"Aku 22, Kak." jawab Reca. Mereka terus mengobrol. Salma bahagia, ternyata ia punya adik ipar, meskipun ia lebih tua tapi serasa seumuran. Ia juga bahagia ternyata yang menjadi arsitek panti itu Reca Mikamilny. *** "Cama Salma Ashana … istriku yang sangat aku cintai. Cama tentu lebih paham makna cinta yang sebenarnya. Capa mau bilang, cintai dan percayai Capa terus yaa … meski menyebalkan. Ekosistem Capa, belum bisa sebaik ekosistem Cama saat di pesantren. Perusahaan Zarzo Mikamilny, masih banyak kesalahan di dalamnya. Terutama kesalahan Capa yang sering marah-marah dan membentak. Tapi, Cama jadi pahlawan untuk Capa. Dari pribadi Capa sendiri, sampai karyawan seksi pun berubah mau intropeksi diri. Tau nggak, Cama? Capa tuh selalu saja ingin membuat Cama nyaman. Tapi terkadang, malah membuat Tom and Jerry kita kambuh. Mmmm, Capa rasa itu malah jadi keunikan kita sebenarnya asal diperban dengan baik. Satu butir kata yang sering tersebut, CAMA … Selama Capa bisa merasakan, menden
"Mmm, mungkin Reca perlu segera adaptasi lagi, Mi," ucap Salma. "Ya sudahlah, kamu ikut sekalian aja Sal. Biar bisa ngawasin nih si Reca supaya nggak berani bandel," ucap mami Reva. "Yeee, asyik sama Kak Salma. Tenang ajalah Mi, Reca itu udah nggak bandel saat nggak khilaf sih, hahaha … " tawa Reca dan mendapat senyum dari keluarganya. Akhirnya, Fariz pun ikut ke pantai. Kebetulan hotel Fariz berlokasi di dekat pantai Ancol. Mereka kira, tidak perlulah mereka mengawal Reca seperti anak kecil. Tapi diawasi dengan cara layaknya orang dewasa saja. Salma dan Fariz menunggu di hotel. Namun sebelumnya, mereka juga ikut ke pantai menikmati indahnya ciptaan sang kuasa. "Capa, kita pulang kan?" tanya Salma. "Ya pulanglah, masa mau tinggal di hotel terus," ucap Fariz dengan senyumnya. "Iiih Capa! Maksudnya, gak gitu kali." Salma menghela nafas. "Hahaha … kita menginap. Sekalian ngerasain tidur di hotel Capa sebelum kita tidur di hotel orang lain di Turki," jawab Fariz. Salma pun membala
"Mmm sebentar lagi," ucap Salma. "Surat apaan sih?" kepo Reca. Pertanyaan Reca malah menjadi bahan ledekan Fariz untuk adiknya. Setelah lama Fariz tidak mengingatkan masalah jilbab, ia kembali mengingatkan adiknya. Fariz harap, kali ini ia bisa lebih baik. "Kak, Reca mau ke kafe sama temen-temen tadi," "Kafe loh, awas ke tempat mabuk! Kakak nggak akan tinggal diam!" ancam Fariz. "Aaaaah iya Kak. Udah kenyang sama mabuk," "Satu lagi. Pakai kerudungnya yang menutup rambut dong." Fariz berusaha menasihati adiknya. "Reca tuh gak pantes kalo dipenuhi ke depan. Hasilnya gak pede," keluh Reca. "Oh ya? Kan model jilbab banyak, Ca. Coba deh entar Kak Salma dandanin," tawar Salma. "Wah, iya ya Kak. Boleh banget, Reca mandi dulu entar kesini lagi. Love Kak Salma," Reca berlari dengan gembira. Ternyata begitu alasan Reca tidak menutup bagian depan rambut saat memakai jilbab. Tapi baru itu juga, Reca mendengarkan dan menanggapi nasihat kakaknya dengan baik. Dulu setiap diingetin pasti mar
Reca menjerit dan tiba-tiba keluar dari area depan cermin. Reflek dengan jeritan Reca, Salma pun ikut menjerit namun tetap diam di tempat. Fariz hanya diam mengamati tingkat mereka. "Ada apa, Ca?" tanya Salma. "Hehe … ada nyamuk, entar dulu dong Kak Fariz! Lihat nih, belum selesai pakai jilbabnya, jangan jadiin Reca obat nyamuk!" kesal Reca. "Hahaha … kasihan yang belum nikah," goda Fariz. "Capa mending sana dulu deh, biar Reca dandan." Salma melepas tangan Fariz yang masih mengalung di lehernya. "Tuh, Kak Salma aja peka! Kak Fariz malah bikin tambah kesal aja," omel Reca. Sudah lama sekali, Fariz tidak bercanda dan menggoda adiknya. Fariz hanya tersenyum mendengar ocehan Reca. Salma mencoba memberi kode kepada suaminya itu, supaya cepat berlalu dari situ. "Reca, sini lanjutin pakai jilbabnya, keburu teman kamu datang," ucap Salma. "Iya Kak," jawab Reca. "Huuh, ganggu aja kamu tuh, Ca," ucap pelan Fariz dengan tersenyum samar. Salma melotot ke arah suaminya. Ia takut jika adi
"Capa, anterin aja!" seru Salma. "Tapi," "Ya udah kalau Kakak gak mau anterin yaa gak usah berangkat!" Reca keluar dengan marah. "Capa sih, jadi ngambek, kan? Kejar sana," ucap Salma sambil mendorong-dorong suaminya. Ia tidak mau menjadi pemecah hubungan darah suami dan adiknya. Ia tidak ingin menjadi sebuah penghalang keakraban mereka. Meskipun sebenarnya, Salma juga lagi ingin bersama suaminya. "Ya udah, Capa anterin dulu." Fariz membelai kepala istrinya dan jadinya mengantarkan adiknya. *** "Capa, bagaimana tadi? Masih tetap ngambek Recanya?" tanya Salma. "Hahaha … nggak dong. Maaf yaa, dia itu manja banget sama Capa," "Sama, Cama juga manja kok, hehe …" tawa kecil Salma. "Ehmm … iya sih. Semua gampang jeles, jadi bingung Capa." Fariz mengusap jidatnya. Salma menarik tangan suaminya untuk duduk kembali dan melanjutkan pembahasan surat dari Salma. Fariz menyampaikan rasa harunya saat membaca. Malam itu mereka tidur di tempat yang sebelumnya belum pernah ia tempati. "Capa
Saat Salma beraksi mencubit suaminya dan kegelian, ada suara yang mengetuk pintu kamar mereka. Fariz segera membuka pintunya. Ternyata ada wanita yang mereka kenal datang kesitu. "Ada apa?" tanya Fariz. Salma yang penasaran itu segera beranjak ke pintu kamar. Ternyata ada Clarissa di sana. Salma jadi teringat, tentang pertanyaan yang belum dijawab oleh suaminya. "Kamu ada waktu nggak, Dzar?" tanya Clarissa. 'Hah? Kenapa sih perempuan ini? Jelas-jelas lagi di hotel dengan istrinya, masih ditanya ada waktu apa nggak? Mau apa sih kamu!' geram Salma dalam batinnya. "Sorry, aku lagi sibuk," ucap Fariz berpikiran yang sama dengan Salma. "Please Dzar sempetin sekitar setengah jam buat aku. Besok aku lomba mewakili kampus, tapi belum paham dengan penjelasan dosen bagian ini nih tentang perusahaan-perusahaan, tolong dong ajarin?" pinta Clarissa. Fariz sangat kesal. Mengganggu saja wanita itu. Tapi, kalau tidak cepat-cepat diiyain dia tidak pergi-pergi dari hotel itu. Tapi Fariz masih me
"Mmm, nggak usah bahas dia. Kita bahas kita berdua aja dulu. Udah hilang nih, jelesnya?" tanya Fariz. "Ahhh, benar juga sih. Eh, masih delapan puluh persen," ucap Salma dengan sisa kesalnya yang masih banyak. "Ehm … tau nggak? Capa juga gak betah sebenarnya. Tapi mau gimana lagi. Maafin yaa?" pinta Fariz lagi. "Malas banget deh. Jadi berantakan," ketus Salma. "Kita pulang aja ke hotel, Capa beliin jajanan kita makan di hotel, yuk!" Fariz merangkul istrinya dan sedikit mendorongnya. Salma akhirnya berjalan meski dengan malas dan cemberut. Ia kembali manja saat di depan kamar hotel. Fariz juga malah senang dengan istrinya yang seperti itu. "Capa … gendong yaa," pinta Salma. "Mmm oke Sayang," ucap Fariz segera menggendong istrinya. "Nih, kamu makan jajanannya," ucap Fariz sambil membuka plastiknya. "Suapin dong," ucap Salma. "Oke, nih makan yang banyak." Fariz tersenyum penuh syukur. Meskipun ekspresi Salma masih tetap cemberut, Fariz tak lelah untuk berusaha tersenyum kepadany
"Eh, Cama bangun. Ya nggak dong." Fariz segera mengangkat istrinya ke ranjang. Namun, beberapa menit kemudian saat Salma berbalik arah, ia menggigil dan badannya panas. Fariz beberapa kali menyentuh kulit istrinya dan memang benar istrinya demam di malam hari itu. "Capa, Cama kedinginan," keluh Salma. "Cama, loh. Kok badan kamu panas? Ini pasti gara-gara kamu tadi kelamaan di pantai. Sebentar Capa telepon petugas buat anterin obat, kamu nggak ada alergi obat apapun kan?" "Cama tuh ada alergi obat," jawab Salma. "Obat apa?" tanya Fariz sembari bersiap untuk telepon. "Matador," jawab Salma sambil menggigil. "Iiih Cama gak lucu ah! Sakit juga malah bercanda," ucap Fariz sambil mengelus pipi istrinya yang memerah karena suhu badannya panas. Salma tersenyum sambil memejamkan matanya. Dalam hatinya ia berpikir kalau suaminya itu sedang berwajah khawatir. Kalau ia membuka mata, bisa-bisa membuat ia tertawa. "Jadi ada alergi nggak yang benar?" tanya Fariz. "Nggak ada," jawab Salma.