Setiap langkah yang diambil Dominic berderap dengan berat di atas lantai beton. Mengangkat debu-debu yang telah lama tertinggal hingga menimbulkan jejak alas sepatu yang jelas. Hanya dengan melihat tampang tak sedap Dominic, orang-orang bisa langsung menyimpulkan bahwa pria ini sedang marah besar. Anak buah Alex yang bertubuh besar sampai tidak berani mengambil nafas yang terlalu jelas karena tidak mau menjadi sasaran amarah Dominic. Hanya Alex yang bisa mengimbangi aura membunuh yang dipancarkan Dominic saat ini. "Dia ada di sini," beritahu Alex seraya menunjuk ruangan yang berada tepat di samping ruangan tempat Denita disekap.Tanpa banyak omong kosong, Dominic langsung masuk ke dalam ruangan itu dengan langkah mantap. Sepasang netranya tidak perlu mencari terlalu lama, karena orang yang menjadi sasarannya ditempatkan oleh Alex tepat di tengah-tengah ruangan. Melihat wajah yang sangat dikenalnya itu membuat amarah Dominic semakin membumbung tinggi hingga ke ubun-ubun. "Dimas!" g
"Hah?!""Brengsek!""Gila!"Kata-kata itu dilontarkan secara serentak oleh Denita dan Dominic. Bahkan Alex yang sejak tadi terdiam menyimak turut memberikan komentar di akhir. "Jadi kamu adalah ayahnya Niko?!" seru Dominic dengan mata membola tak percaya. Dibandingkan keterkejutannya setelah mengetahui bahwa Dimas adalah pelaku penculikan Denita, dia lebih terkejut mendengar fakta yang satu ini. Bagaimana tidak, selama empat tahun belakangan ini Dominic telah melarikan diri dari kejaran Arkan yang menuntut pertanggung jawaban tidak masuk akal itu. Tapi bahkan pelakunya menonton musibah yang dialami Dominic tanpa rasa bersalah. Pelakunya masih sahabat yang ada di sampingnya pula! "Dasar pengecut!" maki Dominic dengan berang. Dia sekali lagi menghajar wajah Dimas hingga jatuh tersungkur ke lantai. Sebuah pemahaman membanjiri kepala Denita. "Huh! Betapa lucunya dunia ini. Ternyata nasib kita semua saling terikat dengan kamu sebagai sumbunya? Wah gila sih!" pungkas Denita seraya menga
"Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi pada anak itu?" Denita bertanya dengan nada suara lirih. Di sepanjang koridor rumah sakit, dia terus menatap jalan di depannya dengan pandangan kosong. Hatinya tidak sebegitu dingin sehingga acuh tak acuh terhadap nasib anak yang ada di dalam kandungan Salsa. Meski ibu dari anak itu ingin melukainya, tapi Denita juga paham bahwa anak di dalam kandungan Salsa itu tidak bersalah sama sekali. "Semuanya pasti akan baik-baik saja," hibur Dominic. Namun, kali ini Denita tidak terhibur sama sekali. Dia benar-benar tidak bisa tenang sebelum mengetahui keadaan anak dalam kandungan Salsa. Dan Dominic juga tidak terus mengeluarkan kata-kata penghiburan. Dia tahu bahwa hanya dengan mengetahui kabar mengenai bayi di dalam kandungan Salsa-lah yang akan bisa menentukan bagaimana Denita akan merasa. Sepasang suami istri itu terus berjalan di koridor rumah sakit yang terasa panjang. Mereka baru berhenti begitu sampai di depan ruang ICU di mana Salsa seda
Setelah membuat keputusan dengan tegas, Denita mulai menyeret sepasang tungkai jenjangnya meninggalkan Dominic. Dia tidak peduli bagaimana kakak kandungnya itu akan berpikir. "Apa yang dibicarakan oleh Arkan?" tanya Dominic penasaran. Dia berbisik di samping telinga Denita agar tidak bisa didengar oleh ibu Herlina. "Dia minta agar aku bersedia berdamai dengan Salsa!" jawab Denita acuh tak acuh. "What?!"Denita mengendikkan bahu dengan masa bodoh. "Sebenarnya dia juga tidak bisa disalahkan. Setelah puluhan tahun memperlakukan Salsa sebagai biji matanya, tentu tidak akan mudah baginya untuk langsung memunggungi wanita ini 'kan?" ujar Denita dengan nada maklum. Ucapannya itu membuat rahang Dominic hampir jatuh. Dia tidak percaya bahwa Denita akan mengatakan hal bijak seperti ini atas nama Arkan. "Apa kamu demam?" tanya Dominic seraya menempel punggung tangannya pada kening Denita. "Ck!" Denita menghempas tangan Dominic dengan kasar dari jidatnya. "Capek. Mencoba untuk berdamai den
Setelah melalui rangkaian proses perawatan yang menghabiskan waktu berjam-jam, Salsa akhirnya sadar juga. Dia membuka matanya dengan perlahan. Cahaya lampu kamar rumah sakit membuatnya harus menyesuaikan diri untuk sementara waktu. "Ini dimana?" tanya Salsa dengan suara serak karena dehidrasi. " ... "Karena tidak mendengar seseorang membalas ucapannya, Salsa lantas mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan. Tidak sulit menebak dimana dia berada setelah memindai ruangan itu dengan cepat. "Sa, kamu sudah bangun?" tanya Arkan. Dia yang baru saja keluar dari kamar mandi bergegas menghampiri sisi ranjang Salsa. "Kak Arkan?" tanya Salsa dengan lirih memastikan bahwa dia tidak salah lihat. "Iya, ini kakak. Bagaimana perasaan kamu?" tanya Arkan dengan penuh kelembutan. " ... "Salsa tidak langsung menjawab. Dia terdiam dalam keadaan linglung. Arkan pun tidak mendesaknya. Dia sengaja membiarkan Salsa mencerna apa yang telah terjadi sepanjang hari kemarin. "Kenapa kakak melaku
Arkan yang tadinya lelah dan lapar kembali menyeret langkahnya menuju kamar Salsa. Dia ingin menanyakan kebenaran masalah yang dikatakan Widia baru saja. Ketika dia hampir mencapai kamar wanita itu, kerumunan orang sudah berkumpul di sekitar sana. Alis Arkan terjalin samar. "Permisi, itu ada apa ya?" tanya Arkan pada seorang ibu-ibu yang berada paling dekat darinya. "Katanya pasien yang ada di ruangan 204 itu berteriak-teriak seperti orang gila. Dia bahkan melukai orang yang sedang menjaganya," jawab ibu itu sambil berbisik. Deg, Jantung Arkan tiba-tiba menghentak risau. Tanpa basa-basi, dia kemudian bergegas membelah kerumunan orang-orang. "Permisi," ujar Arkan sambil terus melaju mendekati kamar tempat dimana Salsa dirawat. "Dasar wanita gila!" bentak suara seorang pria. Arkan tahu dengan sangat jelas bahwa pemilik suara ini ada Angga. "Apa kamu bilang? Aku gila? Kamu yang gila?!" raung Salsa dengan sekuat tenaga. "Ada apa ini?" tanya Arkan dengan lelah. Angga menoleh ke a
Di hari berikutnya, Denita dibuat sedikit kecewa oleh keputusan polisi. Mereka memutuskan untuk membebaskan Dimas, pak Sasongko dan juga Salsa. Dalihnya adalah karena tidak cukup banyak bukti untuk mendukung pernyataan Denita. Rekaman CCTV yang mereka miliki tidak menampilkan dengan jelas wajah kedua pria itu. Adapun Salsa, dengan dia yang justru dilarikan ke rumah sakit, polisi itu justru menyuruh Denita untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan saja. Apalagi setelah para polisi itu tahu bahwa mereka semua saling mengenal. Bahkan Dominic tidak bisa menggunakan koneksinya agar Salsa bisa ditahan. "Menyebalkan!" dumel Denita tidak puas. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku sudah muak berurusan dengan wanita gila macam Salsa!" pungkas Denita geram. " ... "Dominic terdiam sesaat karena dia juga tidak tahu bagaimana cara menangani wanita modelan Salsa ini. Dia tidak mungkin menggunakan cara yang sama dengan yang digunakan oleh Salsa pada mereka 'kan? Ditengah kebingun
"Tidak! Jangan bawa anakku pergi!" raung Bik Ayu. "Mas Hendra!" serunya kemudian seraya menatap pada pria paruh baya yang hanya menatap dengan sorot mata acuh tak acuh itu. "Ih!" serunya lagi sambil menghentakkan kaki dengan marah. Karena merasa bahwa dia tidak bisa mengandalkan pria itu, Bik Ayu dengan gegas mengejar Salsa yang dibawa oleh dua orang pria yang tampak seperti pegawai rumah sakit. "Puas kamu sekarang?" tanya pak Hendra begitu suara teriakan Bik Ayu tidak lagi terdengar. "Tidak juga. Hal ini tidak bisa memberiku kepuasan sama sekali," timpal ibu Herlina. "Tidak maukah kamu memaafkanku? Aku sangat menyesal," ujar pak Hendra mengiba. Namun, ibu Herlina justru tertawa dengan keras. "Kamu menyesal? Mungkin maksud kamu adalah menyesal karena keluarga kelahiranmu hampir jatuh melarat ya?" tanya ibu Herlina penuh dengan nada sindiran. "Jika saja Arkan tidak memilih untuk bertanggung jawab atas perusahaan keluarga Hadiwijaya, sudah aku ratakan perusahaan itu!" lanjut ibu