaja memberi penegasan pada kata tante. “Kita sudah tidak punya hubungan apa pun lagi, jadi aku tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan itu.” “Tidak punya hubungan? Kamu adalah janda putraku. Sampai kamu mati nanti, kamu masih punya kewajiban kepadaku. Putraku sudah tidak ada, maka mengurus keperluanku dan adik-adiknya sudah menjadi tanggung jawabmu,” katanya dengan tegas. Perempuan ini memang sudah gila dan tidak tahu malu. Aku dan Bakti sudah bercerai secara resmi lewat kematian. Kami tidak punya anak, lalu apa yang masih mengikat antara aku dan keluarganya? Tidak ada. Apa wanita ini pura-pura tidak tahu mengenai fakta tersebut

    Last Updated : 2022-06-08
  • Istri Belian   Bab 12|Teman Lama

    Seorang pria bertubuh lebih tinggi dariku, tersenyum ramah. Wajahnya persegi dengan tulang pipi yang menonjol dan rahang yang tegas. Hidungnya mancung dengan bibir yang tipis di atas dan tebal di bagian bawah. Dahinya yang lebar dia tutupi dengan poni berbelah pinggir yang sedikit menutupi matanya. Rambutnya lurus dan tebal. Yang menarik adalah matanya tertutup saat dia tersenyum. “Jangan bilang, kamu sudah lupa kepadaku,” kata pria itu sambil memicingkan matanya. “Baru-baru ini kita bicara di telepon, bagaimana mungkin aku melupakan kamu?” Aku membalas senyumnya. “Kamu banyak berubah, jadi aku sedikit pangling.” Pria bernama Elan ini adalah teman sekelasku semasa SMU. Aku tidak ingat apa yang membuat kami dekat, tetapi kami cukup sering bersama sampai teman-teman berpikir kami berpacaran. Dia adalah sahabat baikku, jadi aku tidak tertarik untuk punya hubungan lebih dari itu. Lagi pula semasa SMU, aku sudah jatuh cinta pada sahabat baik Kak Pangestu. Bakti datang ke rumah hampir se

    Last Updated : 2022-06-11

Latest chapter

  • Istri Belian   Bab 102|Menyayangi Selamanya

    ~Delima~ Setiap kali mengingat Rora, aku selalu tertawa. Idenya dan saudara sepupunya itu termasuk biasa, namun brilian. Rora memanfaatkan ketidaktahuannya mengenai hubungan Elan dan Sania. Mereka beranggapan bahwa keluarga besar mereka juga tidak mengetahuinya. Elan datang dengan santainya ke acara ulang tahun Nenek Rora dan Sania. Keluarga Sania yang segera mengenalinya, langsung memarahinya habis-habisan. Ternyata Elan memutuskan hubungan secara sepihak. Dia tidak datang dan bicara baik-baik dengan keluarga Sania. Spontan saja kedua kakak laki-laki Sania dan ayahnya menggelar sidang di depan keluarga besar tersebut. Rora dan Sania membuat siaran langsung kejadian itu di media sosial mereka. Semoga saja Elan jera mempermainkan hati wanita. Aku bisa memahami perasaannya yang dia pendam untukku. Tetapi aku tidak bisa mengerti keegoisannya yang memaksa aku meninggalkan suamiku dan memberi dia kesempatan untuk menjalin hubungan denganku. Sania adalah wanita yang cantik dan dari cerit

  • Istri Belian   Bab 101|Menjaga Selamanya

    ~Benedict~ Delima dan kedua bayi kami sudah bukan milikku seorang begitu kedua orang tua kami mengetahui kehamilannya. Apalagi saat mereka tahu ada dua bayi yang tumbuh di rahimnya. Setiap akhir pekan, mereka ada di mana kami berada, lalu memanjakan Delima. Aku tersingkir dan hanya bisa manyun melihat istriku mereka monopoli. Bahkan saat kami mengunjungi dokter kandungan untuk melakukan USG pada minggu kedua puluh. Sesuai kesepakatan, kami ingin tahu jenis kelamin kedua bayi kami. Ayah, Ibu, Papa, dan Mama juga tidak mau ketinggalan untuk menjadi yang pertama mengetahui gender cucu mereka. Untung saja dokter melakukan hal yang bijak dengan mengusir para orang tua itu dan mengizinkan aku mendampingi istriku. Tetapi setelah aku melihat sendiri dan mendengarkan penjelasan dari dokter, maka aku mempersilakan kedua orang tua kami untuk bergantian melihatnya juga. Ada begitu banyak perayaan yang aku adakan pada akhir tahun. Aku tidak menyesal telah merogoh kocek dalam-dalam demi membahag

  • Istri Belian   Bab 100|Kesalahan yang Fatal

    Elan segera keluar dari bilikku tanpa menunggu responsku. Laudya menatap aku dengan khawatir. Aku tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Apa yang Elan lakukan kepada Rora? Apa mereka sedang menjalin hubungan asmara? “Apa yang terjadi, Delima?” tanya Dhini yang melihat dari atas papan pemisah bilik kami. “Mengapa Elan datang menemui kamu pada jam kerja? Aku hanya mengangkat kedua bahuku. “Pria yang aneh.” Dhini menggeleng pelan, sedangkan aku tertawa mendengarnya. Pada jam istirahat makan siang, aku mengerti mengapa Elan sampai nekat datang ke bilikku tadi. Ternyata dia mengundurkan diri. Dia sangat mencintai pekerjaannya, jadi aku tahu bahwa dia tidak melakukan itu dengan sukarela. Pasti Ben yang menyuruhnya memberikan surat pengunduran diri itu. Aku bertemu pandang dengan Natasha yang melihat aku dengan hormat, begitu juga teman-teman dari divisinya. Dia tidak lagi menatap aku dengan tajam. Itu perubahan yang sangat baik. “Menjadi istri bos memang ada keuntung

  • Istri Belian   Bab 99|Hadiah dari Kakek

    ~Delima~ Aku melihat seorang wanita muda yang cantik sedang menatap Ben sambil berkedip genit. Dia salah satu pemenang lomba yang tadi makan bersama kami. Apa yang dia lakukan di sini? Bukankah acara sudah selesai? Lalu mengapa dia lancang sekali memanggil Ben dengan namanya saja tanpa gelar bapak seperti yang mereka lakukan di dalam? “Apa yang perlu diingat lagi?” Ben balik bertanya. “Oh, ayolah, Ben. Kita hampir menikah. Bagaimana mungkin kamu bisa melupakan aku secepat itu? Kamu memilih aku sebagai pemenang pasti karena kamu ingat denganku, ‘kan?” katanya menggoda. “Ooo. Apa kamu wanita yang kabur pada hari pernikahan setelah melihat aku? Pantas saja aku butuh waktu untuk mengingatnya. Kamu salah paham. Saat memilih pemenang, aku memilih desain. Tidak ada nama yang tertera supaya penilaiannya adil,” jawab Ben dengan senyum mengejek di wajahnya. “Aku masih di sini sampai besok. Kamu pasti tahu nomor kamarku. Bila kamu ingin mengobrol ….” Dia melirik ke arahku sebelum kembali men

  • Istri Belian   Bab 98|Memegang Kendali

    Suasana ruang kerja yang semula tenang itu berubah ramai dengan suara Ayah yang memarahi Kenneth dan Ibu yang menangis setengah menjerit tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Aku segera meminta rekaman CCTV ruang kerja Kenneth untuk melihat apa benar dia yang telah menelepon Kakek lewat ponsel itu pada saat Kakek terkena serangan jantung. Petugas keamanan bingung saat Ayah memerintahkan mereka untuk membawa Kenneth ke kantor polisi. Nelson mengikuti mereka. Dia juga sudah membawa bukti rekaman CCTV di mana adikku itu telah beberapa kali melakukan kekerasan kepadaku beberapa bulan belakangan. Dengan semua bukti itu, aku yakin dia tidak akan diizinkan keluar dari tahanan sampai proses pengadilan selesai. Kemudian aku meminta semua laporan keuangan terbaru yang asli, bukan yang palsu untuk aku pelajari. Sekretaris Kenneth menoleh ke arah Ayah untuk meminta persetujuannya. Ayah segera mengangguk setuju dan memberi tahu bahwa mulai dari hari ini aku yang pegang kendali penuh. T

  • Istri Belian   Bab 97|Permintaan Ayah

    ~Benedict~ Dadaku sakit sekali mendengar dia mengatakan pisah. Seketika itu juga aku tidak peduli dengan apa pun yang ada di dunia ini. Aku juga tidak peduli bila aku harus berlutut memohon kepadanya. Aku tidak mau dia pergi dariku. Walaupun dia meminta seluruh hartaku, aku akan memberikan semua kepadanya. Benda itu tidak ada artinya tanpa dia di sisiku. Namun Delima memberi aku kejutan lainnya. Dia sedang hamil. Kenneth dan Eloisa selalu mengejek aku tidak akan pernah menikah apalagi punya anak seperti mereka. Jadi, berita itu adalah keajaiban bagiku. Ketika melihat foto hitam putih mereka, aku tidak tahu di mana mereka berada. Tetapi aku percaya bahwa mereka ada di dalam perut istriku. Selama ini aku berpikir bahwa aku adalah ciptaan yang dilupakan oleh Tuhan. Dia pasti bercanda pada saat menciptakan aku dengan segala kekuranganku. Ternyata Dia masih mengingat aku dan memberikan aku bukan satu, tetapi dua orang anak sekaligus. Aku tidak muda lagi, tetapi aku berjanji akan bertahan

  • Istri Belian   Bab 96|Akhir Penantian

    Pikiranku kacau, dadaku terasa sesak, karena aku tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Aku bahagia, karena penantian panjangku sudah berakhir. Kehamilan ini sudah lama aku harapkan, tetapi keadaannya sedang tidak memungkinkan. Ben tidak mau kami punya anak. Jika alat ini akurat, maka hubunganku dan Ben juga berakhir. Aku tidak berhenti menangis memikirkan hubungan kami harus usai secepat ini. Memikirkan kondisi janin yang aku kandung tidak membuat aku cukup kuat menghentikan air mata yang mengalir jatuh dengan deras di pipiku. Seharusnya ini adalah kabar baik, kabar yang membahagiakan. Sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tidak terlalu memerhatikan apa yang terjadi di makam Kakek. Eloisa entah bicara apa, Ayah dan Ibu yang kemudian datang membahas apa, tidak aku dengarkan. Ben mengajak aku ke mana pun, aku hanya mengikutinya saja. Namun saat tiba di rumah, aku segera kembali ke kamar dan menyendiri. Aku perlu memikirkan hal ini seorang diri. Yang pasti, aku menginginkan bayi in

  • Istri Belian   Bab 95|Penantian Panjang

    ~Delima~ Beraninya dia mengatakan cinta pada tarikan napas yang sama dia menyebut tidak mau memiliki anak bersamaku. Dengan intensitas kami melakukan hubungan suami istri, apa dia pikir kami bisa mencegah seorang anak lahir? Juga beraninya dia menuduh aku akan berubah pikiran terhadap anakku sendiri seandainya dia mempunyai kekurangan. Aku bukan ayah atau ibunya. Aku tidak akan membuang anakku sendiri seperti yang mereka lakukan. Malam itu, usai bicara dengannya, aku tidak melarang dia tidur bersamaku. Tetapi aku tidak sudi berbaring menghadapnya seperti kebiasaan kami tidur bersama. Aku sangat kesal dan tidak mau melihat wajahnya agar amarahku tidak semakin memuncak. Untuk pertama kalinya, kiriman bunga darinya aku buang ke tempat sampah. Aku tidak butuh bunga atau kartu untuk mewakili dia menyampaikan pesannya. Dia bisa bicara langsung denganku. Elan yang tidak tahu diri itu juga masih berani mengajak aku bicara. Tidak tahan lagi dengan sikapnya, aku memarahinya panjang lebar dan

  • Istri Belian   Bab 94|Usaha yang Gagal

    Mama tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia justru cepat-cepat mengakhiri percakapan kami. Mungkin Delima sedang berada di dekatnya dan Mama tidak mau istriku sampai tahu bahwa Mama melaporkan sakitnya kepadaku. Aku semakin panik, karena tidak tahu sakitnya parah atau tidak. Ini semua salahku. Seharusnya aku mengajak dia bicara baik-baik. Bukan memaksakan kehendakku kepadanya. Dia seorang wanita, wajar saja dia memiliki jiwa keibuan yang mengharapkan memiliki anak sendiri. Apalagi kakak iparnya sedang hamil. Sedikit banyak, dia pasti merindukan kehadiran anak-anak juga. Aku malah tidak peka dan bersikap egois. Untuk meminta maaf kepadanya, aku meneruskan rencanaku. Setidaknya saat dia pulang nanti, dia tahu bahwa aku menyesal sudah menyakiti perasaannya. Aku tidak mau tidur sendirian lagi. Deva dan semua pelayan membantu aku menyiapkan kejutan untuk istriku. Namun saat dia pulang, dia hanya diam saja melihat balon dan bunga yang ada di sekitarku, juga papan bertuliskan maafkan aku yan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status