Devan tercengang dibuatnya. Kenapa Cecil jadi menaruh curiga padanya? Beginikah rasanya dicurigai? Seperti kecurigaannya pada Cecil dan Zaki. "Kenapa jadi bahas-bahas perempuan itu? Dia itu cuman masa lalu aku loh. Aku udah buang jauh-jauh semua kenangan sama dia.""Kenapa? Bukannya mantan terindah? Kata orang, mantan terindah itu paling susah dilupa.""Siapa bilang? Ya, aku memang susah melupakannya. Lebih tepatnya melupakan pengkhianatan yang dilakukan.""Begitu juga dengan kenangan indah yang kalian ukir."Sejenak, Devan terdiam. Meresapi dalam-dalam ucapan Cecil. Ya, perempuan itu tak sepenuhnya salah. Karena nyatanya, dia masih sedikit menyimpan kenangannya dengan Dela."Jangan pernah berusaha membuka hati untuk yang baru, jika masa lalumu belum sepenuhnya usai. Percayalah, itu menyakitkan. Baik untukmu, atau pasanganmu kelak."Devan merunduk dalam. Lagi-lagi, ucapan Cecilia mampu menikam hatinya. "Maaf."Cecil tersenyum, meski hatinya sedikit terasa nyeri, tapi apa gunanya. Tapi
Di kamar, Cecilia masih terbayang dengan ucapan Devan tadi. Sejak saat itu, Cecil seperti memberi jarak pada Devan. Dia takut apa yang Devan ucapkan benar-benar kejadian."Cil, sini. Ngapain jauh-jauh gitu sih?" Panggil Devan sambil menikmati makanannya di atas sofa. Sementara Cecil sendiri terduduk waspada di tepi ranjang."Nggak! Nanti diperkosa!"Mendengar itu, Devan hampir tersedak. Dia lalu terkekeh sambil menyeruput es manado di tangannya. "Astaga! Kamu percaya? Jadi, itu yang buat kamu gak berani dekat-dekat?""Menurutmu?" Cecil berkata sewot. Sementara Devan malah terpingkal-pingkal. "Oh, ayolah! Aku cuman bercanda. Sini, duduk dekat aku." Devan kembali meletakkan esnya.Devan menepuk ruang kosong di sebelahnya. Pandangannya masih tertuju pada Cecil yang menatapnya penuh curiga. "Beneran ya?""Iya, aku gak akan sentuh. Aku capek hari ini, tapi gak tahu kalau besok-besok."Cecilia mencebikkan bibirnya. Berjalan ke arah Devan, lalu meninju lengan laki-laki itu. "Ngeselin banget
Atmosfer bumi memanas. Semakin sering berduaan dengan Devan, membuat jantungnya bertalu-talu. Hawa dingin AC yang nyala, tetap terasa panas di tubuh Cecilia."Mas, aku ke kamarku bentar ya, mau ambil charger. Batrai ponselku mau habis." Alibi Cecilia untuk menghindar dari Devan. setidaknya, dia bisa mengistirahatkan jantungnya yang berpacu cepat.Devan mengangguk mengiyakan. Tapi tak melepas sandarannya pada bahu Cecilia. "Langsung balik ya? Jangan lama-lama."Cecil memutar bola matanya malas. Bagaimana dia bisa beranjak kalau Devan masih gelendotan begini? "Lepas dulu, Mas. Aku gak bisa gerak."Devan meringis. Mengangkat kepalanya, lalu melepas cekalannya di lengan Cecil. "Dah, boleh pergi. 5 menit."Tidak menanggapi, Cecil pun langsung keluar. Sesampainya di kamar sendiri, Cecil langsung mengunci pintu itu. Membiarkan tubuhnya terhempas bebas di atas kasur. "Ah, leganya."Cecil sengaja tidak balik. Membiarkan tubuhnya istirahat di sini untuk beberapa waktu.5 menit, 10 menit, bahkan
Devan kelewat jujur. Utari sampai malu sendiri dibuatnya. Sementara Cecilia menyenggol lengan Devan agar lelaki itu tidak bikin malu. "Mas. Malu ih!"."Sama Mama ngapain malu? Mama juga udah paham. Wong dia pernah muda." Cecil benar-benar tak punya muka sekarang. Dia sampai salah tingkah dengan ulah suaminya."Mulutnya." Geram Cecil.Utari sendiri hanya bisa menahan tawa. Anaknya ini memang seloroh. "Tenang, Cil. Mama paham, kok. Devan memang begitu anaknya. Selengekan.""Siap, Ma. Oh iya. Mama mau bicara apa?"Utari tersenyum, hampir lupa dengan maksudnya. "Kita bicara di ruang keluarga saja ya? Kita diskusi juga sama papa."Cecil mengangguk. "Baik, Ma." Setelahnya, mereka sama-sama keluar untuk membahas bulan madu Devan dan Cecil di ruang keluarga.Sesampainya di sana, sudah ada Nicolas yang sudah menunggu.Dengan senyum hangatnya, Cecilia menyapa papa mertuanya itu."Pa." Nicolas membalas senyum Cecil. Setelahnya, dia langsung menyuruh semuanya untuk duduk.Utari berdehem sebenta
Cecil keluar dengan tampilan yang lebih segar. Tubuhnya terbalut dress putih tulang sepanjang lutut, bermotif bunga tulip dan rerumputan yang menjulang sebatas pinggang. dress tanpa lengan itu berpadu matching dengan kulitnya yang putih. Biasanya, Cecil memakai pakaian seperti ini ketika menjelang tidur. Tapi sepertinya, gadis itu akan memadunya dengan kardigan hitam pemberian almarhumah ibunya."Cari apa?" Tanya Devan ketika melihat gadis itu sibuk mengubek-ubek isi lemari. Tak kunjung ketemu, cecil pun frustasi."Cari kardiganku," jawab Cecil masih dengan mengubek isi lemari."Mau ke mana? Kok pakai kardigan?""Gak kemana-kemana. Ya aku risih aja, pakai baju gini depan kamu. Makanya aku cari kardigan. Giliran dibutuhin, malah gak ketemu." Ingin menangis rasanya. "Kalau risih ngapain di pakai? Kan masih ada baju lain. Sengaja ya, biar aku tergoda?" Tebak Devan, membuat Cecil memutar bola matanya."Aku kalau mau tidur biasa pakai gini. Lupa, kalau sekarang udah gak tidur sendiri lag
Devan bingung dengan perasaanya sendiri. Ya, dia tak bisa membohongi hati kecilnya. Nyatanya, nama Dela masih tersimpan di ruang terdalam milik Devan. Bahkan, lelaki itu tidak tahu harus berbuat apa sekarang."Kamu benar, Cil. Aku memang laki-laki berengsek! Aku memang masih memiliki rasa pada Dela, meski tidak sepenuhnya, walaupun perempuan itu sudah menyakiti aku sebegitu teganya. Tapi di sisi lain, aku sudah mulai terbiasa dengan kehadiranmu di hidupku. Bahkan, aku merasa cemburu, saat orang-orang terdekatku berusaha mendekatimu. Aku menginginkan kalian berdua."Cecil berusaha menahan air matanya, kala kalimat itu terdengar dari mulut Devan. Pengakuan Devan benar-benar menghantam hatinya.Ya, mulut lelaki itu memang jujur, tapi Cecil tidak pernah menyangka sebelumnya, jika kejujuran itu akan membuatnya melemah. Sakit sekali ya Gusti.Cecil hanya bisa diam, menatap manik Devan. Apakah dia sanggup bertahan selama satu tahun? Sepertinya, dia tidak bisa. Baru sehari saja, rasanya sudah
Cecil meraih tangan Zaki agar lelaki itu tidak emosi. Cecil tahu, mungkin jika Devan ada di sini, Zaki pasti langsung menghajarnya. Kalau tidak, nanti pasti akan ada aksi baku hantam."Sudah lah, Zak. Jangan emosi. Mas Devan gak sepenuhnya bersalah. Aku bisa ngerti kalau dia khawatir sama Mbak Dela. Lagian, aku juga salah. Aku gak hati-hati tadi."Zaki menggeleng. Semakin kagum saja, dia pada Cecil. Terbuat dari apa hatinya. "Tetap saja Devan salah, Cil. Gak seharusnya dia meninggalkan kamu sendirian. Dia kan bisa ke rumah sakit bawa mobilnya. Tinggal ngikutin ambulance. Kamu kan gak bisa nyetir." Hati Cecil semakin sesak. Bahkan, Zaki saja tahu kalau dia gak bisa nyetir, meski Devan meninggalkan mobilnya, percuma saja.Cecil berusaha tersenyum. Mencoba ikhlas menerima semua. "Aku gak papa. Minta tolong telepon ambulance, ya. Sepertinya aku memang harus ke rumah sakit. Lukaku perlu dibersihkan."Tiba-tiba, Zaki mengangkat tubuh Cecilia. Cecil yang tidak siap pun terkejut. "Gak perlu!
Melihat selang infus yang sudah tidak terpakai lagi di tangan Dela, Devan tampak hawatir.Cecil hanya diam, memperhatikan dua insan yang saling cinta itu memberi perhatian satu sama lain."Dicariin wanitamu, tuh! Pergi sana. Nanti merajuk." Sindir Zaki yang lebih tepatnya ditujukan untuk Dela. Zaki benar-benar tidak menyangka, jika pertahanan Devan akan benar-benar goyah seperti sekarang.Devan bingung. Di satu sisi ingin menemani Dela, tapi di sisi lain tidak enak pada Cecil. "Cil," panggil Devan.Cecil membuang muka. Sama sekali tidak ingin melihat pemandangan di hadapannya. "Pergilah, dia lebih membutuhkanmu. Aku sudah biasa sendiri, Mas. Jangan hawatir."Cecil memasang muka darat. Dia tidak ingin menangis sekarang. Tidak ingin terlihat lemah, baik di depan Devan maupun Dela."Terima kasih sudah mengerti." Devan benar-benar tidak melihat luka di mata Cecil. Dia pikir, Cecil ikhlas melakukan itu. Laki-laki itu pun pergi bersama Dela yang membuat Zaki geleng-geleng kepala."Kamu gak