Sebenarnya ia telah merencanakan sejak lama untuk memiliki seorang asisten pribadi yang nantinya akan banyak membantunya melakukan pekerjaan. Hanya saja ia masih mempertimbangkan hal itu matang matang. Tetapi beberapa bulan terakhir ini pekerjaannya sangat banyak. Ia hampir tak memiliki waktu untuk dirinya sendiri karena terlalu larut dalam pekerjaan. Ia juga jadi tak memiliki banyak waktu untuk bersama suaminya, Cakra, yang entah mengapa sikapnya menjadi sangat sensitif dan aneh.
Siang ini, setelah meeting nya dengan klien dari Grasse itu selesai, ia bertemu dengan seorang laki-laki yang merupakan calon asistennya. Di mana calon asisten itu merupakan rekomendasi langsung dari salah satu manajer yang Marin percaya di kantornya.
Tok tok tok.
Suara ketuk pintu terdengar. Sepertinya itu adalah calon asistennya yang siang ini akan melakukan wawancara dengan Marin. Untuk memastikan kecocokan mereka berdua. Karena, posisi sebagai asisten adalah posisi yang sangat sulit ditemukan. Di posisi itu seseorng akan menjadi tangan kanan Marin, mengatur semua jadwalnya, semua pertemuannya, membantu pekerjaannya, dan menjadi sumber informasi akan seluk beluk yang terjadi di perusahaan yang ia pimpin. Marin tak ingin menyesak jika merekrut orang yang salah sebagai asistennya.
“Masuk!”
Marin menyeru pada seseorang di depan pintu, mempersilakannya masuk.
Seorang lelaki muda masuk ke dalam ruang. Tubuhnya tinggi padat dan kekar. Ia masih terlihat sangat muda, mungkin sekitar dua puluh lima atau sedikit di atasnya. Wajahnya lumayan tampan dengan lesung di pipi kiri. Warna matanya coklat terang.
“Dion, ya? Yang direkomendasikan Manajer Yulius?” sahut Marin begitu lelaki itu tiba di seberang mejanya.
“Iya, Nyonya.”
“Silakan duduk.”
Marin mempersilakan lelaki itu duduk. Ia mengantarnya menuju sofa di tengah-tengah ruang. Lantas mereka berdua sama sama duduk berseberangan meja.
“Saya sudah baca CV mu, Dion. Kamu pernah sekolah di Hardvard ya?” tanya Marin begitu mereka berdua berharapan.
Lelaki itu tersenyum. Sungguh manis.
“Iya, Nyonya.”
“Tapi kenapa kamu ingin jadi asistenku? Dengan ijazah kamu, kamu bisa mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik, juga bisa mendirikan perusahaan sendiri,” lanjut Marin bertanya.
“Itu,” Lelaki itu tampak ragu ragu menajwab pertanyaan Marin. Setelah beberapa saat berpikir ia pun menjelaskan. “Sebenarnya saya pergi kuliah cuma untuk bersenang senang.”
“Bersenang senang?” Marin mengerutkan keningnya mendengar pernyataan itu.
“Soalnya saya tumbuh di keluarya yang sangat keras dan konservatif. Rasa rasanya saya seperti tumbuh di dalam penjara. Ayah saya berkata, dia hanya memperbolehkan saya kuliah di luar negeri jika berhasil masuk Hardvard. Akhirnya saya berhasil masuk Hardvard dan menyelesaikan kuliah di dana,” jelas Dion dengan bahasanya yang lugas dan terdengar unik.
Kepala marin terangguk angguk. “Begitu rupanya. Tapi yang saya tanyakan, kenapa kamu memilih bekerja di sini alih alih di perusahaan yang lebih besar?” tanya Marin tegas.
“Saya dengar di perusahaan ini karyawan bebas berpakaian, mengecat rambut, dan bermain video game saat jam istirahat. Sungguh. Saya suka tempat seperti ini akrena lebih nyaman untuk saya bekerja. Karena saya sudah terlalu muak oleh segala keteraturan seperti yang ada di perusahaan persahaan lainnya.” Dion kembali menjelaskan.
Masuk akal, pikir Marin. Ia memang tidak menerapkan peraturan yang begitu ketat soal penampilan dan kebiasaan karyawannya. Ia memperbolehkan semua karyawannya berpakaian senyaman mungkin. Tidak wajib bersepatu, tidak ada seragam, tidak wajib menggunakan atasan tertentu, dan bebas akan gaya penampilang masing masing. Marin melakukannya karena dirinya sendiri tidak suka diatur atur masalah penampilan. Ia ingin bebas mengespresikan dirinya lewat penampilan yang ia tunjukkan. Dan ingin semua karyawannya merasakan hal yang sama.
“Kalau begitu, apa yang ingin kau lakukan jika bekerja di kantorku? Apa yang bisa kamu berikan untuk perusahaan?” lanjut Marin, sekaligus sebagai pertanyaan terakhirnya sebelum merekrit Dion sebagai asisten.
Sebenarnya dengan membaca CV nya saja ia sudah tahu kalau Dion lebih dari pantas untuk mendapatkan posisi sebagai asistennya. Terlebih lelaki itu adalah rekomendasi dari orang yang Marin percaya di perusahaannya sendiri. Jadi ia sudah cukup yakin kalau lelaki itu memiliki kemampuan yang cukup menjadi asistennya. Dan, wawancara siang ini sebenarnya hanya sebagai formalitas saja. Ia hanya ingin tahu bagaimana sikap tubuh calon asistennya itu dan juga etikanya.
“Saya bisa melakukan pekerjaan apa pun, dan saya juga bersedia Anda suruh melakukan apa pun. Saya dengar dari paman saya, kalau Anda adalah seorang yang perfeksionis dan teliti. Saya akan melayani Anda dan menjamin Anda akan merasa puas oleh kinerja saya ke depannya. Untuk soal kontribusi terhadap perusahaan, bukannya dengan melayani Anda adalah bentuk kontribusi besar saya terhadap perusahaan? Anda kan pemimpin dari perusahaan ini. Jadi, dengan memberikan yang terbiak untuk Anda, itu artinya saya melakukan yang terbaik untuk perusahaan. Begitu, bukan?”
Dion mengucapkannya dengan sangat lugas dan percaya diri. Tatapan matanya juga sangat meyakinkan. Lulusan Hardvard memang tak bisa diragukan lagi. Marin jelas menyukai calon asistennya itu dan bagaimana lelaki itu berbicara.
“Dan, satu lagi ....” Dion melanjutkan.
“Apa?” sahut Marin.
“Saya juga berharap saya bisa menemukan pujaan hati saya di perusahaan ini,” ucap Dion. Lelaki itu melayangkan senyuman manis kepada Marin.
Marin menganggukkan kepala. “Silakan, kalau memang kamu mau. Dalam dua tahun terakhir ada sekitar sepuluh orang karyawanku yang berhasil mendapatkan pujaan hatinya di perusahaan ini. Ada lima pasang suami-istri yang bekerja di kantorku. Asalkan kehidupan pribadi mereka tidak menggangu pekerjaan, aku selalu mengizinkan kisah cinta sekantor, atau apapun istilahnya.”
“Syukurlah. Saya sangat kagum bagaimana Anda mengelola perusahaan ini, Nyonya. Sebab di luar sana, perusahaan sekelas Hebely akan menerapkan peraturan yang sangat ketat dan kadang tidak masuk akal. Itulah kenapa saya ingin bekerja di sini. Termasuk ‘kisah cinta sekantor’ ... itu adalah keinginan saya,” cerita Dion kemudian.
Marin tersenyum manis mendengar perkataan Dion. Sepertinya lelaki itu benar benar menginginkan kisah cinta sekantor seperti yang dirasakan oleh beberapa karyawannya.
“Memangnya wanita seperti apa yang kamu cari, Dion?” Marin bertanya iseng.
Sembari melayangkan senyuman aneh, Dion menjawab lugas, “Yang dominan, pekerja keras, dan seksi ... seperti Anda, Nyonya.”
Tubuh Marin membeku sejenak mendengar jawaban lugas Dion. Juga melihat tatapan tajam lelaki itu yang seolah memperlihatkan ketertarikannya. Teapi ini hanya spekulasi Marin. Ia tak ingin berpikiran aneh aneh soal Dion. Lelaki itu masih kelihatan sangat muda dan semangatnya menggbu gebu. Ia bisa memaklumi sikap Dion yang sedikit kurang ajar.
Marin segera beranjak dari duduk. Ia berdiri, mengulurkan tangannya pada Dion.
“Semoga kamu senang bekerja di sini, Dion. Kantormu ada di sebelah kantor ini. Dan kamu bisa mulai bekerja besok,” kata Marin.
Uluran tangan Marin disambut dengan baik oleh Dion. Lelaki itu tersenyum.
“Apa saya tidak boleh mulai bekerjanya hari ini saja, Nyonya? Tidak bermaksud apa apa, saya hanya merasa sedang bosan?” tanya Dion.
Marin memicingkan matanya. Menatap tajam Dion yang ingin mulai bekerja hari ini.
“Saya bilang kamu bisa mulai bekerja besok. Jangan bantah ucapan saya, Dion.”
Setelah itu Marin berjalan meninggalkannya. Keluar dari ruangan direktur untuk rapat dengan tim lain untuk permasalahan lain. Dion yang kini hanya seorang diri di dalam ruang kerja Marin, tersenyum simpul menatap kepergian Marin. Alasan ia bekerja di tempat ini tak hanya soal kebebasan seperti yang tadi ia jelaskan, tetapi juga karena Marin. Lelaki itu telah jatuh hati pada Marin sejak pertemuan mereka dua bulan yang lalu. Sebuah pertemuan yang bahkan Marin sendiri sudah lupa.
“Aku suka wanita yang suka memerintah,” gumam lelaki itu. Lalu pergi meninggalkan ruangan Marin. Ia hanya bisa bekerja mulai besok, sesuai yang Marin perintahkan.
*
Marin Maria: Si Wanita PenaklukMarin Maria, wanita tiga puluh tahun yang merupakan pemimpin sekaligus founder dari sebuah beauty national brand yang ada di negeri ini. Wajah yang cantik menawannya terpampang di berbagai majalah perempuan. Kisah suksesnya diliput dari media A sampai media Z, diulas berkali kali di platform jejaring sosial. Ia adalah inspirasi banyak wanita atas kesuksesan dan keuletannya mengelola brand kecantikan dari nol. Benar benar dari NOL! Ia jatuh bangun membangun bisnis itu hingga akhirnya menjadi sesukses ini.“Dunia bisnis sangat keras. Engkau perlu lebih keras daripada itu untuk bisa bertahan dan tetap berdiri tangguh,” ucapnya di salah satu wawancara bersama beberapa jurnalis dari majalah wanita nasional.Tak heran kalau pengalamannya bergelut di bidang bisnis membuatnya memiliki pribadi yang keras kepala, angkuh, dan dominan. Ia adalah wanita yang sangat dominan, yang kalau dihadapankan
Cakra: Suami yang ...? Menjadi suami marin adalah tantangan berat sekaligus anugerah. Dikatakan tantangan berat karena sikap Marin yang sangat keras dan juga dominan sering kali membuat Cakra kerepotan. Namun, dapat dikatakan anugerah adalah karena Marin menjadi wanita yang kuat dan tangguh, yang sangat berbeda dari wanita kebanyakan yang Cakra kenal, bahkan pernah pacari sebelumnya. Cakra tahu betul seperti apa perjuangan Marin membangun karirnya sejak mereka berdua sama sama masih menjadi mahasiswa. Karena suatu penyebab, Marin tidak dapat melanjutkan kuliahnya sehingga ia drop out dari kuliahnya tanpa pernah menyandang gelar sebagai sarjana. Sementara Cakra yang tetap melanjutkan kuliah, memberikan dukungan kepada Marin yang sedang baru memulai merintis bisnis di dunia kecantikan. Siang itu, sekitar delapan tahun yang lalu. Cakra yang baru menyelesaikan salah satu kelas kuliahnya sangat kaget melihat apa yang tertulis di ponselnya
Ciuman sore itu.Untuk orang dewasa, apalagi yang sudah menikah seperti Cakra, seks menjadi kebutuhan biologis yang tidak boleh sampai ‘kekurangan’. Sama seperti kebutuhan makan, minum, istirahat. Seks adalah salah satu kebutuhan biologis yang tidak bisa dilewatkan karena bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Terutama dalam hal psikologis.Mungkin itu yang terjadi pada Cakra.Selama menikah dengan Marin, kebutuhan seksualnya selalu tercukupi dengan baik. Di tengah kesibukan pun Marin bersedia melayani suaminya. Sebab, yang memiliki kebutuhan seks tidak hanya laki laki saja, tetapi juga perempuan. Marin menyadari itu dan berusaha untuk melakukan pemenuhan kebutuhan seks tersebut dengan suami tercintanya. Satu sampai dua tahun di awal menikah, kebutuhan seks mereka sama sama terpenuhi. Tak hanya itu, hasrat keduanya seolah tidak pernah pudar. Hampir setiap malam mereka melakukan hubungan seks selayaknya suami istri yang lekat da
Lanjutan ciuman sore itu...Drrttt. Drttt.Tetapi getaran ponsel itu semakin mengganggu mereka. Cakra sejenak menghentikan kegiatannya. “Sebentar.” Untuk menjawab telepon dari istrinya, Marin.[Sayang, masih kerja?] Suara Marin di seberang sana menyadarkan Cakra. Spontan, tubuh lelaki itu selangkah menjauhi Arum yang masih duduk di atas meja, memandanginya.Cakra berusaha menyetabilkan perasaannya. Ia mengendalikan tarikan napasnya supaya tidak terdengar seperti orang yang sedang dikuasai nafsu.“Iya. Masih ada kelas yang harus aku isi habis ini. Mungkin aku baru sampai rumah nanti habis magrib, Sayang.”Begitu suara Cakra menjawab dengan suara yang lebih tenang. Hasratnya berangsur pergi saat ia membayangkan wajah Marin di seberang telepon sana. Perlahan, Cakra membuat tubuhnya semakin menjauh dari Arum yang kini menatapnya bingung, bercampur waswas.[Tidak usah buru-buru, Sa
Sekitar pukul dua malam. Cakra baru terbangun setelah dua kali sesi bercintanya bersama sang istri. Tubuhnya masih rebah di atas kasur. Dipeluk Marin yang tubuh bagian atasnya terekspos tanpa pakaian. Perlahan Cakra melepaskan pelukan Marin. Mengecup pelipis sang istri yang seketika membuat Marin mengeliat kecil. Lantas ia bangun. Turun dari ranjang tidur mereka.Di antara gelap kamar tidur keduanya, Cakra mengenakan celana boxer dan menggunakan sendal slipnya. Berjalan meninggalkan kamar mereka, menuju ruang kerjanya. Ia baru teringat untuk menyelesaikan pekerjaannya membuat soal ujian. Ia berniat menyelesaikan pekerjaannya sebelum matahari terbit. Sebab Minggu esok ia memiliki rencana menghabiskan weekend bersama Marin ke pantai setelah rencana itu selalu tertunda hingga berbulan bulan.Memasuki ruang kerjanya, Cakra menyalakan lampu temaram kuning yang menyala sejuk. Lantas duduk ke atas kursi kerja sambil menyalakan laptopnya.Seketika itu
Lantas Marin menarik napas panjang. Mengembuskannya teratur. “Tidak masalah. Biar adil, kan? Karena nggak adil kalau hanya kamu yang tahu sisi gelapku. Biar kita tahu sisi gelap masing-masing. Dan karena kamu sudah mengakui sifat asliku, biar aku perjelas. Besok aku nggak bisa ke pantai. Ada meeting penting yang nggak bisa aku hindari. Sekarang Sayang mau lanjutin kerjaan atau mau tidur, teserah. Aku nggak peduli.”Setelah itu Marin berjalan pergi meninggalkan Cakra di ruang kerja ini. Keluar ruangan dengan menutup pintu keras keras. Cakra yang masih duduk di kursi kerjanya, menarik napas panjang panjang. Ia meletakkan kedua tangannya tepat di depan wajah. Suasana hatinya benar benar kacau dan buruk.Dering telepon sesaat itu membuat fokus Cakra teralihkan. Ia menerima panggilan video dari Arum. Dengan pikirannya yang kacau pun Cakra menjawab panggilan video tersebut. Kedua matanya seketika terbelalak. Betapa kaget dirinya melihat pemandangan
Dari kejauhan Cakra melihat Arum melambaikan tangan. Lambaian tangan itu menyambut kedatangan Cakra beserta mobil yang lelaki itu kendarakan. Tepat setelah mobil itu berhenti di depan Arum, Cakra menurunkan kaca jendelanya. Kepalanya melongok ke luar.“Langsung masuk aja,” seru lelaki itu.Langkah Arum mendekat bersamaan dengan kaca jendela mobil Cakra yang kembali tertutup. Arum menaiki mobil yang dikendarakan Cakra. Tak lama kemudian mobil itu kembali melesat pergi menuju tempat yang ingin ia tuju.“Bye the way kita mau ke mana Pak? Tadi malam Bapak tidak bilang mau ditemenin ke mana.”Arum membuka perbincangan sesaat setelah duduk di dalam mobil Cakra yang sedang melaju meninggalkan gerbang kampus.“Pantai,” jawab Cakra singkat.“Wah, pantai? Kebetulan sekali saya juga ingin ke pantai lok Pak. Sebenarnya minggu kemarin saya mau diajak ke pantai sama teman teman kos. Tapi saya tidak bisa k
“Mphh!” Arum hanya bisa mengerang pelan saat telinga kanannya mendapatkan gigitan gemas beserta ciuman panas dari Cakra. Sudah hampir sepuluh menit saat mereka tiba di pantai ini. Cakra membawa mobilnya memasuki area pantai, dan memaskirkannya di tempat yang jauh dari keramaian. Kaca mobil satu arah itu membantunya ‘bersembunyi’ baik baik dari beberapa orang lain yang melewati mobilnya tanpa tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Tangan tangan kekar itu tengah mengerayapi tubuh bagian atas Arum. Menyelinap masuk ke sana dan ke mari. Merayap rayap di punggung. Lantas ke perut. Kemudian meremas remas kedua benda kenyal yang bersarang di balik kaus Arum. Sementara tangannya berkeliaran menamah tubuh Arum, bibirnya giat mengecupi setiap inci tubuh gadis itu. Bibir hingga dagunya. Leher indahnya hingga ke pundak. Bahkan anting yang terpasang di cuping telinga Arum sampai terlepas di bibir Cakra. “Ahhh... mphh....” Sementara Arum menikmati tiap sentuhan yan
Sebenarnya ia telah merencanakan sejak lama untuk memiliki seorang asisten pribadi yang nantinya akan banyak membantunya melakukan pekerjaan. Hanya saja ia masih mempertimbangkan hal itu matang matang. Tetapi beberapa bulan terakhir ini pekerjaannya sangat banyak. Ia hampir tak memiliki waktu untuk dirinya sendiri karena terlalu larut dalam pekerjaan. Ia juga jadi tak memiliki banyak waktu untuk bersama suaminya, Cakra, yang entah mengapa sikapnya menjadi sangat sensitif dan aneh.Siang ini, setelah meeting nya dengan klien dari Grasse itu selesai, ia bertemu dengan seorang laki-laki yang merupakan calon asistennya. Di mana calon asisten itu merupakan rekomendasi langsung dari salah satu manajer yang Marin percaya di kantornya.Tok tok tok.Suara ketuk pintu terdengar. Sepertinya itu adalah calon asistennya yang siang ini akan melakukan wawancara dengan Marin. Untuk memastikan kecocokan mereka berdua. Karena, posisi sebagai asisten adalah posisi yang sa
“Mphh!” Arum hanya bisa mengerang pelan saat telinga kanannya mendapatkan gigitan gemas beserta ciuman panas dari Cakra. Sudah hampir sepuluh menit saat mereka tiba di pantai ini. Cakra membawa mobilnya memasuki area pantai, dan memaskirkannya di tempat yang jauh dari keramaian. Kaca mobil satu arah itu membantunya ‘bersembunyi’ baik baik dari beberapa orang lain yang melewati mobilnya tanpa tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Tangan tangan kekar itu tengah mengerayapi tubuh bagian atas Arum. Menyelinap masuk ke sana dan ke mari. Merayap rayap di punggung. Lantas ke perut. Kemudian meremas remas kedua benda kenyal yang bersarang di balik kaus Arum. Sementara tangannya berkeliaran menamah tubuh Arum, bibirnya giat mengecupi setiap inci tubuh gadis itu. Bibir hingga dagunya. Leher indahnya hingga ke pundak. Bahkan anting yang terpasang di cuping telinga Arum sampai terlepas di bibir Cakra. “Ahhh... mphh....” Sementara Arum menikmati tiap sentuhan yan
Dari kejauhan Cakra melihat Arum melambaikan tangan. Lambaian tangan itu menyambut kedatangan Cakra beserta mobil yang lelaki itu kendarakan. Tepat setelah mobil itu berhenti di depan Arum, Cakra menurunkan kaca jendelanya. Kepalanya melongok ke luar.“Langsung masuk aja,” seru lelaki itu.Langkah Arum mendekat bersamaan dengan kaca jendela mobil Cakra yang kembali tertutup. Arum menaiki mobil yang dikendarakan Cakra. Tak lama kemudian mobil itu kembali melesat pergi menuju tempat yang ingin ia tuju.“Bye the way kita mau ke mana Pak? Tadi malam Bapak tidak bilang mau ditemenin ke mana.”Arum membuka perbincangan sesaat setelah duduk di dalam mobil Cakra yang sedang melaju meninggalkan gerbang kampus.“Pantai,” jawab Cakra singkat.“Wah, pantai? Kebetulan sekali saya juga ingin ke pantai lok Pak. Sebenarnya minggu kemarin saya mau diajak ke pantai sama teman teman kos. Tapi saya tidak bisa k
Lantas Marin menarik napas panjang. Mengembuskannya teratur. “Tidak masalah. Biar adil, kan? Karena nggak adil kalau hanya kamu yang tahu sisi gelapku. Biar kita tahu sisi gelap masing-masing. Dan karena kamu sudah mengakui sifat asliku, biar aku perjelas. Besok aku nggak bisa ke pantai. Ada meeting penting yang nggak bisa aku hindari. Sekarang Sayang mau lanjutin kerjaan atau mau tidur, teserah. Aku nggak peduli.”Setelah itu Marin berjalan pergi meninggalkan Cakra di ruang kerja ini. Keluar ruangan dengan menutup pintu keras keras. Cakra yang masih duduk di kursi kerjanya, menarik napas panjang panjang. Ia meletakkan kedua tangannya tepat di depan wajah. Suasana hatinya benar benar kacau dan buruk.Dering telepon sesaat itu membuat fokus Cakra teralihkan. Ia menerima panggilan video dari Arum. Dengan pikirannya yang kacau pun Cakra menjawab panggilan video tersebut. Kedua matanya seketika terbelalak. Betapa kaget dirinya melihat pemandangan
Sekitar pukul dua malam. Cakra baru terbangun setelah dua kali sesi bercintanya bersama sang istri. Tubuhnya masih rebah di atas kasur. Dipeluk Marin yang tubuh bagian atasnya terekspos tanpa pakaian. Perlahan Cakra melepaskan pelukan Marin. Mengecup pelipis sang istri yang seketika membuat Marin mengeliat kecil. Lantas ia bangun. Turun dari ranjang tidur mereka.Di antara gelap kamar tidur keduanya, Cakra mengenakan celana boxer dan menggunakan sendal slipnya. Berjalan meninggalkan kamar mereka, menuju ruang kerjanya. Ia baru teringat untuk menyelesaikan pekerjaannya membuat soal ujian. Ia berniat menyelesaikan pekerjaannya sebelum matahari terbit. Sebab Minggu esok ia memiliki rencana menghabiskan weekend bersama Marin ke pantai setelah rencana itu selalu tertunda hingga berbulan bulan.Memasuki ruang kerjanya, Cakra menyalakan lampu temaram kuning yang menyala sejuk. Lantas duduk ke atas kursi kerja sambil menyalakan laptopnya.Seketika itu
Lanjutan ciuman sore itu...Drrttt. Drttt.Tetapi getaran ponsel itu semakin mengganggu mereka. Cakra sejenak menghentikan kegiatannya. “Sebentar.” Untuk menjawab telepon dari istrinya, Marin.[Sayang, masih kerja?] Suara Marin di seberang sana menyadarkan Cakra. Spontan, tubuh lelaki itu selangkah menjauhi Arum yang masih duduk di atas meja, memandanginya.Cakra berusaha menyetabilkan perasaannya. Ia mengendalikan tarikan napasnya supaya tidak terdengar seperti orang yang sedang dikuasai nafsu.“Iya. Masih ada kelas yang harus aku isi habis ini. Mungkin aku baru sampai rumah nanti habis magrib, Sayang.”Begitu suara Cakra menjawab dengan suara yang lebih tenang. Hasratnya berangsur pergi saat ia membayangkan wajah Marin di seberang telepon sana. Perlahan, Cakra membuat tubuhnya semakin menjauh dari Arum yang kini menatapnya bingung, bercampur waswas.[Tidak usah buru-buru, Sa
Ciuman sore itu.Untuk orang dewasa, apalagi yang sudah menikah seperti Cakra, seks menjadi kebutuhan biologis yang tidak boleh sampai ‘kekurangan’. Sama seperti kebutuhan makan, minum, istirahat. Seks adalah salah satu kebutuhan biologis yang tidak bisa dilewatkan karena bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Terutama dalam hal psikologis.Mungkin itu yang terjadi pada Cakra.Selama menikah dengan Marin, kebutuhan seksualnya selalu tercukupi dengan baik. Di tengah kesibukan pun Marin bersedia melayani suaminya. Sebab, yang memiliki kebutuhan seks tidak hanya laki laki saja, tetapi juga perempuan. Marin menyadari itu dan berusaha untuk melakukan pemenuhan kebutuhan seks tersebut dengan suami tercintanya. Satu sampai dua tahun di awal menikah, kebutuhan seks mereka sama sama terpenuhi. Tak hanya itu, hasrat keduanya seolah tidak pernah pudar. Hampir setiap malam mereka melakukan hubungan seks selayaknya suami istri yang lekat da
Cakra: Suami yang ...? Menjadi suami marin adalah tantangan berat sekaligus anugerah. Dikatakan tantangan berat karena sikap Marin yang sangat keras dan juga dominan sering kali membuat Cakra kerepotan. Namun, dapat dikatakan anugerah adalah karena Marin menjadi wanita yang kuat dan tangguh, yang sangat berbeda dari wanita kebanyakan yang Cakra kenal, bahkan pernah pacari sebelumnya. Cakra tahu betul seperti apa perjuangan Marin membangun karirnya sejak mereka berdua sama sama masih menjadi mahasiswa. Karena suatu penyebab, Marin tidak dapat melanjutkan kuliahnya sehingga ia drop out dari kuliahnya tanpa pernah menyandang gelar sebagai sarjana. Sementara Cakra yang tetap melanjutkan kuliah, memberikan dukungan kepada Marin yang sedang baru memulai merintis bisnis di dunia kecantikan. Siang itu, sekitar delapan tahun yang lalu. Cakra yang baru menyelesaikan salah satu kelas kuliahnya sangat kaget melihat apa yang tertulis di ponselnya
Marin Maria: Si Wanita PenaklukMarin Maria, wanita tiga puluh tahun yang merupakan pemimpin sekaligus founder dari sebuah beauty national brand yang ada di negeri ini. Wajah yang cantik menawannya terpampang di berbagai majalah perempuan. Kisah suksesnya diliput dari media A sampai media Z, diulas berkali kali di platform jejaring sosial. Ia adalah inspirasi banyak wanita atas kesuksesan dan keuletannya mengelola brand kecantikan dari nol. Benar benar dari NOL! Ia jatuh bangun membangun bisnis itu hingga akhirnya menjadi sesukses ini.“Dunia bisnis sangat keras. Engkau perlu lebih keras daripada itu untuk bisa bertahan dan tetap berdiri tangguh,” ucapnya di salah satu wawancara bersama beberapa jurnalis dari majalah wanita nasional.Tak heran kalau pengalamannya bergelut di bidang bisnis membuatnya memiliki pribadi yang keras kepala, angkuh, dan dominan. Ia adalah wanita yang sangat dominan, yang kalau dihadapankan