Ruang tamu rumah Rukmini kembali dipenuhi gelak tawa anak-anak. Reina terus berceloteh riang. Berkali-kali dia mengungkapkan keinginannya agar Surtini mau tinggal bersama keluarga mereka. Sementara Rehan hanya melirik diam-diam dengan sorot mata penuh harap. Keluarga Pratama memang datang lagi seminggu dari kedatangan yang pertama untuk mendengar keputusan Surtini atas tawaran mereka.
Aris berdeham, lalu kembali berbicara, "Jadi, bagaimana, Nak? Kamu mau menerima tawaran kami?"
Surtini tampak menelan ludah. Dia terdiam dalam waktu yang cukup lama sebelum bersuara.
"Tawaran Om dan Tante adalah kesempatan besar bagi saya, tapi ...," Surtini menunduk dalam sebelum melanjutkan, " maaf, Om, Tante, saya tidak bisa menerima."
Semua yang ada di ruang tamu tampak terperanjat. Rukmini sendiri bahkan menatap anak tirinya dengan sorot mata tak percaya. Selama seminggu sejak mendapat tawaran bantuan dari Keluarga Pratama, Surtini memang tidak pernah membicarakannya lagi. Gadis itu seperti disibukkan dengan sekolah dan membantu penjualan kue, sehingga Rukmini mengira Surtini akan menerima tawaran tersebut.
Jawaban Surtini jelas membuat mata Reina menjadi berkaca-kaca. Wajahnya ditekuk.
"Kenapa, Kak? Kakak enggak suka kalo tinggal sama Reina? Apa Reina nyebelin kayak Kak Rehan?"
Surtini menjadi serba salah. Dia tanpa sadar memilin-milin ujung taplak meja. Aris pun cepat mengambil tindakan.
"Reina, enggak boleh ngomong gitu. Ingat kata Papa, kita enggak boleh maksa," tegurnya.
Reina tidak menyahut, malah semakin cemberut. Aris menghela napas berat, lalu memberi isyarat kepada istrinya agar membujuk putri mereka. Sementara Amira merayu Reina, dia kembali menatap Surtini.
"Maaf, Nak Surti, kalau boleh tau, kenapa kamu menolak tawaran kami?"
Surtini sempat terdiam cukup lama sembari menggigit bibir sebelum menjawab, "Saya enggak mau pisah sama Emak, Om. Saya enggak bisa tidur kalo enggak dipeluk Emak, juga kesian Emak nanti enggak ada yang bantu jualan."
Rukmini seketika menghela napas berat. Dia mencengkeram bahu Surtini dengan lembut, membuat anak tirinya menoleh dengan sorot mata memelas.
"Surti, apa maksud kamu? Emak kira, kamu mau terima. Kamu jangan terlalu mikiriin Emak. Soal jualan kue gampang nanti."
"Tapi, Mak ...."
"Pak Aris dan Bu Amira juga mau bantu usaha kue Emak."
"Tetap aja, Mak, nanti Emak bakal repot kalo sendirian. Kak Tuti bentar lagi mau kuliah ke luar kota. Emak bakal sendirian di rumah. Surti juga nanti kalau kangen Emak gimana?"
Rukmini mendecakkan lidah. Sebelumnya, dia ragu menerima tawaran Aris karena takut Surtini yang suka bermanja-manja tidak mau tidak mau pisah dengannya. Namun, jika alasan Surtini menolak karena mengkhawatirkannya, Rukmini menjadi sedih.
Dulu, meskipun berat hati, dia merawat Surtini atas dasar rasa kemanusiaan. Namun, anak pelakor yang dibesarkan dengan terpaksa itu malah tumbuh menjadi gadis berbakti. Rukmini tentu tidak mau menghalangi masa depan putri tirinya.
"Kamu ini benar-benar, ya, Sur. Ini kesempatan untuk masa depan kamu. Kesempatan tidak datang dua kali," bujuk Rukmini lagi.
Aris cepat menengahi. "Sudah, sudah, Bu Rukmini. Tidak perlu dipaksa, kasian Nak Surti. Tapi, tawaran kami akan terus berlaku. Jika Nak Surti tidak mau sekarang, mungkin suatu saat nanti berubah pikiran, kamu bisa menghubungi kami."
"Terima kasih banyak, Om, Tante."
"Justru tawaran kami ini bukan apa-apa jika dibandingkan keberanian kamu menolong Reina, Nak," puji Aris. "Oh iya, Om sama Tante mau bahas soal usaha kue, kalian bisa main dulu, nanti bosan kalau ikut ngobrol sama kami."
Surtini mengangguk. Dia mendekati Reina hendak mengajak bermain. Namun, gadis kecil itu malah memalingkan muka.
"Ya udah, kalau Reina enggak mau main, enggak apa-apa. Mbak Surti main sama Bagus aja deh."
"Mau kok! Reina mau main!" seru Reina sembari melompat dari kursi dan bergelayutan di lengan Surtini.
Semua di ruangan terkekeh kecuali Rehan. Pemuda itu terus saja sibuk dengan ponsel. Meskipun sebenarnya dia melirik Surtini yang tengah mengacak-acak rambut Reina.
Manis ... hei apa yang kupikirkan!
Rehan menggeleng dengan cepat. Amira menatap putranya dengan kening berkerut.
"Kamu kenapa, Rehan? Sakit perut? Demam? Mukamu merah sekali," cecarnya.
Rehan gelagapan.
"Manis ah anu itu, Ma. Kue buatan Bu Rukmini manis dan enak sekali."
Aris tergelak.
"Tuh, kan, Bu Rukmini, Rehan yang enggak terlalu doyan kue juga suka. Seperti yang kami bilang dulu, keahlian Ibu ini bisa jadi peluang usaha menjanji-"
"Ayo, Kak, kita main!"
Rengekan Reina memotong obrolan. Gadis kecil itu sudah menarik-narik tangan Surtini. Mereka pun pamit untuk bermain di luar. Amira menggeleng melihat tingkah manja putrinya. Seperti kemarin-kemarin, dia meminta Rehan mengawasi, sementara para orang tua melanjutkan pembicaraan tentang peluang untuk usaha kue Rukmini.
Sepeninggal anak-anak, obrolan berubah lebih serius, tetapi masih bernuansa sedikit santai. Aris mengajukan beberapa rencana, mulai dari berapa modal yang akan dikucurkan, lokasi strategis memulai usaha bakery, bagi hasil dan tetek bengek lainnya. Amira juga ikut memberikan saran-saran brilian.
"Maaf, ya, Bu Rukmini, untuk 1 tahun pertama, masih ada campur tangan kami. Bukannya kami tidak percaya dengan Ibu. Kami hanya ingin memastikan usaha stabil dulu baru benar-benar dilepas," jelas Aris saat mereka membahas sistem kepemilikan usaha.
Rasa haru memenuhi hati Rukmini. Pertama kalinya dalam hidup wanita itu merasakan memiliki keluarga meskipun tidak benar-benar sedarah. Sejak kecil, Rukmini sudah kehilangan orang tua. Dia dilempar-lempar dari rumah saudara yang satu ke rumah saudara lainnya. Mereka bahkan tega mengusirnya secara halus setelah berusia 18 tahun karena dirasa cukup dewasa untuk mencari uang sendiri.
Rukmini sempat merasa bahagia saat tinggal sendiri dan mendapat gaji lumayan sebagai petugas administrasi di sebuah dealer motor. Namun, nasib buruk masih membayangi hidupnya. Dia kembali mengecap pahitnya kehidupan setelah menikah dengan ayah Hastuti dan Rukmini. Lelaki yang awalnya manis ternyata sangat kasar dan suka main perempuan.
"Bu Rukmini? Ibu baik-baik saja?" tanya Amira cemas, membuyarkan lamunan Rukmini.
"Saya baik-baik saja. Saya hanya merasa benar-benar bersyukur telah dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Pak Aris dan Bu Amira."
Aris terkekeh. "Justru kamilah yang merasa bersyukur bisa bertemu dengan wanita-wanita hebat seperti Bu Rukmini dan Nak Surti. Ah, ayo kita lanjutkan lagi yang tadi!"
Mereka pun kembali membahas usaha kue.
***
"Makannya yang benar, Surti," tegur Rukmini.
Dia menggeleng pelan melihat tingkah Surtini. Gadis itu menyantap nasi goreng sambil membaca buku. Ujian sekolah sudah dimulai. Surtini tentu tidak mau gagal apalagi di hari pertama.
"Iya, Mak, maaf." Surtini menyengir lebar, lalu menyimpan bukunya dalam tas. Dia kembali makan dengan tenang.
"Bukannya kamu sudah belajar setiap hari? Tadi malam sama habis subuh juga kamu belajar. Emak yakin kamu bisa menyelesaikan ujian dengan baik," komentar Rukmini setelah melihat Surtini telah menghabiskan isi piring.
Dia melirik Hastuti yang sibuk dengan ponsel, seolah ibunya dan si adik tiri tidak ada di sana.
"Kamu sudah rajin belajar, enggak kayak seseorang yang main HP aja kerjaannya," sindir Rukmini.
Hastuti seketika mendelik.
"Maksudnya apa, Mak? Belain terus itu anak pelakor! Emak itu pemain sinetron ikan terbang apa? Doyan banget nyakitin diri sendiri! Bisa-bisanya Emak miara makhluk yang mukanya fotokopian si pelakor ini!" cerocosnya hampir tanpa jeda.
Surtini menggigit bibir, menahan air mata yang hendak meluncur di pipi.
"Tuti!"
"Halah, capek ngomong sama Emak!"
Hastuti membanting sendok ke piring. Nasi goreng yang bersisa separuh menjadi berhamburan di meja. Dia memelototi Surtini sebelum melangkah ke luar rumah sembari menghentakkan kaki.
"Tuti! Tuti! Adikmu kok ditinggal!" Rukmini memegangi dada. "Ya ampun! Anak itu susah dibilangin!" gerutunya.
Surtini segera berdiri dan menenangkan Rukmini. Dia terus menyabarkan sang ibu tiri, membimbingnya duduk, juga mengambilkan air minum.
"Emak sudah gagal mendidik kakakmu, Sur," keluhnya lirih.
Surtini memeluk Rukmini dan terisak, "Maaf, ya, Mak. Seandainya, Emak kasih Surti ke panti asuhan mungkin Kak Tuti enggak marah sama Emak. Anak haram kotor seperti Surti ...."
Rukmini mendelik tajam.
"Siapa bilang kamu kotor? Yang kotor itu perbuatan bapak sama ibumu. Kamu tetap anak yang suci. Kamu enggak salah, mereka yang salah!" tegasnya.
Surtini menunduk dalam.
"Ingat, Surti! Jangan menyalahkan diri karena sesuatu yang bukan salah kamu!"
Surtini mengangguk pelan. Wajah tegas Rukmini melunak. Dia merapikan rambut Surtini yang sedikit berantakan karena tadi berpelukan dengannya.
"Surti! Surti! Ayo sekolah!"
Seruan dari luar memecahkan keheningan. Bagus menjemput Surtini untuk berangkat sekolah bersama. Surtini menyeka sisa-sisa air matanya. Dia melepaskan pelukan, lalu mengambil tas.
"Mak, Surti berangkat dulu, ya. Doakan, ya, Mak," pamit Surtini sembari mencium punggung tangan Rukmini dengan takzim.
"Ayo, Sur! Nanti kita telat!" seru Bagus saat melihat Surtini ke luar dari rumah.
"Sebentar, Gus, aku pakai sepatu dulu."
Surtini mengenakan sepatu dengan cepat. Mereka pun segera berangkat ke sekolah. Sepanjang perjalanan, Bagus terus membahas Reina. Matanya tampak berbinar saat menyebut nama gadis kecil itu.
Surtini tak banyak menanggapi ucapan Bagus. Bukan karena sedih dan cemburu, tetapi memang fokusnya lebih ke ujian. Sebenarnya, dia juga tidak lagi merasakan debar pada anak laki-laki itu.
Mungkin begitulah yang dinamakan cinta monyet. Indah di awal, tetapi cepat pula memudar. Rasa yang menggebu-gebu bisa menjadi surut dalam sekejap.
Akhirnya, mereka tiba di sekolah dan segera masuk ke kelas. Tak lama kemudian, bel berbunyi. Wajah murid-murid menegang saat guru memasuki ruangan sambil membawa map cokelat berisi kertas soal.
"Bapak akan membagikan soal ujian. Sebelum diperintahkan, jangan dibuka dulu," ucap Pak Guru.
Kertas soal ditaruh dengan posisi terbalik di setiap meja siswa. Surti menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang. Berbagai pikiran negatif berseliweran.
Bagaimana jika soalnya begitu sulit? Bagaimana kalau dia gagal dalam ujian? Orang-orang pasti akan semakin mengejeknya.
"Kertas soal sudah dibagikan semua, waktu ujian dimulai, silakan dibuka soalnya!" perintah Pak Guru membuyarkan lamunan.
Surtini membalikkan kertas di meja perlahan. Dia seketika terperangah.
***
Mata Surtini berbinar. Usahanya belajar dengan rajin membuahkan hasil. Soal-soal di kertas ujian sesuai dengan materi yang telah dipelajari."Berkat doa Emak ini," gumamnya dalam hati.Sebelum mengerjakan soal ujian, Surtini berdoa lebih dulu. Tak lama kemudian, dia pun menyelesaikan soal-soal dengan penuh semangat. Berbeda dengan murid-murid lain yang resah dan gelisah, gadis itu sama sekali tidak mengalami kesulitan.Waktu berlalu dengan cepat. Satu per satu soal ujian telah dijawab Surtini. Saat sedikit lupa materi, dia mengetuk-ngetukkan pulpen di kening untuk mengingat kembali apa yang telah dipelajari. Kini, gadis itu telah sampai pada soal terakhir."Hmm ... ini ada di bab 6 kalo enggak salah ... jawabannya antara A dan B hmm ...." Surtini menggigiti ujung pulpen. "Ah, iya aku tau!"Surtini hendak menuliskan jawaban. Namun, punggungnya tiba-tiba dicolek. Dia seketika menghela napas berat.Murid yang duduk di belakang
Bu Nina sudah siap merobek lembar jawaban Surtini. Namun, gerakannya terhenti saat pria tua berkacamata tiba-tiba masuk ke kelas, Pak Gunawan, kepala sekolah. Beliau tampak terheran-heran dengan kondisi kelas yang tidak biasa."Ada apa ini, Bu Nina? Surtini, kenapa duduk di lantai?"Mendengar suara bersahaja Pak Gunawan, Surtini merasakan secercah harapan. Dia mendapatkan kekuatan untuk berdiri lagi. Andini diam-diam menghela napas lega. Sementara Ira dan Ria duduk dengan gelisah. Namun, Bu Nina masih jemawa."Maaf, Pak, ini karena Surtini membuat masalah. Dia mau menyontek jawaban Andini. Jadi, saya akan menyobek lembar jawabannya."Pak Gunawan mengerutkan kening. Meskipun sejak menjadi kepala sekolah sudah tidak mengajar, tetapi beliau lumayan dekat dengan murid-murid. Pria tua itu tahu betul reputasi Surtini, siswi berprestasi yang berbakti, jujur, dan suka menolong. Dia tentu tak mungkin melakukan kecurangan seperti menyontek."Sabar dulu
"Argggh!"Erangan menyayat membuat Rukmini yang tengah mengaduk-aduk adonan bakwan tersentak. Gerakan tangannya terhenti sejenak. Dia mengerutkan kening, juga menajamkan pendengaran."Argggh! Ugh! Saya mohon Anda harus lari! Lari!"Kebingungan Rukmini berubah menjadi kecemasan. Dia bisa mengenali jelas suara yang tengah menjerit-jerit itu, Surtini. Rukmini melepaskan sendok pengaduk adonan bakwa, lalu mengelap tangan dengan cepat."Argggh! Lari!" Teriakan Surtini kembali terdengar.Rukmini bergegas menuju kamar. Pintu hampir saja dibantingnya. Kecemasan semakin bertambah saat melihat Surtini bergerak-gerak gelisah di kasur dengan daster basah oleh keringat. Gadis itu tampak memegangi perut sambil terus mengerang."Ya ampun, Surti! Kamu kenapa, Nak! Nyebut, Surti! Nyebut!" jerit Rukmini panik.Dia duduk di tepian tempat tidur sembari terus memanggil Surtini. Namun, gadis itu tidak juga membuka mata, malah mengerang lebih keras. Napasny
"Sur? Surti?"Bagus menepuk-nepuk pundak Surtini. Namun, gadis itu tak menyahut. Dia asyik menggigiti sendok es krim."Surti!" panggil Bagus dengan suara lebih keras.Surtini tersentak. Dia refleks melemparkan cup es krim dan mendarat tepat di wajah Bagus. Bukannya minta maaf, gadis itu malah mendelik."Kena karma, kan, kamu. Suka ngagetin sih," omelnya.Untunglah, Bagus bukan teman yang mudah emosian. Dia malah terkekeh sambil membersihkan wajah dari lelehan es krim."Bukannya ngagetin, Sur. Kamunya yang suka ngelamun. Hati-hati loh, entar kesambet lagi, kita semua repot.""Bukan ngelamun, aku tuh lagi cemas, Gus, takut nilaiku jelek. Aku enggak mau bikin Emak malu."Surtini memilin-milin ujung rok merahnya. Bagus lagi-lagi terkekeh. Gadis itu memajukan bibirnya."Kalo yang rajin kayak kamu nilainya jelek, aku pasti merah semua."Surtini mencubit lengan Bagus dengan sadis. Anak laki-laki itu hanya bisa meri
Rukmini menggigit ujung kuku. Dia terus mengeluarkan ponsel, lalu menyimpannya lagi di saku. Setelah mondar-mandir hampir sepuluh kali, Rukmini kembali mengambil ponsel. "Semoga Bu Amira bisa membantu," doanya lirih saat menghubungi Amira. Namun, tiga panggilan tak mendapat jawaban. Keberanian Rukmini menyusut. Akhirnya, dia kembali ke dapur untuk menggarap kue dan berpura-pura ceria agar Surtini tidak curiga. "Mak, soal hutang Bapak ...." Brak! Surtini tersentak. Dia tak menyangka kata-katanya membuat Rukmini sampai menjatuhkan pengaduk adonan kue. Lantai menjadi sedikit kotor. "Kamu tidak usah pikirkan itu, ya. Kamu ini masih kecil, jangan banyak pikiran!" "Tapi, Mak ...." "Sudah, sudah, mending bantu Emak lanjut bikin kuenya!" "Iya, Mak." Rukmini memungut kembali pengaduk adonan kue, lalu mencucinya. Sementara Surtini membersihkan lantai dari ceceran adonan. Setelah itu, mereka pun sibuk membuat kue. Tepat saat kue telah dibungkus rapi, ponsel di saku Rukmini berdering. J
Surtini merinding. Dia tanpa sadar merapatkan jaket. Entah kenapa ruangan tersebut mendadak terasa dingin seperti hawa kulkas ketika dibuka. Keheningan sesaat yang membekukan. "Anda bisa kembali bertugas, Pak Rivan." Suara dingin Mirna memecahkan keheningan. Surtini sempat tersentak. Untung saja, dia bisa menahan diri, sehingga tidak meloncat ke belakang dengan tiba-tiba. "Baik, Bu." Rivan menoleh kepada Surtini. "Tugas saya terkait kamu sudah selesai. Selanjutnya, kamu akan ada di bawah bimbingan Bu Mirna." Surtini sempat termangu cukup lama sebelum menyahut, "Baik, Pak. Terima kasih." Rivan hanya mengangguk kecil. Dia berpamitan dengan Mirna, lalu keluar dari ruangan. Surtini mengiringi kepergian laki-laki itu dengan sorot mata takut-takut. Meskipun Rivan juga membuatnya takut, ditinggalkan bersama wanita asing berwajah datar tentu lebih mengancam. "Duduklah, ada beberapa hal yang harus kita bicarakan lebih dulu!"
"Tut, kenapa Surti belum pulang, ya?"Rukmini mendesah berat beberapa kali. Dia sedari tadi mondar-mandir di ruang tamu. Hastuti mengangkat bahu."Keasyikan main kali, Bu?" sahutnya malas, seolah benar-benar tidak tahu.Akting Hastuti benar-benar hampir sempurna. Sorot mata cuek seperti biasa, juga tak ada perubahan sedikit pun dari raut wajahnya. Dia asyik bermain ponsel, seolah tak ada urusan dengan hilangnya Surtini, padahal gadis itu sudah berbuat jahat untuk menyingkirkan sang adik.Rukmini menggigit ujung kuku."Biasanya kalau main paling cuma sebentar," gumamnya semakin resah."Mana aku tau, Mak. Mungkin aja mainnya hari ini asyik banget, 'kan? Nanti juga pulang palingan kalo lapar," sinis Hastuti.Rukmini menghela napas berat. Akhirnya, dia memutuskan untuk pergi mencari Surtini. Namun, baru saja membuka pintu, Matanya menangkap selembar amplop putih di meja teras, tepatnya di bawah asbak."Ini apa?"
Barang-barang di tas Surtini hanya sedikit. Penggeledahan tak memakan waktu lama. Pelayan yang memeriksa menggeleng pelan, menandakan dia tak menemukan cincin. "Berarti, Surtini bersih. Sekarang, kita akan lanjut kepada yang lain," putus Mirna. "Hah? Surti benar-benar bersih, Bu?" pekik Sari tanpa sadar. Mirna yang tadinya hendak melangkah ke luar kamar menghentikan langkah. Dia berbalik. Sari menelan ludah menyadari kecerobohannya. Sorot mata dingin Mirna menelisik tajam. "Apa tadi yang kamu katakan, Sari?" Sari cepat memperbaiki raut wajahnya. Dia tiba-tiba saja berekspresi seperti penuh haru. "Saya senang Surti benar-benar tidak terlibat dalam kasus ini, Bum Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kami harus bersikap nanti jika dia benar-benar pelakunya," kilahnya. "Oh begitu." Meskipun kata-katanya seperti percaya, tetapi Mirna mengucapkannya dengan nada sarkastik. "Baiklah, kita lanjutkan ke kamar lain– tunggu!"
Untuk Apa lagi kamu ke sini? Hah? Pergi! Pergi!" usir Hastuti dengan mata melotot.Dia begitu emosi. Suaminya sampai kewalahan menyabarkan. Awalnya, mereka hendak mengunjungi Rukmini. Kebetulan, tiba bersamaan dengan kedatangan Eka. Jadilah, Hastuti mengamuk.Keributan itu terdengar sampai ke dalam rumah. Rukmini dan Surtini ke luar rumah dengan tergopoh-gopoh. Melihat gadis yang dicintainya, Eka sempat-sempatnya mengerling nakal. Hastuti langsung berdiri menghalangi.Rukmini menghela napas berat. "Saya mohon pergilah, Nak Eka. Sudah cukup kamu menyakiti putri saya. Tolong jangan ke sini lagi," pintanya.Eka malah mengenggam tangan Rukmini. "Tapi, Ibu ... saya tidak berniat menyakitinya. Saya justru ingin membahagiakannya."Hastuti merangsek maju, melepaskan paksa genggaman tangan Eka. "Dasar gila! Kau pikir kami bodoh! Pulang sana! Pulang!" bentaknya dengan dada turun naik.Dia mendorong Eka dengan kasar. Sebenarnya, dorongan itu tidak terlalu kuat. Namun, Eka memang banyak akalnya d
Hanya dalam 6 bulan, Mahardika berhasil mengakuisisi perusahaan utama milik Hartono Group. Seperti perkiraan Eka, ayahnya memang tidak kompeten. Gilang mudah sekali memberikan tanda tangannya, sehingga aset juga bisa diambil alih dengan cepat. Hari ini, Bambang datang ke perusahaan. Namun, tindakannya sudah sangat terlambat. Dia hanya bisa murka kepada sang putra dan menggeram galak ke arah Mahardika yang tersenyum licik. Sementara Eka tentu saja ikut berakting marah."Kenapa Om Dika tega melakukan ini? Padahal, aku percaya Om benar-benar membantu kami!" serunya."Kau itu murid jenius, Eka. Kenapa masalah sepele begini saja malah tertipu?" ejeknya, tentu juga berpura-pura. Mereka justru sudah merencanakan kehancuran Bambang Hartono sejak awal.Brak!Bambang tiba-tiba menggebrak meja. "Puas kau, Mahardika! Ternyata kau sama busuknya dengan ayahmu!" umpatnya.Mahardika tertawa lepas. "Saya sedikit koreksi ucapan Anda, Pak Bambang. Ayah dari Mahardika sama sekali tidak busuk. Tapi, kala
"Jadi, solusi apa yang kau tawarkan, Eka?""Menjalin kerja sama dengan perusahaan lain yang mumpuni dan mendapat simpati publik. Kita juga bisa menjaminkan beberapa aset," sahut Eka sembari menunjukkan beberapa dokumen.Gilang mengambil dokumen. Dia mengernyitkan kening saat membaca nama perusahaan yang tertulis di kertas. Keraguan menyusup di hati. Perusahaan Keluarga Pratama memang tidak akan menimbulkan masalah. Gilang hanya khawatir Bambang tidak akan menyetujui kerja sama dengan pihak Prasetya. Namun, Eka juga benar. Kedua perusahaan tersebut besar, keuangan stabil, dan mendapat simpati publik karena bersih dari kecurangan dan sering melakukan kegiatan amal. Gilang memijat-mijat keningnya yang mendadak berdenyut."Eka, kakekmu mungkin tidak akan setuju untuk Mahardika Group. Kamu tahu, kan, pendirinya bekas orang kepercayaan Om Danu.""Iya, Pak Gilang. Saya tahu benar perselisihan tak habis-habisnya antara Pak Bambang Hartono dan Pak Langit Prasetya. Tapi, bukankah generasi suda
Aula Hotel Blue Sky mulai ramai. Para tamu dari kelas atas saling berbincang. Bisnis atau barang mewah yang menjadi bahan obrolan. Eka tersenyum. Proyek yang telah menyita waktunya sebulan terakhir sukses besar dan pesta hari ini adalah untuk merayakannya.Namun, rasa bangga Eka dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Dia tak sengaja melihat sosok familiar di antara para tamu. Gadis yang selama ini dirindu itu tak seharusnya berada di sana. Ya, Surtini tampak sedang sibuk menata kue-kue di meja.Eka memanggil salah seorang staf bagian makanan. "Setahu saya, gadis itu bukan bagian dapur, kenapa ada di sana?" tanyanya sambil menunjuk Surtini."Ah, itu karena Bu Sylvia, Pak. Beliau menambahkan menu kue dari toko kue favoritnya. Gadis itu dari toko kue tersebut," jelas staf."Oh begitu, terima kasih penjelasannya. Kamu bisa kembali bekerja."Staf bagian makanan itu membungkukkan badan, lalu pamit pergi. Eka seketika mendecakkan lidah. Mau seenak apa pun kue di toko Rukmini, mustahil seora
Usaha toko kue Rukmini berkembang semakin pesat. Dia bahkan sudah membuka dua cabang. Hastuti sampai mengundurkan diri dari pekerjaannya demi mengelola cabang pertama. Sementara cabang satunya lagi dipegang oleh Surtini. Sudah 3 minggu berlalu sejak hari pembukaan cabang kedua toko kue Rukmini. Pelanggan semakin bertambah setiap harinya. Bahkan, mereka juga sudah menerima pesanan besar beberapa kali. Akibatnya, Surtini menjadi sangat sibuk. Namun, anehnya, dia sering melihat ke jalan raya, sedikit berharap Eka akan tiba-tiba datang. "Ada apa, Mbak Sur?" tegur salah seorang karyawan saat Surtini lagi-lagi tanpa sadar menatap sendu kaca jendela yang menghadap ke jalan raya."Eh, iya, Dek? Apa?""Aku liat dari tadi Mbak Surti liat ke luar terus, kirain ada apaan?"Surtini menyengir lebar. "Aku cuma berharap seseorang datang, tapi kayaknya enggak bakal datang deh."Karyawan itu mengangguk-angguk meskipun masih penasaran. Dia tak mungkin mengorek-ngorek informasi atasan sembarangan. Akhi
Hastuti terlempar menghantam dinding. Surtini menjerit kaget. Tenaga laki-laki dan perempuan secara normal jelas memiliki perbedaan signifikan. Beno tentu bisa dengan mudah membanting putrinya."Mbak Tuti!"Surtini menghambur ke arah Hastuti, mencoba melakukan pertolongan pertama. Namun, baru berhasil menghentikan pendarahan di kening sang kakak, tubuhnya sudah ditarik dengan kasar. Beno mencengkeram kuat lengan Surtini dan menyeretnya paksa."Tunjukan di mana uang yang disimpan Rukmini! Atau kamu akan kujual!" desis Beno tajam di telinga Surtini.Brak!Pintu dibuka paksa dari luar. Lima petugas berseragam merangsek masuk. Beno mengumpat, lalu mencengkeram lengan Surtini dengan lebih kuat. Kuku-kukunya yang panjang dan kehitaman menggores luka di kulit gadis itu."Saudara Beno, menyerahlah! Anda sudah terkepung!" seru salah seorang polisi.Bukannya takut, Beno malah terbahak-bahak. Para polisi mengarahkan moncong senjata, memberikan ancaman. Namun, hal tersebut tidak juga menyurutkan
"Aku sangat berterima kasih atas perhatian Mas Rehan, tapi perasaan tidak bisa dipaksakan. Maaf, Mas, aku tidak bisa menerima perasaanmu," tutur Surtini dengan perasaan tak enak hati. Dia tak menyangka perkataan Amira beberapa waktu lalu terbukti kebenarannya. Ternyata, Rehan memang memendam rasa bahkan sejak mereka masih remaja. Menolak cinta pemuda baik tentu menyisakan rasa bersalah dan kecanggungan yang sungguh mencekik. Namun, Surtini juga tidak akan pernah coba-coba dengan perasaan orang lain. Dia tidak mau menerima Rehan dengan masih menyimpan Eka di hati. Hal seperti itu sangat kejam dan tidak adil. Pemuda dengan kualitas sekelas Rehan tak seharusnya menjadi pelarian.Sorot mata Rehan jelas memancarkan kekecewaan, tetapi pemuda itu berusaha tersenyum tegar. "Baiklah, Mas mengerti.”Meskipun menjawab seperti itu, harapan Rehan belum pupus. Dia berpikir Surtini hanya masih terluka. Jika suatu saat gadis itu sudah move on, pasti akan membuka hatinya lagi untuk cinta yang baru.
Waktu berlalu dengan cepat. Sylvia telah benar-benar masuk ke tim proyek terbaru. Perlahan, dia menjalin keakraban dengan Eka. Taktik yang digunakannya adalah tampil sebagai wanita cerdas dan kreatif. Sylvia berusaha menunjukkan dirinya sudah berubah, tidak akan ada lagi anak manja sombong.Sayangnya, semua itu palsu. Ide-ide brilian yang sering diajukan dan mendapat pujian dari Eka tidak orisinil. Secara rutin, Sylvia berkomunikasi dengan asisten kakeknya yang juga dikenal sebagai jenius.Seperti hari ini, Sylvia kembali datang ke kantor Eka. Dia membawa beberapa dokumen. Surtini sempat melirik sinis, tetapi cepat berpura-pura mengerjakan laporan ketika Eka memberi peringatan lewat isyarat mata."Kalo begini bagaimana, Ka?" tanya Sylvia saat sudah duduk di hadapan Eka. Dia menunjukkan lembar kedua dari dokumen yang dibawanya.Eka membaca isi dokumen. Mata elangnya menelaah setiap baris kalimat. Beberapa kali, dia mengelus dagu. Sylvia mencuri kesempatan untuk memandangi wajah tampan i
Ruang wakil direktur Hartono Group terasa mencekam. Dua pria berhadapan dengan topik pembicaraan yang pelik. Eka mengetuk meja dengan ujung pulpennya beberapa kali. Sementara lelaki paruh baya di depannya terus menjelaskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan pihak perusahaan mereka, sehingga permasalahan semakin membesar dan dapat menyebabkan proyek harus ditunda atau bahkan dihentikan.“Surti, mana laporan yang kuminta kemarin!” titah Eka dengan wajah dingin.Surtini segera mencarikan laporan yang diminta dan segera menyerahkannya. Eka membuka lembaran dokumen. Mata elangnya tiba-tiba mendelik. Dia mendecakkan lidah."Ini sudah yang ketiga kalinya, Surti! Kenapa mengerjakan ini saja kamu tidak bisa!" bentak Eka sembari menghempaskan dokumen di meja.Sudah seminggu berlalu sejak masalah menimpa proyek yang tengah ditangani Eka. Dia mudah menjadi emosional dan jauh lebih sensitif dibandingkan biasanya. Hampir tak ada karyawan yang lolos dari amukannya. Hari-hari yang lalu, Surtini selal