Apa yang kau pikir ketika mendengar kata ibu? Seseorang yang mengandung dan melahirkanmu atau sosok tegar yang tetap membesarkanmu dengan kasih sayang meski hati tertoreh luka.
~~~
Gadis kecil itu terseok-seok. Beberapa kali kaki mungilnya tersandung dan hampir tersungkur. Namun, wanita bergaun hitam yang tengah menarik kasar tangannya seolah tak peduli, tetap berjalan dengan cepat. Bibir berlipstik merah darah tak sedikit pun menyungingkan senyum, membuat si gadis kecil memasang wajah muram.
Surtini, begitulah nama yang diberikan wanita bergaun hitam untuk si gadis berusia 5 tahun. Nama itu diberikan dengan asal setelah mendengar berita korban pembunuhan di televisi. Tega, kejam, mungkin kata-kata itu pantas disematkan kepadanya. Namun, dia tak peduli. Anak semata wayangnya itu memang tak pernah diharapkan.
"Bu ... pelan-pelan jalannya," lirih Surtini. Dia melirik takut-takut. Bukan sekali dua kali, tubuh mungilnya dihantam dengan ikat pinggang.
Wanita bergaun hitam tak menyahut, hanya netra indahnya yang melirik tajam. Surtini seketika mengkerut dan tak berani lagi bertanya. Dia pun pasrah mengikuti ke mana saja sang ibu melangkah.
Surtini diam-diam mengembuskan napas lega begitu langkah kaki ibunya terhenti. Kini, mereka berdiri di depan rumah mungil bercat abu-abu. Wanita bergaun hitam mengetuk pintu dengan kasar. Untunglah, keadaan sekitar tampak sepi, sehingga mereka tidak menjadi pusat perhatian.
"Tunggu sebentar!" Terdengar sahutan dari dalam rumah.
Surtini merasakan kehangatan dari suara itu. Meskipun setengah berteriak, nadanya masih lembut sangat berbeda dengan ocehan ibunya. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Wanita muda dengan daster bunga-bunga tampak terperanjat. Surtini seketika bersembunyi di balik punggung ibunya. Dia bisa melihat amarah di sorot mata perempuan pemilik rumah.
"Mau apa kamu ke sini! Tidak cukup kamu menghancurkan rumah tangga saya, hah! Mas Beno sudah lama tidak pulang! Percuma kamu cari ke sini!"
Wanita berdaster tampak mengepalkan tangan dengan air mata menuruni pipi. Surtini mencengkeram gaun ibunya. Perasaan gadis kecil itu bercampur aduk. Dia takut, tetapi juga merasa kasihan. Entah kenapa Surtini ingin sekali menyeka air mata wanita berdaster.
"Aku udah enggak perlu si Beno, kok. Aku udah dapat cowok baru. Emangnya kamu, lusuh begini sekali dibuang suami, ya, mana ada lagi yang mau."
"Kamu!"
Rukmini, wanita berdaster bunga-bunga hampir saja mendaratkan tamparan. Namun, dia menurunkan kembali tangan yang terangkat, berusaha keras mengendalikan emosi begitu menyadari ada anak kecil bersembunyi di belakang si perusak rumah tangganya.
"Pergilah! Jangan ganggu hidup kami lagi!"
"Tentu saja, aku juga mana betah lama-lama di sini. Aku cuma mau mengembalikan titipin si Beno."
Rukmini mengerutkan kening. Wanita bergaun hitam menarik tangan putrinya, sehingga si gadis kecil sedikit terseok, lalu terjatuh ke arah Rukmini.
"Ma-maaf, Tante." Suara Surtini terdengar gemetar.
"Dia anaknya Beno. Calon suami aku enggak bisa nerima keberadaan dia. Yah, enggak penting-penting amat juga, jadi ya, mau aku kembaliin aja ke sini."
Belum sempat Rukmini menyahut, wanita bergaun hitam sudah melenggang pergi. Surtini termangu. Gadis kecil itu tampak kebingungan. Hening merayap perlahan membuat suasana menjadi sedikit mencekam.
"Ibuuu ... Ibu ...."
Tangisan Surtini memecahkan keheningan. Dia baru menyadari telah ditinggalkan sang ibu. Gadis kecil itu hanya bisa terisak. Mau mengejar, tetapi ibunya sudah menghilang dari pandangan.
Tubuh mungil itu gemetaran. Tangannya memeluk lutut. Surtini tidak mengerti kenapa sang ibu meninggalkannya di tempat asing, padahal dia sudah berusaha menjadi anak yang baik.
Surtini tidak pernah protes setiap dipukuli. Dia juga tetap tersenyum meskipun selalu diejek anak-anak lain atau bahkan orang dewasa. Gadis kecil itu juga menolak saat ada orang-orang berseragam berjanji akan membawanya ke tempat yang lebih baik.
Tidak! Surtini tidak mau berpisah dengan sang ibu. Dia tidak akan bisa tidur kalau tidak dipeluk. Setiap malam, gadis kecil itu memang selalu meringkuk di dada ibunya, tak peduli bau menyengat kadang membuat perutnya mual. Tetangga-tetangga bilang itu karena ibunya suka mabuk.
"Masuklah!" perintah Rukmini.
Surtini mendongak. Wajah wanita berdaster bunga-bunga itu terlihat dingin, membuatnya sedikit takut. Namun, dia juga bisa melihat sepercik kehangatan di sorot mata Rukmini.
"Ayo masuk!" pinta Rukmini lagi.
Surtini bergeming. Dia tahu Rukmini membenci ibunya, sehingga sedikit takut. Surtini juga masih berharap ibunya tidak benar-benar pergi, hanya meninggalkan sebentar dan akan kembali untuk menjemput. Namun, hujan tiba-tiba turun dengan lebat. Gadis kecil itu seketika menggigil. Rukmini menghela napas berat.
"Masuklah, Nak! Kamu bisa sakit jika terus di luar!" Meskipun masih terdengar seperti perintah, suara wanita itu terdengar lebih lembut.
Surtini mulai goyah. Dia melirik ke dalam rumah takut-takut. Namun, belum sempat buka suara, gadis yang tampak lebih tua darinya tiba-tiba keluar.
"Mak! Kenapa harus disuruh masuk, sih? Biarkan saja anak pelakor ini sakit, kalo perlu mati sekalian!" gerutu gadis itu. Dia adalah Hastuti, putri semata wayang Rukmini.
"Tuti! Jangan ngomong sembarangan kamu! Emak memang sakit hati dengan kelakuan ibu dan bapaknya, tapi dia tidak salah apa-apa!" sergah Rukmini.
Hastuti mendecakkan lidah.
"Terserah Emak deh! Cape aku ngomong sama Emak!" ketusnya sebelum kembali masuk ke rumah sambil menghentakkan kaki.
Rukmini tak memedulikan ocehan putrinya. Dia kembali membujuk Surtini. Sebenarnya, Rukmini bisa saja menyerahkan gadis kecil itu ke panti asuhan atau dinas sosial. Namun, hati nurani seorang ibu terketuk saat melihat dua bola bening Surtini berkaca-kaca.
Rukmini telah memutuskan untuk memelihara Surtini. Meskipun dia tahu wajah mirip pelakor itu pasti akan selalu menoreh luka.
"Ayo masuk, Nak ...."
"Tapi, Ibu ...."
Rukmini menghela napas berat. Dengan tangan sedikit gemetar, dia mengusap kepala Surtini. Rambut sebahu milik gadis kecil itu sedikit basah karena terkena tempias hujan.
"Mulai sekarang, aku adalah ibumu, kamu bisa panggil Emak juga, seperti Mbak Tuti."
"Tapi, Tante ...."
"Sudahlah, ayo masuk. Ibumu tidak akan kembali ke sini."
Setelah berulang kali dibujuk, Surtini mau masuk ke rumah. Baru saja melangkah, tubuh mungilnya ambruk ke dalam pelukan Rukmini. Sebelum tak sadarkan diri, dia bisa merasakan kehangatan yang tidak biasa, juga tercium aroma menenangkan, jauh berbeda dengan bau menyengat ibunya.
Hastuti yang tengah duduk di sofa ruang tamu berdecih.
"Ck! Emak benar-benar deh! Anak pelakor malah dipeluk-peluk! Awas aja kamu, anak pelakor, aku akan pastikan hidupmu menderita!" desisnya tajam.
***
Surtini menyibak tirai jendela. Sinar mentari terasa hangat menyirami tubuh bongsornya. Ya, dia memang memiliki tinggi badan di atas rata-rata. Meskipun baru berusia 12 tahun, Surtini sudah terlihat seperti remaja 17 tahunan. Kadang, Hastuti yang kelas 3 SMA malah dikira adiknya karena bertubuh lebih mungil.
"Tanah airku tidak kulupakan. Kan terkenang selama hidupku. Biarpun saya pergi jauh. Tidak kan hilang dari kalbu. Tanahku yang kucintai. Engkau kuhargai."
Lagu nasional ciptaan Ibu Soed itu terus terlantun dari bibir Surtini. Besok, dia memang akan ada ujian praktik pelajaran kesenian. Oleh karena itu, Surtini mencoba latihan sambil mengerjakan tugas rumah tangga.Setelah seluruh tirai sudah dibuka, Surtini mengambil sapu dan mulai menyingkirkan debu-debu di lantai.
Sementara itu, Rukmini tengah sibuk di dapur, membuat kue-kue yang akan dititipkan di warung-warung. Sejak sang suami menghilang usai digondol pelakor, begitulah caranya mencukupi kebutuhan rumah tangga.
Waktu berlalu dengan cepat, Surtini sudah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Dia segera mandi karena akan mengantarkan kue-kue sang ibu tiri ke warung-warung. Rukmini juga telah usai menata aneka kue dalam keranjang. Saat itulah, Hastuti keluar dari kamar sambil mengucek mata.
"Ya ampun, Tuti! Kok, baru bangun? Ini sudah jam berapa? Kamu ini libur itu, ya, bantu Emak," omel Rukmini hampir tanpa jeda.
"Kan, sudah ada si anak pelakor, Mak."
"Berhenti memanggil dia anak pelakor, Tuti!"
Hastuti berdecih. Dia tak mengindahkan omelan ibunya dan pergi ke kamar mandi. Hastuti mendelik tajam saat berpapasan dengan Surtini yang tengah mengeringkan rambut. Untunglah, dia sedang tak berselera mengganggu sang adik dan langsung masuk kamar mandi.
"Kuenya udah siap, Mak?" tanya Surtini ketika berada di dapur.
"Iya. Tapi, kamu sarapan dulu."
"Iya, Mak."
Surtini mencomot pisang goreng hangat dan melahapnya dengan semangat. Dia mengacungkan jempol.
"Pisang goreng buatan Emak paling enak sedunia."
"Surti, Surti, seperti pernah makan pisang goreng dari seluruh dunia saja kamu ini."
Surtini menyengir lebar. Tak lama kemudian, dia telah selesai sarapan. Setelah mencium tangan Rukmini, gadis itu langsung tancap gas sembari membawa keranjang kue.
"Terima kasih, Bu!" seru Surtini riang setiap kali selesai menitipkan kue.
Sebenarnya, dia hanya berusaha ceria. Hatinya malah lebih sering terluka. Ibu-ibu yang berkumpul di warung selalu melakukan hal sama setiap kedatangan gadis itu, berbisik-bisik dengan suara cukup keras.
"Kesian Bu Rukmini harus melihara anak haram suaminya sama pelakor."
"Kalau aku, sudah kukasih ke panti asuhan. Amit-amit melihara anak pelakor!"
"Tapi, lumayan juga lho tenaganya bisa dipakai ha ha ha."
"Iya juga, ya, ha ha ha."
Surtini mengepalkan tangan dan pergi secepat mungkin dari sana. Untunglah, warung itu adalah warung terakhir. Dia tinggal pulang saja ke rumah. Namun, baru saja berjalan sepuluh langkah, Surtini melihat Karta, salah seorang tetangganya sedang menggandeng anak kecil yang tampak asing.
"Lho, adik kecil itu mau dibawa ke mana sama Pak Karta?"
Surtini mengelus dagu. Awalnya, dia ingin bersikap masa bodoh. Namun, hatinya tidak bisa tenang. Surtini pun memutuskan untuk mengikuti secara diam-diam. Ternyata, Karta membawa si gadis kecil ke dalam gudang tua.
"Kok perasaanku jadi enggak enak, nih," gumam Surtini.
"Huaaa! Lepas! Tolong! Paman, lepaskan saya!"
Teriakan dari dalam gudang membuat Surtini menelan ludah. Dia terjebak dilema, haruskah pergi seolah tak tahu apa pun atau menolong dengan resiko berurusan dengan Karta? Surtini mengigiti ujung jari.
***
"Aduh, bagaimana kalau Pak Karta berbuat jahat sama anak itu?"Surtini semakin resah. Berurusan dengan rentenir culas macam Karta hanya akan meninggalkan banyak masalah. Bukan hanya dia, Rukmini dan Hastuti bisa saja ikut terseret. Gadis itu pun mondar-mandir tak jauh dari gudang."Paman jahat! Tolong!" Jeritan anak kecil dari dalam gudang semakin memilukan."Argggh! Aku tidak bisa membiarkan ini!"Surtini meletakkan keranjang kue di tanah. Dia bergegas menuju gudang. Sialnya, pintu gudang itu dikunci dari dalam."Tolong! Tolong! Huaaaa! Lepaskan aku, Paman Jahat!" Suara anak kecil di dalam gudang terdengar semakin memprihatinkan.
"Kakak itu tidak bersalah!" Jeritan melengking seketika menghentikan keributan.Warga yang tadi berdesakan hendak menghakimi Surtini refleks menepi. Mereka kompak menoleh ke asal suara. Ada empat orang berdiri di sana, dua orang dewasa, seorang remaja, dan gadis kecil yang hampir menjadi korban Karta."Itu orangnya, Ma, Pa! Itu dia orangnya, paman jahat yang mau buka-buka baju aku!" adu si gadis kecil, sambil menunjuk Karta. Mata bundarnya melotot, seakan-akan bisa keluar dari tempatnya.Warga saling berpandangan, lalu berbisik-bisik. Mereka mulai meragukan kebenaran ucapan Karta. Surtini yang tadi dicengkeram bersama-sama tak sengaja terlepas. Rukmini tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia cepat mengamankan putrinya."Penjarakan pam
"Sebelumnya, maaf dulu, saya tidak bermaksud menyinggung ...." Aris tak melanjutkan ucapannya, malah mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari, membuat Rukmini mengerutkan kening."Iya, Pak? Jadi, apa yang ingin di sampaikan?""Begini, saya dan istri sudah sepakat ingin memberikan tawaran untuk Surtini."Aris mengatur napas sejenak. Amira mencolek lengannya karena tidak sabaran dengan tingkah sang suami yang memang suka tidak enakan. Rukmini menatap suami istri itu dengan perasaan serba salah, ingin bertanya tetapi takut dianggap tidak
"Kakak Peri! Kakak Peri! Coba liat, sekarang Reina jadi tuan putri!"Seruan Reina membuat Surtini gelagapan. Namun, dia cepat-cepat tersenyum hangat, tak ingin gadis kecil itu khawatir. Surtini mencubit pelan ujung hidung Reina."Ada apa, Anak Manis?""Ini lho, Kak, mahkota bunga buatan Kak Bagus, cantik banget, bikin aku jadi kayak putri-putri Disny gitu," celoteh Reina sambil berputar-putar, membuat roknya mengembang ala-ala tuan putri.Meskipun sedikit cemburu, Surtini tak ingin rasa itu meracuni hati. Dia menyengir lebar sembari mengacungkan jempol."Iya, Reina jadi cantiiik sekaliii, seperti Putri Salju yang ada dalam dongeng," komentarnya.Surtini memang menjadi teringat Dongeng Putri Salju saat melihat Reina. Rambut berkucir kuda yang hitam pekat seperti kayu eboni, kulit putih cerah, juga bibir mungil kemerahan milik si gadis kecil cocok sekali dengan deskripsi sang putri. Seandainya, ada live action dongeng tersebut versi Indo
Ruang tamu rumah Rukmini kembali dipenuhi gelak tawa anak-anak. Reina terus berceloteh riang. Berkali-kali dia mengungkapkan keinginannya agar Surtini mau tinggal bersama keluarga mereka. Sementara Rehan hanya melirik diam-diam dengan sorot mata penuh harap. Keluarga Pratama memang datang lagi seminggu dari kedatangan yang pertama untuk mendengar keputusan Surtini atas tawaran mereka.Aris berdeham, lalu kembali berbicara, "Jadi, bagaimana, Nak? Kamu mau menerima tawaran kami?"Surtini tampak menelan ludah. Dia terdiam dalam waktu yang cukup lama sebelum bersuara."Tawaran Om dan Tante adalah kesempatan besar bagi saya, tapi ...," Surtini menunduk dalam sebelum melanjutkan, " maaf, Om, Tante, saya tidak bisa menerima."Semua yang ada di ruang tamu tampak terperanjat. Rukmini sendiri bahkan menatap anak tirinya dengan sorot mata tak percaya. Selama seminggu sejak mendapat tawaran bantuan dari Keluarga Pratama, Surtini memang tidak pernah membic
Mata Surtini berbinar. Usahanya belajar dengan rajin membuahkan hasil. Soal-soal di kertas ujian sesuai dengan materi yang telah dipelajari."Berkat doa Emak ini," gumamnya dalam hati.Sebelum mengerjakan soal ujian, Surtini berdoa lebih dulu. Tak lama kemudian, dia pun menyelesaikan soal-soal dengan penuh semangat. Berbeda dengan murid-murid lain yang resah dan gelisah, gadis itu sama sekali tidak mengalami kesulitan.Waktu berlalu dengan cepat. Satu per satu soal ujian telah dijawab Surtini. Saat sedikit lupa materi, dia mengetuk-ngetukkan pulpen di kening untuk mengingat kembali apa yang telah dipelajari. Kini, gadis itu telah sampai pada soal terakhir."Hmm ... ini ada di bab 6 kalo enggak salah ... jawabannya antara A dan B hmm ...." Surtini menggigiti ujung pulpen. "Ah, iya aku tau!"Surtini hendak menuliskan jawaban. Namun, punggungnya tiba-tiba dicolek. Dia seketika menghela napas berat.Murid yang duduk di belakang
Bu Nina sudah siap merobek lembar jawaban Surtini. Namun, gerakannya terhenti saat pria tua berkacamata tiba-tiba masuk ke kelas, Pak Gunawan, kepala sekolah. Beliau tampak terheran-heran dengan kondisi kelas yang tidak biasa."Ada apa ini, Bu Nina? Surtini, kenapa duduk di lantai?"Mendengar suara bersahaja Pak Gunawan, Surtini merasakan secercah harapan. Dia mendapatkan kekuatan untuk berdiri lagi. Andini diam-diam menghela napas lega. Sementara Ira dan Ria duduk dengan gelisah. Namun, Bu Nina masih jemawa."Maaf, Pak, ini karena Surtini membuat masalah. Dia mau menyontek jawaban Andini. Jadi, saya akan menyobek lembar jawabannya."Pak Gunawan mengerutkan kening. Meskipun sejak menjadi kepala sekolah sudah tidak mengajar, tetapi beliau lumayan dekat dengan murid-murid. Pria tua itu tahu betul reputasi Surtini, siswi berprestasi yang berbakti, jujur, dan suka menolong. Dia tentu tak mungkin melakukan kecurangan seperti menyontek."Sabar dulu
"Argggh!"Erangan menyayat membuat Rukmini yang tengah mengaduk-aduk adonan bakwan tersentak. Gerakan tangannya terhenti sejenak. Dia mengerutkan kening, juga menajamkan pendengaran."Argggh! Ugh! Saya mohon Anda harus lari! Lari!"Kebingungan Rukmini berubah menjadi kecemasan. Dia bisa mengenali jelas suara yang tengah menjerit-jerit itu, Surtini. Rukmini melepaskan sendok pengaduk adonan bakwa, lalu mengelap tangan dengan cepat."Argggh! Lari!" Teriakan Surtini kembali terdengar.Rukmini bergegas menuju kamar. Pintu hampir saja dibantingnya. Kecemasan semakin bertambah saat melihat Surtini bergerak-gerak gelisah di kasur dengan daster basah oleh keringat. Gadis itu tampak memegangi perut sambil terus mengerang."Ya ampun, Surti! Kamu kenapa, Nak! Nyebut, Surti! Nyebut!" jerit Rukmini panik.Dia duduk di tepian tempat tidur sembari terus memanggil Surtini. Namun, gadis itu tidak juga membuka mata, malah mengerang lebih keras. Napasny
Untuk Apa lagi kamu ke sini? Hah? Pergi! Pergi!" usir Hastuti dengan mata melotot.Dia begitu emosi. Suaminya sampai kewalahan menyabarkan. Awalnya, mereka hendak mengunjungi Rukmini. Kebetulan, tiba bersamaan dengan kedatangan Eka. Jadilah, Hastuti mengamuk.Keributan itu terdengar sampai ke dalam rumah. Rukmini dan Surtini ke luar rumah dengan tergopoh-gopoh. Melihat gadis yang dicintainya, Eka sempat-sempatnya mengerling nakal. Hastuti langsung berdiri menghalangi.Rukmini menghela napas berat. "Saya mohon pergilah, Nak Eka. Sudah cukup kamu menyakiti putri saya. Tolong jangan ke sini lagi," pintanya.Eka malah mengenggam tangan Rukmini. "Tapi, Ibu ... saya tidak berniat menyakitinya. Saya justru ingin membahagiakannya."Hastuti merangsek maju, melepaskan paksa genggaman tangan Eka. "Dasar gila! Kau pikir kami bodoh! Pulang sana! Pulang!" bentaknya dengan dada turun naik.Dia mendorong Eka dengan kasar. Sebenarnya, dorongan itu tidak terlalu kuat. Namun, Eka memang banyak akalnya d
Hanya dalam 6 bulan, Mahardika berhasil mengakuisisi perusahaan utama milik Hartono Group. Seperti perkiraan Eka, ayahnya memang tidak kompeten. Gilang mudah sekali memberikan tanda tangannya, sehingga aset juga bisa diambil alih dengan cepat. Hari ini, Bambang datang ke perusahaan. Namun, tindakannya sudah sangat terlambat. Dia hanya bisa murka kepada sang putra dan menggeram galak ke arah Mahardika yang tersenyum licik. Sementara Eka tentu saja ikut berakting marah."Kenapa Om Dika tega melakukan ini? Padahal, aku percaya Om benar-benar membantu kami!" serunya."Kau itu murid jenius, Eka. Kenapa masalah sepele begini saja malah tertipu?" ejeknya, tentu juga berpura-pura. Mereka justru sudah merencanakan kehancuran Bambang Hartono sejak awal.Brak!Bambang tiba-tiba menggebrak meja. "Puas kau, Mahardika! Ternyata kau sama busuknya dengan ayahmu!" umpatnya.Mahardika tertawa lepas. "Saya sedikit koreksi ucapan Anda, Pak Bambang. Ayah dari Mahardika sama sekali tidak busuk. Tapi, kala
"Jadi, solusi apa yang kau tawarkan, Eka?""Menjalin kerja sama dengan perusahaan lain yang mumpuni dan mendapat simpati publik. Kita juga bisa menjaminkan beberapa aset," sahut Eka sembari menunjukkan beberapa dokumen.Gilang mengambil dokumen. Dia mengernyitkan kening saat membaca nama perusahaan yang tertulis di kertas. Keraguan menyusup di hati. Perusahaan Keluarga Pratama memang tidak akan menimbulkan masalah. Gilang hanya khawatir Bambang tidak akan menyetujui kerja sama dengan pihak Prasetya. Namun, Eka juga benar. Kedua perusahaan tersebut besar, keuangan stabil, dan mendapat simpati publik karena bersih dari kecurangan dan sering melakukan kegiatan amal. Gilang memijat-mijat keningnya yang mendadak berdenyut."Eka, kakekmu mungkin tidak akan setuju untuk Mahardika Group. Kamu tahu, kan, pendirinya bekas orang kepercayaan Om Danu.""Iya, Pak Gilang. Saya tahu benar perselisihan tak habis-habisnya antara Pak Bambang Hartono dan Pak Langit Prasetya. Tapi, bukankah generasi suda
Aula Hotel Blue Sky mulai ramai. Para tamu dari kelas atas saling berbincang. Bisnis atau barang mewah yang menjadi bahan obrolan. Eka tersenyum. Proyek yang telah menyita waktunya sebulan terakhir sukses besar dan pesta hari ini adalah untuk merayakannya.Namun, rasa bangga Eka dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Dia tak sengaja melihat sosok familiar di antara para tamu. Gadis yang selama ini dirindu itu tak seharusnya berada di sana. Ya, Surtini tampak sedang sibuk menata kue-kue di meja.Eka memanggil salah seorang staf bagian makanan. "Setahu saya, gadis itu bukan bagian dapur, kenapa ada di sana?" tanyanya sambil menunjuk Surtini."Ah, itu karena Bu Sylvia, Pak. Beliau menambahkan menu kue dari toko kue favoritnya. Gadis itu dari toko kue tersebut," jelas staf."Oh begitu, terima kasih penjelasannya. Kamu bisa kembali bekerja."Staf bagian makanan itu membungkukkan badan, lalu pamit pergi. Eka seketika mendecakkan lidah. Mau seenak apa pun kue di toko Rukmini, mustahil seora
Usaha toko kue Rukmini berkembang semakin pesat. Dia bahkan sudah membuka dua cabang. Hastuti sampai mengundurkan diri dari pekerjaannya demi mengelola cabang pertama. Sementara cabang satunya lagi dipegang oleh Surtini. Sudah 3 minggu berlalu sejak hari pembukaan cabang kedua toko kue Rukmini. Pelanggan semakin bertambah setiap harinya. Bahkan, mereka juga sudah menerima pesanan besar beberapa kali. Akibatnya, Surtini menjadi sangat sibuk. Namun, anehnya, dia sering melihat ke jalan raya, sedikit berharap Eka akan tiba-tiba datang. "Ada apa, Mbak Sur?" tegur salah seorang karyawan saat Surtini lagi-lagi tanpa sadar menatap sendu kaca jendela yang menghadap ke jalan raya."Eh, iya, Dek? Apa?""Aku liat dari tadi Mbak Surti liat ke luar terus, kirain ada apaan?"Surtini menyengir lebar. "Aku cuma berharap seseorang datang, tapi kayaknya enggak bakal datang deh."Karyawan itu mengangguk-angguk meskipun masih penasaran. Dia tak mungkin mengorek-ngorek informasi atasan sembarangan. Akhi
Hastuti terlempar menghantam dinding. Surtini menjerit kaget. Tenaga laki-laki dan perempuan secara normal jelas memiliki perbedaan signifikan. Beno tentu bisa dengan mudah membanting putrinya."Mbak Tuti!"Surtini menghambur ke arah Hastuti, mencoba melakukan pertolongan pertama. Namun, baru berhasil menghentikan pendarahan di kening sang kakak, tubuhnya sudah ditarik dengan kasar. Beno mencengkeram kuat lengan Surtini dan menyeretnya paksa."Tunjukan di mana uang yang disimpan Rukmini! Atau kamu akan kujual!" desis Beno tajam di telinga Surtini.Brak!Pintu dibuka paksa dari luar. Lima petugas berseragam merangsek masuk. Beno mengumpat, lalu mencengkeram lengan Surtini dengan lebih kuat. Kuku-kukunya yang panjang dan kehitaman menggores luka di kulit gadis itu."Saudara Beno, menyerahlah! Anda sudah terkepung!" seru salah seorang polisi.Bukannya takut, Beno malah terbahak-bahak. Para polisi mengarahkan moncong senjata, memberikan ancaman. Namun, hal tersebut tidak juga menyurutkan
"Aku sangat berterima kasih atas perhatian Mas Rehan, tapi perasaan tidak bisa dipaksakan. Maaf, Mas, aku tidak bisa menerima perasaanmu," tutur Surtini dengan perasaan tak enak hati. Dia tak menyangka perkataan Amira beberapa waktu lalu terbukti kebenarannya. Ternyata, Rehan memang memendam rasa bahkan sejak mereka masih remaja. Menolak cinta pemuda baik tentu menyisakan rasa bersalah dan kecanggungan yang sungguh mencekik. Namun, Surtini juga tidak akan pernah coba-coba dengan perasaan orang lain. Dia tidak mau menerima Rehan dengan masih menyimpan Eka di hati. Hal seperti itu sangat kejam dan tidak adil. Pemuda dengan kualitas sekelas Rehan tak seharusnya menjadi pelarian.Sorot mata Rehan jelas memancarkan kekecewaan, tetapi pemuda itu berusaha tersenyum tegar. "Baiklah, Mas mengerti.”Meskipun menjawab seperti itu, harapan Rehan belum pupus. Dia berpikir Surtini hanya masih terluka. Jika suatu saat gadis itu sudah move on, pasti akan membuka hatinya lagi untuk cinta yang baru.
Waktu berlalu dengan cepat. Sylvia telah benar-benar masuk ke tim proyek terbaru. Perlahan, dia menjalin keakraban dengan Eka. Taktik yang digunakannya adalah tampil sebagai wanita cerdas dan kreatif. Sylvia berusaha menunjukkan dirinya sudah berubah, tidak akan ada lagi anak manja sombong.Sayangnya, semua itu palsu. Ide-ide brilian yang sering diajukan dan mendapat pujian dari Eka tidak orisinil. Secara rutin, Sylvia berkomunikasi dengan asisten kakeknya yang juga dikenal sebagai jenius.Seperti hari ini, Sylvia kembali datang ke kantor Eka. Dia membawa beberapa dokumen. Surtini sempat melirik sinis, tetapi cepat berpura-pura mengerjakan laporan ketika Eka memberi peringatan lewat isyarat mata."Kalo begini bagaimana, Ka?" tanya Sylvia saat sudah duduk di hadapan Eka. Dia menunjukkan lembar kedua dari dokumen yang dibawanya.Eka membaca isi dokumen. Mata elangnya menelaah setiap baris kalimat. Beberapa kali, dia mengelus dagu. Sylvia mencuri kesempatan untuk memandangi wajah tampan i
Ruang wakil direktur Hartono Group terasa mencekam. Dua pria berhadapan dengan topik pembicaraan yang pelik. Eka mengetuk meja dengan ujung pulpennya beberapa kali. Sementara lelaki paruh baya di depannya terus menjelaskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan pihak perusahaan mereka, sehingga permasalahan semakin membesar dan dapat menyebabkan proyek harus ditunda atau bahkan dihentikan.“Surti, mana laporan yang kuminta kemarin!” titah Eka dengan wajah dingin.Surtini segera mencarikan laporan yang diminta dan segera menyerahkannya. Eka membuka lembaran dokumen. Mata elangnya tiba-tiba mendelik. Dia mendecakkan lidah."Ini sudah yang ketiga kalinya, Surti! Kenapa mengerjakan ini saja kamu tidak bisa!" bentak Eka sembari menghempaskan dokumen di meja.Sudah seminggu berlalu sejak masalah menimpa proyek yang tengah ditangani Eka. Dia mudah menjadi emosional dan jauh lebih sensitif dibandingkan biasanya. Hampir tak ada karyawan yang lolos dari amukannya. Hari-hari yang lalu, Surtini selal