"Mmm sebentar lagi," ucap Salma. "Surat apaan sih?" kepo Reca. Pertanyaan Reca malah menjadi bahan ledekan Fariz untuk adiknya. Setelah lama Fariz tidak mengingatkan masalah jilbab, ia kembali mengingatkan adiknya. Fariz harap, kali ini ia bisa lebih baik. "Kak, Reca mau ke kafe sama temen-temen tadi," "Kafe loh, awas ke tempat mabuk! Kakak nggak akan tinggal diam!" ancam Fariz. "Aaaaah iya Kak. Udah kenyang sama mabuk," "Satu lagi. Pakai kerudungnya yang menutup rambut dong." Fariz berusaha menasihati adiknya. "Reca tuh gak pantes kalo dipenuhi ke depan. Hasilnya gak pede," keluh Reca. "Oh ya? Kan model jilbab banyak, Ca. Coba deh entar Kak Salma dandanin," tawar Salma. "Wah, iya ya Kak. Boleh banget, Reca mandi dulu entar kesini lagi. Love Kak Salma," Reca berlari dengan gembira. Ternyata begitu alasan Reca tidak menutup bagian depan rambut saat memakai jilbab. Tapi baru itu juga, Reca mendengarkan dan menanggapi nasihat kakaknya dengan baik. Dulu setiap diingetin pasti mar
Reca menjerit dan tiba-tiba keluar dari area depan cermin. Reflek dengan jeritan Reca, Salma pun ikut menjerit namun tetap diam di tempat. Fariz hanya diam mengamati tingkat mereka. "Ada apa, Ca?" tanya Salma. "Hehe … ada nyamuk, entar dulu dong Kak Fariz! Lihat nih, belum selesai pakai jilbabnya, jangan jadiin Reca obat nyamuk!" kesal Reca. "Hahaha … kasihan yang belum nikah," goda Fariz. "Capa mending sana dulu deh, biar Reca dandan." Salma melepas tangan Fariz yang masih mengalung di lehernya. "Tuh, Kak Salma aja peka! Kak Fariz malah bikin tambah kesal aja," omel Reca. Sudah lama sekali, Fariz tidak bercanda dan menggoda adiknya. Fariz hanya tersenyum mendengar ocehan Reca. Salma mencoba memberi kode kepada suaminya itu, supaya cepat berlalu dari situ. "Reca, sini lanjutin pakai jilbabnya, keburu teman kamu datang," ucap Salma. "Iya Kak," jawab Reca. "Huuh, ganggu aja kamu tuh, Ca," ucap pelan Fariz dengan tersenyum samar. Salma melotot ke arah suaminya. Ia takut jika adi
"Capa, anterin aja!" seru Salma. "Tapi," "Ya udah kalau Kakak gak mau anterin yaa gak usah berangkat!" Reca keluar dengan marah. "Capa sih, jadi ngambek, kan? Kejar sana," ucap Salma sambil mendorong-dorong suaminya. Ia tidak mau menjadi pemecah hubungan darah suami dan adiknya. Ia tidak ingin menjadi sebuah penghalang keakraban mereka. Meskipun sebenarnya, Salma juga lagi ingin bersama suaminya. "Ya udah, Capa anterin dulu." Fariz membelai kepala istrinya dan jadinya mengantarkan adiknya. *** "Capa, bagaimana tadi? Masih tetap ngambek Recanya?" tanya Salma. "Hahaha … nggak dong. Maaf yaa, dia itu manja banget sama Capa," "Sama, Cama juga manja kok, hehe …" tawa kecil Salma. "Ehmm … iya sih. Semua gampang jeles, jadi bingung Capa." Fariz mengusap jidatnya. Salma menarik tangan suaminya untuk duduk kembali dan melanjutkan pembahasan surat dari Salma. Fariz menyampaikan rasa harunya saat membaca. Malam itu mereka tidur di tempat yang sebelumnya belum pernah ia tempati. "Capa
Saat Salma beraksi mencubit suaminya dan kegelian, ada suara yang mengetuk pintu kamar mereka. Fariz segera membuka pintunya. Ternyata ada wanita yang mereka kenal datang kesitu. "Ada apa?" tanya Fariz. Salma yang penasaran itu segera beranjak ke pintu kamar. Ternyata ada Clarissa di sana. Salma jadi teringat, tentang pertanyaan yang belum dijawab oleh suaminya. "Kamu ada waktu nggak, Dzar?" tanya Clarissa. 'Hah? Kenapa sih perempuan ini? Jelas-jelas lagi di hotel dengan istrinya, masih ditanya ada waktu apa nggak? Mau apa sih kamu!' geram Salma dalam batinnya. "Sorry, aku lagi sibuk," ucap Fariz berpikiran yang sama dengan Salma. "Please Dzar sempetin sekitar setengah jam buat aku. Besok aku lomba mewakili kampus, tapi belum paham dengan penjelasan dosen bagian ini nih tentang perusahaan-perusahaan, tolong dong ajarin?" pinta Clarissa. Fariz sangat kesal. Mengganggu saja wanita itu. Tapi, kalau tidak cepat-cepat diiyain dia tidak pergi-pergi dari hotel itu. Tapi Fariz masih me
"Mmm, nggak usah bahas dia. Kita bahas kita berdua aja dulu. Udah hilang nih, jelesnya?" tanya Fariz. "Ahhh, benar juga sih. Eh, masih delapan puluh persen," ucap Salma dengan sisa kesalnya yang masih banyak. "Ehm … tau nggak? Capa juga gak betah sebenarnya. Tapi mau gimana lagi. Maafin yaa?" pinta Fariz lagi. "Malas banget deh. Jadi berantakan," ketus Salma. "Kita pulang aja ke hotel, Capa beliin jajanan kita makan di hotel, yuk!" Fariz merangkul istrinya dan sedikit mendorongnya. Salma akhirnya berjalan meski dengan malas dan cemberut. Ia kembali manja saat di depan kamar hotel. Fariz juga malah senang dengan istrinya yang seperti itu. "Capa … gendong yaa," pinta Salma. "Mmm oke Sayang," ucap Fariz segera menggendong istrinya. "Nih, kamu makan jajanannya," ucap Fariz sambil membuka plastiknya. "Suapin dong," ucap Salma. "Oke, nih makan yang banyak." Fariz tersenyum penuh syukur. Meskipun ekspresi Salma masih tetap cemberut, Fariz tak lelah untuk berusaha tersenyum kepadany
"Eh, Cama bangun. Ya nggak dong." Fariz segera mengangkat istrinya ke ranjang. Namun, beberapa menit kemudian saat Salma berbalik arah, ia menggigil dan badannya panas. Fariz beberapa kali menyentuh kulit istrinya dan memang benar istrinya demam di malam hari itu. "Capa, Cama kedinginan," keluh Salma. "Cama, loh. Kok badan kamu panas? Ini pasti gara-gara kamu tadi kelamaan di pantai. Sebentar Capa telepon petugas buat anterin obat, kamu nggak ada alergi obat apapun kan?" "Cama tuh ada alergi obat," jawab Salma. "Obat apa?" tanya Fariz sembari bersiap untuk telepon. "Matador," jawab Salma sambil menggigil. "Iiih Cama gak lucu ah! Sakit juga malah bercanda," ucap Fariz sambil mengelus pipi istrinya yang memerah karena suhu badannya panas. Salma tersenyum sambil memejamkan matanya. Dalam hatinya ia berpikir kalau suaminya itu sedang berwajah khawatir. Kalau ia membuka mata, bisa-bisa membuat ia tertawa. "Jadi ada alergi nggak yang benar?" tanya Fariz. "Nggak ada," jawab Salma.
"Kamu kok masih dengar? Belum tidur juga dari tadi? Cama ngeprank Capa, ya?" tanya Fariz. "Argh, katanya tidak ada pertanyaan dibalas pertanyaan." Salma mendengus kesal. "Hehe … maaf Sayang, Capa tuh ketemu banyak perempuan, tapi yang berhasil menarik Capa dalam lautan cinta, ya cuma satu, siapa lagi kalau bukan wanita yang ada di depan Capa, Cama Salma Ashana." Fariz terus membelai sang istri. "Tapi Cama kecewa, seharusnya Capa tuh bisa merayu Reca biar mau pulang dianterin, tega." Salma tidak melanjutkan bicaranya. Sebenarnya, awalnya Salma sudah berniat untuk tidak apa-apa suaminya itu pergi menjemput Reca. Itu karena ia kasihan kalau Reca sampai pulangnya kemalaman atau bahkan benar-benar tidak mau pulang. Tapi, dalam hatinya juga sangat berharap suaminya tetap bersamanya. Kekecewaannya sebenarnya juga tidak mau ia ungkap. Tapi mulutnya sudah tidak tahan untuk menahan. "Cama boleh kok kecewa, kecewa aja sampai puas terungkap." Fariz lelah dan sudah mengantuk. "Baik, Capa sen
"Kenapa Cama ngomong begitu? Apapun keadaan Cama, Capa tetap sayang sama Cama. Besok kita ke rumah sakit, kamu harus dicek sakit apanya, biar gak sembarangan minum obat." Fariz terkejut dengan yang barusan ditanyakan istrinya. Fariz mencintai Salma bukan hanya dari sehat, cantik, dan pintar. Ia benar mencintai tulus dari jiwa dan raganya. Jadi tidak mungkin Fariz akan lari disaat sebuah cobaan menghampiri istrinya. "Yee Capa panik, wkwk. Cama udah sembuh, kok," tawa Salma. "Tetap aja kita ke rumah sakit. Setiap tiga bulan kita rutin check up." Fariz berbicara sambil suaranya yang semakin hilang. "Capa kok udah ngantuk? Gak jadi ngajak Cama nih," rajuk Salma. "Hahaha … kok gitu sih bicaranya. Macam ngebet banget kamu Sayang. Entar aja, kasihan kamu masih sakit, tidur yuk!" "Iiih, Capa ngada-ngada, Cama biasa aja kok ngomongnya, oke deh tidur," jawab Salma. *** Sekitar satu bulan kemudian, Salma masuk untuk kuliah. Tentunya Freya juga masuk saat itu. Mereka bertemu langsung di ge