Bab 24 : Teman SekelasDengan menahan napas, kubuka pintu kamar dan tampaklah dua orang bertubuh besar. Satunya tak punya rambutnya, sedangkan satunya berambut gondrong. Siapa lagi kalau bukan Si Mark dan El, bodyguard kesayangan Opa Jhon."Mau ngapain kalian ke sini?" Aku langsung pasang wajah masam."Maaf, Nyonya Loly, sekarang sudah pukul 19.00. Kami disuruh Tuan jemput Nyonya," ujar Si Mark."Hah ... jadi sekarang udah malam?" Aku melotot sambil melihat jam di pergelangan tangan dan benar saja Upin-Ipin berdua ini."Segeralah ambil barang-barang Nyonya, Tuan Jhon hanya memberi waktu 30 menit untuk membawa Nyonya pulang," ujar Si El.Aku memutar bola mata jengah, lalu berbalik menuju tempat tidur empukku dan mengemasi ponsel dan memasukkannya ke dalam tas.Tanpa protes atau juga adu mulut dengan kedua bodyguard kurang kerjaan ini, aku melangkah keluar dari kamar hotel ini.Selamat tinggal kasur empukku, kapan-kapan akan kudatangi lagi kalian ke sini. Eh, kok kayak lagi selingkuh sa
Malam Pertama dengan Kakek TuaBab 25 : Toms dan Julio“Namaku Toms.” “Aku Julio.” Begitulah mereka memperkenalkan diri masing-masing setelah menanyakan namaku. Jika dilihat-lihat wajah kedua pria ini cukup tampan. Tidak salah jika aku harus beramah-tamah pada mereka. Posturnya juga tinggi ideal, yang satunya agak-agak mirip bule, mungkin blasteran. Kalau yang satunya, hitam manis yang senyumnya bikin meleleh hati. “Mau ke kantin gak? Biar kita bisa ngobrol lebih lanjut,” tawar pria yang bernama Julio ini, dia ini yang agak kebule-bulean. Aku memiringkan kepala sedikit seolah sedang berpikir. “Boleh,” jawabku kemudian. Kami bertiga pun keluar dari ruangan. Aku tidak memedulikan tatapan teman-teman sekelas yang lain. Sesampainya di kantin, Julio dan Toms duduk di depanku. “Kamu mau pesan apa Lolyta?” tanya Toms dengan sangat lembut, dia pria hitam manis yang senyumnya semanis gulali gula aren, eh!Aduh, meleleh hati Dedek, Bang. Uhukkk “Mungkin es capucino saja biar gak ngantu
Malam Pertama dengan Kakek TuaBab 26 : PaparaziSaat sudah dekat dengan sepasang sahabatku ini, kuperhatikan wajahnya Bagas, dia tampak sangat kesal. Lalu saat aku semakin mendekat, Bagas malah pergi seperti menghindari. Ada apa? Kini tinggallah aku dan Intan saja di sini. Karena Bagas langsung menghindar dan tampaknya tak mau mengobrol denganku. “Dia kenapa?” tanyaku pada Intan menunjuk Bagas. “Dia itu cemburu sama kamu. Apa kamu lupa kejadian yang kemarin?” Aku hanya tertawa kecil saja menyikapi sikap Bagas yang posesif tidak pada tempatnya begitu. Sebisa mungkin aku tetap mengontrol diri agar selalu kelihatan anggun. “Ah biarin ajalah dia itu. Oh iya ngomong-ngomong kamu udah punya teman baru belum di kelasmu?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. “Ada sih teman, tapi ya ... hanya sekadar teman-teman begitu saja. Maklumlah namanya juga masih mulai beradaptasi. Untuk saat ini aku masih nyaman sama kalian, kamu dan Bagas. Entah kalau besok, mungkin udah mulai dekat dengan teman-t
Bab 27 : Siapa?Setelah napas kembali normal, aku kembali menebar pesona pada teman-teman pria yang ada di dekat mejaku sambil membenarkan posisi poni. Terlihat sekali mereka pada terpikat oleh senyum menawanku. Penampilanku benar-benar memukau kan? Iya jelas dong, buktinya beberapa pria tampan mencoba mendekatiku. Aku pun mencoba mengibaskan rambut pendekku ini agar terlihat seksi. Setelah itu, pria yang tersenyum padaku tadi mengerlingkan sebelah matanya. Aw. Berhasil. Tak lama kemudian, dosen pembimbing kami masuk. Materi pun dimulai. Aku diam mendengarkan, mencoba untuk menyimak dengan konsentrasi yang tinggi. Namun, tetap saja aku tidak bisa sefokus itu. Tanpa kusadari, ternyata mata kuliah sudah berakhir. Dosen itu pun melenggang keluar dari kelas. Seketika dalam ruangan pun riuh karena semuanya sibuk keluar dari ruangan untuk pulang. Aku memilih untuk keluar paling terakhir saja agar tetap terlihat anggun. Aku pun berjalan dengan gontai menyusuri koridor menuju halaman kamp
Bab 28 : Mengerjai MerekaAsem! Mengapa mereka punya pengingat yang baik? Bahkan masih ingat dengan kejadian pembalut tempo hari. Argghhh! Sekarang aku harus apa dan bagaimana? Aku sangat geram dan kesal sekali pada dua orang pria ini jadi langsung saja aku menjambak rambut gondrong milik El agar terlihat kalau aku benar-benar kesal. “Aduh, aduh ampun Nyonya,” kata El sambil memegangi kepalanya. Aku melirik ke Mark dengan tatapan tajam, seolah memberi isyarat bahwa jika mobil belum berhenti di depan penjual es, maka tak akan aku lepaskan pula rambutnya Mark. Pria dengan kepalanya botak itu memandangku dengan ngeri sambil memegangi kepalanya sendiri. Mungkin dia sedang bersyukur karena kepalanya tidak ditumbuhi rambut. “Masih tak mau berhenti juga?” tanyaku pada Mark. Mark terlihat sangat gugup. Bimbang antara menuruti permintaanku atau tetap mematuhi perintah Opa Jhon. “Mark, turuti saja perintah Nyonya, apa gak kasihan kamu lihat saya seperti ini?” rintih El pada temannya. Ak
Bab 29 : 99 AturanAku dan Opa Jhon sudah berada di dalam kamar. Jantungku terus berdebar kencang. Kira-kira ada apa ya? Mengapa mendadak Opa Jhon mengajakku ke kamar bersama? Ah, kepalaku sudah penuh oleh ribuan tanya. Tiba-tiba Opa Jhon menyodorkan secarik kertas. Aku menautkan alis dan mengerutkan dahi. Apa maksudnya? Kuambil kertas itu dari tangannya. Kubaca isi tulisannya. Mataku terbelalak lebar kalau mengetahui itu surat apa. Ternyata itu adalah 99 aturan wajib saat bekerja menjadi istri Opa Jhon. Kubaca satu persatu isinya. Kepalaku mulai terasa kliyengan saat membacanya. Semuanya tertulis dalam aturan itu, sampai-sampai jam bangun pagi, jam sarapan, dan jam tidur malam pun tertera di sana. Oh my God. Yang benar saja ini. Aku terus membacanya sampai ke bawah. Sampai di nomor sekian, aku dibuat tercengang oleh Opa Jhon. Ternyata ada juga aturan tentang dilarang mempunyai teman dan berteman dengan lawan jenis, dilarang ngobrol dan dilarang juga untuk chatingan dengan laki-l
Bab 30 : Kunci BrangkasWajahku masih kebingungan saat menerima kunci yang diberikan Opa Jhon kepadaku di depan Xeon. “Itu adalah kunci brankas,” sahut Opa Jhon. Setelah mengucapkan itu, dia pun juga memberikan 10 buah kartu kredit padaku. “Saya ingin mulai sekarang kamu yang menyimpan semuanya,” ujarnya lagi. Mulutku menganga, mataku terbelalak lebar melihat semua perlakuannya dan mendengar ucapannya barusan. Ada apa ini? Mengapa kakek tua ini mendadak memberikan kepercayaan yang berat ini padaku? Terlebih lagi saat di depan Xeon. Ah, mungkin saja Opa Jhon sedang kesurupan saat ini hingga dia memperlakukan ku seperti ini. Tapi, apa pun itu yang jelas sekarang aku sangat senang. Apalagi saat melihat ekspresi shock si cucu kesayangan Opa Jhon itu. Aku merasa puas dan menang dari dirinya. “Xeon, mulai sekarang kalau kamu butuh uang, minta saja pada Oma Lolyta ya. Karena mulai detik ini semua keuangan dipegang dan dikendalikan olehnya,” kata Opa Jhon pada cucu kesayangannya itu. “
Bab 31 : Dosen Meresahkan“Eh hai Toms, Julio,” sapaku dengan terpaksa karena mereka sudah dekat. Sebenarnya agak risi juga aku menyapa mereka karena takut ada yang rese memotret diriku secara diam-diam lagi. Aku agak ngeri juga dengan 99 isi perjanjian yang telah ku tanda tangani tadi sebelum pergi ke kampus. “Toms, Julio, aku duluan ya. Mau ke kamar kecil dulu soalnya perutku terasa gak enak,” ujarku sembari memasang wajah kesakitan sambil memegang perut. Mendadak mereka panik. “Bawa ke dokter, ya?” “Atau kubelikan obat?” Mereka sangat baik sebenarnya, menawari bantuan padaku. Namun, ini situasinya sudah sangat berbeda. Aku tidak sebebas kemarin lagi. “A-a-a tidak usah. Aku cukup pergi ke toilet saja sudah cukup kok. Aku pergi dulu, ya.” Aku langsung membalikkan badan dan berjalan dengan cepat. Akhirnya aku bisa meninggalkan mereka juga. Dan kini aku harus pura-pura masuk toilet agar aktingku terlihat sempurna. Setelah beberapa saat mendekam dalam kamar mandi, aku pun keluar
Bab 63 : Selamat“Lolyta, ayo. Kita gak punya waktu banyak.” Xeon masih terus memaksaku. Bukannya aku tidak mau beranjak dari tempat ini. Namun, aku takut di pertengahan jalan nanti dia malah pingsan atau malah bisa kenapa-kenapa. Sungguh, pasti aku akan semakin panik kalau sampai itu terjadi. “Tapi keadaanmu sekarang lagi demam, Xeon.” “Sudahlah, aku sudah tidak apa-apa. Kamu lihat kan, aku baik-baik saja sekarang. Ayo!” imbuh Xeon dengan sedikit memaksa. Aku tahu itu. Tanpa aba-aba, Xeon pun langsung menggandeng tanganku. Mungkin saja dia tidak sabar menunggu jawaban setuju dariku lagi. Akan tetapi ... tunggu dulu, apa ini? Xeon menggandeng tanganku? Apa-apaan dia ini? Kenapa tanganku mesti harus digandeng segala sih sama dia? Ingin sekali rasanya kutepis tangan Xeon. Sebab ini seperti mencari kesempatan dalam kesempitan. Akan tetapi, akal sehatku menyuruh untuk selalu berpikiran yang positif saja. Karena dia masih dalam kondisi sedang demam. Jadi anggap saja bahwa Xeon itu ta
Bab 62 : Dia DemamDengan terpaksa aku membuka mata karena merasa silau dengan sinar matahari, yang menyelusup dari celah-celah pohon mengenai tepat ke arah mataku. Untuk beberapa saat, nyawaku separuh masih melayang belum terkumpul semua. Kulihat Xeon sudah meringkuk di atas pangkuanku. Kurang ajar sekali dia, berani-beraninya, lancang sekali dia tidur di pangkuan. Dia gunain kesempatan ini rupanya, ya! Lihat saja kamu, ya. Hati ini amat dongkol melihat tingkahnya.Aku hendak membangunkannya, tetapi saat menyentuh tubuhnya, terasa amat panas. Aku memeriksa dahinya, ternyata rasanya sama. Panas, seperti saat seseorang sedang tidak enak badan. “Apa jangan-jangan dia demam, ya?” gumamku dengan memutar bola mata ke atas. Waduh, aku harus bagaimana ini kalau sampai Xeon demam? Kami harus keluar dan pergi dari hutan ini. Kami harus secepatnya mencari dan mendapatkan bantuan. Namun, jika keadaan Xeon sedang sakit begini, aku tidak bisa mengajaknya untuk berlari lagi. Aku melihat Xeon mu
Bab 61 : Masih di siniXeon gantian berkomat kamit tanda dia sedang mengatakan sesuatu. Aku yang tidak mengerti dia berbicara apa hanya ha he ho saja. Bahkan saat dia memberikan sebuah isyarat pun aku masih tidak mengerti juga. Aku terus saja menggelengkan kepala sebagai tanda tak mengerti apa maksudnya. Xeon terlihat gelisah dan frustasi. Tampak sekali dia sedang menahan amarahnya, tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar tidak tahu apa katanya. Akhirnya Xeon geram dan dengan mengesot mendekatiku. Lalu dia membisikkan lagi sebuah rencananya. Lagi-lagi aku menurut. Kami saling membuka ikatan di tangan lagi. Lalu kami sama-sama membuka tali yang mengikat kaki kami. Rasanya sakit, tapi aku harus bisa menahannya. Kini ikatan tali di tubuh kami benar-benar sudah terlepas lagi. Kami pun mulai berjalan ke arah dapur untuk kabur lewat pintu dapur lagi. Kali ini lebih mudah karena pintu sudah terbuka dan bodohnya mereka, mereka lupa menutupnya kembali. “Ayo Lolyta,” ucap Xeon memberi aba-
Bab 60 : DisekapSetelah ikatan di tangan kami terlepas, kami saling membuka kain penutup mata. Dan betapa terkejutnya aku dengan pria yang membantuku membuka ikatan tali. Kami sama-sama melongo beberapa saat. “Xeon!” seruku. “Lolyta!” Dia pun tak kalah berseru juga. Kami sama terkejutnya. Mengapa pula musuh bebuyutanku ada di sini bersamaku? Bisa tidak sih kalau teman sesama korban penculikan di sini itu orang lain selain dia? Pria yang berparas tampan, tapi juga menyebalkan itu memasang wajah aneh. Dari rautnya tersimpan banyak tanya di dalam kepalanya. Mungkin saja dia terpesona dengan kecantikanku kali ini kan? Bisa saja itu terjadi. Ya, aku pasti tidak salah lagi, sebab dia memandangku tidak berkedip sama sekali. Mungkin dia telah terpana dengan kecantikan pari purna di hadapannya ini. “Ngapain kamu mandangin aku kayak gitu? Kamu mau bilang kalau aku ini cantik kan?” tanyaku dan membuatnya langsung tersadar dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Xeon mendengus pelan. “
Bab 59 : DisekapBibirku gemetar, tubuhku lemas, dan hatiku panik. Rasa kaget, cemas dan takut menjadi satu. Aku takut kalau Opa Jhon meninggalkan aku, sedangkan kami belum melakukan ritual malam pertama. Ya, Tuhan, aku mohon selamatkan Opa Jhon. Jangan ambil Opa Jhon dulu sebelum aku memiliki anak darinya. Aku berdoa dalam hati. Aku harus menyusul dan melihat keadaan Opa Jhon di sana. Namun, bagaimana caranya sedangkan aku tidak membawa uang. Sepertinya jalan satu-satunya adalah meminjam pada Intan. “Intan, kamu ada bawa uang lebih gak? Aku boleh pinjem dulu? Soalnya ini keadaannya darurat banget.” “Apanya yang darurat? Emang siapa yang ngehubungi kamu barusan?” tanya Intan. “Saudara aku, Tan. Dia kecelakaan,” sahutku dengan ragu-ragu menyebutkan Opa Jhon adalah seorang saudara. Wajah Intan dan Bagas tampak terkejut. “Boleh ya, Intan, aku pinjem duit kamu dulu buat ongkos taksi. Aku harus pergi sekarang juga,” sambungku lagi. Intan membuka tas dan mengambil dompetnya meski wa
Bab 58 : Telepon Misterius Cucu angkatnya Opa Jhon itu terlihat cuek saja saat melihat aku menyembunyikan dua botol jamu ke belakang punggung. Dia pun berlalu begitu saja seolah tak terjadi apa-apa. Tapi aku yakin, dia pasti sangat mendengar obrolanku dengan Oma Jenny tadi. Aku pun menaiki anak tangga menuju lantai atas. Aku masuk ke dalam kamar untuk menyimpan botol jamu ini lalu kembali keluar kamar dan turun ke bawah. “Bik Maria,” panggilku pada asisten pribadiku itu. Wanita itu mendekat. “Ada apa, Nyonya?” “Kenapa Opa Jhon belum pulang ya, Bik? Ke mana beliau?” tanyaku. “Tuan Jhon sedang pergi bersama asistennya sejak siang tadi, Nyonya,” jawabnya. Aku pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Aku lantas menyuruh wanita paruh baya itu untuk kembali melanjutkan tugas atau aktivitasnya tadi yang sempat terhenti karena aku panggil. Ke mana ya perginya Opa Jhon? Tumben sekali. Ponselku tiba-tiba berdering, ada yang menelepon. Ternyata Intan yang menghubungi. “Hallo, Ntan
Bab 57 : Ancaman OmaAku menunjukkan sikap memancing kepada Opa Jhon, tapi pria tua ini sepertinya tidak tertarik denganku. Dia hanya berdecak pelan saja lalu beralih pada tabletnya. Dia benar-benar hanya cuek saja dan tidak menggubris sama sekali. “Dasar kakek-kakek jutek. Sok jual mahal banget sih,” gerutuku dalam hati. Meski dia terlihat jual mahal, tapi aku akan tetap memintanya menyentuhku hingga aku benar-benar hamil. *** Beberapa bulan telah berlalu, aku duduk di dalam kamar berdua di atas ranjang bersama Opa Jhon. Aku tidak bisa lagi menahannya. Perhatian dan pancinganku selama ini sepertinya tidak berhasil untuk menggoda Opa Jhon. Jadi sebaiknya kuutarakan saja niat aku ini. “Mas, aku mau ngomong sesuatu.” “Ngomong soal apa?” tanyanya. “Aku ingin punya anak dari kamu, Mas, dan mengabulkan keinginan Oma Jenny,” jawabku sambil menatap wajah keriput di depanku ini dengan serius. “Apa kamu serius dengan keinginanmu itu?” Aku mengangguk. “Iya serius, Mas.” “Apa alasannya
Bab 56 : KesambetAku memutuskan untuk izin kuliah selama seminggu. Aku sudah menelepon Pak Juan dan mengatakan sedang menjaga keluarga yang sedang sakit, dan meminta tolong dia menguruskan izinku kepada ketua jurusan. Alhamdulillah, Pak Juan menyanggupi dan semoga saja pertolongannya ini tulus dan tak mengharapkan imbalan. Aku tidak ingin meninggalkan Opa Jhon dan aku menjaganya dengan baik selama 3 hari dirawat di rumah sakit ini. Oma Jenny dan Xeon juga melakukan hal yang sama. Mereka juga menjaga dan merawat Opa Jhon dengan baik. Kami bertiga bekerja sama dalam menunggui Opa Jhon. Dalam beberapa hari ini aku melihat ada perubahan dalam diri Xeon. Lelaki berambut hitam pekat itu berubah menjadi sosok yang peduli. Sangat berbeda dengan Xeon yang biasa aku lihat sehari-hari. Selama 3 hari ini tidak ada Xeon yang arogant, yang ada hanyalah Xeon baik hati dan perhatian. Dia juga terlihat sedikit ramah padaku. Akan tetapi, meski Xeon sudah bersikap baik dan peduli, aku tetap waspada
Bab 55 : Mendoakan SuamiAku tidak tahan lagi di sini. Rasanya ada yang ingin meledak di dalam sini. Bayangan Opa Jhon sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit membuat hatiku pilu. Aku harus melakukan sesuatu. Suara azan magrib sudah berkumandang dari arah Musala terdekat sini. "Oma, saya izin ke Musala dulu ya mau salat magrib," ucapku lirih di dekat telinga Oma Jenny yang sedang menangis. Dia memandangku dan mengangguk seraya menyeka air matanya dengan ujung jarinya. Aku pun menepuk pelan pundaknya dan beranjak dari tempat duduk. Aku melangkah gontai menyusuri koridor rumah sakit menuju Musala yang ada di lingkungan sekitar rumah sakit ini. Sesampainya di Musala, aku langsung menuju ke belakang untuk mengambil air wudu. Usai mengambil wudu, aku masuk ke dalam dan mencari tempat mukena, ternyata ada. Aku mengucapkan syukur dalam hati. Sebab tak jarang di musala-musala itu tak memiliki persediaan mukena. Musala ini tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. Mung