"Eh, Cama bangun. Ya nggak dong." Fariz segera mengangkat istrinya ke ranjang. Namun, beberapa menit kemudian saat Salma berbalik arah, ia menggigil dan badannya panas. Fariz beberapa kali menyentuh kulit istrinya dan memang benar istrinya demam di malam hari itu. "Capa, Cama kedinginan," keluh Salma. "Cama, loh. Kok badan kamu panas? Ini pasti gara-gara kamu tadi kelamaan di pantai. Sebentar Capa telepon petugas buat anterin obat, kamu nggak ada alergi obat apapun kan?" "Cama tuh ada alergi obat," jawab Salma. "Obat apa?" tanya Fariz sembari bersiap untuk telepon. "Matador," jawab Salma sambil menggigil. "Iiih Cama gak lucu ah! Sakit juga malah bercanda," ucap Fariz sambil mengelus pipi istrinya yang memerah karena suhu badannya panas. Salma tersenyum sambil memejamkan matanya. Dalam hatinya ia berpikir kalau suaminya itu sedang berwajah khawatir. Kalau ia membuka mata, bisa-bisa membuat ia tertawa. "Jadi ada alergi nggak yang benar?" tanya Fariz. "Nggak ada," jawab Salma.
"Kamu kok masih dengar? Belum tidur juga dari tadi? Cama ngeprank Capa, ya?" tanya Fariz. "Argh, katanya tidak ada pertanyaan dibalas pertanyaan." Salma mendengus kesal. "Hehe … maaf Sayang, Capa tuh ketemu banyak perempuan, tapi yang berhasil menarik Capa dalam lautan cinta, ya cuma satu, siapa lagi kalau bukan wanita yang ada di depan Capa, Cama Salma Ashana." Fariz terus membelai sang istri. "Tapi Cama kecewa, seharusnya Capa tuh bisa merayu Reca biar mau pulang dianterin, tega." Salma tidak melanjutkan bicaranya. Sebenarnya, awalnya Salma sudah berniat untuk tidak apa-apa suaminya itu pergi menjemput Reca. Itu karena ia kasihan kalau Reca sampai pulangnya kemalaman atau bahkan benar-benar tidak mau pulang. Tapi, dalam hatinya juga sangat berharap suaminya tetap bersamanya. Kekecewaannya sebenarnya juga tidak mau ia ungkap. Tapi mulutnya sudah tidak tahan untuk menahan. "Cama boleh kok kecewa, kecewa aja sampai puas terungkap." Fariz lelah dan sudah mengantuk. "Baik, Capa sen
"Kenapa Cama ngomong begitu? Apapun keadaan Cama, Capa tetap sayang sama Cama. Besok kita ke rumah sakit, kamu harus dicek sakit apanya, biar gak sembarangan minum obat." Fariz terkejut dengan yang barusan ditanyakan istrinya. Fariz mencintai Salma bukan hanya dari sehat, cantik, dan pintar. Ia benar mencintai tulus dari jiwa dan raganya. Jadi tidak mungkin Fariz akan lari disaat sebuah cobaan menghampiri istrinya. "Yee Capa panik, wkwk. Cama udah sembuh, kok," tawa Salma. "Tetap aja kita ke rumah sakit. Setiap tiga bulan kita rutin check up." Fariz berbicara sambil suaranya yang semakin hilang. "Capa kok udah ngantuk? Gak jadi ngajak Cama nih," rajuk Salma. "Hahaha … kok gitu sih bicaranya. Macam ngebet banget kamu Sayang. Entar aja, kasihan kamu masih sakit, tidur yuk!" "Iiih, Capa ngada-ngada, Cama biasa aja kok ngomongnya, oke deh tidur," jawab Salma. *** Sekitar satu bulan kemudian, Salma masuk untuk kuliah. Tentunya Freya juga masuk saat itu. Mereka bertemu langsung di ge
"Tiiinnn … tiiin .…" Klakson mobil Fariz dibunyikan tepat di depan Salma dan Wildan. Belum sempat Wildan menjawab, mereka sudah dikagetkan dengan suara itu. Salma sangat bahagia akhirnya Fariz datang. "Sayang, cepat masuk!" ucap Fariz dengan lantang membuat Wildan terlihat heran. "Baiklah Sayang," jawab Salma. Apa tidak salah dengar? Istrinya mengucapkan kata itu? Selama ini, Salma belum pernah rasanya mengucapkan dengan gamblang seperti itu. Meskipun secara simbolis, memang mereka punya panggilan sayang sendiri. Fariz tersenyum-senyum terus mengingat istrinya berkata seperti itu. "Hhhh, lega. Capa kenapa sih jemputnya telat? Entar kalau Salma digoda cowok lain, ikhlas? Kalau Salma kabur, nggak khawatir? Tega melihat istrinya luntang-lantung sendiri?" oceh Salma. "Ehm … hahaha … udah dong ngomel-ngomelnya. Cama bilang sayang tadi tuh tulus gak, sih?" Fariz malah membahas hal lain. "Huaaaaaaaa, Capa! Cama gak suka yaa, mengalihkan pembicaraan seperti ini!" ucapnya dengan
"Maksud Freya, Gus tuh terlihat tampan banget kalau lagi menjelaskan, pasti kalau menjelaskan materi kitab-kitab pesantren terlihat semakin tampan. Freya pengen lihat Gus seperti itu," ucap Freya dengan penuh hati-hati. "Ooo begitu, kita makan dulu," ucap gus Barra. 'Yah, responnya cuma begitu?' batin Freya. Gus Barra berdiri menadahkan tangannya untuk menggandeng Freya. Freya pun segera meraih tangan suaminya dan berdiri. Mereka menuju ruang makan, yang mana sudah ada abah, ummi dan para gus, ning, serta cucu-cucu dan menantu dari kyai Muwafik. Freya bilang seperti itu tadi, itu karena mendengar pembicaraan abah dan ummi. Mereka ingin melihat putranya mau mengajar kitab-kitab di pesantren. Sebenarnya gus Barra bukannya tidak bisa, cuma dia selalu berkata seperti itu karena belum mencoba. Saat di kelas pun biasanya ia menjelaskan. Tapi, ia tidak mau kalau mengajar secara resmi menjadi gurunya. Meskipun abah dan ummi menginginkan, tapi mereka tidak mau membuat putranya kecewa. Mer
"Kalau belum ya usaha lagi dong, Sayang." "Memangnya kalau sudah ada, sudah cukup berhenti grak?" Freya lumayan malu dengan jawaban suaminya, sekalian ia belokkan saja bicaranya. "Hahaha … ya gak gitu jugalah, batin kita tersiksa entar kalau seperti itu. Intinya, aku mau kasih kado atas kedatangan tanaman permata kita, kalau belum ya kasih kadonya entar kalau udah ada." Gus Barra tidak berhenti tersenyum. "Iiiih curang. Waktu pernikahan aja, lagunya lagu lama," rajuk Freya. Bukan hanya Salma ternyata yang gampang merajuk. Si Freya juga sama saja. Gus Barra membelai kepala sang istri yang kini masih terlihat lemas. "Frey, maafkan aku yaa. Acara pernikahan kita itu tipe-tipe surprise gitu. Sebenarnya sudah banyak lagu aku yang masih tersimpan," "Aaah boong pasti cari alasan." Freya sangat berbeda dengan biasanya. Merajuknya Freya itu biasanya diwujudkan dengan diam. Gus Barra, semakin dibuat merasa optimistis kalau istrinya memang sedang hamil. Kini ia merajuknya dengan seperti it
"Dari kapan? Mungkin semenjak kelas tiga MA, betul kan?" tebak Freya. "Hah? Salah besar," ucap Gus Barra. "Lah, kapan dong?" tanya Freya. "Sejak kelas satu MA," jawab gus Barra. Freya heran mendengarnya. Waktu itu ialah waktu-waktu saat Salma juga menaruh rasa pada gus Barra. Masa dimana mereka juga saling dijodohkan oleh para santri. Dan Freya pun juga belum menaruh rasa pada gus Barra. Freya tertawa. Ia jadi bercerita tentang masa lalu. Tidak lupa, Freya mengabarkan hal tersebut kepada sahabatnya. Ia sangat bersyukur punya gus Barra yang bisa memupuknya untuk menjadi wanita sholihah. "Salma, Alhamdulillaah garis dua, semoga kamu segera menyusul, biar anak kita entar seumuran," tulis Freya dalam chat. "Alhamdulillaah, aku senang sekali mendengarnya. Selamat bestie … Aaaa Freya udah OTW jadi ibu, pasti dikasih lagu tuh sama gus Barra," balas Salma. Salma bisa menebak seperti itu, karena dulu pernah ngobrol saat mereka akan tampil nyanyi bersama. Saat itu Salma menaruh rasa tapi
"Freya nih, ngapain ya?" ucap Salma. "Angkat dong, Cama," ucap Fariz. "Angkatin coba, sepertinya gus Barra yang menelpon," ucap Salma. Fariz mengangkat teleponnya. Ternyata benar, gus Barra, yang memakai ponsel Freya. Ia meminta kehadiran mereka malam nanti dalam konser dan tasyakuran atas kehamilan Freya. "Tuh, entar malam ada acara di pesantren, tetap mau sekarang?" tanya Fariz. Hari itu Salma tidak masuk kuliah. Daripada bolak balik, Salma memutuskan untuk nanti saja ke pesantrennya sekalian acara. Ia ikut Fariz ke kantor lagi. "Ya sudahlah, nanti saja." Salma kembali duduk di ranjangnya. "Ikut Capa aja sekarang, mau kan?" ajak Fariz. "Gak mau kalau hanya untuk menonton perempuan lain mendekati Capa," ucap Salma. "Hhhh, kamu rela suami kamu dikejar perempuan lain?" Fariz ingin memulai perdebatan konyol mereka. Salma menatap suaminya yang masih berdiri. Jurus ampuh mereka mulai disimpan masing-masing. Pagi hari Tom and Jerry sudah tayang kembali. Fariz sering kali membuat