"Mmm, mungkin Reca perlu segera adaptasi lagi, Mi," ucap Salma. "Ya sudahlah, kamu ikut sekalian aja Sal. Biar bisa ngawasin nih si Reca supaya nggak berani bandel," ucap mami Reva. "Yeee, asyik sama Kak Salma. Tenang ajalah Mi, Reca itu udah nggak bandel saat nggak khilaf sih, hahaha … " tawa Reca dan mendapat senyum dari keluarganya. Akhirnya, Fariz pun ikut ke pantai. Kebetulan hotel Fariz berlokasi di dekat pantai Ancol. Mereka kira, tidak perlulah mereka mengawal Reca seperti anak kecil. Tapi diawasi dengan cara layaknya orang dewasa saja. Salma dan Fariz menunggu di hotel. Namun sebelumnya, mereka juga ikut ke pantai menikmati indahnya ciptaan sang kuasa. "Capa, kita pulang kan?" tanya Salma. "Ya pulanglah, masa mau tinggal di hotel terus," ucap Fariz dengan senyumnya. "Iiih Capa! Maksudnya, gak gitu kali." Salma menghela nafas. "Hahaha … kita menginap. Sekalian ngerasain tidur di hotel Capa sebelum kita tidur di hotel orang lain di Turki," jawab Fariz. Salma pun membala
"Mmm sebentar lagi," ucap Salma. "Surat apaan sih?" kepo Reca. Pertanyaan Reca malah menjadi bahan ledekan Fariz untuk adiknya. Setelah lama Fariz tidak mengingatkan masalah jilbab, ia kembali mengingatkan adiknya. Fariz harap, kali ini ia bisa lebih baik. "Kak, Reca mau ke kafe sama temen-temen tadi," "Kafe loh, awas ke tempat mabuk! Kakak nggak akan tinggal diam!" ancam Fariz. "Aaaaah iya Kak. Udah kenyang sama mabuk," "Satu lagi. Pakai kerudungnya yang menutup rambut dong." Fariz berusaha menasihati adiknya. "Reca tuh gak pantes kalo dipenuhi ke depan. Hasilnya gak pede," keluh Reca. "Oh ya? Kan model jilbab banyak, Ca. Coba deh entar Kak Salma dandanin," tawar Salma. "Wah, iya ya Kak. Boleh banget, Reca mandi dulu entar kesini lagi. Love Kak Salma," Reca berlari dengan gembira. Ternyata begitu alasan Reca tidak menutup bagian depan rambut saat memakai jilbab. Tapi baru itu juga, Reca mendengarkan dan menanggapi nasihat kakaknya dengan baik. Dulu setiap diingetin pasti mar
Reca menjerit dan tiba-tiba keluar dari area depan cermin. Reflek dengan jeritan Reca, Salma pun ikut menjerit namun tetap diam di tempat. Fariz hanya diam mengamati tingkat mereka. "Ada apa, Ca?" tanya Salma. "Hehe … ada nyamuk, entar dulu dong Kak Fariz! Lihat nih, belum selesai pakai jilbabnya, jangan jadiin Reca obat nyamuk!" kesal Reca. "Hahaha … kasihan yang belum nikah," goda Fariz. "Capa mending sana dulu deh, biar Reca dandan." Salma melepas tangan Fariz yang masih mengalung di lehernya. "Tuh, Kak Salma aja peka! Kak Fariz malah bikin tambah kesal aja," omel Reca. Sudah lama sekali, Fariz tidak bercanda dan menggoda adiknya. Fariz hanya tersenyum mendengar ocehan Reca. Salma mencoba memberi kode kepada suaminya itu, supaya cepat berlalu dari situ. "Reca, sini lanjutin pakai jilbabnya, keburu teman kamu datang," ucap Salma. "Iya Kak," jawab Reca. "Huuh, ganggu aja kamu tuh, Ca," ucap pelan Fariz dengan tersenyum samar. Salma melotot ke arah suaminya. Ia takut jika adi
"Capa, anterin aja!" seru Salma. "Tapi," "Ya udah kalau Kakak gak mau anterin yaa gak usah berangkat!" Reca keluar dengan marah. "Capa sih, jadi ngambek, kan? Kejar sana," ucap Salma sambil mendorong-dorong suaminya. Ia tidak mau menjadi pemecah hubungan darah suami dan adiknya. Ia tidak ingin menjadi sebuah penghalang keakraban mereka. Meskipun sebenarnya, Salma juga lagi ingin bersama suaminya. "Ya udah, Capa anterin dulu." Fariz membelai kepala istrinya dan jadinya mengantarkan adiknya. *** "Capa, bagaimana tadi? Masih tetap ngambek Recanya?" tanya Salma. "Hahaha … nggak dong. Maaf yaa, dia itu manja banget sama Capa," "Sama, Cama juga manja kok, hehe …" tawa kecil Salma. "Ehmm … iya sih. Semua gampang jeles, jadi bingung Capa." Fariz mengusap jidatnya. Salma menarik tangan suaminya untuk duduk kembali dan melanjutkan pembahasan surat dari Salma. Fariz menyampaikan rasa harunya saat membaca. Malam itu mereka tidur di tempat yang sebelumnya belum pernah ia tempati. "Capa
Saat Salma beraksi mencubit suaminya dan kegelian, ada suara yang mengetuk pintu kamar mereka. Fariz segera membuka pintunya. Ternyata ada wanita yang mereka kenal datang kesitu. "Ada apa?" tanya Fariz. Salma yang penasaran itu segera beranjak ke pintu kamar. Ternyata ada Clarissa di sana. Salma jadi teringat, tentang pertanyaan yang belum dijawab oleh suaminya. "Kamu ada waktu nggak, Dzar?" tanya Clarissa. 'Hah? Kenapa sih perempuan ini? Jelas-jelas lagi di hotel dengan istrinya, masih ditanya ada waktu apa nggak? Mau apa sih kamu!' geram Salma dalam batinnya. "Sorry, aku lagi sibuk," ucap Fariz berpikiran yang sama dengan Salma. "Please Dzar sempetin sekitar setengah jam buat aku. Besok aku lomba mewakili kampus, tapi belum paham dengan penjelasan dosen bagian ini nih tentang perusahaan-perusahaan, tolong dong ajarin?" pinta Clarissa. Fariz sangat kesal. Mengganggu saja wanita itu. Tapi, kalau tidak cepat-cepat diiyain dia tidak pergi-pergi dari hotel itu. Tapi Fariz masih me
"Mmm, nggak usah bahas dia. Kita bahas kita berdua aja dulu. Udah hilang nih, jelesnya?" tanya Fariz. "Ahhh, benar juga sih. Eh, masih delapan puluh persen," ucap Salma dengan sisa kesalnya yang masih banyak. "Ehm … tau nggak? Capa juga gak betah sebenarnya. Tapi mau gimana lagi. Maafin yaa?" pinta Fariz lagi. "Malas banget deh. Jadi berantakan," ketus Salma. "Kita pulang aja ke hotel, Capa beliin jajanan kita makan di hotel, yuk!" Fariz merangkul istrinya dan sedikit mendorongnya. Salma akhirnya berjalan meski dengan malas dan cemberut. Ia kembali manja saat di depan kamar hotel. Fariz juga malah senang dengan istrinya yang seperti itu. "Capa … gendong yaa," pinta Salma. "Mmm oke Sayang," ucap Fariz segera menggendong istrinya. "Nih, kamu makan jajanannya," ucap Fariz sambil membuka plastiknya. "Suapin dong," ucap Salma. "Oke, nih makan yang banyak." Fariz tersenyum penuh syukur. Meskipun ekspresi Salma masih tetap cemberut, Fariz tak lelah untuk berusaha tersenyum kepadany
"Eh, Cama bangun. Ya nggak dong." Fariz segera mengangkat istrinya ke ranjang. Namun, beberapa menit kemudian saat Salma berbalik arah, ia menggigil dan badannya panas. Fariz beberapa kali menyentuh kulit istrinya dan memang benar istrinya demam di malam hari itu. "Capa, Cama kedinginan," keluh Salma. "Cama, loh. Kok badan kamu panas? Ini pasti gara-gara kamu tadi kelamaan di pantai. Sebentar Capa telepon petugas buat anterin obat, kamu nggak ada alergi obat apapun kan?" "Cama tuh ada alergi obat," jawab Salma. "Obat apa?" tanya Fariz sembari bersiap untuk telepon. "Matador," jawab Salma sambil menggigil. "Iiih Cama gak lucu ah! Sakit juga malah bercanda," ucap Fariz sambil mengelus pipi istrinya yang memerah karena suhu badannya panas. Salma tersenyum sambil memejamkan matanya. Dalam hatinya ia berpikir kalau suaminya itu sedang berwajah khawatir. Kalau ia membuka mata, bisa-bisa membuat ia tertawa. "Jadi ada alergi nggak yang benar?" tanya Fariz. "Nggak ada," jawab Salma.
"Kamu kok masih dengar? Belum tidur juga dari tadi? Cama ngeprank Capa, ya?" tanya Fariz. "Argh, katanya tidak ada pertanyaan dibalas pertanyaan." Salma mendengus kesal. "Hehe … maaf Sayang, Capa tuh ketemu banyak perempuan, tapi yang berhasil menarik Capa dalam lautan cinta, ya cuma satu, siapa lagi kalau bukan wanita yang ada di depan Capa, Cama Salma Ashana." Fariz terus membelai sang istri. "Tapi Cama kecewa, seharusnya Capa tuh bisa merayu Reca biar mau pulang dianterin, tega." Salma tidak melanjutkan bicaranya. Sebenarnya, awalnya Salma sudah berniat untuk tidak apa-apa suaminya itu pergi menjemput Reca. Itu karena ia kasihan kalau Reca sampai pulangnya kemalaman atau bahkan benar-benar tidak mau pulang. Tapi, dalam hatinya juga sangat berharap suaminya tetap bersamanya. Kekecewaannya sebenarnya juga tidak mau ia ungkap. Tapi mulutnya sudah tidak tahan untuk menahan. "Cama boleh kok kecewa, kecewa aja sampai puas terungkap." Fariz lelah dan sudah mengantuk. "Baik, Capa sen
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka