Bab 29 : 99 AturanAku dan Opa Jhon sudah berada di dalam kamar. Jantungku terus berdebar kencang. Kira-kira ada apa ya? Mengapa mendadak Opa Jhon mengajakku ke kamar bersama? Ah, kepalaku sudah penuh oleh ribuan tanya. Tiba-tiba Opa Jhon menyodorkan secarik kertas. Aku menautkan alis dan mengerutkan dahi. Apa maksudnya? Kuambil kertas itu dari tangannya. Kubaca isi tulisannya. Mataku terbelalak lebar kalau mengetahui itu surat apa. Ternyata itu adalah 99 aturan wajib saat bekerja menjadi istri Opa Jhon. Kubaca satu persatu isinya. Kepalaku mulai terasa kliyengan saat membacanya. Semuanya tertulis dalam aturan itu, sampai-sampai jam bangun pagi, jam sarapan, dan jam tidur malam pun tertera di sana. Oh my God. Yang benar saja ini. Aku terus membacanya sampai ke bawah. Sampai di nomor sekian, aku dibuat tercengang oleh Opa Jhon. Ternyata ada juga aturan tentang dilarang mempunyai teman dan berteman dengan lawan jenis, dilarang ngobrol dan dilarang juga untuk chatingan dengan laki-l
Bab 30 : Kunci BrangkasWajahku masih kebingungan saat menerima kunci yang diberikan Opa Jhon kepadaku di depan Xeon. “Itu adalah kunci brankas,” sahut Opa Jhon. Setelah mengucapkan itu, dia pun juga memberikan 10 buah kartu kredit padaku. “Saya ingin mulai sekarang kamu yang menyimpan semuanya,” ujarnya lagi. Mulutku menganga, mataku terbelalak lebar melihat semua perlakuannya dan mendengar ucapannya barusan. Ada apa ini? Mengapa kakek tua ini mendadak memberikan kepercayaan yang berat ini padaku? Terlebih lagi saat di depan Xeon. Ah, mungkin saja Opa Jhon sedang kesurupan saat ini hingga dia memperlakukan ku seperti ini. Tapi, apa pun itu yang jelas sekarang aku sangat senang. Apalagi saat melihat ekspresi shock si cucu kesayangan Opa Jhon itu. Aku merasa puas dan menang dari dirinya. “Xeon, mulai sekarang kalau kamu butuh uang, minta saja pada Oma Lolyta ya. Karena mulai detik ini semua keuangan dipegang dan dikendalikan olehnya,” kata Opa Jhon pada cucu kesayangannya itu. “
Bab 31 : Dosen Meresahkan“Eh hai Toms, Julio,” sapaku dengan terpaksa karena mereka sudah dekat. Sebenarnya agak risi juga aku menyapa mereka karena takut ada yang rese memotret diriku secara diam-diam lagi. Aku agak ngeri juga dengan 99 isi perjanjian yang telah ku tanda tangani tadi sebelum pergi ke kampus. “Toms, Julio, aku duluan ya. Mau ke kamar kecil dulu soalnya perutku terasa gak enak,” ujarku sembari memasang wajah kesakitan sambil memegang perut. Mendadak mereka panik. “Bawa ke dokter, ya?” “Atau kubelikan obat?” Mereka sangat baik sebenarnya, menawari bantuan padaku. Namun, ini situasinya sudah sangat berbeda. Aku tidak sebebas kemarin lagi. “A-a-a tidak usah. Aku cukup pergi ke toilet saja sudah cukup kok. Aku pergi dulu, ya.” Aku langsung membalikkan badan dan berjalan dengan cepat. Akhirnya aku bisa meninggalkan mereka juga. Dan kini aku harus pura-pura masuk toilet agar aktingku terlihat sempurna. Setelah beberapa saat mendekam dalam kamar mandi, aku pun keluar
Bab 32 : BioskopSetelah sedikit menjauh dari mereka, aku pun menelepon Opa Jhon. Nada sambung telah berbunyi. Agak sedikit lama barulah diangkat oleh sang pemilik nomor di ujung sana. “Halo Mas,” sapaku dengan lembut. “Ya Lolyta?” “Em, begini ... saya mau minta izin ....” Aku bicara tidak langsung mengutarakan tujuanku. Karena aku masih merasa ragu-ragu. “Minta izin apa?” “Hari ini ada teman satu kampus dari sekolah SMA yang sama sedang berulang tahun. Jadi, dia mengajakku untuk pergi nonton karena dia berniat untuk mentraktir teman-temannya.” Aku menjelaskan secara detail pada kakek tua itu agar dia bisa mengerti. “Tidak!” jawabnya ketus. Sudut bibir yang ingin melengkung kini dipaksa harus ditarik kembali. Dengan entengnya dia memberikan jawaban 1 kata saja. Padahal aku sudah jujur apa adanya. “Kenapa?” tanyaku lirih. “Kamu gak ingat dengan aturan di surat perjanjian yang telah kamu tanda tangani?!” tanyanya. “Tapi ini bukan hanya berdua, Mas.” “Lalu?” “Kami bertiga. La
Bab 33 : Uang JajanSetelah Mark dan El histeris, beberapa orang lainnya pun ikutan histeris juga. Aku baru tahu, ternyata mereka ketakutan saat melihat adegan horornya. Huh dasar! Badan doang gede, tapi nyali ciut. Sama film horor aja takut! Lemah. Aku sekarang semakin tahu apa kelemahan mereka berdua. Ternyata Mark dan El sama-sama penakut. Saat ini aku sudah mengantongi kelemahan dua bodyguard itu. Membuat jiwa usilku ini meronta-ronta. Kapan-kapan aku akan menakuti dan mengerjai mereka lagi. Kembali aku fokus menonton film di layar lebar itu sambil cemilin pop corn. Memang ku-akui jalan cerita filmnya keren dan seram. Aku pun sempat kaget beberapa kali saat hantunya muncul dengan tiba-tiba. Namun, lekas aku sadari bahwa itu hanya lah sebuah karya fiksi, aku kembali normal. Waktu pun terus berjalan. Tak terasa kini tayangannya sudah selesai. Semua penonton pada berdesakan untuk keluar dari gedung. Akhirnya kami pun keluar juga dari gedung bioskop. “Kita makan dulu, yuk,” aja
Bab 34 : Ruangan RahasiaTatapan tajam Xeon seolah mengisyaratkan bahwa dia akan membalas perlakuanku ini. Namun, aku tidak peduli akan hal itu. Xeon mendengus kesal. Sambil menahan amarah, dia merampas uang yang di tanganku. Setelah itu dia berbalik dan langsung keluar dari kamar. Batinku sedang menertawainya saat melihat dia seperti itu. Namun, tiba-tiba Opa Jhon beranjak dari tempat tidur dan segera menutup pintu kamar. Lalu dia pun menguncinya juga. Jantungku berdetak tak normal melihat sikap Opa Jhon. Mau apa dia mengunci pintu kamar? Tanpa dia yang mengunci nanti juga aku bisa menguncinya sendiri. Dia membuatku ketar ketir. Mataku rasanya tak berkedip sejak dia mengunci pintu. Dan kini dia menuju ke sebuah lemari. Kemudian dia melambaikan tangannya padaku. “Ayo sini kamu,” panggilnya. Mataku semakin mendelik. Untuk apa dia memanggilku ke situ? Apa dia ingin memasukkan dan mengurungku dalam lemari itu? “Ngapain melamun. Udah sini cepat. Saya mau tunjukkan sesuatu,” katanya
Bab 35 : Dasar Penculik!“Aaaa!” Aku berteriak dengan panik. “Stop! Tolong hentikan saya di sini!” ucapku lagi dengan berteriak. Namun, sopir itu seolah menyetel telinganya agar tidak mendengar teriakanku. Jantungku terus berpacu dengan sangat cepat. Hatiku semakin takut dan cemas. Mendadak pikiran-pikiran buruk menyergap di kepala. Apakah aku sedang diculik? Bagaimana jika aku dibawa ke tempat yang jauh dan asing. Lalu kemudian dibuang ke jurang, atau bahkan aku dijual dan dijadikan wanita yang tidak beres di luar sana?! Ah, tidak! Aku tidak ingin hidupku berakhir seperti itu. Aku tidak mau. Padahal baru beberapa bulan aku merasakan hidup enak, tapi mengapa kini harus seperti ini. Tidak, Tuhan! Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padaku. Tolong aku Tuhan. Aku sangat takut. Pikiran yang macam-macam mulai berkeliaran di otakku. Yang kutakutkan hanya lah jika aku diculik. Aku tidak tahu akan seperti apa kehidupanku ke depannya setelah itu. Mobil masih melaju dengan sangat k
Bab 36 : Salah DugaAku menautkan alis. “Para preman itu selalu mengejar dan memalak saya. Jika saya tak memberikannya, maka mereka tak segan-segan untuk memukuli saya,” ungkapnya dengan lirih. Aku memiringkan kepala sedikit ke samping untuk melihat wajahnya dengan jelas. Dari rautnya dan cara bicaranya, sepertinya pria paruh baya ini memang tidak sedang berbohong. Dia tertunduk lesu. Hatiku luluh. Aku sangat prihatin sekali dengan keadaannya. “Saya hanya takut jika saya menghentikan Neng di depan kampus tadi akan menimbulkan keributan gara-gara saya dan Neng juga pasti dalam keadaan berbahaya. Saya hanya takut kalau Neng jadi ikut sasarannya juga. Itu lah sebabnya saya tak menghentikan mobil di depan kampus Neng dan terus membawa Neng sampai sini. Sekali lagi maaf kan saya Neng,” tambahnya lagi dengan rasa menyesal. Sebenarnya dia memang bukan orang jahat. Dia hanya ingin menyelamatkanku. Mungkin saja jika dia tidak membawaku, dia tidak akan sebrutal itu membawa mobilnya. “Kena