Selimut Devan tersingkap dari wajahnya, membuat Cecil tergerak menyentuh kening lelaki itu. Sudah hampir dua jam, Devan tertidur. Suhu badannya juga tidak sepanas tadi. Tangan Cecil, berpindah ke rambut cepak Devan. Mengusapnya penuh kelembutan. Devan kalau tidur begini, terlihat sangat tampan. Wajahnya yang damai, membuatnya sangat menawan berkali-kali lipat. Berbeda kalau sedang bangun, pasti seperti banteng kesurupan. Galak banget.Pergerakan Devan membuat Cecil menarik tangannya. Dia tak ingin Devan terbangun karenanya. "Kenapa berhenti. Elus lagi dong."Suara Devan membuat Cecil tergagap. Kenapa dia bisa tahu? "Ka-kamu udah bangun?" Devan membuka mata. Melihat ekspresi lucu Cecil membuatnya ingin tertawa. "Sebenarnya aku udah bangun dari tadi. Tapi karena gak mau pelukanmu lepas, jadi aku pura-pura tidur. Eh, tiba-tiba kamu nyentuh dahi aku. Jadi makin semangat buat gak buka mata."Devan terkekeh pelan, melihat ekspresi Cecil yang terkejut. "Ih! Modus!""Modus ke istri, meman
Devan tercengang dibuatnya. Kenapa Cecil jadi menaruh curiga padanya? Beginikah rasanya dicurigai? Seperti kecurigaannya pada Cecil dan Zaki. "Kenapa jadi bahas-bahas perempuan itu? Dia itu cuman masa lalu aku loh. Aku udah buang jauh-jauh semua kenangan sama dia.""Kenapa? Bukannya mantan terindah? Kata orang, mantan terindah itu paling susah dilupa.""Siapa bilang? Ya, aku memang susah melupakannya. Lebih tepatnya melupakan pengkhianatan yang dilakukan.""Begitu juga dengan kenangan indah yang kalian ukir."Sejenak, Devan terdiam. Meresapi dalam-dalam ucapan Cecil. Ya, perempuan itu tak sepenuhnya salah. Karena nyatanya, dia masih sedikit menyimpan kenangannya dengan Dela."Jangan pernah berusaha membuka hati untuk yang baru, jika masa lalumu belum sepenuhnya usai. Percayalah, itu menyakitkan. Baik untukmu, atau pasanganmu kelak."Devan merunduk dalam. Lagi-lagi, ucapan Cecilia mampu menikam hatinya. "Maaf."Cecil tersenyum, meski hatinya sedikit terasa nyeri, tapi apa gunanya. Tapi
Di kamar, Cecilia masih terbayang dengan ucapan Devan tadi. Sejak saat itu, Cecil seperti memberi jarak pada Devan. Dia takut apa yang Devan ucapkan benar-benar kejadian."Cil, sini. Ngapain jauh-jauh gitu sih?" Panggil Devan sambil menikmati makanannya di atas sofa. Sementara Cecil sendiri terduduk waspada di tepi ranjang."Nggak! Nanti diperkosa!"Mendengar itu, Devan hampir tersedak. Dia lalu terkekeh sambil menyeruput es manado di tangannya. "Astaga! Kamu percaya? Jadi, itu yang buat kamu gak berani dekat-dekat?""Menurutmu?" Cecil berkata sewot. Sementara Devan malah terpingkal-pingkal. "Oh, ayolah! Aku cuman bercanda. Sini, duduk dekat aku." Devan kembali meletakkan esnya.Devan menepuk ruang kosong di sebelahnya. Pandangannya masih tertuju pada Cecil yang menatapnya penuh curiga. "Beneran ya?""Iya, aku gak akan sentuh. Aku capek hari ini, tapi gak tahu kalau besok-besok."Cecilia mencebikkan bibirnya. Berjalan ke arah Devan, lalu meninju lengan laki-laki itu. "Ngeselin banget
Atmosfer bumi memanas. Semakin sering berduaan dengan Devan, membuat jantungnya bertalu-talu. Hawa dingin AC yang nyala, tetap terasa panas di tubuh Cecilia."Mas, aku ke kamarku bentar ya, mau ambil charger. Batrai ponselku mau habis." Alibi Cecilia untuk menghindar dari Devan. setidaknya, dia bisa mengistirahatkan jantungnya yang berpacu cepat.Devan mengangguk mengiyakan. Tapi tak melepas sandarannya pada bahu Cecilia. "Langsung balik ya? Jangan lama-lama."Cecil memutar bola matanya malas. Bagaimana dia bisa beranjak kalau Devan masih gelendotan begini? "Lepas dulu, Mas. Aku gak bisa gerak."Devan meringis. Mengangkat kepalanya, lalu melepas cekalannya di lengan Cecil. "Dah, boleh pergi. 5 menit."Tidak menanggapi, Cecil pun langsung keluar. Sesampainya di kamar sendiri, Cecil langsung mengunci pintu itu. Membiarkan tubuhnya terhempas bebas di atas kasur. "Ah, leganya."Cecil sengaja tidak balik. Membiarkan tubuhnya istirahat di sini untuk beberapa waktu.5 menit, 10 menit, bahkan
Devan kelewat jujur. Utari sampai malu sendiri dibuatnya. Sementara Cecilia menyenggol lengan Devan agar lelaki itu tidak bikin malu. "Mas. Malu ih!"."Sama Mama ngapain malu? Mama juga udah paham. Wong dia pernah muda." Cecil benar-benar tak punya muka sekarang. Dia sampai salah tingkah dengan ulah suaminya."Mulutnya." Geram Cecil.Utari sendiri hanya bisa menahan tawa. Anaknya ini memang seloroh. "Tenang, Cil. Mama paham, kok. Devan memang begitu anaknya. Selengekan.""Siap, Ma. Oh iya. Mama mau bicara apa?"Utari tersenyum, hampir lupa dengan maksudnya. "Kita bicara di ruang keluarga saja ya? Kita diskusi juga sama papa."Cecil mengangguk. "Baik, Ma." Setelahnya, mereka sama-sama keluar untuk membahas bulan madu Devan dan Cecil di ruang keluarga.Sesampainya di sana, sudah ada Nicolas yang sudah menunggu.Dengan senyum hangatnya, Cecilia menyapa papa mertuanya itu."Pa." Nicolas membalas senyum Cecil. Setelahnya, dia langsung menyuruh semuanya untuk duduk.Utari berdehem sebenta
Cecil keluar dengan tampilan yang lebih segar. Tubuhnya terbalut dress putih tulang sepanjang lutut, bermotif bunga tulip dan rerumputan yang menjulang sebatas pinggang. dress tanpa lengan itu berpadu matching dengan kulitnya yang putih. Biasanya, Cecil memakai pakaian seperti ini ketika menjelang tidur. Tapi sepertinya, gadis itu akan memadunya dengan kardigan hitam pemberian almarhumah ibunya."Cari apa?" Tanya Devan ketika melihat gadis itu sibuk mengubek-ubek isi lemari. Tak kunjung ketemu, cecil pun frustasi."Cari kardiganku," jawab Cecil masih dengan mengubek isi lemari."Mau ke mana? Kok pakai kardigan?""Gak kemana-kemana. Ya aku risih aja, pakai baju gini depan kamu. Makanya aku cari kardigan. Giliran dibutuhin, malah gak ketemu." Ingin menangis rasanya. "Kalau risih ngapain di pakai? Kan masih ada baju lain. Sengaja ya, biar aku tergoda?" Tebak Devan, membuat Cecil memutar bola matanya."Aku kalau mau tidur biasa pakai gini. Lupa, kalau sekarang udah gak tidur sendiri lag
Devan bingung dengan perasaanya sendiri. Ya, dia tak bisa membohongi hati kecilnya. Nyatanya, nama Dela masih tersimpan di ruang terdalam milik Devan. Bahkan, lelaki itu tidak tahu harus berbuat apa sekarang."Kamu benar, Cil. Aku memang laki-laki berengsek! Aku memang masih memiliki rasa pada Dela, meski tidak sepenuhnya, walaupun perempuan itu sudah menyakiti aku sebegitu teganya. Tapi di sisi lain, aku sudah mulai terbiasa dengan kehadiranmu di hidupku. Bahkan, aku merasa cemburu, saat orang-orang terdekatku berusaha mendekatimu. Aku menginginkan kalian berdua."Cecil berusaha menahan air matanya, kala kalimat itu terdengar dari mulut Devan. Pengakuan Devan benar-benar menghantam hatinya.Ya, mulut lelaki itu memang jujur, tapi Cecil tidak pernah menyangka sebelumnya, jika kejujuran itu akan membuatnya melemah. Sakit sekali ya Gusti.Cecil hanya bisa diam, menatap manik Devan. Apakah dia sanggup bertahan selama satu tahun? Sepertinya, dia tidak bisa. Baru sehari saja, rasanya sudah
Cecil meraih tangan Zaki agar lelaki itu tidak emosi. Cecil tahu, mungkin jika Devan ada di sini, Zaki pasti langsung menghajarnya. Kalau tidak, nanti pasti akan ada aksi baku hantam."Sudah lah, Zak. Jangan emosi. Mas Devan gak sepenuhnya bersalah. Aku bisa ngerti kalau dia khawatir sama Mbak Dela. Lagian, aku juga salah. Aku gak hati-hati tadi."Zaki menggeleng. Semakin kagum saja, dia pada Cecil. Terbuat dari apa hatinya. "Tetap saja Devan salah, Cil. Gak seharusnya dia meninggalkan kamu sendirian. Dia kan bisa ke rumah sakit bawa mobilnya. Tinggal ngikutin ambulance. Kamu kan gak bisa nyetir." Hati Cecil semakin sesak. Bahkan, Zaki saja tahu kalau dia gak bisa nyetir, meski Devan meninggalkan mobilnya, percuma saja.Cecil berusaha tersenyum. Mencoba ikhlas menerima semua. "Aku gak papa. Minta tolong telepon ambulance, ya. Sepertinya aku memang harus ke rumah sakit. Lukaku perlu dibersihkan."Tiba-tiba, Zaki mengangkat tubuh Cecilia. Cecil yang tidak siap pun terkejut. "Gak perlu!
Cecil tertawa lebar dengan seringai liciknya. Gadis itu kemudian merogoh ponsel di tasnya. "Terima kasih Dela, untuk semua pengakuannya. Tunggulah, sebentar lagi polisi akan datang dengan surat penangkapan kalian. Maaf, kelicikan harus dibalas dengan lebih licik."Cecil menepuk pipi Dela yang terlihat sangat pucat. Mendengar kata polisi, gadis itu langsung mematung. "Ap--apa maksudmu?" Tak kunjung menjelaskan, Devan pun ikut mencecar. "Sayang, ada apa ini?"Cecil mendekat, untuk mengikis jaraknya dan Devan. Dia lalu menepuk pundak lelaki itu pelan. "Aku tahu aktingmu sangat buruk, Sayang. Aku gak yakin bisa menjebak Dela dalam peragkapmu. Maaf, jika aku harus melibatkan Mas Sean dalam drama ini. Awalnya, niatku ke sini memang ingin mengucapkan selamat tinggal pada lelaki baik yang sudah kuanggap seperti abang. Tapi setelah aku melihat Dela memergoki kami berpelukan, aku yakin, dia pasti akan bicara buruk tentang aku. Jadi, aku sengaja, meminta Mas Sean untuk memelukku lebih erat." Ce
Giginya gemertak menahan emosi. Kalau tidak ada Cecil yang menghalangi, mungkin Devan akan langsung menghabisi Sean di tempat."Berdiri kamu!" Devan menarik kasar lengan Cecil menjauh dari Sean. Wajahnya terlihat sangat merah. Entah apa yang ada di pikiran Devan sekarang.Cecil berdiri dengan sedikit terhuyung. Dia takut-takut menatap Devan yang sudah berubah seperti iblis. "Aw, sakit. Pelan-pelan, Mas." Rintihannya sambil melihat memar kemerahan di lengan. Seumur-umur, dia baru melihat sisi iblis seorang Devan.Devan menatap Cecil dengan tatapan membunuh. Dia paling tidak suka dikhianati seperti ini. "Pelan-pelan, katamu? Dasar wanita murahan! Bisa-bisanya kamu pelukan mesra sama orang lain. Dibayar berapa kamu hah? Kamu istriku, Cecil!"TesSetetes air mata membasahi pipi Cecil. Tidak menyangka, jika Devan akan mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitinya. Sementara, dia berusaha mati-matian memuji Devan di depan Sean."Tutup mulutmu! Aku tidak serendah itu, bajingan! Aku masih
Setelah seharian sibuk memanjakan suaminya, akhirnya pagi ini Cecil disibukan dengan pekerjaannya di kantor. Sesuai yang Devan katakan, pagi ini mereka berangkat ke kantor bersama. Tidak ada lagi jemputan dari Laras, karena Zaki sudah melarang gadis itu menjemput Cecilia, sesuai arahan dari Devan."Selamat pagi?" sapa Cecil ramah pada seluruh karyawan yang ditemuinya di lobi. Itu adalah kebiasaan Cecil yang sudah ia geluti sejak masih menjadi pekerja di kantor ini, hingga sekarang menjadi istri seorang bos."Pagi," Devan ikut menyapa, meski tak ada senyum di sana. Wajahnya tampak datar, tapi bagi para karyawan, ini adalah salah satu momen langkah. Sungguh keajaiban dunia. Ada apa dengan Devan pagi ini?Untuk sesaat, para karyawan terbengong dengan pandangan saling tatap. Lalu detik berikutnya, mereka kompak menyunggingkan senyum dan menunduk hormat."Pagi, Pak Devan, Bu Cecil." balas para karyawan ramah pada keduanya yang berjalan beriringan. Tumben sekali mereka berangkat bareng?Se
Usai menikmati bakso mercon, Cecil dan Devan melajukan motor menuju bazar nostalgia. Ya, benar sekali. Kedatangan mereka langsung disambut oleh jajaran penjual jajanan pinggir jalan. Tidak terkecuali sempol dan sate aci. Cecil benar-benar bahagia sekarang."Mas, aku mau itu." Cecil menunjuk kue leker yang masih dimasak dengan arang. Devan sendiri hanya mengangguk membiarkan Cecil memilih jajanan yang dia suka."Beli saja sesukamu." Devan menyerahkan dompetnya pada Cecil. Dengan senang hati Cecil menerimanya.Saat mencari uang kecil, Cecil sama sekali tidak menemukan. 'Huft! Dasar orang kaya!' Cecil menggerutu dalam hati."Mas, pakai uangku saja lah. Punyamu gak ada yang kecil." Keluhnya sambil menyerahkan dompet pada Devan."Belikan saja semuanya. Katanya mau borong? Entar bagi sama orang rumah dan satpam kompleks."Cecil memutar bola matanya. "Lima puluh ribu? Yang benar saja. Kamu bawa motor, masak aku yang repot bawa ini semua? Aku belom cobain jajan lain."Devan mengacak rambut C
"Mas, aku sumpahin ban motormu bocor!" teriak Cecil dengan emosi naik turun. Kali ini, Devan benar-benar berhasil memainkan adrenalinnya. Mulut Cecil bahkan sampai komat kamit merapal doa, saat Devan dengan lihainya menyalip tronton-tronton di depan mereka."Oke, oke. Aku turunin kecepatannya." Devan yang awalnya ingin mengerjai Cecil jadi tak tega, saat melirik kaca spion motor dan mendapati istrinya sangat ketakutan. Perlahan, dia mulai mengurangi kecepatan lajunya.Saat motor bergerak lebih lambat, Cecil bisa menarik napas lega. Dia juga mengedarkan pandangan ke arah pengendara lain."Naik motor seru, Mas. Jadi ingat waktu sekolah." Cecil bercerita dengan antusias. Tapi satu pertanyaan Devan, berhasil membuatnya pucat."Dibonceng siapa kamu. Kamu kan gak bisa motoran." Grep! Cecil menutup mulutnya rapat-rapat. Niatnya curhat, malah jadi boomerang."Eh, anu." Mata Cecil bergerak gelisah. Otaknya dipaksa keras untuk berpikir jawabannya."Anu apa? Dibonceng siapa?" ulang Devan membuat
Devan berjalan menyusuri rumahnya untuk mencari keberadaan Cecil, tapi gadis itu belum juga ditemukan.Untuk sesaat, pria itu menghela napas panjang, lalu senyumnya terbit kala melihat pintu belakang yang terbuka. Feeling-nya kuat mengatakan jika yang dia cari, ada di taman belakang halaman rumah.Tepat dugaan. Di sana, Cecil tampak duduk di sebuah ayunan yang dikelilingi bunga-bunga mawar yang indah. Hangat mentari juga menyambut kedatangan Devan yang berjalan menghampiri Cecil."Kamu di sini? Pantes, aku cari ke depan gak ketemu." Devan menghentikan ayunan, kemudian duduk di hadapan Cecil yang menatapnya jengah."Ngapain cari aku? Aku ke sini, mau cari angin segar."Cecil membuang pandangannya, menatap bunga-bunga yang tumbuh bermekaran.Devan yang merasa diabaikan pun jengah sendiri. "Cil, lihat sini kek. Suamimu mau ngomong, tapi kamu malah kabur."Cecil yang sadar jika Devan tengah serius, dia mulai menegapkan tubuhnya. Bersiap, mendengar petuah Devan. "Mau ngomong apa? Aku sudah
Pagi yang cerah. Seusai sarapan bersama, Devan mengajak Cecil kembali ke kamar. Tentu hari ini Devan tidak akan membiarkan Cecil menganggur barang sedetik."Ma, Devan sama Cecil pamit ke kamar ya."Cecil menoleh pada Devan penuh kewaspadaan. Lelaki itu pasti sudah menyusun rencana sedemikian rupa.Cecil menghela napas. Menatap Utari seolah meminta pertolongan. "Kamu duluan saja, Mas. Aku masih mau ngobrol sama Mama."Utari yang merasa namanya dibawa-bawa pun mengangguk mengiyakan. Kasihan juga Cecil kalau sampai dikurung di kamar. Sudah pasti, Devan akan menjadikan gadis itu sebagai makanan penutup. Apalagi, Devan sudah bilang jika hari ini dia cuti. Sudah pasti menantunya tidak akan keluar kamar."Kamu duluan saja, Van. Mama juga mau minta pendapat Cecil."Bukannya beranjak, Devan malah bertopang dagu dengan wajah ditekuk. Ditatapnya istri dan sang mama bergantian. "Aku tungguin di sini. Jangan lama-lama ngobrolnya. Aku butuh Cecil."Utari berdecak. Menggeleng heran dengan kepala bat
Usai mandi bersama yang berakhir dengan makian panjang Cecilia, Devan keluar dengan mengenakan handuk yang melilit di pinggang. Cecil sendiri hanya bisa menghela napas ketika suaminya pergi setelah mendapatkan kenikmatannya kembali."Dasar suami gak peka! Istrinya belum selesai malah ditinggal." gerutu Cecilia saat perempuan itu asik berendam di bathtub. Rendaman air hangat, sedikit banyaknya bisa membantu Cecilia melemaskan ototnya yang kaku.Ceklek.Cecilia keluar setelah puas berendam. Dia juga sudah berganti dengan gaun rumahan.Cecil berjalan menuju meja riasnya. Tak sengaja, pandangan Devan dan Cecil bersitatap. Devan yang berduduk santai di tepi ranjang, hanya memandang gadis itu sesaat, sebelum kembali berkutat dengan ponselnya."Aku sudah mengabari Zaki, kalau kita hari ini gak ke kantor. Aku juga sudah kasih tahu Laras, biar gak usah jemput kamu lagi karena mulai besok, kamu berangkat sama aku."Ucapan Devan menghentikan Cecilia yang memoles wajahnya dengan bedak. Dengan cep
Keesokan paginya, Cecil sudah bersiap dengan setelan kemeja kantor dipadu dengan blazer. Gadis itu mematut dirinya di cermin, sambil menyisir rambutnya yang hampir kering. Sementara Devan sendiri baru bangun dari tidur lelapnya.Ingin menyibak selimut, Tapi urung setelah melihat bekas kemerahan yang dia buat semalam. Leher jenjang itu, dapat dia lihat dengan jelas dari pantulan cemin. Mengingat itu, Devan sangat bangga dengan dirinya yang berhasil menato tubuh Cecilia."Cil, kemarilah!" Cecil yang merasa terpanggil pun bergegas mempercepat gerakannya. Setelah rambutnya tersisir rapi, barulah dia berjalan menghampiri Devan."Ada apa?" Matanya penuh selidik, menatap pria yang semalam tengah menganghangatkan ranjangnya."Kamu mau ke mana, rapi begini? Di rumah saja, gak usah kerja hari ini."Cecil membuka mulutnya. Perempuan itu hampir melontarkan sumpah serapah. "Kenapa? Kenapa aku gak boleh kerja? Aku gak sakit, kok. Àku bisa ke kantor.Devan menunjuk leher Cecil dengan jari telunjuk