Malam Pertama dengan Kakek TuaBab 25 : Toms dan Julio“Namaku Toms.” “Aku Julio.” Begitulah mereka memperkenalkan diri masing-masing setelah menanyakan namaku. Jika dilihat-lihat wajah kedua pria ini cukup tampan. Tidak salah jika aku harus beramah-tamah pada mereka. Posturnya juga tinggi ideal, yang satunya agak-agak mirip bule, mungkin blasteran. Kalau yang satunya, hitam manis yang senyumnya bikin meleleh hati. “Mau ke kantin gak? Biar kita bisa ngobrol lebih lanjut,” tawar pria yang bernama Julio ini, dia ini yang agak kebule-bulean. Aku memiringkan kepala sedikit seolah sedang berpikir. “Boleh,” jawabku kemudian. Kami bertiga pun keluar dari ruangan. Aku tidak memedulikan tatapan teman-teman sekelas yang lain. Sesampainya di kantin, Julio dan Toms duduk di depanku. “Kamu mau pesan apa Lolyta?” tanya Toms dengan sangat lembut, dia pria hitam manis yang senyumnya semanis gulali gula aren, eh!Aduh, meleleh hati Dedek, Bang. Uhukkk “Mungkin es capucino saja biar gak ngantu
Malam Pertama dengan Kakek TuaBab 26 : PaparaziSaat sudah dekat dengan sepasang sahabatku ini, kuperhatikan wajahnya Bagas, dia tampak sangat kesal. Lalu saat aku semakin mendekat, Bagas malah pergi seperti menghindari. Ada apa? Kini tinggallah aku dan Intan saja di sini. Karena Bagas langsung menghindar dan tampaknya tak mau mengobrol denganku. “Dia kenapa?” tanyaku pada Intan menunjuk Bagas. “Dia itu cemburu sama kamu. Apa kamu lupa kejadian yang kemarin?” Aku hanya tertawa kecil saja menyikapi sikap Bagas yang posesif tidak pada tempatnya begitu. Sebisa mungkin aku tetap mengontrol diri agar selalu kelihatan anggun. “Ah biarin ajalah dia itu. Oh iya ngomong-ngomong kamu udah punya teman baru belum di kelasmu?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. “Ada sih teman, tapi ya ... hanya sekadar teman-teman begitu saja. Maklumlah namanya juga masih mulai beradaptasi. Untuk saat ini aku masih nyaman sama kalian, kamu dan Bagas. Entah kalau besok, mungkin udah mulai dekat dengan teman-t
Bab 27 : Siapa?Setelah napas kembali normal, aku kembali menebar pesona pada teman-teman pria yang ada di dekat mejaku sambil membenarkan posisi poni. Terlihat sekali mereka pada terpikat oleh senyum menawanku. Penampilanku benar-benar memukau kan? Iya jelas dong, buktinya beberapa pria tampan mencoba mendekatiku. Aku pun mencoba mengibaskan rambut pendekku ini agar terlihat seksi. Setelah itu, pria yang tersenyum padaku tadi mengerlingkan sebelah matanya. Aw. Berhasil. Tak lama kemudian, dosen pembimbing kami masuk. Materi pun dimulai. Aku diam mendengarkan, mencoba untuk menyimak dengan konsentrasi yang tinggi. Namun, tetap saja aku tidak bisa sefokus itu. Tanpa kusadari, ternyata mata kuliah sudah berakhir. Dosen itu pun melenggang keluar dari kelas. Seketika dalam ruangan pun riuh karena semuanya sibuk keluar dari ruangan untuk pulang. Aku memilih untuk keluar paling terakhir saja agar tetap terlihat anggun. Aku pun berjalan dengan gontai menyusuri koridor menuju halaman kamp
Bab 28 : Mengerjai MerekaAsem! Mengapa mereka punya pengingat yang baik? Bahkan masih ingat dengan kejadian pembalut tempo hari. Argghhh! Sekarang aku harus apa dan bagaimana? Aku sangat geram dan kesal sekali pada dua orang pria ini jadi langsung saja aku menjambak rambut gondrong milik El agar terlihat kalau aku benar-benar kesal. “Aduh, aduh ampun Nyonya,” kata El sambil memegangi kepalanya. Aku melirik ke Mark dengan tatapan tajam, seolah memberi isyarat bahwa jika mobil belum berhenti di depan penjual es, maka tak akan aku lepaskan pula rambutnya Mark. Pria dengan kepalanya botak itu memandangku dengan ngeri sambil memegangi kepalanya sendiri. Mungkin dia sedang bersyukur karena kepalanya tidak ditumbuhi rambut. “Masih tak mau berhenti juga?” tanyaku pada Mark. Mark terlihat sangat gugup. Bimbang antara menuruti permintaanku atau tetap mematuhi perintah Opa Jhon. “Mark, turuti saja perintah Nyonya, apa gak kasihan kamu lihat saya seperti ini?” rintih El pada temannya. Ak
Bab 29 : 99 AturanAku dan Opa Jhon sudah berada di dalam kamar. Jantungku terus berdebar kencang. Kira-kira ada apa ya? Mengapa mendadak Opa Jhon mengajakku ke kamar bersama? Ah, kepalaku sudah penuh oleh ribuan tanya. Tiba-tiba Opa Jhon menyodorkan secarik kertas. Aku menautkan alis dan mengerutkan dahi. Apa maksudnya? Kuambil kertas itu dari tangannya. Kubaca isi tulisannya. Mataku terbelalak lebar kalau mengetahui itu surat apa. Ternyata itu adalah 99 aturan wajib saat bekerja menjadi istri Opa Jhon. Kubaca satu persatu isinya. Kepalaku mulai terasa kliyengan saat membacanya. Semuanya tertulis dalam aturan itu, sampai-sampai jam bangun pagi, jam sarapan, dan jam tidur malam pun tertera di sana. Oh my God. Yang benar saja ini. Aku terus membacanya sampai ke bawah. Sampai di nomor sekian, aku dibuat tercengang oleh Opa Jhon. Ternyata ada juga aturan tentang dilarang mempunyai teman dan berteman dengan lawan jenis, dilarang ngobrol dan dilarang juga untuk chatingan dengan laki-l
Bab 30 : Kunci BrangkasWajahku masih kebingungan saat menerima kunci yang diberikan Opa Jhon kepadaku di depan Xeon. “Itu adalah kunci brankas,” sahut Opa Jhon. Setelah mengucapkan itu, dia pun juga memberikan 10 buah kartu kredit padaku. “Saya ingin mulai sekarang kamu yang menyimpan semuanya,” ujarnya lagi. Mulutku menganga, mataku terbelalak lebar melihat semua perlakuannya dan mendengar ucapannya barusan. Ada apa ini? Mengapa kakek tua ini mendadak memberikan kepercayaan yang berat ini padaku? Terlebih lagi saat di depan Xeon. Ah, mungkin saja Opa Jhon sedang kesurupan saat ini hingga dia memperlakukan ku seperti ini. Tapi, apa pun itu yang jelas sekarang aku sangat senang. Apalagi saat melihat ekspresi shock si cucu kesayangan Opa Jhon itu. Aku merasa puas dan menang dari dirinya. “Xeon, mulai sekarang kalau kamu butuh uang, minta saja pada Oma Lolyta ya. Karena mulai detik ini semua keuangan dipegang dan dikendalikan olehnya,” kata Opa Jhon pada cucu kesayangannya itu. “
Bab 31 : Dosen Meresahkan“Eh hai Toms, Julio,” sapaku dengan terpaksa karena mereka sudah dekat. Sebenarnya agak risi juga aku menyapa mereka karena takut ada yang rese memotret diriku secara diam-diam lagi. Aku agak ngeri juga dengan 99 isi perjanjian yang telah ku tanda tangani tadi sebelum pergi ke kampus. “Toms, Julio, aku duluan ya. Mau ke kamar kecil dulu soalnya perutku terasa gak enak,” ujarku sembari memasang wajah kesakitan sambil memegang perut. Mendadak mereka panik. “Bawa ke dokter, ya?” “Atau kubelikan obat?” Mereka sangat baik sebenarnya, menawari bantuan padaku. Namun, ini situasinya sudah sangat berbeda. Aku tidak sebebas kemarin lagi. “A-a-a tidak usah. Aku cukup pergi ke toilet saja sudah cukup kok. Aku pergi dulu, ya.” Aku langsung membalikkan badan dan berjalan dengan cepat. Akhirnya aku bisa meninggalkan mereka juga. Dan kini aku harus pura-pura masuk toilet agar aktingku terlihat sempurna. Setelah beberapa saat mendekam dalam kamar mandi, aku pun keluar
Bab 32 : BioskopSetelah sedikit menjauh dari mereka, aku pun menelepon Opa Jhon. Nada sambung telah berbunyi. Agak sedikit lama barulah diangkat oleh sang pemilik nomor di ujung sana. “Halo Mas,” sapaku dengan lembut. “Ya Lolyta?” “Em, begini ... saya mau minta izin ....” Aku bicara tidak langsung mengutarakan tujuanku. Karena aku masih merasa ragu-ragu. “Minta izin apa?” “Hari ini ada teman satu kampus dari sekolah SMA yang sama sedang berulang tahun. Jadi, dia mengajakku untuk pergi nonton karena dia berniat untuk mentraktir teman-temannya.” Aku menjelaskan secara detail pada kakek tua itu agar dia bisa mengerti. “Tidak!” jawabnya ketus. Sudut bibir yang ingin melengkung kini dipaksa harus ditarik kembali. Dengan entengnya dia memberikan jawaban 1 kata saja. Padahal aku sudah jujur apa adanya. “Kenapa?” tanyaku lirih. “Kamu gak ingat dengan aturan di surat perjanjian yang telah kamu tanda tangani?!” tanyanya. “Tapi ini bukan hanya berdua, Mas.” “Lalu?” “Kami bertiga. La