Sekitar pukul dua malam. Cakra baru terbangun setelah dua kali sesi bercintanya bersama sang istri. Tubuhnya masih rebah di atas kasur. Dipeluk Marin yang tubuh bagian atasnya terekspos tanpa pakaian. Perlahan Cakra melepaskan pelukan Marin. Mengecup pelipis sang istri yang seketika membuat Marin mengeliat kecil. Lantas ia bangun. Turun dari ranjang tidur mereka.
Di antara gelap kamar tidur keduanya, Cakra mengenakan celana boxer dan menggunakan sendal slipnya. Berjalan meninggalkan kamar mereka, menuju ruang kerjanya. Ia baru teringat untuk menyelesaikan pekerjaannya membuat soal ujian. Ia berniat menyelesaikan pekerjaannya sebelum matahari terbit. Sebab Minggu esok ia memiliki rencana menghabiskan weekend bersama Marin ke pantai setelah rencana itu selalu tertunda hingga berbulan bulan.
Memasuki ruang kerjanya, Cakra menyalakan lampu temaram kuning yang menyala sejuk. Lantas duduk ke atas kursi kerja sambil menyalakan laptopnya.
Seketika itu pandangannya tertuju pada ponsel yang ia geletakkan tepat di sebelah laptop. Ia melihat beberapa pesan masuk. Salah satu pesan yang menarik perhatiannya adalah pesan teks dari Arum.
‘Pak Cakra, saya tidak akan melupakan ciuman kita sore tadi.^^’
Cakra membaca pesan itu. Sekelibat rasa bersalah menyembul dalam benaknya. Rasa bersalah terhadap dua wanita sekaligus. Pertama yang jelas adalah rasa bersalah pada istrinya, Marin. Kali pertama di kehidupan pernikahan ini Cakra merasakan hasrat yang tertuju untuk wanita lain dan bukan istrinya sendiri. Kenyataan itu membuatnya merasa bersalah. Dan yang kedua adalah rasa bersalah pada Arum, yang begitu muda dan rapuh, yang ia tolak cintanya lantaran dirinya sudah beristri.
Saat masih sibuk meresapi perasaan bersalah dalam dadanya, ada beberapa pesan masuk sekaligus dari nomor yang sama.
‘Sepertinya saya tidak bisa menghentikan rasa suka pada Bapak.’
‘Maafkan saya, Pak. Ciuman Bapak tidak membuat saya merasa lebih baik. Justru ciuman tadi sore membuat saya merasa semakin terikat dengan Bapak.’
‘Saya tidak bisa mengendalikan perasaan ini. Maafkan saya, Pak.’
‘Sekarang saya tidak tahu bagaimana harus menghadapi Bapak lagi. Setiap kali melihat Bapak saya merasa ingin menangis. Bapak seseorang yang tidak akan bisa saya miliki.’
Cakra menghela napas panjang membaca setiap pesan yang Arum kirimkan. Jauh dari dugaannya. Ia merasa aneh. Ia merasa bersalah karena telah membuat Arum terjebak dalam perasaan itu. Bagaimanapun, Cakra yang mengajak gadis itu unutk berciuman setelah menolaknya. Ciuman mereka adalah ajakan Cakra, atas keinginan Cakra, atau barangkali hasrat Cakra yang masih meletup letup. Ciuman itu adalah keegoisan seorang Cakra. Sekarang ia merasa bersalah. Ia telah membuat Arum terjebak dalam perasaan itu gegara ciuman lembut yang Cakra mulai.
Meski ia membaca setiap pesan yang dikirim Arum, Cakra tidak berniat membalasnya. Bukan karena ia tidak mau membalas. Ia hanya tidak tahu harus berkata apa kepada Arum.
‘Saya tahu Bapak membaca pesan teks saya ini.’
‘Baiklah. Bapak tidak harus membalas setiap pesan saya.’
‘Saya hanya ingin bilang, kalau Bapak yang memulai semuanya. Sebelum Bapak mengajak saya berciuman, saya merasa bisa mengendalikan perasaan saya. Tetapi Bapak telah menjebak saya ke dalam ciuman itu. Sekarang saya tidak bisa mengendalikan perasaan saya lagi. Ini semua salah Bapak. Saya terjebak dalam situasi ini karena Bapak. Mulai sekarang jangan salahkan saya kalau saya bertindak sesuka hati saya.’
Tersirat emosi yang meletup letup dalam jiwa Arum yang tidak terkendali akibat kejadian sore tadi. Usianya baru dua puluh. Konon katanya seorang wanita di usia itu masih kesulitan mengontrol emosi. Cakra tahu betul akan hal itu. Dan berusaha bersikap setenang yang ia bisa.
Hati-hati, Cakra pun membalas pesan teks Arum. Tepat hanya satu kalimat singkat.
‘Tenangkan diri kamu dulu.’
Lantas Arum tak membalas lagi pesan teks itu. Cakra pun menggeletakkan ponselnya ke meja. Kemudian mulai melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
Tepat lima belas menit kemudian, suara ketukan pintu terdengar. Tak lama setelah itu, Marin, yang mengenakan lingerie satin warna ungu berjalan mendekati Cakra.
“Sayang ngapain?” tanyanya dengan nada suara dingin.
“Lanjutin pekerjaanku, Yang.”
“Ngapain kerja malem-malem? Besok kan hari Minggu. Aku kesepian tidur sendirian di kamar. Nggak ada yang aku peluk,” protes Marin sambil berdiri di sebelah Cakra.
“Besok kan kita mau ke pantai. Aku pengen quality time sama kamu besok, nggak mau ngurus pekerjaan. Jadi biar aku selesaiin sekarang.” Cakra menjelaskan singkat.
“Besok kita ke pantai? Siapa yang bilang?”
Seketika itu pandangan Cakra menaik. Menatap Marin yang ekspresinya tidak begitu senang.
“Kamu lupa? Kita kan ada janji mau ke pantai besok Minggu. Janji itu udah lama banget loh. Masak Sayang udah lupa?” cetus Cakra.
“Iya, aku ingat janjinya. Tapi siapa yang bilang kalau kita ke pantai besok? Besok itu aku ada meeting sama orang-orang dari Grasse. Mereka baru datang tadi sore dari Prancis, dan besok mau meeting di kantor buat bahas formula parfum Hebely. Kita nggak bisa ke pantai besok,” jelas Marin. Entah ia yang lupa memberi tahu Cakra soal pertemuan dengan orang dari Grasse itu, atau Cakra yang terlalu berharap kalau besok Minggu ia bisa pergi ke pantai bersama Marin.
Kekecewaan yang begitu besar terlukis di wajah tampan Cakra setelah mendengar penjelasan itu. Ia yang merasa sangat suntuk oleh rutinitas hariannya berharap bisa menghirup aroma pantai yang segar besok hari. Menghapus lelah dan mengembalikan kejernihan pikirannya. Ia sungguh berharap ia besok bisa quality time bersama Marin. Tapi rupanya kenyataan tak seindah ekspektasinya. Lagi, dan lagi ...
“Sudah berbulan-bulan kita punya rencana itu, tapi kamu selalu sibuk jadinya tertunda terus. Kalau kayak gitu terus kapan kita bisa punya quality time lagi, Marin?” Cakra berkata dengan tegas. Sambil menatap serius ke arah Marin yang berdiri di sebelah meja.
“Sayang pikir aku nggak mau punya quality time? Aku juga punya keinginan kayak gitu. Aku juga seorang istri. Aku pengen punya quality time sama suami aku. Tapi mau gimana? Mereka datang jauh jauh dari Grasse.” Marin berusaha menjelaskan situasinya pada Cakra. Tetapi kelihatannya Cakra tidak ingin mendengarkan alasan itu. Ekspresi wajahnya tampak kaku.
“Sepenting itukah pekerjaanmu sampai mengorbankan aku?” sahut Cakra tegas.
Ekspresi Marin seketika itu berubah. Raut wajahnya tampak marah mendengar kata kata sarkas itu meluncur dari mulut suaminya.
“Apa maksudmu, Sayang? Siapa yang mengorbankan siapa? Aku nggak pernah mengorbankan siapa siapa demi pekerjaanku. Dan aku bekerja pun buat kita, buat kamu juga,” sanggah Marin.
“Jangan beromong kosong, Marin. Kamu pikir aku nggak kenal kamu?” Cakra pun menyahut dengan nada suaranya yang meninggi. Rupanya ia menahan diri sudah terlalu lama. “Aku tahu kamu. Kamu nggak akan ngelakuin semua itu buat orang lain. Kamu melakukan semua itu untuk tujuan kamu sendiri, Marin. Untuk ambisimu semata. Untuk kebutuhan egomu. Kamu nggak memikirkan posisi orang lain dan cuma mengejar apa yang ingin kamu kejar. Uang, karir, martabat. Itu semua cuman tentang ambisimu, bukan tentang aku.”
Marin sungguh tercengang akan apa yang Cakra katakan. Sembilan tahun mereka mengenal, dan lima tahun mereka menjalin rumah tangga. Apa yang menjadi rahasia sudah bukan rahasia lagi. Cakra tahu semua tentang Marin. Maka yang Cakra ucapkan tadi adalah kenyataan, bukan kesaksian yang dibuat-buat. Itu adalah kebenaran tentang Marin, wanita yang sangat ambisius dan tidak bisa dihentikan. Tetapi mengatakannya terus terang seperti itu membuat Marin tercengang.
Seketika Marin memasang ekspresi dingin. Ia berusaha menenangkan dadanya yang bergejolak. Matanya menatap Cakra tajam tajam.
“Setelah lima tahun kita hidup bersama, baru aku melihat sisi gelapmu ini.”
*
Lantas Marin menarik napas panjang. Mengembuskannya teratur. “Tidak masalah. Biar adil, kan? Karena nggak adil kalau hanya kamu yang tahu sisi gelapku. Biar kita tahu sisi gelap masing-masing. Dan karena kamu sudah mengakui sifat asliku, biar aku perjelas. Besok aku nggak bisa ke pantai. Ada meeting penting yang nggak bisa aku hindari. Sekarang Sayang mau lanjutin kerjaan atau mau tidur, teserah. Aku nggak peduli.”Setelah itu Marin berjalan pergi meninggalkan Cakra di ruang kerja ini. Keluar ruangan dengan menutup pintu keras keras. Cakra yang masih duduk di kursi kerjanya, menarik napas panjang panjang. Ia meletakkan kedua tangannya tepat di depan wajah. Suasana hatinya benar benar kacau dan buruk.Dering telepon sesaat itu membuat fokus Cakra teralihkan. Ia menerima panggilan video dari Arum. Dengan pikirannya yang kacau pun Cakra menjawab panggilan video tersebut. Kedua matanya seketika terbelalak. Betapa kaget dirinya melihat pemandangan
Dari kejauhan Cakra melihat Arum melambaikan tangan. Lambaian tangan itu menyambut kedatangan Cakra beserta mobil yang lelaki itu kendarakan. Tepat setelah mobil itu berhenti di depan Arum, Cakra menurunkan kaca jendelanya. Kepalanya melongok ke luar.“Langsung masuk aja,” seru lelaki itu.Langkah Arum mendekat bersamaan dengan kaca jendela mobil Cakra yang kembali tertutup. Arum menaiki mobil yang dikendarakan Cakra. Tak lama kemudian mobil itu kembali melesat pergi menuju tempat yang ingin ia tuju.“Bye the way kita mau ke mana Pak? Tadi malam Bapak tidak bilang mau ditemenin ke mana.”Arum membuka perbincangan sesaat setelah duduk di dalam mobil Cakra yang sedang melaju meninggalkan gerbang kampus.“Pantai,” jawab Cakra singkat.“Wah, pantai? Kebetulan sekali saya juga ingin ke pantai lok Pak. Sebenarnya minggu kemarin saya mau diajak ke pantai sama teman teman kos. Tapi saya tidak bisa k
“Mphh!” Arum hanya bisa mengerang pelan saat telinga kanannya mendapatkan gigitan gemas beserta ciuman panas dari Cakra. Sudah hampir sepuluh menit saat mereka tiba di pantai ini. Cakra membawa mobilnya memasuki area pantai, dan memaskirkannya di tempat yang jauh dari keramaian. Kaca mobil satu arah itu membantunya ‘bersembunyi’ baik baik dari beberapa orang lain yang melewati mobilnya tanpa tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Tangan tangan kekar itu tengah mengerayapi tubuh bagian atas Arum. Menyelinap masuk ke sana dan ke mari. Merayap rayap di punggung. Lantas ke perut. Kemudian meremas remas kedua benda kenyal yang bersarang di balik kaus Arum. Sementara tangannya berkeliaran menamah tubuh Arum, bibirnya giat mengecupi setiap inci tubuh gadis itu. Bibir hingga dagunya. Leher indahnya hingga ke pundak. Bahkan anting yang terpasang di cuping telinga Arum sampai terlepas di bibir Cakra. “Ahhh... mphh....” Sementara Arum menikmati tiap sentuhan yan
Sebenarnya ia telah merencanakan sejak lama untuk memiliki seorang asisten pribadi yang nantinya akan banyak membantunya melakukan pekerjaan. Hanya saja ia masih mempertimbangkan hal itu matang matang. Tetapi beberapa bulan terakhir ini pekerjaannya sangat banyak. Ia hampir tak memiliki waktu untuk dirinya sendiri karena terlalu larut dalam pekerjaan. Ia juga jadi tak memiliki banyak waktu untuk bersama suaminya, Cakra, yang entah mengapa sikapnya menjadi sangat sensitif dan aneh.Siang ini, setelah meeting nya dengan klien dari Grasse itu selesai, ia bertemu dengan seorang laki-laki yang merupakan calon asistennya. Di mana calon asisten itu merupakan rekomendasi langsung dari salah satu manajer yang Marin percaya di kantornya.Tok tok tok.Suara ketuk pintu terdengar. Sepertinya itu adalah calon asistennya yang siang ini akan melakukan wawancara dengan Marin. Untuk memastikan kecocokan mereka berdua. Karena, posisi sebagai asisten adalah posisi yang sa
Marin Maria: Si Wanita PenaklukMarin Maria, wanita tiga puluh tahun yang merupakan pemimpin sekaligus founder dari sebuah beauty national brand yang ada di negeri ini. Wajah yang cantik menawannya terpampang di berbagai majalah perempuan. Kisah suksesnya diliput dari media A sampai media Z, diulas berkali kali di platform jejaring sosial. Ia adalah inspirasi banyak wanita atas kesuksesan dan keuletannya mengelola brand kecantikan dari nol. Benar benar dari NOL! Ia jatuh bangun membangun bisnis itu hingga akhirnya menjadi sesukses ini.“Dunia bisnis sangat keras. Engkau perlu lebih keras daripada itu untuk bisa bertahan dan tetap berdiri tangguh,” ucapnya di salah satu wawancara bersama beberapa jurnalis dari majalah wanita nasional.Tak heran kalau pengalamannya bergelut di bidang bisnis membuatnya memiliki pribadi yang keras kepala, angkuh, dan dominan. Ia adalah wanita yang sangat dominan, yang kalau dihadapankan
Cakra: Suami yang ...? Menjadi suami marin adalah tantangan berat sekaligus anugerah. Dikatakan tantangan berat karena sikap Marin yang sangat keras dan juga dominan sering kali membuat Cakra kerepotan. Namun, dapat dikatakan anugerah adalah karena Marin menjadi wanita yang kuat dan tangguh, yang sangat berbeda dari wanita kebanyakan yang Cakra kenal, bahkan pernah pacari sebelumnya. Cakra tahu betul seperti apa perjuangan Marin membangun karirnya sejak mereka berdua sama sama masih menjadi mahasiswa. Karena suatu penyebab, Marin tidak dapat melanjutkan kuliahnya sehingga ia drop out dari kuliahnya tanpa pernah menyandang gelar sebagai sarjana. Sementara Cakra yang tetap melanjutkan kuliah, memberikan dukungan kepada Marin yang sedang baru memulai merintis bisnis di dunia kecantikan. Siang itu, sekitar delapan tahun yang lalu. Cakra yang baru menyelesaikan salah satu kelas kuliahnya sangat kaget melihat apa yang tertulis di ponselnya
Ciuman sore itu.Untuk orang dewasa, apalagi yang sudah menikah seperti Cakra, seks menjadi kebutuhan biologis yang tidak boleh sampai ‘kekurangan’. Sama seperti kebutuhan makan, minum, istirahat. Seks adalah salah satu kebutuhan biologis yang tidak bisa dilewatkan karena bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Terutama dalam hal psikologis.Mungkin itu yang terjadi pada Cakra.Selama menikah dengan Marin, kebutuhan seksualnya selalu tercukupi dengan baik. Di tengah kesibukan pun Marin bersedia melayani suaminya. Sebab, yang memiliki kebutuhan seks tidak hanya laki laki saja, tetapi juga perempuan. Marin menyadari itu dan berusaha untuk melakukan pemenuhan kebutuhan seks tersebut dengan suami tercintanya. Satu sampai dua tahun di awal menikah, kebutuhan seks mereka sama sama terpenuhi. Tak hanya itu, hasrat keduanya seolah tidak pernah pudar. Hampir setiap malam mereka melakukan hubungan seks selayaknya suami istri yang lekat da
Lanjutan ciuman sore itu...Drrttt. Drttt.Tetapi getaran ponsel itu semakin mengganggu mereka. Cakra sejenak menghentikan kegiatannya. “Sebentar.” Untuk menjawab telepon dari istrinya, Marin.[Sayang, masih kerja?] Suara Marin di seberang sana menyadarkan Cakra. Spontan, tubuh lelaki itu selangkah menjauhi Arum yang masih duduk di atas meja, memandanginya.Cakra berusaha menyetabilkan perasaannya. Ia mengendalikan tarikan napasnya supaya tidak terdengar seperti orang yang sedang dikuasai nafsu.“Iya. Masih ada kelas yang harus aku isi habis ini. Mungkin aku baru sampai rumah nanti habis magrib, Sayang.”Begitu suara Cakra menjawab dengan suara yang lebih tenang. Hasratnya berangsur pergi saat ia membayangkan wajah Marin di seberang telepon sana. Perlahan, Cakra membuat tubuhnya semakin menjauh dari Arum yang kini menatapnya bingung, bercampur waswas.[Tidak usah buru-buru, Sa
Sebenarnya ia telah merencanakan sejak lama untuk memiliki seorang asisten pribadi yang nantinya akan banyak membantunya melakukan pekerjaan. Hanya saja ia masih mempertimbangkan hal itu matang matang. Tetapi beberapa bulan terakhir ini pekerjaannya sangat banyak. Ia hampir tak memiliki waktu untuk dirinya sendiri karena terlalu larut dalam pekerjaan. Ia juga jadi tak memiliki banyak waktu untuk bersama suaminya, Cakra, yang entah mengapa sikapnya menjadi sangat sensitif dan aneh.Siang ini, setelah meeting nya dengan klien dari Grasse itu selesai, ia bertemu dengan seorang laki-laki yang merupakan calon asistennya. Di mana calon asisten itu merupakan rekomendasi langsung dari salah satu manajer yang Marin percaya di kantornya.Tok tok tok.Suara ketuk pintu terdengar. Sepertinya itu adalah calon asistennya yang siang ini akan melakukan wawancara dengan Marin. Untuk memastikan kecocokan mereka berdua. Karena, posisi sebagai asisten adalah posisi yang sa
“Mphh!” Arum hanya bisa mengerang pelan saat telinga kanannya mendapatkan gigitan gemas beserta ciuman panas dari Cakra. Sudah hampir sepuluh menit saat mereka tiba di pantai ini. Cakra membawa mobilnya memasuki area pantai, dan memaskirkannya di tempat yang jauh dari keramaian. Kaca mobil satu arah itu membantunya ‘bersembunyi’ baik baik dari beberapa orang lain yang melewati mobilnya tanpa tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Tangan tangan kekar itu tengah mengerayapi tubuh bagian atas Arum. Menyelinap masuk ke sana dan ke mari. Merayap rayap di punggung. Lantas ke perut. Kemudian meremas remas kedua benda kenyal yang bersarang di balik kaus Arum. Sementara tangannya berkeliaran menamah tubuh Arum, bibirnya giat mengecupi setiap inci tubuh gadis itu. Bibir hingga dagunya. Leher indahnya hingga ke pundak. Bahkan anting yang terpasang di cuping telinga Arum sampai terlepas di bibir Cakra. “Ahhh... mphh....” Sementara Arum menikmati tiap sentuhan yan
Dari kejauhan Cakra melihat Arum melambaikan tangan. Lambaian tangan itu menyambut kedatangan Cakra beserta mobil yang lelaki itu kendarakan. Tepat setelah mobil itu berhenti di depan Arum, Cakra menurunkan kaca jendelanya. Kepalanya melongok ke luar.“Langsung masuk aja,” seru lelaki itu.Langkah Arum mendekat bersamaan dengan kaca jendela mobil Cakra yang kembali tertutup. Arum menaiki mobil yang dikendarakan Cakra. Tak lama kemudian mobil itu kembali melesat pergi menuju tempat yang ingin ia tuju.“Bye the way kita mau ke mana Pak? Tadi malam Bapak tidak bilang mau ditemenin ke mana.”Arum membuka perbincangan sesaat setelah duduk di dalam mobil Cakra yang sedang melaju meninggalkan gerbang kampus.“Pantai,” jawab Cakra singkat.“Wah, pantai? Kebetulan sekali saya juga ingin ke pantai lok Pak. Sebenarnya minggu kemarin saya mau diajak ke pantai sama teman teman kos. Tapi saya tidak bisa k
Lantas Marin menarik napas panjang. Mengembuskannya teratur. “Tidak masalah. Biar adil, kan? Karena nggak adil kalau hanya kamu yang tahu sisi gelapku. Biar kita tahu sisi gelap masing-masing. Dan karena kamu sudah mengakui sifat asliku, biar aku perjelas. Besok aku nggak bisa ke pantai. Ada meeting penting yang nggak bisa aku hindari. Sekarang Sayang mau lanjutin kerjaan atau mau tidur, teserah. Aku nggak peduli.”Setelah itu Marin berjalan pergi meninggalkan Cakra di ruang kerja ini. Keluar ruangan dengan menutup pintu keras keras. Cakra yang masih duduk di kursi kerjanya, menarik napas panjang panjang. Ia meletakkan kedua tangannya tepat di depan wajah. Suasana hatinya benar benar kacau dan buruk.Dering telepon sesaat itu membuat fokus Cakra teralihkan. Ia menerima panggilan video dari Arum. Dengan pikirannya yang kacau pun Cakra menjawab panggilan video tersebut. Kedua matanya seketika terbelalak. Betapa kaget dirinya melihat pemandangan
Sekitar pukul dua malam. Cakra baru terbangun setelah dua kali sesi bercintanya bersama sang istri. Tubuhnya masih rebah di atas kasur. Dipeluk Marin yang tubuh bagian atasnya terekspos tanpa pakaian. Perlahan Cakra melepaskan pelukan Marin. Mengecup pelipis sang istri yang seketika membuat Marin mengeliat kecil. Lantas ia bangun. Turun dari ranjang tidur mereka.Di antara gelap kamar tidur keduanya, Cakra mengenakan celana boxer dan menggunakan sendal slipnya. Berjalan meninggalkan kamar mereka, menuju ruang kerjanya. Ia baru teringat untuk menyelesaikan pekerjaannya membuat soal ujian. Ia berniat menyelesaikan pekerjaannya sebelum matahari terbit. Sebab Minggu esok ia memiliki rencana menghabiskan weekend bersama Marin ke pantai setelah rencana itu selalu tertunda hingga berbulan bulan.Memasuki ruang kerjanya, Cakra menyalakan lampu temaram kuning yang menyala sejuk. Lantas duduk ke atas kursi kerja sambil menyalakan laptopnya.Seketika itu
Lanjutan ciuman sore itu...Drrttt. Drttt.Tetapi getaran ponsel itu semakin mengganggu mereka. Cakra sejenak menghentikan kegiatannya. “Sebentar.” Untuk menjawab telepon dari istrinya, Marin.[Sayang, masih kerja?] Suara Marin di seberang sana menyadarkan Cakra. Spontan, tubuh lelaki itu selangkah menjauhi Arum yang masih duduk di atas meja, memandanginya.Cakra berusaha menyetabilkan perasaannya. Ia mengendalikan tarikan napasnya supaya tidak terdengar seperti orang yang sedang dikuasai nafsu.“Iya. Masih ada kelas yang harus aku isi habis ini. Mungkin aku baru sampai rumah nanti habis magrib, Sayang.”Begitu suara Cakra menjawab dengan suara yang lebih tenang. Hasratnya berangsur pergi saat ia membayangkan wajah Marin di seberang telepon sana. Perlahan, Cakra membuat tubuhnya semakin menjauh dari Arum yang kini menatapnya bingung, bercampur waswas.[Tidak usah buru-buru, Sa
Ciuman sore itu.Untuk orang dewasa, apalagi yang sudah menikah seperti Cakra, seks menjadi kebutuhan biologis yang tidak boleh sampai ‘kekurangan’. Sama seperti kebutuhan makan, minum, istirahat. Seks adalah salah satu kebutuhan biologis yang tidak bisa dilewatkan karena bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Terutama dalam hal psikologis.Mungkin itu yang terjadi pada Cakra.Selama menikah dengan Marin, kebutuhan seksualnya selalu tercukupi dengan baik. Di tengah kesibukan pun Marin bersedia melayani suaminya. Sebab, yang memiliki kebutuhan seks tidak hanya laki laki saja, tetapi juga perempuan. Marin menyadari itu dan berusaha untuk melakukan pemenuhan kebutuhan seks tersebut dengan suami tercintanya. Satu sampai dua tahun di awal menikah, kebutuhan seks mereka sama sama terpenuhi. Tak hanya itu, hasrat keduanya seolah tidak pernah pudar. Hampir setiap malam mereka melakukan hubungan seks selayaknya suami istri yang lekat da
Cakra: Suami yang ...? Menjadi suami marin adalah tantangan berat sekaligus anugerah. Dikatakan tantangan berat karena sikap Marin yang sangat keras dan juga dominan sering kali membuat Cakra kerepotan. Namun, dapat dikatakan anugerah adalah karena Marin menjadi wanita yang kuat dan tangguh, yang sangat berbeda dari wanita kebanyakan yang Cakra kenal, bahkan pernah pacari sebelumnya. Cakra tahu betul seperti apa perjuangan Marin membangun karirnya sejak mereka berdua sama sama masih menjadi mahasiswa. Karena suatu penyebab, Marin tidak dapat melanjutkan kuliahnya sehingga ia drop out dari kuliahnya tanpa pernah menyandang gelar sebagai sarjana. Sementara Cakra yang tetap melanjutkan kuliah, memberikan dukungan kepada Marin yang sedang baru memulai merintis bisnis di dunia kecantikan. Siang itu, sekitar delapan tahun yang lalu. Cakra yang baru menyelesaikan salah satu kelas kuliahnya sangat kaget melihat apa yang tertulis di ponselnya
Marin Maria: Si Wanita PenaklukMarin Maria, wanita tiga puluh tahun yang merupakan pemimpin sekaligus founder dari sebuah beauty national brand yang ada di negeri ini. Wajah yang cantik menawannya terpampang di berbagai majalah perempuan. Kisah suksesnya diliput dari media A sampai media Z, diulas berkali kali di platform jejaring sosial. Ia adalah inspirasi banyak wanita atas kesuksesan dan keuletannya mengelola brand kecantikan dari nol. Benar benar dari NOL! Ia jatuh bangun membangun bisnis itu hingga akhirnya menjadi sesukses ini.“Dunia bisnis sangat keras. Engkau perlu lebih keras daripada itu untuk bisa bertahan dan tetap berdiri tangguh,” ucapnya di salah satu wawancara bersama beberapa jurnalis dari majalah wanita nasional.Tak heran kalau pengalamannya bergelut di bidang bisnis membuatnya memiliki pribadi yang keras kepala, angkuh, dan dominan. Ia adalah wanita yang sangat dominan, yang kalau dihadapankan