"Sayang, kamu harus makan. Kasihan bayi yang ada di perut kamu!" Di meja makan keluarga Hadiwijaya, Angga sedang berusaha membujuk Salsa agar mau menyantap makan malam yang sudah tersaji di atas piringnya. "Denita belum bisa dihubungi!" racau Salsa tidak mempedulikan bujukan Angga. Dia terus sibuk dengan telepon genggamnya. Sejak kemarin malam, dia masih belum menyerah untuk bisa menghubungi Denita. Dan pengabaian Denita untuk cuitan panjangnya di akun burung biru itu telah membuat Salsa meradang. [Nomor telepon yang Anda hubungi, sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi,]Lagi-lagi, suara operator-lah yang membalas panggilan Salsa untuk yang kesekian kalinya hari ini. "Aarrrrgggghhh!" Salsa menjerit frustrasi di meja makan. Hal ini membuat orang-orang yang sedang menyantap makan malam mereka spontan mendesahkan nafas pelan. "Salsa~" tergur Ibu Herlina dari balik gigi yang terkatup rapat. "Ma, Denita masih tidak bisa dihubungi!" rajuk Salsa seraya menunjukkan gelagat pan
Di sisi lain Ibu kota, Widia yang sedang berbaring menikmati malam sendiri nan sepinya dengan ditemani lagu galau sembari maskeran, tiba-tiba dikagetkan oleh sebaris nama yang muncul tak terduga di layar ponselnya.Keningnya pun tak ayal terlipat banyak, membuat sheetmask yang sudah menempel di wajahnya turut berkerut. Hatinya bertanya-tanya, untuk apa orang ini menghubunginya? Tumben amat! Widia tidak langsung menjawab panggilan itu. Dia membiarkan waktu berlalu sementara hatinya penuh dengan pertimbangan. Apakah dia harus mengangkat telepon itu atau tidak?Namun, karena hatinya didominasi oleh rasa penasaran, Widia lantas menjawab panggilan tak biasa itu. "Halo," sapa Widia dengan ketus. Nadanya terdengar sedikit mendesis karena takut merusak masker di wajahnya. "Halo, Wid. Ini Angga!" ucap orang di seberang memperkenalkan diri. "Iya, tahu!" jawab Widia dengan acuh tak acuh. "Wid, Denita ada di tempatmu?" tanya Angga. "Enggak!" jawab Widia singkat. "Kalau alamat Dominic, kam
Terlepas dari provokasi Salsa kemarin, Denita masih menjalani harinya seperti biasa. Dia sama sekali tidak mau memperhatikan karyawan penuh gosip yang menatapnya dengan sorot mata jijik, dan penuh penghakiman itu. Bersama Dominic, dia terus mengayun langkah melintasi lobi menuju lift VIP. Akan tetapi, hanya karena dia tidak mau peduli, bukan berarti orang lain juga akan berperilaku yang sama. Entah dari mana asalnya, di pelipis Denita tiba-tiba mendarat sebuah telur busuk yang seketika membuatnya hampir muntah karena aroma yang tiba-tiba menguar. "Dasar pelakor!""Manusia rendahan!""Wanita murahan!"Rentetan kalimat makian itu membuat urat biru di pelipis Denita berkedut. Suara yang teramat dikenalnya ini begitu mengganggu indera pendengaran. Namun, Denita belum bisa membalas kata-kata itu dengan layak. Aroma telur busuk yang berasal dari pelipisnya membuat Denita harus menahan nafas sekuat mungkin. Tentu saja selama waktu ini Denita tidak hanya tinggal diam. Dia melepas blazer w
"Lepaskan aku!" maki Aruna sembari menghempas tangan kedua satpam yang menyeretnya keluar dari perusahaan Sagara Group itu. Adapun dua satpam bertubuh kekar itu juga tidak terjerat terlalu lama dengan Aruna. "Lain kali jangan membuat masalah, Mbak!" pesan salah seorang dari mereka. Aruna spontan mendelik sebal. Sebagai seseorang yang menghabiskan hidupnya dengan disuapi menggunakan sendok emas, jelas tidak suka mendengar peringatan dari orang yang tidak setara dengannya ini. Namun, dimana kedua satpam itu peduli. Setelah menunaikan tugas yang diperintahkan atasan, mereka langsung berbalik pergi. Hendak melanjutkan pekerjaan masing-masing. Begitu hanya tersisa Aruna sendirian, sepasang netra coklat gelapnya menatap penuh benci pada bangunan mewah berlantai 30 itu. Seorang Aruna Basagita tidak pernah merasa semalu ini dalam hidup. Di tengah kemarahan yang tak bisa surut untuk sementara waktu, Aruna mengingat kembali kata demi kata yang dibisikkan Denita padanya. "Salsa anak pemba
"Hari ini benar-benar melelahkan!" keluh Denita ketika dia dan Dominic keluar dari gedung perusahaan. Denita seraya meregangkan anggota tubuhnya yang telah kaku. Sesekali, dia juga memijat pangkal hidungnya untuk merilekskan sudut matanya yang tegang. "Aku mau beli nomor baru!" ujar Denita ketika mengingat ponselnya yang sudah dinonaktifkan sejak kemarin. "Nanti sekalian pulang. Ngomong-ngomong mau makan malam dimana kita?" tanya Dominic. Saat ini jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Perut mereka sudah lama keroncongan. "Hm~" Denita berdengung panjang. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan paling susah untuk dia jawab. "Bagaimana kalau terserah kamu?" pungkas Denita kemudian sambil meringis pelan. Dominic tanpa sadar memutar bola matanya. "Wanita dan jawaban pamungkasnya!" sindir Dominic sembari terus mengayun langkah menuju mobil yang terparkir tidak jauh. "Hehehe! Aku tidak bermaksud untuk membela diri. Tapi pertanyaan soal mau makan apa itu memang susah untuk dijawab!"
"Masih gak bisa move on?" tanya Dominic lirih begitu mereka tiba di restauran The Mammoth. Denita mengendikkan bahu tanpa daya. "Hanya belum terbiasa!" jawabnya. "Biasakan secepatnya. Aku tidak ingin hatimu terbagi untuk pria lain!" pinta Dominic dengan nada yang entah mengapa terdengar posesif. Tidak ada lagi nada bercanda seperti yang biasa Denita dengar. Sepasang mata cemerlang Denita kemudian manatap lurus ke arah Dominic yang sedang memasang wajah serius itu. "Aku juga sedang mengusahakannya!" jawab Denita. "Hm," balas Dominic. Namun, baru selesai kalimat itu terlempar dari bibir Denita, sebuah adegan yang dipentaskan di depan mata membuatnya kembali terlempar pada ingatan akan masa lalu. Dimana seorang pria sedang melamar kekasihnya dengan sebelah kaki bertekuk lutut di atas lantai. Lalu, sebuah kotak beludru berwarna merah disodorkan di hadapan wanitanya. * * *4 tahun lalu, "Denita Widiatami, maukah kamu menikah denganku?" Angga menekuk satu lututnya di atas lant
Dominic menjentikkan jarinya di depan wajah Denita untuk menyadarkan Denita dari lamunan panjangnya. "Ah?" Denita merespon dengan gelagapan. "Masih ngelamunin dia?" tanya Dominic dengan nada tidak suka yang terdengar jelas. "Sorry, mereka mengingatkanku pada kenangan usang itu!" ucap Denita. Dia seraya menunjuk dua insan yang saat ini sedang berdansa diiringi alunan musik lembut dengan menggunakan dagunya. Dominic tanpa sadar mengikuti arah pandang Denita. "Cih, jadi dulu dia pernah melamar kamu dengan cara ini?" tanya Dominic meremehkan. Denita mengendikkan bahu tidak peduli. "Tertawa saja jika mau," ujarnya acuh tak acuh. Hal yang tidak Denita sangka kemudian adalah, Dominic justru membentangkan tangannya yang lebar di depan wajah Denita. "Bagaimana kalau kita juga berdansa," ajak Dominic tiba-tiba. "Hah?""Daripada bengong nunggu makanan," sambung Dominic. Kerlingan jail yang sangat khas Dominic sekali itu lantas kembali muncul di wajah pria itu."Dasar!" seru Denita seray
"Ayo kita kembali ke kediaman Hadiwijaya!" ajak Denita sambil duduk manis di kursi penumpang mobil Rolls-Royce milik Dominic. Kotak kado berisi bangkai tikus itu Denita letakkan dengan sangat hati-hati di atas pangkuannya. Hal ini tak urung membuat Dominic mengernyit jijik hingga ke akar-akar rambutnya. "Itu kotak kado berisi bangkai tikus itu?" tanya Dominic ragu-ragu sambil menunjuk kotak kado di atas pangkuan Denita. "Iya!" jawab Denita singkat. Tubuh Dominic bergetar mendengar jawaban ini. "Apa yang akan kamu lakukan dengan itu?" tanyanya penasaran. Bukannya langsung menjawab, sudut bibir Denita malah membentuk seringai licik. "Kamu akan lihat nanti!" tukasnya dengan misterius. "Jaga baik-baik kotak itu, jangan sampai jatuh!" ujar Dominic memperingatkan. Dia pasti tidak akan bisa mentolerir kalau sampai benda menjijikkan itu jatuh di dalam mobil kesayangannya. "Udah jalan aja!" perintah Denita seraya mendelik tak senang karena kata-kata Dominic. Ini adalah barang penting y
"Mas, si Dominic sialan itu melaporkan aku ke polisi. Kamu tolong bebaskan aku!" seloroh Bik Ayu sesaat setelah sambungan teleponnya terhubung."Memangnya apalagi yang kamu lakukan?" tanya Pak Hendra dari seberang telepon."Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya tidak ingin melihat anak sialan itu bersenang-senang. Kenapa dia boleh berbahagia, sementara anakku sendiri gila?!" bentak Bik Ayu tanpa memedulikan dimana dia berada. "Kalau kamu tidak melakukan apa-apa, kenapa kamu bisa berakhir di kantor polisi? Aku sudah muak dengan kalian semua. Kamu jangan ganggu aku lagi. Namaku sudah cukup tercoreng gara-gara kamu. Berhubungan denganmu adalah kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan dalam hidup ini," geram Pak Hendra. Dia lalu menutup telepon tanpa ada niat untuk memperdulikan nasib yang akan menimpa Bik Ayu."Mas Hendra? Mas Hendra!" Bik Ayu berteriak sambil membanting telepon milik kantor polisi. "Ibu tolong tenang!" tegur salah seorang polisi yang bertugas menangani kasusnya."T
Melalui data diri yang dibubuhkan Bik Ayu dalam surat lamaran kerjanya, orang suruhan Dominic terus mencari keberadaan wanita itu. Tentu saja rumah kediaman keluarga Hadiwijaya juga tidak luput dari target pencarian. Pada akhirnya, tidak sulit bagi orang suruhan Dominic untuk menemukan wanita yang sudah membuatnya sangat marah itu. Bik Ayu memang ditemukan di rumah keluarga Hadiwijaya. Dan atas perintah Dominic, wanita itu digelandang dengan paksa menuju kantor polisi. "Lepaskan aku! Ini pemaksaan!" seru Bik Ayu. Dia memberontak dengan keras. Namun, tenaga setengah tuanya tentu saja kalah dengan tenaga para laki-laki suruhan Dominic itu."Lepaskan aku!" teriak Bik Ayu bahkan meski dirinya sudah berada di kantor polisi.Dominic yang sedang membuat laporan hanya menatap sekilas pada wanita yang terlihat menyebalkan itu. "Ini dia orang yang ingin saya laporkan. Dan saya tidak ingin adanya upaya damai. Tolong hukum dia sesuai dengan undang-undang yang berlaku," pungkas Dominic."Apa y
Aksi Dominic yang mengumpulkan para cleaning service di lobi kantor menarik rasa penasaran para karyawan lain mengenai apa yang tengah terjadi.Namun, Dominic tidak mau ambil pusing soal mereka untuk saat ini. Biarkan saja mereka mengatakan apapun yang mereka inginkan. "Berikan data cleaning service yang masih aktif bekerja di sini," tukas Dominic begitu staff HRD di perusahaannya tiba.Tanpa banyak bertanya, sang staff langsung memberikan apa yang diinginkan oleh Dominic. Dia pun langsung melakukan pemindaian cepat pada tumpukan dokumen yang dibawakan padanya. Sampai kemudian matanya menangkap sosok familiar yang membuatnya menggertakkan gigi dengan keras."Ayu Hapsari?!" gumam Dominic dengan marah.Dia pikir musuh bebuyutan istrinya ini sudah menyerah dan kapok mencari masalah dengan mereka. Tapi siapa yang menyangka kalau ternyata wanita ini sedang membuat rencana jahat di bawah hidungnya."Dimana wanita bernama Ayu Hapsari ini?" tanya Damian seraya menatap satu per satu wajah yan
"Dok, bagaimana kondisi istri dan calon anak saya?" "Dok, bagaimana kabar menantu dan cucu saya?""Dok, bagaimana kabar anak dan cucu saya?"Dominic, ibu Herlina dan ibu Evelyn berhamburan menghampiri dokter yang baru saja memberi penanganan pada Denita. Mereka bertiga langsung merongrong sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Melihat wajah khawatir ketiga orang di depannya, sang dokter hanya tersenyum simpul. "Nona Denita baik-baik. Dia hanya terlalu shock dan butuh istirahat yang baik," jawab dokter."Serius, Dok?" tanya Dominic tidak benar-benar lega.Dengan sabar dokter itu mengangguk. "Iya," "Lalu cucu kami gimana, Dok?" tanya ibu Herlina."Bayi di dalam kandungan Nona Denita juga baik-baik saja. Untung langsung segera dibawa ke rumah sakit sehingga dapat dengan cepat ditangani. Jadi kondisinya tidak terlalu mengkhawatirkan," ucap Dokter menjelaskan."Syukurlah,""Terima kasih, Dok!""Iya, sama-sama,"Setelah kepergian dokter yang menangani Denita, baik ibu Herlina dan ibu Ev
Dengan bibir cemberut, Denita keluar dari ruangan Dominic menuju meja kerjanya. Pakaian ganti yang agak sempit membuat setiap pergerakannya menjadi tidak nyaman. Dan karena suasana hati yang tidak terlalu baik, Denita tidak memperhatikan ada tetesan cairan berwarna biru di samping kaki mejanya. Tatkala kakinya menginjak cairan itu, tubuh Denita limbung ke belakang. Dia menjerit dengan panik dan berusaha mencari pegangan. Akan tetapi, tangannya hanya bisa menggapai udara yang kosong. "Arrrrrgggghhhhh!!!" BRUUUK, Suara tubuhnya yang menghantam lantai begitu keras hingga membuat Dominic yang ada di dalam ruang kerjanya terkejut setengah mati. "Denita!" serunya. Tanpa membuang-buang banyak waktu, dia langsung berlari menuju sumber suara. Sosok sang istri yang terbaring di atas lantai sambil memegangi perutnya membuat sepasang netra Dominic membulat lebar. "Denita!" serunya. "Sakiiiitttt," keluh Denita. Air mata menitik deras dari pelupuk matanya. Rasa panik akan bayi di
Setelah masalah Niko selesai, Denita akhirnya bisa menjalani hidupnya dengan tenang. Dia juga bisa menikmati kehamilannya dalam damai tanpa adanya drama yang berliku-liku. Bahkan diusia kandungan yang sudah menginjak delapan bulan, dia masih semangat bekerja."Babe, kamu berhenti kerja aja ya. Perut kamu sudah mulai buncit. Pergerakan kamu juga sudah tidak luwes lagi. Sebaiknya istirahat di rumah," Ucapan Dominic ini langsung membuat bibir Denita maju beberapa senti. Dia tidak tahu apakah ini karena faktor kehamilan atau bukan. Akan tetapi, dia mulai menerjemahkan kata-kata orang dengan cara yang berbeda. Seperti sekarang ini, dia tiba-tiba merasa bahwa ucapan suaminya memiliki arti yang negatif. "Jadi kamu merasa terganggu karena perutku yang buncit?" tanya Denita dengan nada merajuk. Suaranya bahkan terdengar tercekat seperti sedang menahan tangis."Bukan begitu," tukas Dominic dengan segera. "Aku hanya takut kalau kamu akan kelelahan. Aku nggak mau kamu dan anak kita kenapa-kenap
"Jangan terlalu cepat mengambil keputusan," tegur ibu Herlina. Hatinya belum terketuk untuk membiarkan putra sulungnya yang belum menikah mengadopsi anak orang lain. Apalagi anak itu adalah anak sekaligus cucu dari orang yang paling dia benci sekarang. Kalau boleh dikatakan secara kasar, lebih baik mengadopsi anak dari panti asuhan daripada harus mengadopsi Niko. "Bu~" panggil Arkan. "Bukannya Niko masih punya kakek dan nenek kandung? Kenapa perawatan atas Niko harus menjadi tanggung jawab kamu?" seloroh ibu Herlina. "Kemana nih, selingkuhan kamu?" lanjut ibu Herlina bertanya pada mantan suaminya. "Aku tidak melihatnya Nyonya barumu dari tadi,"" ... "Wajah pak Hendra yang disindir seperti ini seketika berubah menjadi keruh. "Jangan bilang habis manis sepah dibuang?" tebak ibu Herlina dengan asal-asalan. Namun, wajah keruh yang ditunjukkan oleh mantan suaminya itu membuat ibu Herlina diyakinkan oleh tebakannya sendiri. Tawa nyaring pun terlempar keluar dari bibirnya yang dihia
Keesokan hari Denita menghubungi semua orang yang terkait dengan kehidupan Niko. Dia meminta untuk bertemu dengan mereka. Kemudian pada ibu Herlina, Denita menceritakan masalah mengenai anak dari Salsa dan Dimas itu. "Bagaimana keadaan Niko sekarang?" tanya Ibu Herlina. Suaranya terdengar serak seperti sedang menahan tangis. "Aku juga belum tahu, Ma!" jawab Denita. "Makanya aku minta kita semua berkumpul untuk membahas mengenai masalah ini," lanjutnya. "Oke, dimana?" tanya ibu Herlina. "Aku sudah membicarakan ini sama Arkan. Dia minta untuk kita berkumpul di kediaman Hadiwijaya," jawabku. " ... "Keheningan terjadi di seberang sana. Denita sendiri bisa memperkirakan apa yang kiranya sedang dirasakan oleh wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu, ketika dia menyebutkan kediaman Hadiwijaya. "Mama baik-baik aja?" tanya Denita memastikan. "Kalau Mama nggak setuju, nanti kita bahas lagi enaknya bertemu dimana," lanjutnya kemudian. "Mama baik-baik aja kok. Ayo segera kita bahas
Denita yang terlanjur berpikir bahwa hidupnya akan menjadi damai setelah Salsa dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa ternyata salah besar. Di tengah malam, ketika dia sedang tertidur nyenyak bersama Dominic, ponsel yang dia letakkan di atas nakas samping tempat tidur berdering nyaring. "Hermm," Denita menggeram pelan dengan alis yang berkerut di dalam tidurnya. Dengan mata setengah terpejam, Denita meraba nakas yang ada di samping tempat tidurnya untuk mencari benda pipih yang mengeluarkan suara ribut-ribut itu. Tanpa melihat nama orang tidak sopan yang menghubunginya tengah malam begini, Denita menjawab panggilan telepon itu dengan sedikit kesal. "Halo!" jawab Denita dengan nada ketus. "Nit, ini Angga," sapa orang dari seberang. Dengan kening yang berkerut semakin dalam, Denita terdiam sementara untuk mencerna suara orang di seberang. Dia yakin bahwa dia sedang tidak bermimpi, tapi kenapa Angga meneleponnya? " ... "Denita terdiam tidak menanggapi untuk waktu yang lama. Baginya