Setelah melalui rangkaian proses perawatan yang menghabiskan waktu berjam-jam, Salsa akhirnya sadar juga. Dia membuka matanya dengan perlahan. Cahaya lampu kamar rumah sakit membuatnya harus menyesuaikan diri untuk sementara waktu. "Ini dimana?" tanya Salsa dengan suara serak karena dehidrasi. " ... "Karena tidak mendengar seseorang membalas ucapannya, Salsa lantas mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan. Tidak sulit menebak dimana dia berada setelah memindai ruangan itu dengan cepat. "Sa, kamu sudah bangun?" tanya Arkan. Dia yang baru saja keluar dari kamar mandi bergegas menghampiri sisi ranjang Salsa. "Kak Arkan?" tanya Salsa dengan lirih memastikan bahwa dia tidak salah lihat. "Iya, ini kakak. Bagaimana perasaan kamu?" tanya Arkan dengan penuh kelembutan. " ... "Salsa tidak langsung menjawab. Dia terdiam dalam keadaan linglung. Arkan pun tidak mendesaknya. Dia sengaja membiarkan Salsa mencerna apa yang telah terjadi sepanjang hari kemarin. "Kenapa kakak melaku
Arkan yang tadinya lelah dan lapar kembali menyeret langkahnya menuju kamar Salsa. Dia ingin menanyakan kebenaran masalah yang dikatakan Widia baru saja. Ketika dia hampir mencapai kamar wanita itu, kerumunan orang sudah berkumpul di sekitar sana. Alis Arkan terjalin samar. "Permisi, itu ada apa ya?" tanya Arkan pada seorang ibu-ibu yang berada paling dekat darinya. "Katanya pasien yang ada di ruangan 204 itu berteriak-teriak seperti orang gila. Dia bahkan melukai orang yang sedang menjaganya," jawab ibu itu sambil berbisik. Deg, Jantung Arkan tiba-tiba menghentak risau. Tanpa basa-basi, dia kemudian bergegas membelah kerumunan orang-orang. "Permisi," ujar Arkan sambil terus melaju mendekati kamar tempat dimana Salsa dirawat. "Dasar wanita gila!" bentak suara seorang pria. Arkan tahu dengan sangat jelas bahwa pemilik suara ini ada Angga. "Apa kamu bilang? Aku gila? Kamu yang gila?!" raung Salsa dengan sekuat tenaga. "Ada apa ini?" tanya Arkan dengan lelah. Angga menoleh ke a
Di hari berikutnya, Denita dibuat sedikit kecewa oleh keputusan polisi. Mereka memutuskan untuk membebaskan Dimas, pak Sasongko dan juga Salsa. Dalihnya adalah karena tidak cukup banyak bukti untuk mendukung pernyataan Denita. Rekaman CCTV yang mereka miliki tidak menampilkan dengan jelas wajah kedua pria itu. Adapun Salsa, dengan dia yang justru dilarikan ke rumah sakit, polisi itu justru menyuruh Denita untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan saja. Apalagi setelah para polisi itu tahu bahwa mereka semua saling mengenal. Bahkan Dominic tidak bisa menggunakan koneksinya agar Salsa bisa ditahan. "Menyebalkan!" dumel Denita tidak puas. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku sudah muak berurusan dengan wanita gila macam Salsa!" pungkas Denita geram. " ... "Dominic terdiam sesaat karena dia juga tidak tahu bagaimana cara menangani wanita modelan Salsa ini. Dia tidak mungkin menggunakan cara yang sama dengan yang digunakan oleh Salsa pada mereka 'kan? Ditengah kebingun
"Tidak! Jangan bawa anakku pergi!" raung Bik Ayu. "Mas Hendra!" serunya kemudian seraya menatap pada pria paruh baya yang hanya menatap dengan sorot mata acuh tak acuh itu. "Ih!" serunya lagi sambil menghentakkan kaki dengan marah. Karena merasa bahwa dia tidak bisa mengandalkan pria itu, Bik Ayu dengan gegas mengejar Salsa yang dibawa oleh dua orang pria yang tampak seperti pegawai rumah sakit. "Puas kamu sekarang?" tanya pak Hendra begitu suara teriakan Bik Ayu tidak lagi terdengar. "Tidak juga. Hal ini tidak bisa memberiku kepuasan sama sekali," timpal ibu Herlina. "Tidak maukah kamu memaafkanku? Aku sangat menyesal," ujar pak Hendra mengiba. Namun, ibu Herlina justru tertawa dengan keras. "Kamu menyesal? Mungkin maksud kamu adalah menyesal karena keluarga kelahiranmu hampir jatuh melarat ya?" tanya ibu Herlina penuh dengan nada sindiran. "Jika saja Arkan tidak memilih untuk bertanggung jawab atas perusahaan keluarga Hadiwijaya, sudah aku ratakan perusahaan itu!" lanjut ibu
"Bagaimana kalau kita membuat anak?"" ... "Pertanyaan Dominic ini membuat Denita terkesiap. Dia terdiam untuk waktu yang sangat lama. Bahkan sampai tidak berkedip sama sekali, memandang Dominic yang sedang fokus mengemudi. Seolah pria berstatus suaminya itu belum mengatakan apapun yang bisa membuat jantung Denita hampir mencelat keluar dari balik dadanya. "Kenapa kamu diam aja?" tegur Dominic setelah waktu yang lama. Denita mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menjernihkan pikirannya yang tiba-tiba kacau karena ucapan Dominic. "Maksud kamu apa?" tanya Denita tidak mengerti. Bagaimana tidak, pria yang selalu mengatakan bahwa dia tidak menyukai anak-anak ini tiba-tiba saja mengajaknya untuk membuat anak? Namun, di detik berikutnya Dominic menjawab pertanyaan ini yang seketika membuat Denita sedikit kecewa. "Aku hanya memperhalus. Terlalu frontal 'kan kalau langsung mengatakan let's have sex?" katanya. "Oh, kamu membuatku hampir jantungan!" seru Denita untuk menutupi perasaa
Pasca dikirimnya Salsa ke rumah sakit jiwa, Denita hanya bisa menikmati kedamaian hidup beberapa waktu saja. Pasalnya, tak lama setelah itu, masalah lainnya datang dengan tidak terduga. Denita hamil! Kondisinya yang telat datang bulan dan disertai dengan mual-mual di pagi hari membuat Denita dihantui firasat buruk. Benar saja, setelah diam-diam membeli testpack, hasilnya menunjukkan tanda positif. Jika pengantin lain akan sangat menyambut bahagia situasi ini, berbeda dengan Denita yang belum mengharapkannya. Jantungnya berdebar dengan rumit dan aliran darah di dalam tubuhnya menjadi dingin seketika. "Apa yang harus aku lakukan?" tanya Denita pada pantulan dirinya yang sedang berdiri di depan wastafel kamar mandi. Denita tidak bisa berpikir dengan jernih karena sedang dalam kondisi panik. Satu-satunya hal yang ada di dalam pikirannya saat ini hanya reaksi Dominic jika sampai pria itu tahu mengenai hal ini. "Apa yang harus aku lakukan?" tanya Denita sekali lagi sembari berjalan mo
"Apa ini?" tanya Dominic melambaikan testpack yang ada di tangannya. "I-itu... "Sepasang netra Denita tidak berani menatap langsung pada Dominic. Matanya bergetar ketakutan dan dia tidak bisa memikirkan alasan masuk akal yang bisa dibenarkan. Dia tidak bisa membantah kalau barang itu bukan miliknya, sebab di penthouse mewah ini hanya ada mereka berdua. "I-itu... ""Ini milik kamu 'kan?" tanya Dominic to the point. " ... "Denita meneguk ludahnya dengan sulit. Lidahnya kelu untuk menjawab pertanyaan ini. Belum juga dia sempat memikirkan mana yang akan dipilih antara Dominic atau anak itu, tapi kebusukan yang hendak dia simpan untuk sementara waktu malah langsung ketahuan begini."Apa ini alasan kamu berlama-lama di kamar mandi? Kamu tidak benar-benar sembelit 'kan?" tanya Dominic lagi dengan nada yang sedikit lebih menuntut jawaban. Meski jawabannya sudah jelas di antara mereka, tapi Denita tidak bisa mengakuinya dengan gamblang begitu saja. Lidahnya kelu dan seluruh tubuhnya terd
Denita menunggu kepulangan Dominic hingga malam. Akan tetapi, pria itu tidak juga kembali. Hal ini jelas membuat Denita semakin yakin akan keputusannya. Di tengah harapan yang kian terkikis, Denita menulis surat pengunduran diri sekaligus surat perpisahan untuk Dominic. Setelah semuanya selesai, dia meletakkan surat itu di nakas samping tempat tidur. 'Dominic, selamat tinggal!'Denita mengucap salam perpisahan pada udara kosong yang bersirkulasi di dalam penthouse mewah nan sepi itu. Dengan sebuah koper di kiri dan kanannya, Denita perlahan melangkah meninggalkan tempat yang baru sesaat memberinya kenangan ini. Beberapa jam yang lalu, ketika sedang menunggu malam tiba, Denita telah mencari tempat yang akan dia tujuan. Dengan janin yang ada di dalam rahimnya, Denita untuk sementara ingin menghindari orang-orang yang dia kenal. Dia ingin hidup dengan damai tanpa direcoki oleh mereka. Dia ingin mulai menata hidupnya yang baru. Bali pun menjadi tujuan yang akhirnya Denita pilih. Namun