Bab 3
π Perkara teflonAku masih ingat betul, bagaimana dulu saat aku tinggalkan Mas Samsul untuk bekerja ke luar kota. Hampir semua perabotanku di rumah ludes berpindah ke rumah mertua. Bahkan, ada beberapa yang sengaja di jual oleh ibu mertuaku tetapi beliau tidak mau mengaku. Setelah dua tahun lamanya, barulah semua itu terbongkar saat secara tidak sengaja Lek Siti menjual sebuah teflon keramik padaku.Teflon itu tak lain dan tak bukan adalah milikku, hadiah dari mamahku saat awal pernikahanku dengan Mas Samsul. Karena teflon itu bisa dikatakan limited edition, apalagi di bawah gagang teflon itu tertulis namaku dan juga Mas Samsul."Lek, kalau boleh tau. Lek Siti dapat beli di mana teflon ini?" tanyaku sengaja memancingnya saat itu.Awalnya aku sama sekali tidak ingin suudzon saat hanya melihat sekilas dari dus yang dibawa oleh Lek Siti ke rumahku saat itu. Meskipun mamahku pernah bilang jika itu edition limited, tetapi bukan tidak mungkin kalau Lek Siti juga mampu membelinya bukan. Karena jujur saja, harganya juga lumayan mahal karena produk dari salah satu brand terkenal."Ini aku beli dari mamak mertuamu, Bu Sari. Aku sekarang lagi butuh duit, pas aku lihat di bawah gagangnya ada nama kamu dan Samsul. Jadi akau tawarkan lagi sama kamu, siapa tahu kamu mau balik gantiin. Kan sayang itu, mana ini teflon berat banget, Rin." Lek Siti mulai membuka dus dan mengeluarkan isinya dari dalam.Begitu ia memperlihatkan bagian bawah gagang teflon itu, jantungku benar-benar rasanya mau copot. Barang yang sudah lama aku cari-cari rupanya sudah berpindah tangan secara 'ajaib'. Pasalnya, saat barang itu hilang dari tempatnya, semua orang aku tanyain dan tidak ada satu pun yang mau mengakui. Dan kini Allah malah menunjukannya setelah dua tahun waktu berlalu dan aku sudah mulai mengikhlaskannya."Ya sudah, Lek. Mau dijual berapa ini?" tanyaku dengan hati yang sudah tidak karuan, kecewa bercampur emosi."Dua ratus ribu saja, Rin. Soalnya dulu mamak mertuamu jualnya juga segitu ke aku, kan ini juga belum pernah aku pakai. Jadi ya, itung-itung cuma jaminan aja lah gitu, ya," ujar Lek Siti tidak mau rugi.Allahurabbi ... Memang Allah itu memberikan rejeki tak disangka-sangka. Padahal teflon itu harganya dua juta lebih, tapi karena mamak mertuaku tidak tahu jenis barang makanya ia jual dengan sangat murah. Dan untungnya, orang yang beli adalah Lek Siti yang sama-sama tidak tahu barang."Ya sudah, Lek. Teflonnya aku bayarin aja, ya. Sebentar aku ambil uangnya dulu," ucapku langsung beranjak ke kamar untuk mengambil uang.Setelah itu, aku kembali menemui Lek Siti yang masih setia duduk di ruang tamu. Kuberikan dua lembar uang berwarna merah, Lek Siti pun terlihat senang dan buru-buru pamit pergi.Setelah kepergian Lek Siti, aku pandangi teflon yang masih tergeletak di atas kardus. Ada rasa haru dan juga kesal bercampur jadi satu. Haru karena akhirnya barang pemberian mamahku bisa kembali ke tanganku, kesal karena mengapa mamak mertuaku tidak mau berkata jujur.Tiba-tiba bayangan kejadian dua tahun lalu pun kembali muncul. Di mana saat itu aku ingin menggunakan teflon itu untuk membuat es pisang ijo pesanan dari sebuah kampus ternama di Kota Jogja untuk acara buka bersama.Aku yang baru dua bulan menjelang puasa pulang ke rumah pun dibuat pusing tujuh keliling karena benda itu lenyap secara tiba-tiba. Mas Samsul aku tanyai, dia bilang katanya sempat melihat mama membawa teflon itu beserta kardusnya dari dalam rumahku. Kebetulan posisi suamiku itu sedang ada di samping rumah membabat rumput, ia bisa melihat mamak mertua keluar, tetapi beliau tidak dapat melihat Mas Samsul karena posisi suamiku jongkok dan sedikit tertutup pohon.Saat itu, Mas Samsul tidak berpikir macam-macam, ia mengira kalau mamak mertua hanya akan meminjamnya saja. Namun, setelah itu Mas Samsul tidak menanyakannya lagi karena lupa.Aku menyuruh suamiku itu untuk mengambil kembali di tempat mamak. Namun tunggu punya tunggu hingga dua jam berlalu Mas Samsul tak kunjung kembali. Akhirnya aku susullah dia ke rumah mertua yang kebetulan berjarak lima ratus meter dari rumah kami.Ternyata di sana sedang berkumpul semua, suamiku terlihat sibuk mencari ke sana kemari. Namun tidak kunjung ketemu benda yang kami cari. Akhirnya, Mas Samsul pun mencoba membujuk mamak mertua untuk memberi tahukan di mana benda itu ia simpan. Melihat gelagat mamak mertua yang salah tingkah, suamiku itu pun mulai curiga. Karena sedikit banyak ia sudah sangat paham dengan tingkah ibunya sendiri termasuk aku.Sayangnya, sekuat dan sehalus apa pun suamiku membujuk, mamak mertua masih tidak mau mengaku bahkan sampai berani mengatakan sumpah. Karena usaha Mas Samsul tidak membuahkan hasil, akhirnya aku lah yang ambil alih untuk membujuk mamak mertuaku itu agar mau berkata sejujurnya. Siapa tahu, sesama perempuan bisa bicara dari hati ke hati dan akhirnya luluh kan tidak ada yang tahu, namanya juga berusaha.Kudekati mamak mertuaku itu, lalu aku pegang dan usap punggung tangannya dengan lembut, seperti tengah membujuk anak berumur lima tahun."Mah, Rindu dan Mas Samsul janji nggak akan marah, asal mama mau bicara jujur. Teflon dan beberapa barang lainnya mama kemanakan, kalau toh memang sudah terlanjur mama jual. Mama bisa tolong tunjukin dijual ke siapa, mana tahu masih menjadi rejeki kami. Biar kami bayar ulang, soalnya itu adalah barang-barang pemberian orang tua Rindu. Banyak kenangannya. Tapi, lain kali kalau memang mama sedang butuh uang atau kesulitan uang, mama bisa bilang ke Rindu atau Mas Samsul. Insya Allah kalau kami ada pasti kami kasih," bujukku selembut mungkin.Aku lihat mamak mertua semakin blingsatan, posisi duduknya semakin terlihat sangat tidak tenang. Kedua bola matanya pun seolah-olah selalu menghindari tatapanku dan Mas Samsul."Nggak apa-apa, Mak, jujur saja. Maaf kalau Rindu dan Mas Samsul sudah lancang berbicara seperti ini, tapi asal mama tau. Sebagian dari barang-barang Rindu yang mama jual ke orang-orang, sebagian dari mereka sudah mengadu pada Rindu, Ma."Seketika itu juga Mamak mertuaku bangun dari duduknya, lalu melengos pergi sambil berkata," sumpah demi Allah, aku nggak tau!"Bukan maksud aku tidak mempercayai mamak mertuaku, tetapi ternyata semua dugaanku dan Mas Samsul benar adanya.Yang bikin aku merasa sangat syok adalah, saat mamak mertuaku mengetahui jika teflon yang ia jual pada Lek Siti telah aku bayar kembali. Dengan tidak tahu malunya dia datang ke rumah dan marah-marah. Katanya ngapain aku mau membantu Lek Siti dengan bersedia membayar kembali teflon yang telah ia jual pada Lek Siti.Ya ampun, ibu mertuaku ini memang sungguh ajaib.Bab 4π Panas Membara"Diam!! Selama ini aku sudah cukup diam dengan perlakuan kalian yang selalu saja bersikap semena-mena terhadap istriku. Tapi itu bukan berarti kalian bisa semakin berbuat kurang ajar pada Rindu. Dia istriku, kakak ipar kalian. Apa tidak bisa kalian sedikit saja menghargai dan menghormatinya?" bentak Mas Samsul sudah sangat emosi. Baru kali ini aku melihatnya semarah itu. Kilatan matanya sarat akan kebencian dan juga amarah. Semua orang mendadak diam, begitu juga dengan kedua mertuaku. "Emak, Bapak. Selama ini aku sudah selalu mangalah pada kalian, apa masih kurang? Sikap pilih kasih kalian padaku, selalu aku terima dengan lapang dada. Kalian memperlakukan istriku dengan semena-mena pun aku masih mencoba untuk diam. Rindu selalu mengajarkan aku untuk sabar menghadapi kalian, itu karena istriku percaya jika suatu saat kalian pasti akan berubah. Tapi nyatanya, kelakuan kalian malah semakin menjadi." Kini Mas Samsul beralih menatap ke arah kedua orang tuanya. Aku
Bab 5π Pov. SamsulAku yang baru saja keluar dari kamar setelah mengganti sarung melihat Mamak menampar Rindu. Aku pun bergegas menghampiri mereka. "Ma, apa yang mamak lakukan pada istriku? Kenapa mamak menamparnya?" tanyaku pada Mamak yang terlihat sangat emosi, napasnya pun tampak menggebu dengan punggung yang naik turun. "Istrimu ini memang lantas ditampar, Samsul! Gara-gara dia kamu menjadi anak durhaka pada orang tua. Ajaran sesat apa yang sudah dia ajarkan padamu, hah?!" bentak Mamak dengan kilatan amarah yang terpancar dari kedua mata tuanya. Aku sampai bergidik melihatnya."Rindu tidak pernah mengajari hal buruk apapun padaku, Ma. Justru dia yang selalu mengingatkan aku agar tak menaruh dendam pada kalian atas perlakuan kalian selama ini. Jangan lupa, Ma, Rindu lah orang yang telah berhasil membujukku untuk pulang ke desa ini setelah dua tahun aku menjauhkan diri dari kalian karena sikap kalian terlalu membuatku sakit hati. Mama pasti tidak lupa bukan, bagaimana mama memoh
Ipar Ipar SerakahBab 6π Pov. SamsulAku berjalan sedikit cepat dengan membawa dua kilo gula merah buatan mamak. Jalanan desa yang terjal dan berbatu membuatku sedikit kesulitan. Desa kami pada masa itu merupakan desa tertinggal dan belum tersentuh aspal sama sekali. Berbeda dengan desa-desa sekitar yang sudah mulai di aspal dan mulus. Akhirnya aku sampai juga di warung Mbok Jum. Seperti biasa, aku menyerahkan dua kilo gula untuk ditimbang ulang olehnya. "Ini pas dua kilo ya, Sam. Ini uangnya." Mbok Jum memberikan empat lembar uang seribuan berwarna biru. Setelah menerima dan mengucapkan terima kasih, aku pun pamit untuk kembali pulang. Di jalan aku sedikit berlari karena takut terlambat ke sekolah. Begitu sampai di rumah, mamak, bapak, dan Joko sedang duduk di teras menungguku. Joko sudah rapi dengan tas barunya, sementara tas lama Joko mamak berikan padaku. Padahal tas itu sudah ada beberapa bagian yang bolong, tetapi memang tidak separah bekas tasku sebelumnya. "Sini, mana ua
Bab 7Pov. RinduAku melihat Mas Samsul melamun, entah apa yang sedang ia pikirkan. Bahkan, es batu yang ia pegang untuk mengompres pipiku pun sudah terlihat mencair dan membasahi tangannya. "Mas ...." panggilku mengalihkan lamunannya. "Eh, ... Iya, Dek kenapa? Maaf mas tadi sedikit melamun," ujarnya sedikit kaget. Aku menatapnya lembut, kuberikan senyum termanis yang aku miliki. "Kamu sedang ngelamunin apa, Mas? Kejadian tadi?" tanyaku lembut. "Bukan, Mas hanya tiba-tiba saja jadi keingat masalalu. Saat mas kecil dulu bersama Joko," ujarnya tersenyum yang terkesan dipaksakan. Mas Samsul pun akhirnya menceritakan semuanya, mulai dari Joko kecil sampai lahirnya Ardi dan mereka tumbuh besar bersama. Tak terasa air mataku mengalir begitu saja, antara haru dan sedih. Ternyata sikap kedua mertuaku itu memang sudah seperti itu sejak dulu. Mungkin itulah yang menjadi salah satu alasan adik-adik beserta istrinya tak pernah menghargai suamiku. Miris memang, orang tua yang seharusnya me
Bab 8"Cuih! Makanan apa ini! Asin sekali dan hampir basi!" hardik Desrina alias Sri tiba-tiba sembari melepehkan makanan dari mulutnya dan mengelap bibirnya menggunakan tissu makan yang memang telah di sediakan. Otomatis, semua pasang mata tertuju ke arahnya, lalu sebagian bergantian menatap ke arahku penuh curiga. "Sri, apa maksud kamu ngomong begitu! Rindu memasaknya itu semua dadakan, ya. Kamu nggak usah mengada-ada!" bentak Mas Samsul yang sedang berdiri di sebelahku. "Mengada-ada apanya sih, Mas! Orang ini benaran, kok! Coba aja kamu lihat di piringku sekarang, nggak higienis juga. Mana ada kecoanya lagi, kamu itu niat jualan apa mau ngeracunin pembeli, sih!" fitnah Sri dengan berteriak lantang seolah-olah dialah yang paling benar. Aku dan Mas Samsul langsung menghampiri meja Sri dan melihat ke arah piringnya untuk membuktikan semua perkataan yang ia tuduhkan padaku. Kami terperanjat ketika ada seekor kecoa tengah terlentang di atas makananan yang tersaji di piring Sri. "Lo
Bab 9"Eh, mana bisa begitu?" protes Desrina tak terima. "Kamu mau coba-coba untuk mempermainkan kami, Sam?" tanya mamak mertua sengit. "Halah ...! Bilang aja gak punya duit!" timpal Aulia meremehkan suamiku. Namun wajah ketiganya kentara sekali terlihat panik. Aku hanya diam menyaksikan kepanikan dari mereka bertiga. Mas Samsul tertawa miring seakan-akan apa yang ada di dalam pikirannya dama denganku. "Kenapa? Takut?" tantang Suamiku. Mas Samsul itu semakin ditekan, dia akan semakin berontak sekarang. Berbeda dengan dulu yang bisanya hanya diam dan mengalah. Trio rusuh saling tatap seakan-akan saling memberi kode satu sama lain. "Si--siapa yang takut! Gak ada dalam kamus seorang Desrina Maharani itu takut pada orang miskin kayak kalian!" ujarnya sombong dan mendapat anggukan setuju dari mamak mertuaku dan juga Aulia. "Ya sudah, kalau begitu kita berangkat sekarang saja. Kebetulan tadi aku sudah meminta tolong pada Lek Warno pinjam mobil untuk bawa kita semua ke RS besar di kot
Bab 10π¨ Sebelum melanjutkan membaca kisah Mas Samsul dan Rindu. Author ingin meminta waktunya sejenak untuk mengirimkan Al-fatihah yang dihadiahkan kepada Almarhum Mas Samsul ayahanda dari Ananda Keisya Salma Khoirunnisa. Karena hari ini tepat 10 tahun sudah kepergian beliau menghadap sang ilahi. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah, dan dilapangkan kuburnya. Amin amin Allahumma amin. π¨ππππHari sudah semakin larut, tetapi aku dan Mas Samsul belum juga menemukan solusi untuk kami tidur malam ini. Selepas shalat tarawih masjid sudah kembali sepi, akhirnya kami pun kembali menelusuri jalanan tanpa arah tujuan. Semakin jauh kaki kami melangkah, semakin sepi pula jalanan yang kami lalui. Tiba-tiba terdengar suara guruh yang sangat kencang ditambah dengan sapuan angin yang lumayan kencang juga. Tak lama setelahnya, disusul dengan gerimis yang mulai berjatuhan satu persatu membasahi bumi tempat kami berpijak. "Ya Allah, hujan, Dek! Kita cari tempat berteduh dulu dari pad
Semalaman sudah aku dan Mas Samsul berada di kantor satpol pp. Mau tidak mau, aku pun akhirnya menghubungi Masku yang malam itu juga bertolak ke Magelang. Akhirnya, kami di bawa ke Purwokerto untuk kembali ke rumah orang tuaku. Di sana, aku dan Mas Samsul memang sengaja merahasiakan kejadian yang sebenarnya pun dengan Mas Wahyu yang sudah aku mintai tolong untuk menjemput. "Kalian puasa tidak?" tanya Mamaku. "Insya Allah puasa, Ma." jawab kami serempak."Alhamdulilah." Perjalanan Magelang purwokerto hanya 4 jam saja. Mulai berangkat dari kantor satpol pp pukul delapan pagi, sampai di rumah orang tuaku jam satu siang. Satu jam kami gunakan untuk istirahat, mandi, dan berganti pakaian di area pom bensin tadi. Tentu saja itu semua kami lakukan agar tidak terlihat begitu lusuh saat bertemu orang tuaku nanti. Kami tak ingin membuat orang tuaku kepikiran. "Lebih baik sekarang kalian istirahat saja, tadi kamarnya sudah dibersihkan sama Mbak Darmi. Untung saja Wahyu tadi sempat ngasih ta
π Awal kedatangan Aulia. "Mbak, kenalin ini Aulia, calon istriku," ujar Ardian sembari memperkenalkan seorang gadis langsing, berkulit putih, dan bermata sipit. Sayangnya rambutnya di cat warna pirang dan pakaiannya sangat seksi. Aku menatapnya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Penampilannya bak artis-artis yang wara-wiri di layar kaca, sungguh benar-benar hedon. Aku sampai terpana melihatnya, persis seperti boneka. Rupanya tak hanya aku saja yang terkesima, mamak mertua pun tak kalah kagetnya denganku. Terlebih lagi, matanya langsung silau melihat apa yang di pakai oleh calon menantunya itu terlihat mahal semua. "Ya ampun, Le. Kok ya kamu itu pintar sekali nyari calon istri, cantik banget persis kayak boneka!" seru mamak mertua dengan sorot mata berbinar bak melihat emas permata dan juha uang gepokan. Aulina menyalami punggung tangan kami semua dan menampilkan senyuman terbaiknya, membuat wajah ayunya bertambah berkali-kali lipat cantiknya dan tampak sangat elegant. Namun
Pov. SriPerkenalkan, namaku Desrina Maharani atau biasa dipanggil dengan sebutan Sri. Aku menikah dengan Mas Joko karena sudah terlanjur hamil duluan. Awal pernikahan, ibu mertuaku sangat sayang padaku dan selalu memprioritaskan aku di atas segalanya. Terlebih lagi Setelah kelahiran Najwa yang merupakan cucu pertama di keluarga Mas Joko.Sebenarnya Najwa adalah cucu kedua di keluarga ini, cucu pertama yang sebenarnya adalah Vero yang merupakan anak Mas Samsul bersama mantan istrinya dulu yaitu Mbak Indah. Namun sayangnya, mereka bercerai akibat ulah mamak mertuaku dan Vero diasuh oleh ibunya. Vero dan Najwa hanya berbeda dua tahun saja, oleh sebab itu dulu aku begitu dekat dengan Mbak Indah. Sampai suatu hari, Mas Samsul membawa pulang seorang perempuan bernama Rindu setelah lima tahun bercerai dengan Mbak Indah. Awal perkenalan kami, aku sudah langsung tidak suka pada calon kakak iparku itu. Gayanya yang modis, tibuh terawat, kulit putih bersih dan juga perhiasan lengkap yang mene
Kini kami semua sudah berada di rumah orang tua Mas Samsul. Seperti biasa, bak terdakwa aku menjadi pesakitan yang tengah diadili oleh keluarga toxic ini. "Ceraikan istrimu sekarang juga, Sam! Dia itu membawa pengaruh buruk terhadap keluarga kita, kamu lihat sendiri. Semenjak kedatangannya, keluarga kita tidak pernah tenang sedikit pun. Selalu saja ada masalah yang dia ciptakan sehingga memancing pertengkaran dengan adik-adikmu!" tegas bapak mertuaku seperti orang yang sudah kehilangan akalnya. Mas Samsul hanua diam, menatap tajam ke arah orang-orang yang ada di hadapannya. "Benar apa yang dikatakan bapakmu, Sam. Delapan tahun kalian menikah, tapi sampai detik ini belum ada tanda-tanda kehamilan dari istri kebanggaanmu itu. Kedua adikmu saja sudah punya dua anak, dan anak pertama mereka sudah besar-besar pula," timpal ibu mertuaku seakan-akan semakin menyiram bensin ke dalam api. "Sudahlah, Bu. Soal keturunan itu biarkan menjadi urusanku dan Mas Samsul, apa ibu dan juga kalian itu
Semua mata orang-orang tertuju ke arah Joko. Mungkin dia kaget karena aku kini sudah berani melawan tidak seperti sebelumnya yang hanya bisa sabar, sabar, dan sabar setiap kali menghadapi kerusuhan mereka. "Sudah cukup dengan omong kosongmu yang tidak ada gunanya itu, Rindu! Selama ini aku menghargaimu karena kamu adalah istri dari abangku, tapi jangan mentang-mentang karena itu sekarang kamu bisa berucap kurang ajar!" sengitnya padaku. "Apa kamu bilang barusan, Jok! Aku, kurang ajar? Nggak salah kamu ngomong seperti itu, heuh? Bukankah selama ini kalian yang selalu bersikap kurang ajar padaku dan juga Mas Samsul. Dasar ipar-ipar tidak tahu diri!" ucapku tak kalah sengit. "Diam! Jika kamu terus bicara, jangan salahkan aku kalau detik ini juga kamu aku tampar, Rindu!" bentaknya yang sudah bersiap maju kehadapanku. "Hei!!! Sedikit saja kamu berani menyentuh wajah istriku, akan aku pastikan kamu pulang tinggal nama!" bentak Mas Samsul tiba-tiba yang langsung pasang badan di hadapanku
Seminggu telah berlalu semenjak kejadian keributan anatara Mas Samsul dan juga Joko. Pagi ini, seperti biasanya aku membuka warung makanku, tetapi kali ini Mas Samsul tak ikut membantu karena sejak habis subuh tadi ia sudah pergi bersama temannya untuk melihat lahan yang akan mereka garap. Trio rusuh datang dan mulai duduk di salah satu meja yang selalu menjadi tempat mereka untuk ghibah dan makan gratis. Aku diam saja dan memilih sibuk untuk melayani para pembeli. "Assalamu'alaikum," sapa seseorang, rupanya itu adalah Lek Painem yang merupakan tetangga desa baru saja pulang dari kota. "Walaikum salam. Eh, Lek Painem, kapan pulang makin segar aja," godaku. "Ah, kamu bisa aja, Rin. Lek baru sampai tadi malam jam sembilan, kangen sama masakan kamu yang juara. Makanya Lek putusin untuk cepat-cepat ke sini, takut keburu kehabisan!" ujar Lek Painem. Kami pun tertawa bersama. "Monggo duduk dulu, Lek. Rindu layanin yang lainnya dulu, nanti Rindu temani Lek ngobrol," ujarku. Lek Painem
π Kembali ke tuntutan DesrinaIbu melengos pergi membawa kedua menantu kesayangannya. Lek Warno sang pemilik mobil sewaan sampai melongo melihatk aksi tri rusuh yang di luar batas nalar manusia. "Itu si Sari 'kan?" tanya Lek Warno sedikit linglung. "Iya, itu mamakku, Lek." jawab Mas Samsul yang kini menyandarkan kepalanya pada punggung sofa. "Edan! Aku nggak nyangka kalau ternyata sifatnya belum berubah juga dari dulu," celetuknya lagi. Mas Samsul merogoh kantung celananya lalu memberikan dua lembar uang berwarna merah pada Lek Warno sebagai bayaran sewa mobilnya. Meskipun mobil itu tidak jadi dipakai karena keburu trio kucrut itu ngibrit duluan, tetapi untuk datang ke sini tetap memakai bensin. Jadi ya, sebagai uang kompensasi saja lah. "Ini apa, Le?" tanya Lek Warno semakin kebingungan saat suamiku memberinya uang. "Uang ganti bensin, Lek," ujar Mas Samsul terus terang. "Ndak usah wes! Lha wong mobilnya saja ndak jadi di pakai, kok. Kalau sudah nggak ada urusan lagi, aky mau
Semalaman sudah aku dan Mas Samsul berada di kantor satpol pp. Mau tidak mau, aku pun akhirnya menghubungi Masku yang malam itu juga bertolak ke Magelang. Akhirnya, kami di bawa ke Purwokerto untuk kembali ke rumah orang tuaku. Di sana, aku dan Mas Samsul memang sengaja merahasiakan kejadian yang sebenarnya pun dengan Mas Wahyu yang sudah aku mintai tolong untuk menjemput. "Kalian puasa tidak?" tanya Mamaku. "Insya Allah puasa, Ma." jawab kami serempak."Alhamdulilah." Perjalanan Magelang purwokerto hanya 4 jam saja. Mulai berangkat dari kantor satpol pp pukul delapan pagi, sampai di rumah orang tuaku jam satu siang. Satu jam kami gunakan untuk istirahat, mandi, dan berganti pakaian di area pom bensin tadi. Tentu saja itu semua kami lakukan agar tidak terlihat begitu lusuh saat bertemu orang tuaku nanti. Kami tak ingin membuat orang tuaku kepikiran. "Lebih baik sekarang kalian istirahat saja, tadi kamarnya sudah dibersihkan sama Mbak Darmi. Untung saja Wahyu tadi sempat ngasih ta
Bab 10π¨ Sebelum melanjutkan membaca kisah Mas Samsul dan Rindu. Author ingin meminta waktunya sejenak untuk mengirimkan Al-fatihah yang dihadiahkan kepada Almarhum Mas Samsul ayahanda dari Ananda Keisya Salma Khoirunnisa. Karena hari ini tepat 10 tahun sudah kepergian beliau menghadap sang ilahi. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah, dan dilapangkan kuburnya. Amin amin Allahumma amin. π¨ππππHari sudah semakin larut, tetapi aku dan Mas Samsul belum juga menemukan solusi untuk kami tidur malam ini. Selepas shalat tarawih masjid sudah kembali sepi, akhirnya kami pun kembali menelusuri jalanan tanpa arah tujuan. Semakin jauh kaki kami melangkah, semakin sepi pula jalanan yang kami lalui. Tiba-tiba terdengar suara guruh yang sangat kencang ditambah dengan sapuan angin yang lumayan kencang juga. Tak lama setelahnya, disusul dengan gerimis yang mulai berjatuhan satu persatu membasahi bumi tempat kami berpijak. "Ya Allah, hujan, Dek! Kita cari tempat berteduh dulu dari pad
Bab 9"Eh, mana bisa begitu?" protes Desrina tak terima. "Kamu mau coba-coba untuk mempermainkan kami, Sam?" tanya mamak mertua sengit. "Halah ...! Bilang aja gak punya duit!" timpal Aulia meremehkan suamiku. Namun wajah ketiganya kentara sekali terlihat panik. Aku hanya diam menyaksikan kepanikan dari mereka bertiga. Mas Samsul tertawa miring seakan-akan apa yang ada di dalam pikirannya dama denganku. "Kenapa? Takut?" tantang Suamiku. Mas Samsul itu semakin ditekan, dia akan semakin berontak sekarang. Berbeda dengan dulu yang bisanya hanya diam dan mengalah. Trio rusuh saling tatap seakan-akan saling memberi kode satu sama lain. "Si--siapa yang takut! Gak ada dalam kamus seorang Desrina Maharani itu takut pada orang miskin kayak kalian!" ujarnya sombong dan mendapat anggukan setuju dari mamak mertuaku dan juga Aulia. "Ya sudah, kalau begitu kita berangkat sekarang saja. Kebetulan tadi aku sudah meminta tolong pada Lek Warno pinjam mobil untuk bawa kita semua ke RS besar di kot