Di hari berikutnya, Denita dibuat sedikit kecewa oleh keputusan polisi. Mereka memutuskan untuk membebaskan Dimas, pak Sasongko dan juga Salsa. Dalihnya adalah karena tidak cukup banyak bukti untuk mendukung pernyataan Denita. Rekaman CCTV yang mereka miliki tidak menampilkan dengan jelas wajah kedua pria itu. Adapun Salsa, dengan dia yang justru dilarikan ke rumah sakit, polisi itu justru menyuruh Denita untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan saja. Apalagi setelah para polisi itu tahu bahwa mereka semua saling mengenal. Bahkan Dominic tidak bisa menggunakan koneksinya agar Salsa bisa ditahan. "Menyebalkan!" dumel Denita tidak puas. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku sudah muak berurusan dengan wanita gila macam Salsa!" pungkas Denita geram. " ... "Dominic terdiam sesaat karena dia juga tidak tahu bagaimana cara menangani wanita modelan Salsa ini. Dia tidak mungkin menggunakan cara yang sama dengan yang digunakan oleh Salsa pada mereka 'kan? Ditengah kebingun
"Tidak! Jangan bawa anakku pergi!" raung Bik Ayu. "Mas Hendra!" serunya kemudian seraya menatap pada pria paruh baya yang hanya menatap dengan sorot mata acuh tak acuh itu. "Ih!" serunya lagi sambil menghentakkan kaki dengan marah. Karena merasa bahwa dia tidak bisa mengandalkan pria itu, Bik Ayu dengan gegas mengejar Salsa yang dibawa oleh dua orang pria yang tampak seperti pegawai rumah sakit. "Puas kamu sekarang?" tanya pak Hendra begitu suara teriakan Bik Ayu tidak lagi terdengar. "Tidak juga. Hal ini tidak bisa memberiku kepuasan sama sekali," timpal ibu Herlina. "Tidak maukah kamu memaafkanku? Aku sangat menyesal," ujar pak Hendra mengiba. Namun, ibu Herlina justru tertawa dengan keras. "Kamu menyesal? Mungkin maksud kamu adalah menyesal karena keluarga kelahiranmu hampir jatuh melarat ya?" tanya ibu Herlina penuh dengan nada sindiran. "Jika saja Arkan tidak memilih untuk bertanggung jawab atas perusahaan keluarga Hadiwijaya, sudah aku ratakan perusahaan itu!" lanjut ibu
"Bagaimana kalau kita membuat anak?"" ... "Pertanyaan Dominic ini membuat Denita terkesiap. Dia terdiam untuk waktu yang sangat lama. Bahkan sampai tidak berkedip sama sekali, memandang Dominic yang sedang fokus mengemudi. Seolah pria berstatus suaminya itu belum mengatakan apapun yang bisa membuat jantung Denita hampir mencelat keluar dari balik dadanya. "Kenapa kamu diam aja?" tegur Dominic setelah waktu yang lama. Denita mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menjernihkan pikirannya yang tiba-tiba kacau karena ucapan Dominic. "Maksud kamu apa?" tanya Denita tidak mengerti. Bagaimana tidak, pria yang selalu mengatakan bahwa dia tidak menyukai anak-anak ini tiba-tiba saja mengajaknya untuk membuat anak? Namun, di detik berikutnya Dominic menjawab pertanyaan ini yang seketika membuat Denita sedikit kecewa. "Aku hanya memperhalus. Terlalu frontal 'kan kalau langsung mengatakan let's have sex?" katanya. "Oh, kamu membuatku hampir jantungan!" seru Denita untuk menutupi perasaa
Pasca dikirimnya Salsa ke rumah sakit jiwa, Denita hanya bisa menikmati kedamaian hidup beberapa waktu saja. Pasalnya, tak lama setelah itu, masalah lainnya datang dengan tidak terduga. Denita hamil! Kondisinya yang telat datang bulan dan disertai dengan mual-mual di pagi hari membuat Denita dihantui firasat buruk. Benar saja, setelah diam-diam membeli testpack, hasilnya menunjukkan tanda positif. Jika pengantin lain akan sangat menyambut bahagia situasi ini, berbeda dengan Denita yang belum mengharapkannya. Jantungnya berdebar dengan rumit dan aliran darah di dalam tubuhnya menjadi dingin seketika. "Apa yang harus aku lakukan?" tanya Denita pada pantulan dirinya yang sedang berdiri di depan wastafel kamar mandi. Denita tidak bisa berpikir dengan jernih karena sedang dalam kondisi panik. Satu-satunya hal yang ada di dalam pikirannya saat ini hanya reaksi Dominic jika sampai pria itu tahu mengenai hal ini. "Apa yang harus aku lakukan?" tanya Denita sekali lagi sembari berjalan mo
"Apa ini?" tanya Dominic melambaikan testpack yang ada di tangannya. "I-itu... "Sepasang netra Denita tidak berani menatap langsung pada Dominic. Matanya bergetar ketakutan dan dia tidak bisa memikirkan alasan masuk akal yang bisa dibenarkan. Dia tidak bisa membantah kalau barang itu bukan miliknya, sebab di penthouse mewah ini hanya ada mereka berdua. "I-itu... ""Ini milik kamu 'kan?" tanya Dominic to the point. " ... "Denita meneguk ludahnya dengan sulit. Lidahnya kelu untuk menjawab pertanyaan ini. Belum juga dia sempat memikirkan mana yang akan dipilih antara Dominic atau anak itu, tapi kebusukan yang hendak dia simpan untuk sementara waktu malah langsung ketahuan begini."Apa ini alasan kamu berlama-lama di kamar mandi? Kamu tidak benar-benar sembelit 'kan?" tanya Dominic lagi dengan nada yang sedikit lebih menuntut jawaban. Meski jawabannya sudah jelas di antara mereka, tapi Denita tidak bisa mengakuinya dengan gamblang begitu saja. Lidahnya kelu dan seluruh tubuhnya terd
Denita menunggu kepulangan Dominic hingga malam. Akan tetapi, pria itu tidak juga kembali. Hal ini jelas membuat Denita semakin yakin akan keputusannya. Di tengah harapan yang kian terkikis, Denita menulis surat pengunduran diri sekaligus surat perpisahan untuk Dominic. Setelah semuanya selesai, dia meletakkan surat itu di nakas samping tempat tidur. 'Dominic, selamat tinggal!'Denita mengucap salam perpisahan pada udara kosong yang bersirkulasi di dalam penthouse mewah nan sepi itu. Dengan sebuah koper di kiri dan kanannya, Denita perlahan melangkah meninggalkan tempat yang baru sesaat memberinya kenangan ini. Beberapa jam yang lalu, ketika sedang menunggu malam tiba, Denita telah mencari tempat yang akan dia tujuan. Dengan janin yang ada di dalam rahimnya, Denita untuk sementara ingin menghindari orang-orang yang dia kenal. Dia ingin hidup dengan damai tanpa direcoki oleh mereka. Dia ingin mulai menata hidupnya yang baru. Bali pun menjadi tujuan yang akhirnya Denita pilih. Namun
Di Bali Denita tidak memilh untuk hidup bermewah-mewah walaupun finansialnya mencukupi untuk itu. Dia lebih memilih hidup dengan sederhana karena harus menyimpan lebih banyak uang untuk keperluan melahirkan bayinya dan untuk kehidupan sehari-hari. Apalagi dia belum mencari pekerjaan setelah 7 hari mendarat di tempat ini. Untuk sementara, Denita lebih memilih untuk meluangkan waktunya untuk menjelajahi pantai-pantai yang mudah dijangkau yang ada di Bali. Sebab, selama sekian tahun lamanya, fisik dan batinnya telah terlalu banyak tertekan, Denita memilih untuk merilekskannya untuk sementara waktu. "Dasar Denita bodoh!" gumam Denita pada dirinya sendiri. Dia berniat melupakan segala hal tentang Dominic. Tapi dia justru datang ke tempat dimana dia memiliki kenangan paling indah dengan pria itu. Pantai Jimbaran! Denita menatap ombang yang menggulung di kejauhan dengan perasaan tak menentu. Ingatannya tentang ciuman romantis yang pernah mereka lakukan di sini masih begitu segar dalam in
"Ayo pergi makan. Udara di sini sudah mulai dingin," ujar Dominic seraya bangkit dari posisi duduknya. Setelah membersihkan pasir yang melekat di celananya, Dominic mulai menyodorkan tangannya kepada Denita. "Ayo, jangan melamun!" tegur pria itu sambil mengibaskan tangannya agar Denita segera meraihnya. Mau tak mau, Denita pun meraih tangan Dominic setelah menghela nafas pelan. Pada akhirnya dia memutuskan untuk kembali meletakkan harapan kecil pada pria ini. "Kamu benar-benar yakin kalau kamu ingin menjalani pernikahan ini dengan serius? Bagaimana dengan syarat yang aku ajukan?" tanya Denita memastikan. "Apa kata kamu sajalah!" jawab Dominic dengan acuh tak acuh. Akan tetapi, Denita tidak puas dengan ini. Dia mencengkram tangan Dominic yang masih dalam genggamannya kemudia menahan tangan itu untuk menghentikan langkah Dominic. "Aku serius. Aku tidak mau ketika kita membuat keputusan di sini hari ini, di kemudian hari aku malah melihat kamu jalan bersama dengan wanita lain. Aku