Bab 31 : Dosen Meresahkan“Eh hai Toms, Julio,” sapaku dengan terpaksa karena mereka sudah dekat. Sebenarnya agak risi juga aku menyapa mereka karena takut ada yang rese memotret diriku secara diam-diam lagi. Aku agak ngeri juga dengan 99 isi perjanjian yang telah ku tanda tangani tadi sebelum pergi ke kampus. “Toms, Julio, aku duluan ya. Mau ke kamar kecil dulu soalnya perutku terasa gak enak,” ujarku sembari memasang wajah kesakitan sambil memegang perut. Mendadak mereka panik. “Bawa ke dokter, ya?” “Atau kubelikan obat?” Mereka sangat baik sebenarnya, menawari bantuan padaku. Namun, ini situasinya sudah sangat berbeda. Aku tidak sebebas kemarin lagi. “A-a-a tidak usah. Aku cukup pergi ke toilet saja sudah cukup kok. Aku pergi dulu, ya.” Aku langsung membalikkan badan dan berjalan dengan cepat. Akhirnya aku bisa meninggalkan mereka juga. Dan kini aku harus pura-pura masuk toilet agar aktingku terlihat sempurna. Setelah beberapa saat mendekam dalam kamar mandi, aku pun keluar
Bab 32 : BioskopSetelah sedikit menjauh dari mereka, aku pun menelepon Opa Jhon. Nada sambung telah berbunyi. Agak sedikit lama barulah diangkat oleh sang pemilik nomor di ujung sana. “Halo Mas,” sapaku dengan lembut. “Ya Lolyta?” “Em, begini ... saya mau minta izin ....” Aku bicara tidak langsung mengutarakan tujuanku. Karena aku masih merasa ragu-ragu. “Minta izin apa?” “Hari ini ada teman satu kampus dari sekolah SMA yang sama sedang berulang tahun. Jadi, dia mengajakku untuk pergi nonton karena dia berniat untuk mentraktir teman-temannya.” Aku menjelaskan secara detail pada kakek tua itu agar dia bisa mengerti. “Tidak!” jawabnya ketus. Sudut bibir yang ingin melengkung kini dipaksa harus ditarik kembali. Dengan entengnya dia memberikan jawaban 1 kata saja. Padahal aku sudah jujur apa adanya. “Kenapa?” tanyaku lirih. “Kamu gak ingat dengan aturan di surat perjanjian yang telah kamu tanda tangani?!” tanyanya. “Tapi ini bukan hanya berdua, Mas.” “Lalu?” “Kami bertiga. La
Bab 33 : Uang JajanSetelah Mark dan El histeris, beberapa orang lainnya pun ikutan histeris juga. Aku baru tahu, ternyata mereka ketakutan saat melihat adegan horornya. Huh dasar! Badan doang gede, tapi nyali ciut. Sama film horor aja takut! Lemah. Aku sekarang semakin tahu apa kelemahan mereka berdua. Ternyata Mark dan El sama-sama penakut. Saat ini aku sudah mengantongi kelemahan dua bodyguard itu. Membuat jiwa usilku ini meronta-ronta. Kapan-kapan aku akan menakuti dan mengerjai mereka lagi. Kembali aku fokus menonton film di layar lebar itu sambil cemilin pop corn. Memang ku-akui jalan cerita filmnya keren dan seram. Aku pun sempat kaget beberapa kali saat hantunya muncul dengan tiba-tiba. Namun, lekas aku sadari bahwa itu hanya lah sebuah karya fiksi, aku kembali normal. Waktu pun terus berjalan. Tak terasa kini tayangannya sudah selesai. Semua penonton pada berdesakan untuk keluar dari gedung. Akhirnya kami pun keluar juga dari gedung bioskop. “Kita makan dulu, yuk,” aja
Bab 34 : Ruangan RahasiaTatapan tajam Xeon seolah mengisyaratkan bahwa dia akan membalas perlakuanku ini. Namun, aku tidak peduli akan hal itu. Xeon mendengus kesal. Sambil menahan amarah, dia merampas uang yang di tanganku. Setelah itu dia berbalik dan langsung keluar dari kamar. Batinku sedang menertawainya saat melihat dia seperti itu. Namun, tiba-tiba Opa Jhon beranjak dari tempat tidur dan segera menutup pintu kamar. Lalu dia pun menguncinya juga. Jantungku berdetak tak normal melihat sikap Opa Jhon. Mau apa dia mengunci pintu kamar? Tanpa dia yang mengunci nanti juga aku bisa menguncinya sendiri. Dia membuatku ketar ketir. Mataku rasanya tak berkedip sejak dia mengunci pintu. Dan kini dia menuju ke sebuah lemari. Kemudian dia melambaikan tangannya padaku. “Ayo sini kamu,” panggilnya. Mataku semakin mendelik. Untuk apa dia memanggilku ke situ? Apa dia ingin memasukkan dan mengurungku dalam lemari itu? “Ngapain melamun. Udah sini cepat. Saya mau tunjukkan sesuatu,” katanya
Bab 35 : Dasar Penculik!“Aaaa!” Aku berteriak dengan panik. “Stop! Tolong hentikan saya di sini!” ucapku lagi dengan berteriak. Namun, sopir itu seolah menyetel telinganya agar tidak mendengar teriakanku. Jantungku terus berpacu dengan sangat cepat. Hatiku semakin takut dan cemas. Mendadak pikiran-pikiran buruk menyergap di kepala. Apakah aku sedang diculik? Bagaimana jika aku dibawa ke tempat yang jauh dan asing. Lalu kemudian dibuang ke jurang, atau bahkan aku dijual dan dijadikan wanita yang tidak beres di luar sana?! Ah, tidak! Aku tidak ingin hidupku berakhir seperti itu. Aku tidak mau. Padahal baru beberapa bulan aku merasakan hidup enak, tapi mengapa kini harus seperti ini. Tidak, Tuhan! Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padaku. Tolong aku Tuhan. Aku sangat takut. Pikiran yang macam-macam mulai berkeliaran di otakku. Yang kutakutkan hanya lah jika aku diculik. Aku tidak tahu akan seperti apa kehidupanku ke depannya setelah itu. Mobil masih melaju dengan sangat k
Bab 36 : Salah DugaAku menautkan alis. “Para preman itu selalu mengejar dan memalak saya. Jika saya tak memberikannya, maka mereka tak segan-segan untuk memukuli saya,” ungkapnya dengan lirih. Aku memiringkan kepala sedikit ke samping untuk melihat wajahnya dengan jelas. Dari rautnya dan cara bicaranya, sepertinya pria paruh baya ini memang tidak sedang berbohong. Dia tertunduk lesu. Hatiku luluh. Aku sangat prihatin sekali dengan keadaannya. “Saya hanya takut jika saya menghentikan Neng di depan kampus tadi akan menimbulkan keributan gara-gara saya dan Neng juga pasti dalam keadaan berbahaya. Saya hanya takut kalau Neng jadi ikut sasarannya juga. Itu lah sebabnya saya tak menghentikan mobil di depan kampus Neng dan terus membawa Neng sampai sini. Sekali lagi maaf kan saya Neng,” tambahnya lagi dengan rasa menyesal. Sebenarnya dia memang bukan orang jahat. Dia hanya ingin menyelamatkanku. Mungkin saja jika dia tidak membawaku, dia tidak akan sebrutal itu membawa mobilnya. “Kena
Bab 37 : Bolos KuliahAku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Jam sudah menunjukkan di waktu yang sudah siang, jam kuliah pun sudah selesai. Sepertinya kembali ke kampus pun sudah percuma. Sebaiknya aku pergi ke tempat yang lain saja untuk menyenangkan diri. “Antar saya ke kafe, ya. Sebab jam kuliah juga sudah bubar hari gini,” kataku lirih pada Mark yang sedang nyetir. Mark melirikku dari kaca spion. “Nanti saya akan dimarah oleh Tuan Jhon, Nyonya. Saya tidak berani,” bantah Mark. Dia ini selalu saja membantah apa yang aku katakan. Menyebalkan! “Saya lapar. Apa kamu mau lihat saya mati kelaparan di sini?” sungutku kesal. Mark berdesis dengan lirih. Sementara El hanya terkikik pelan. “Baik lah, Nyonya.” Setelah kejadian tadi yang mengguncang tubuhku ke sana-kemari dan memacu adrenalin membuat perut ini menjadi keroncongan. Ingin sekali aku makan enak dan minum yang segar-segar untuk mengembalikan suasana hatiku. Setelah beberapa menit, mobil pun berhenti di sa
Bab 38 : Chat Pak JuanAku masih berpura-pura mengelus perut. Tak lama terdengar suara bisik-bisik dari depan. “Mulai besok aku gak mau lagi kalau disuruh makan di kafe gitu sama istri bos.” “Aku juga. Aku gak mau kalau ditawarin makanan tapi ujung-ujungnya kita juga yang harus bayar.” “Oke kalau gitu kita sepakat ya jangan tergoda lagi kalau diajak makan di kafe atau restoran kayak gitu sama nyonya besar. Akhirnya kita juga yang ngeluarin duit.” Mark dan El sedang berbisik, tapi suara mereka lumayan keras sehingga aku bisa mendengarnya dengan jelas. Aku hanya melirik sekilas saja setelah itu aku memalingkan wajah dan cekikan pelan saja karena berhasil mengerjai mereka lagi. Setelah beberapa menit mereka hening, aku pun berkata, “antarkan saja saya pulang ke rumah. Sebab ini sudah siang.” “Baik Nyonya.” Mobil pun terus melaju dengan kecepatan sedang. Kami melewati kampusku dan aku tidak ada melihat orang yang kukenal berada di depan kampus. Sepanjang jalan mata hanya disuguhi o
Bab 63 : Selamat“Lolyta, ayo. Kita gak punya waktu banyak.” Xeon masih terus memaksaku. Bukannya aku tidak mau beranjak dari tempat ini. Namun, aku takut di pertengahan jalan nanti dia malah pingsan atau malah bisa kenapa-kenapa. Sungguh, pasti aku akan semakin panik kalau sampai itu terjadi. “Tapi keadaanmu sekarang lagi demam, Xeon.” “Sudahlah, aku sudah tidak apa-apa. Kamu lihat kan, aku baik-baik saja sekarang. Ayo!” imbuh Xeon dengan sedikit memaksa. Aku tahu itu. Tanpa aba-aba, Xeon pun langsung menggandeng tanganku. Mungkin saja dia tidak sabar menunggu jawaban setuju dariku lagi. Akan tetapi ... tunggu dulu, apa ini? Xeon menggandeng tanganku? Apa-apaan dia ini? Kenapa tanganku mesti harus digandeng segala sih sama dia? Ingin sekali rasanya kutepis tangan Xeon. Sebab ini seperti mencari kesempatan dalam kesempitan. Akan tetapi, akal sehatku menyuruh untuk selalu berpikiran yang positif saja. Karena dia masih dalam kondisi sedang demam. Jadi anggap saja bahwa Xeon itu ta
Bab 62 : Dia DemamDengan terpaksa aku membuka mata karena merasa silau dengan sinar matahari, yang menyelusup dari celah-celah pohon mengenai tepat ke arah mataku. Untuk beberapa saat, nyawaku separuh masih melayang belum terkumpul semua. Kulihat Xeon sudah meringkuk di atas pangkuanku. Kurang ajar sekali dia, berani-beraninya, lancang sekali dia tidur di pangkuan. Dia gunain kesempatan ini rupanya, ya! Lihat saja kamu, ya. Hati ini amat dongkol melihat tingkahnya.Aku hendak membangunkannya, tetapi saat menyentuh tubuhnya, terasa amat panas. Aku memeriksa dahinya, ternyata rasanya sama. Panas, seperti saat seseorang sedang tidak enak badan. “Apa jangan-jangan dia demam, ya?” gumamku dengan memutar bola mata ke atas. Waduh, aku harus bagaimana ini kalau sampai Xeon demam? Kami harus keluar dan pergi dari hutan ini. Kami harus secepatnya mencari dan mendapatkan bantuan. Namun, jika keadaan Xeon sedang sakit begini, aku tidak bisa mengajaknya untuk berlari lagi. Aku melihat Xeon mu
Bab 61 : Masih di siniXeon gantian berkomat kamit tanda dia sedang mengatakan sesuatu. Aku yang tidak mengerti dia berbicara apa hanya ha he ho saja. Bahkan saat dia memberikan sebuah isyarat pun aku masih tidak mengerti juga. Aku terus saja menggelengkan kepala sebagai tanda tak mengerti apa maksudnya. Xeon terlihat gelisah dan frustasi. Tampak sekali dia sedang menahan amarahnya, tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar tidak tahu apa katanya. Akhirnya Xeon geram dan dengan mengesot mendekatiku. Lalu dia membisikkan lagi sebuah rencananya. Lagi-lagi aku menurut. Kami saling membuka ikatan di tangan lagi. Lalu kami sama-sama membuka tali yang mengikat kaki kami. Rasanya sakit, tapi aku harus bisa menahannya. Kini ikatan tali di tubuh kami benar-benar sudah terlepas lagi. Kami pun mulai berjalan ke arah dapur untuk kabur lewat pintu dapur lagi. Kali ini lebih mudah karena pintu sudah terbuka dan bodohnya mereka, mereka lupa menutupnya kembali. “Ayo Lolyta,” ucap Xeon memberi aba-
Bab 60 : DisekapSetelah ikatan di tangan kami terlepas, kami saling membuka kain penutup mata. Dan betapa terkejutnya aku dengan pria yang membantuku membuka ikatan tali. Kami sama-sama melongo beberapa saat. “Xeon!” seruku. “Lolyta!” Dia pun tak kalah berseru juga. Kami sama terkejutnya. Mengapa pula musuh bebuyutanku ada di sini bersamaku? Bisa tidak sih kalau teman sesama korban penculikan di sini itu orang lain selain dia? Pria yang berparas tampan, tapi juga menyebalkan itu memasang wajah aneh. Dari rautnya tersimpan banyak tanya di dalam kepalanya. Mungkin saja dia terpesona dengan kecantikanku kali ini kan? Bisa saja itu terjadi. Ya, aku pasti tidak salah lagi, sebab dia memandangku tidak berkedip sama sekali. Mungkin dia telah terpana dengan kecantikan pari purna di hadapannya ini. “Ngapain kamu mandangin aku kayak gitu? Kamu mau bilang kalau aku ini cantik kan?” tanyaku dan membuatnya langsung tersadar dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Xeon mendengus pelan. “
Bab 59 : DisekapBibirku gemetar, tubuhku lemas, dan hatiku panik. Rasa kaget, cemas dan takut menjadi satu. Aku takut kalau Opa Jhon meninggalkan aku, sedangkan kami belum melakukan ritual malam pertama. Ya, Tuhan, aku mohon selamatkan Opa Jhon. Jangan ambil Opa Jhon dulu sebelum aku memiliki anak darinya. Aku berdoa dalam hati. Aku harus menyusul dan melihat keadaan Opa Jhon di sana. Namun, bagaimana caranya sedangkan aku tidak membawa uang. Sepertinya jalan satu-satunya adalah meminjam pada Intan. “Intan, kamu ada bawa uang lebih gak? Aku boleh pinjem dulu? Soalnya ini keadaannya darurat banget.” “Apanya yang darurat? Emang siapa yang ngehubungi kamu barusan?” tanya Intan. “Saudara aku, Tan. Dia kecelakaan,” sahutku dengan ragu-ragu menyebutkan Opa Jhon adalah seorang saudara. Wajah Intan dan Bagas tampak terkejut. “Boleh ya, Intan, aku pinjem duit kamu dulu buat ongkos taksi. Aku harus pergi sekarang juga,” sambungku lagi. Intan membuka tas dan mengambil dompetnya meski wa
Bab 58 : Telepon Misterius Cucu angkatnya Opa Jhon itu terlihat cuek saja saat melihat aku menyembunyikan dua botol jamu ke belakang punggung. Dia pun berlalu begitu saja seolah tak terjadi apa-apa. Tapi aku yakin, dia pasti sangat mendengar obrolanku dengan Oma Jenny tadi. Aku pun menaiki anak tangga menuju lantai atas. Aku masuk ke dalam kamar untuk menyimpan botol jamu ini lalu kembali keluar kamar dan turun ke bawah. “Bik Maria,” panggilku pada asisten pribadiku itu. Wanita itu mendekat. “Ada apa, Nyonya?” “Kenapa Opa Jhon belum pulang ya, Bik? Ke mana beliau?” tanyaku. “Tuan Jhon sedang pergi bersama asistennya sejak siang tadi, Nyonya,” jawabnya. Aku pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Aku lantas menyuruh wanita paruh baya itu untuk kembali melanjutkan tugas atau aktivitasnya tadi yang sempat terhenti karena aku panggil. Ke mana ya perginya Opa Jhon? Tumben sekali. Ponselku tiba-tiba berdering, ada yang menelepon. Ternyata Intan yang menghubungi. “Hallo, Ntan
Bab 57 : Ancaman OmaAku menunjukkan sikap memancing kepada Opa Jhon, tapi pria tua ini sepertinya tidak tertarik denganku. Dia hanya berdecak pelan saja lalu beralih pada tabletnya. Dia benar-benar hanya cuek saja dan tidak menggubris sama sekali. “Dasar kakek-kakek jutek. Sok jual mahal banget sih,” gerutuku dalam hati. Meski dia terlihat jual mahal, tapi aku akan tetap memintanya menyentuhku hingga aku benar-benar hamil. *** Beberapa bulan telah berlalu, aku duduk di dalam kamar berdua di atas ranjang bersama Opa Jhon. Aku tidak bisa lagi menahannya. Perhatian dan pancinganku selama ini sepertinya tidak berhasil untuk menggoda Opa Jhon. Jadi sebaiknya kuutarakan saja niat aku ini. “Mas, aku mau ngomong sesuatu.” “Ngomong soal apa?” tanyanya. “Aku ingin punya anak dari kamu, Mas, dan mengabulkan keinginan Oma Jenny,” jawabku sambil menatap wajah keriput di depanku ini dengan serius. “Apa kamu serius dengan keinginanmu itu?” Aku mengangguk. “Iya serius, Mas.” “Apa alasannya
Bab 56 : KesambetAku memutuskan untuk izin kuliah selama seminggu. Aku sudah menelepon Pak Juan dan mengatakan sedang menjaga keluarga yang sedang sakit, dan meminta tolong dia menguruskan izinku kepada ketua jurusan. Alhamdulillah, Pak Juan menyanggupi dan semoga saja pertolongannya ini tulus dan tak mengharapkan imbalan. Aku tidak ingin meninggalkan Opa Jhon dan aku menjaganya dengan baik selama 3 hari dirawat di rumah sakit ini. Oma Jenny dan Xeon juga melakukan hal yang sama. Mereka juga menjaga dan merawat Opa Jhon dengan baik. Kami bertiga bekerja sama dalam menunggui Opa Jhon. Dalam beberapa hari ini aku melihat ada perubahan dalam diri Xeon. Lelaki berambut hitam pekat itu berubah menjadi sosok yang peduli. Sangat berbeda dengan Xeon yang biasa aku lihat sehari-hari. Selama 3 hari ini tidak ada Xeon yang arogant, yang ada hanyalah Xeon baik hati dan perhatian. Dia juga terlihat sedikit ramah padaku. Akan tetapi, meski Xeon sudah bersikap baik dan peduli, aku tetap waspada
Bab 55 : Mendoakan SuamiAku tidak tahan lagi di sini. Rasanya ada yang ingin meledak di dalam sini. Bayangan Opa Jhon sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit membuat hatiku pilu. Aku harus melakukan sesuatu. Suara azan magrib sudah berkumandang dari arah Musala terdekat sini. "Oma, saya izin ke Musala dulu ya mau salat magrib," ucapku lirih di dekat telinga Oma Jenny yang sedang menangis. Dia memandangku dan mengangguk seraya menyeka air matanya dengan ujung jarinya. Aku pun menepuk pelan pundaknya dan beranjak dari tempat duduk. Aku melangkah gontai menyusuri koridor rumah sakit menuju Musala yang ada di lingkungan sekitar rumah sakit ini. Sesampainya di Musala, aku langsung menuju ke belakang untuk mengambil air wudu. Usai mengambil wudu, aku masuk ke dalam dan mencari tempat mukena, ternyata ada. Aku mengucapkan syukur dalam hati. Sebab tak jarang di musala-musala itu tak memiliki persediaan mukena. Musala ini tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. Mung