Bab 36 : Salah DugaAku menautkan alis. “Para preman itu selalu mengejar dan memalak saya. Jika saya tak memberikannya, maka mereka tak segan-segan untuk memukuli saya,” ungkapnya dengan lirih. Aku memiringkan kepala sedikit ke samping untuk melihat wajahnya dengan jelas. Dari rautnya dan cara bicaranya, sepertinya pria paruh baya ini memang tidak sedang berbohong. Dia tertunduk lesu. Hatiku luluh. Aku sangat prihatin sekali dengan keadaannya. “Saya hanya takut jika saya menghentikan Neng di depan kampus tadi akan menimbulkan keributan gara-gara saya dan Neng juga pasti dalam keadaan berbahaya. Saya hanya takut kalau Neng jadi ikut sasarannya juga. Itu lah sebabnya saya tak menghentikan mobil di depan kampus Neng dan terus membawa Neng sampai sini. Sekali lagi maaf kan saya Neng,” tambahnya lagi dengan rasa menyesal. Sebenarnya dia memang bukan orang jahat. Dia hanya ingin menyelamatkanku. Mungkin saja jika dia tidak membawaku, dia tidak akan sebrutal itu membawa mobilnya. “Kena
Bab 37 : Bolos KuliahAku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Jam sudah menunjukkan di waktu yang sudah siang, jam kuliah pun sudah selesai. Sepertinya kembali ke kampus pun sudah percuma. Sebaiknya aku pergi ke tempat yang lain saja untuk menyenangkan diri. “Antar saya ke kafe, ya. Sebab jam kuliah juga sudah bubar hari gini,” kataku lirih pada Mark yang sedang nyetir. Mark melirikku dari kaca spion. “Nanti saya akan dimarah oleh Tuan Jhon, Nyonya. Saya tidak berani,” bantah Mark. Dia ini selalu saja membantah apa yang aku katakan. Menyebalkan! “Saya lapar. Apa kamu mau lihat saya mati kelaparan di sini?” sungutku kesal. Mark berdesis dengan lirih. Sementara El hanya terkikik pelan. “Baik lah, Nyonya.” Setelah kejadian tadi yang mengguncang tubuhku ke sana-kemari dan memacu adrenalin membuat perut ini menjadi keroncongan. Ingin sekali aku makan enak dan minum yang segar-segar untuk mengembalikan suasana hatiku. Setelah beberapa menit, mobil pun berhenti di sa
Bab 38 : Chat Pak JuanAku masih berpura-pura mengelus perut. Tak lama terdengar suara bisik-bisik dari depan. “Mulai besok aku gak mau lagi kalau disuruh makan di kafe gitu sama istri bos.” “Aku juga. Aku gak mau kalau ditawarin makanan tapi ujung-ujungnya kita juga yang harus bayar.” “Oke kalau gitu kita sepakat ya jangan tergoda lagi kalau diajak makan di kafe atau restoran kayak gitu sama nyonya besar. Akhirnya kita juga yang ngeluarin duit.” Mark dan El sedang berbisik, tapi suara mereka lumayan keras sehingga aku bisa mendengarnya dengan jelas. Aku hanya melirik sekilas saja setelah itu aku memalingkan wajah dan cekikan pelan saja karena berhasil mengerjai mereka lagi. Setelah beberapa menit mereka hening, aku pun berkata, “antarkan saja saya pulang ke rumah. Sebab ini sudah siang.” “Baik Nyonya.” Mobil pun terus melaju dengan kecepatan sedang. Kami melewati kampusku dan aku tidak ada melihat orang yang kukenal berada di depan kampus. Sepanjang jalan mata hanya disuguhi o
Bab 39 : Baku HantamAku memandangi wajah mereka satu persatu. Mulai dari Xeon, Exel, Angel dan Morgan. Mereka menatapku dengan sengit. Sangat tidak ramah! “Ada apa? Mau apa kalian ke sini?” tanyaku langsung. “Bagus. Nah gitu dong langsung nanya ke intinya. Jadi kan gak bertele-tele. Kami ke sini mau minta uang!” sela Angel sembari menadahkan tangannya. Aku mengerutkan dahi. Apa kah mereka sudah tahu bahwa sekarang aku yang memegang keuangan di rumah ini? Pasti Xeon yang sudah memberitahukan mereka. “Aku juga minta uang jatahku hari ini,” todong Xeon. Aku melemparkan senyum manis dulu pada mereka sebelum menjawabnya. “Oh kamu minta uang jatahmu ya?” tanyaku ke Xeon dengan sudut bibir masih tersungging. Pria itu hanya bergumam saja. Aku tetap fokus menatap Xeon dan seolah-olah aku tidak mendengar permintaan Angel yang tadi. Juga tidak melihat siapa pun di sini. “Tunggu sebentar ya,” lanjutku lagi. Aku pun menutup pintu kamar kembali dan mengambil uang cash yang memang dikhusu
Bab 40 : KorbanAku masuk ke dalam kamar dan berpura-pura menangis. Aku melanjutkan akting seolah diri ini paling terluka seantero. Padahal sebenarnya aku sangat puas karena perkelahian tadi sama-sama saling pukul. Hanya saja, aku akan terus bersedih di depan Opa Jhon. Aku terus menangis dan mengaduh sambil mengelus wajah yang memang terasa sakit. Aku terus menangis sedih, walau pun tangisanku hanya modus belaka. Aku terus memeras air mata dan menguatkan suara. “Maria! Maria! Sini kamu?” Opa Jhon memanggil asisten pribadi khususku. Tak lama kemudian, Bibik Maria pun datang. Aku bisa tahu karena mendengar suaranya. Aku pun sengaja memelankan suara agar bisa dengan jelas mendengar percakapan mereka. “Ada apa Tuan?” “Ke mana saja kamu? Mengapa tidak mendampingi Lolyta di saat Angel menghajarnya? Apa kamu lupa dengan tugasmu ha?” Kedengarannya Opa Jhon sedang memarahi Bibik Maria. Namun, setelah beberapa detik, masih belum kudengar jawaban yang keluar dari mulut wanita paruh baya it
Bab 41 : Babak Belur Pagi harinya aku dan Opa Jhon sarapan bersama. Tidak ada percakapan khusus di antara kami. Hanya dentingan sendok beradu pada piring yang terdengar. Usai sarapan, aku beranjak dari kursi dan menaiki anak tangga menuju kamar. Kuambil tas yang berada di atas meja rias. Kusempatkan diri sebentar untuk bercermin dan merapikan penampilan. “Sudah rapi, sudah wangi. Sekarang apa lagi yang masih kurang?” Aku bertanya pada diri sendiri. Aku melihat pergelangan tangan, ternyata jam tangan belum terpakai. Setelah memakai jam, aku kembali melihat cermin. Wajahku sangat menyedihkan. Ah, tapi aku harus tetap berangkat ke kampus meski dengan keadaan muka babak belur akibat berkelahi dengan Angel kemarin. Sesampainya di bawah, kutemui Opa Jhon di ruang tengah. “Mas, aku berangkat dulu, ya,” pamitku. “Kamu tetap berangkat ke kampus?” Aku mengangguk. Opa Jhon menghela napasnya. “Ya sudah, hati-hati Lolyta.” Aku pun bergegas keluar rumah. Di halaman, Mark dan El suda
Bab 42 : Ancaman ExelAduh mengapa pula dosen tampan ini tiba-tiba ngajak pergi makan keluar. Hatiku memang menginginkannya, tapi logika kembali sadar bahwa aku telah menikah dengan seseorang. Jadi aku harus tetap setia apa pun keadaannya dan bagaimana pun wujudnya. “Saya lagi sakit perut, Pak. Jadi mohon maaf banget tidak bisa untuk memenuhi makan di luar bersama Bapak.” Aku pun berpura-pura memegang perut agar alasanku tampak nyata. Raut Pak Juan pun berubah dan dia menatapku dengan tatapan yang ... entah. Aku sendiri tidak bisa mengartikan tatapannya. “Oh ya sudah kalau begitu,” katanya. “Maaf, ya, Pak. Kalau gitu saya pamit kembali ke kelas ya Pak.” Pak Juan mengangguk. Aku pun segera berdiri dan keluar dari ruangannya. Kututup kembali pintunya dan langsung berlari pergi dari situ. Aku terus berlari menyusuri koridor dengan mata sesekali melihat ke belakang dan tiba-tiba .... Bruk! Aku menabrak seseorang. Kami sama-sama terjatuh ke lantai. Aku meringis karena merasakan ada
Bab 43 : Ghibahin OpaAku mendesah pelan sebelum menjawab. “Baik lah, Mas Sayang jika memang begitu. Aku tutup dulu teleponnya ya. Aku mau lanjut jalan dulu nih. Assalamualaikum,” ucapku manja sambil mengecup ponsel sebelum memutuskan panggilan. Terdengar Opa Jhon sedang mencebik di ujung telepon lalu menjawab salam dan segera dimatikan sambungan telepon kami. Aku pun tertawa dalam hati. “Mark, El,” panggilku. El menoleh sedangkan Mark yang sedang mengemudi hanya melirik dari kaca spion saja. “Kita pergi makan di restoran, yuk,” ajakku dengan semringah. Mark dan El tidak langsung menjawab atau menunjukkan ketertarikan. Mereka malah pasang tampang tidak enak. “Kalian kenapa?” tegurku kemudian. “Kami tidak ikut, Nyonya.” “Ya benar, kami akan menunggu di mobil saja. Nyonya saja yang makan di restoran. Kami tidak ikut.” Mark dan El menolak ajakanku. “Loh kenapa kalian tidak mau? Saya ajak makan enak loh.” “Kami sudah kapok, Nyonya,” sahut El. “Kami tidak ingin kejadian tempo h