"Berkat doa Emak ini," gumamnya dalam hati.
Sebelum mengerjakan soal ujian, Surtini berdoa lebih dulu. Tak lama kemudian, dia pun menyelesaikan soal-soal dengan penuh semangat. Berbeda dengan murid-murid lain yang resah dan gelisah, gadis itu sama sekali tidak mengalami kesulitan.
Waktu berlalu dengan cepat. Satu per satu soal ujian telah dijawab Surtini. Saat sedikit lupa materi, dia mengetuk-ngetukkan pulpen di kening untuk mengingat kembali apa yang telah dipelajari. Kini, gadis itu telah sampai pada soal terakhir.
"Hmm ... ini ada di bab 6 kalo enggak salah ... jawabannya antara A dan B hmm ...." Surtini menggigiti ujung pulpen. "Ah, iya aku tau!"
Surtini hendak menuliskan jawaban. Namun, punggungnya tiba-tiba dicolek. Dia seketika menghela napas berat.
Murid yang duduk di belakang Surtini adalah Ria dan Ira. Sudah menjadi rahasia umum keduanya suka membuat onar dan mem-bully siswa lain. Jika mereka memberi isyarat sewaktu ujian, maka jelas alasannya untuk meminta contekan.
"Ti, ssstt, Surti! Nomor 3 dong!" desis Ira.
Surtini bergeming. Sebenarnya, dia merasa takut akan mendapat masalah. Namun, bagi gadis itu, memberikan contekan sama salahnya dengan meminta contekan.
"Sssttt ... Surti!" panggil Ira lagi.
"Surti cepetan dong kasih tau jawaban nomor 3!" timpal Ria. Dia bukan hanya mencolek punggung, tetapi juga menendang-nendang kaki Surtini.
Surtini tetap berusaha fokus mengerjakan soal. Dia cepat-cepat mengisi nomor terakhir, juga memeriksa kembali keseluruhan jawaban. Ira hendak menendang ikut kaki Surtini, tetapi urung dilakukan karena guru melihat ke arah mereka.
"Ck! Dasar pelit!" sindir Ira.
"Anak pelakor aja sombong banget!" ejek Ria menimpali karibnya.
Surtini mengepalkan tangan, menahan sesak di dada. Matanya terasa basah. Dia menggigit bibir, menguatkan hati.
Setelah perasaan lebih terkendali, Surtini tiba-tiba berdiri. Ira dan Ria terlonjak, hampir saja mereka menjerit. Untunglah, keduanya sempat menutup mulut.
"Ada apa, Surtini?" Pak Guru yang tadinya mengawasi murid lain menatap Surtini dengan kening berkerut.
"Saya mau mengumpulkan jawaban, Pak," sahut Surtini, membuat seisi kelas menjadi riuh.
Dia tak peduli, tetap berjalan ke depan kelas, lalu meletakkan lembar jawaban di meja guru.
"Lho, sudah selesai, Sur?" tanya Pak Guru lagi.
"Iya, Pak, sudah."
Pak Guru melirik arloji di pergelangan tangannya. Waktu ujian memang masih tersisa setengah jam lagi. Beliau tentu heran jika ada murid yang sudah mengumpulkan, bahkan ketika Andini sang juara kelas masih tampak sibuk berkutat dengan soal-soal.
"Waktu mengerjakan masih banyak. Sebaiknya jawaban kamu diperiksa dengan teliti dulu."
"Sudah saya periksa, Pak!" tegas Surtini.
"Ya sudah kalau begitu, kamu boleh istirahat."
"Terima kasih, Pak. Saya permisi."
Surtini pun ke luar kelas diiringi tatapan sinis Ira dan Ria. Begitu berada di luar, barulah dia bisa bernapas lega. Namun, meskipun perut sedikit keroncongan, Surtini tidak menuju kantin. Gadis itu malah melangkah cepat menuju kebun bunga sekolah.
"Wah, pas sekali melatinya lagi berbunga!" seru Surtini saat tiba di kebun sekolah.
Dia membungkukkan badan di atas semak melati, lalu menghirup aroma bunga putih mungil itu.
"Hai, melati terima kasih, wangimu selalu bisa menenangkan perasaanku yang kacau," bisiknya kepada kelopak melati.
Mungkin tindakan Surtini terlihat aneh. Beberapa orang bisa saja menganggapnya tidak waras. Namun, dia memang sangat menyukai bunga melati.
Dulu, saat Surtini pertama kali mengetahui tentang perilaku ibu kandungnya, dia sangat terpukul, merasa kotor karena mengetahui lahir dari perbuatan haram. Terlebih, para tetangga suka sekali bergosip, sehingga semakin menjatuhkan mentalnya. Rukmini sering mengalihkan perhatiannya dengan filosofi bunga. Kejadian di masa lalu itu masih segar di ingatan.
"Nak, kamu tau makna dari bunga melati?" tanya Rukmini.
Mereka tengah memangkas semak melati di halaman rumah yang sudah terlalu lebat. Surtini menggeleng. Tangannya sibuk menggunting batang melati.
"Bunga melati ini diambil dari bahasa Persia, yasmin. Artinya, hadiah dari Tuhan. Bunga melati juga menggambarkan kesucian, ketulusan, dan keanggunan dalam kesederhanaan."
Mata Surtini membulat lebar. Dia berhenti menggunting batang melati. Kata kesucian dan ketulusan membekas dalam hatinya. Surtini ingin bermakna seperti bunga melati, agar tidak ada lagi yang tega menyebutkan anak haram kotor.
Rukmini mengusap rambut Surtini dan bergumam lembut, "Menurut Emak, Surti itu mirip dengan bunga melati, tulus, juga berhati seputih dan selembut kapas. Surti ...."
"Surti! Surti!"
Surtini tersentak. Lamunannya seketika buyar. Saat dia berbalik, Bagus tampak tergopoh-gopoh menghampiri.
"Di sini kamu rupanya, Sur. Aku tadi nyari kamu ke mana-mana, takut kamu kenapa-kenapa."
Surtini menyengir lebar.
"Memangnya aku kenapa, Gus?"
Bagus menghela napas berat.
"Aku tadi liat Ira sama Ria nendang-nendang kaki kamu. Pasti mau contekan, 'kan?"
Surtini mengangguk polos.
"Dan kamu pasti enggak mau ngasih, 'kan?"
"Iya, dong. Nyontek itu, kan, curang. Sama aja kayak nyuri."
"Masalahnya kamu tau mereka itu kayak apa, 'kan? Pokoknya, kamu jangan pergi-pergi sendirian, harus sama aku!" perintah Bagus.
"Iya, iya aku–"
Groook
Wajah Surtini seketika memerah. Bagus terkekeh. Dia langsung mengajak gadis itu ke kantin. Surtini sempat menolak, hingga akhirnya mau setelah dibujuk berkali-kali.
***Seminggu berlalu bagaikan roda yang bergulir. Surtini berhasil melalui ujian hampir tanpa kesulitan. Ira dan Ria masih tetap memaksa untuk meminta jawaban meskipun selalu tak diacuhkan. Untunglah, mereka tidak bisa menganggu secara terang-terangan karena Bagus selalu sigap melindungi Surtini.
"Semoga aku bisa mengerjakannya dengan baik," gumam Surtini resah.
Hari terakhir ujian membuatnya merasa lebih gugup. Pelajaran yang diujikan paling akhir adalah matematika. Dia memang sedikit lemah di bidang hitung-menghitung.
"Bisa kok, kita, kan, udah belajar sama-sama," celetuk Bagus. "Semangat dong!"
"Iya, iya."
Mereka pun memasuki ruang kelas. Keduanya tak menyadari dua pasang mata menatap sinis. Ya, Ira dan Ria tampak menggeram marah, lalu mencibir.
"Gara-gara Bagus kita enggak bisa menghukum si pelit," gerutu Ira.
"Iya, rese banget!" timpal Ria.
Biasanya, mereka leluasa merundung anak-anak lain. Sebagai anak orang kaya yang suka membeli teman dengan uang, mengucilkan atau menyiksa siswa lain bukanlah hal sulit. Namun, Bagus lebih kaya dan populer dibandingkan mereka, sehingga Surtini tidak bisa diganggu ketika berada di bawah perlindungan anak laki-laki itu.
Ira mendengkus. Namun, wajahnya berubah semringah saat melihat siswi berkacamata tebal masuk kelas dengan sedikit membungkuk. Andini, sang juara kelas itu melirik takut-takut ke arah mereka.
"Eh, aku punya rencana nih biar si pelit itu kena hukum!" gumam Ira.
"Rencana apa? Rencana apa?" tanya Ria antusias.
"Sini, sini, biar kubisikin!"
Ira mendekatkan bibirnya ke telinga Ria dan membisikkan rencana.
Ria seketika berseru, "Rencana bagus tuh! Biar si Surti tau rasa!"
"Eits jangan sebut namanya, nanti kita kena sial."
Keduanya tergelak.
Bel berbunyi. Mereka bergegas masuk ke kelas saat melihat Bu Nina, guru matematika yang akan mengawasi ujian berjalan mendekat.
"Selamat pagi, Anak-anak!" sapa Bu Nina saat memasuki kelas.
Para murid yang sudah tegang semakin tertekan dengan tatapan tajamnya. Beliau memang terkenal dengan sebutan guru killer. Ruangan kelas menjadi benar-benar hening.
Tak lama kemudian, Bu Nina membagikan soal ujian. Murid-murid sampai menahan napas saat sang guru menghampiri meja mereka. Surtini bahkan sampai gemetaran.
Bu Nina bukan hanya guru baginya. Wanita itu adalah adik sepupu Rukmini, salah satu keluarga yang tak menyukai keberadaan Surtini. Dia juga pernah menyarankan agar Surtini dititipkan di panti asuhan saja.
"Kerjakan masing-masing, jangan kerja sama! Kalian tau, kan, Ibu paling tidak suka sama anak yang nyontek! Itu sama saja dengan mencuri!" tegas Bu Nina setalah selesai membagikan soal ujian. "Ujian dimulai!"
Surtini menghela napas berat saat melihat barisan angka. Tak seperti pelajaran-pelajaran sebelumnya, kali ini dia harus berpikir lebih keras. Punggung seragamnya bahkan sudah basah oleh keringat.
"Waktu tersisa 15 menit lagi!" seru Bu Nina.
Murid-murid mulai berbisik, tetapi cepat terdiam ketika dipelototi Bu Nina. Surtini menyeka keringat di kening. Soal ujian tersisa dua nomor lagi. Dia tak menyadari Ira dan Ria saling memberi isyarat.
"Bu, Surti mau nyontek jawaban Andini!" seru Ria tiba-tiba.
Kelas seketika menjadi riuh. Andini yang disebut namanya juga terperanjat. Dia tahu sejujur apa seorang Surtini, tetapi gadis itu seketika mengkerut saat dipelototi oleh Ira.
"Enggak, Bu! Saya enggak nyontek!" Surtini berusaha membela diri.
Namun, Bu Nina sudah terlanjur memiliki kebencian tersendiri, sehingga tidak mungkin bisa percaya. Guru seharusnya bersikap objektif, tetapi kadang masih ada oknum yang bertindak tidak profesional.
"Cukup! Surti maju ke depan!" titah Bu Nina.
"Tapi, Bu ...."
"Maju, bawa lembar jawaban kamu!"
Surtini tak punya pilihan lain. Dia melangkah maju dengan kaki gemetar. Bagus hanya bisa mengepalkan tangan dan menggemeletukkan gigi. Andini duduk dengan gelisah, ingin membela, tetapi takut dengan sorot mata penuh ancaman dari Ira dan Ria.
"Kamu ini benar-benar memalukan! Mbak Rukmini sudah berusaha mendidik dengan baik, tapi kenapa jadi begini? Memang, ya, darah tidak bisa dibohongi. Ibunya suka nyuri, anaknya pun begitu," omel Bu Nina sembari merebut lembar jawaban dari tangan Surtini.
"Tapi, saya enggak nyontek, Bu!"
"Mana ada maling ngaku! Karena kamu ketahuan nyontek, lembar jawaban kamu ini akan saya sobek dan kamu dianggap tidak mengikuti ujian!"
Surtini seketika terduduk lemas. Kelas semakin riuh. Ira dan Ria tersenyum penuh kemenangan.
***
Bu Nina sudah siap merobek lembar jawaban Surtini. Namun, gerakannya terhenti saat pria tua berkacamata tiba-tiba masuk ke kelas, Pak Gunawan, kepala sekolah. Beliau tampak terheran-heran dengan kondisi kelas yang tidak biasa."Ada apa ini, Bu Nina? Surtini, kenapa duduk di lantai?"Mendengar suara bersahaja Pak Gunawan, Surtini merasakan secercah harapan. Dia mendapatkan kekuatan untuk berdiri lagi. Andini diam-diam menghela napas lega. Sementara Ira dan Ria duduk dengan gelisah. Namun, Bu Nina masih jemawa."Maaf, Pak, ini karena Surtini membuat masalah. Dia mau menyontek jawaban Andini. Jadi, saya akan menyobek lembar jawabannya."Pak Gunawan mengerutkan kening. Meskipun sejak menjadi kepala sekolah sudah tidak mengajar, tetapi beliau lumayan dekat dengan murid-murid. Pria tua itu tahu betul reputasi Surtini, siswi berprestasi yang berbakti, jujur, dan suka menolong. Dia tentu tak mungkin melakukan kecurangan seperti menyontek."Sabar dulu
"Argggh!"Erangan menyayat membuat Rukmini yang tengah mengaduk-aduk adonan bakwan tersentak. Gerakan tangannya terhenti sejenak. Dia mengerutkan kening, juga menajamkan pendengaran."Argggh! Ugh! Saya mohon Anda harus lari! Lari!"Kebingungan Rukmini berubah menjadi kecemasan. Dia bisa mengenali jelas suara yang tengah menjerit-jerit itu, Surtini. Rukmini melepaskan sendok pengaduk adonan bakwa, lalu mengelap tangan dengan cepat."Argggh! Lari!" Teriakan Surtini kembali terdengar.Rukmini bergegas menuju kamar. Pintu hampir saja dibantingnya. Kecemasan semakin bertambah saat melihat Surtini bergerak-gerak gelisah di kasur dengan daster basah oleh keringat. Gadis itu tampak memegangi perut sambil terus mengerang."Ya ampun, Surti! Kamu kenapa, Nak! Nyebut, Surti! Nyebut!" jerit Rukmini panik.Dia duduk di tepian tempat tidur sembari terus memanggil Surtini. Namun, gadis itu tidak juga membuka mata, malah mengerang lebih keras. Napasny
"Sur? Surti?"Bagus menepuk-nepuk pundak Surtini. Namun, gadis itu tak menyahut. Dia asyik menggigiti sendok es krim."Surti!" panggil Bagus dengan suara lebih keras.Surtini tersentak. Dia refleks melemparkan cup es krim dan mendarat tepat di wajah Bagus. Bukannya minta maaf, gadis itu malah mendelik."Kena karma, kan, kamu. Suka ngagetin sih," omelnya.Untunglah, Bagus bukan teman yang mudah emosian. Dia malah terkekeh sambil membersihkan wajah dari lelehan es krim."Bukannya ngagetin, Sur. Kamunya yang suka ngelamun. Hati-hati loh, entar kesambet lagi, kita semua repot.""Bukan ngelamun, aku tuh lagi cemas, Gus, takut nilaiku jelek. Aku enggak mau bikin Emak malu."Surtini memilin-milin ujung rok merahnya. Bagus lagi-lagi terkekeh. Gadis itu memajukan bibirnya."Kalo yang rajin kayak kamu nilainya jelek, aku pasti merah semua."Surtini mencubit lengan Bagus dengan sadis. Anak laki-laki itu hanya bisa meri
Rukmini menggigit ujung kuku. Dia terus mengeluarkan ponsel, lalu menyimpannya lagi di saku. Setelah mondar-mandir hampir sepuluh kali, Rukmini kembali mengambil ponsel. "Semoga Bu Amira bisa membantu," doanya lirih saat menghubungi Amira. Namun, tiga panggilan tak mendapat jawaban. Keberanian Rukmini menyusut. Akhirnya, dia kembali ke dapur untuk menggarap kue dan berpura-pura ceria agar Surtini tidak curiga. "Mak, soal hutang Bapak ...." Brak! Surtini tersentak. Dia tak menyangka kata-katanya membuat Rukmini sampai menjatuhkan pengaduk adonan kue. Lantai menjadi sedikit kotor. "Kamu tidak usah pikirkan itu, ya. Kamu ini masih kecil, jangan banyak pikiran!" "Tapi, Mak ...." "Sudah, sudah, mending bantu Emak lanjut bikin kuenya!" "Iya, Mak." Rukmini memungut kembali pengaduk adonan kue, lalu mencucinya. Sementara Surtini membersihkan lantai dari ceceran adonan. Setelah itu, mereka pun sibuk membuat kue. Tepat saat kue telah dibungkus rapi, ponsel di saku Rukmini berdering. J
Surtini merinding. Dia tanpa sadar merapatkan jaket. Entah kenapa ruangan tersebut mendadak terasa dingin seperti hawa kulkas ketika dibuka. Keheningan sesaat yang membekukan. "Anda bisa kembali bertugas, Pak Rivan." Suara dingin Mirna memecahkan keheningan. Surtini sempat tersentak. Untung saja, dia bisa menahan diri, sehingga tidak meloncat ke belakang dengan tiba-tiba. "Baik, Bu." Rivan menoleh kepada Surtini. "Tugas saya terkait kamu sudah selesai. Selanjutnya, kamu akan ada di bawah bimbingan Bu Mirna." Surtini sempat termangu cukup lama sebelum menyahut, "Baik, Pak. Terima kasih." Rivan hanya mengangguk kecil. Dia berpamitan dengan Mirna, lalu keluar dari ruangan. Surtini mengiringi kepergian laki-laki itu dengan sorot mata takut-takut. Meskipun Rivan juga membuatnya takut, ditinggalkan bersama wanita asing berwajah datar tentu lebih mengancam. "Duduklah, ada beberapa hal yang harus kita bicarakan lebih dulu!"
"Tut, kenapa Surti belum pulang, ya?"Rukmini mendesah berat beberapa kali. Dia sedari tadi mondar-mandir di ruang tamu. Hastuti mengangkat bahu."Keasyikan main kali, Bu?" sahutnya malas, seolah benar-benar tidak tahu.Akting Hastuti benar-benar hampir sempurna. Sorot mata cuek seperti biasa, juga tak ada perubahan sedikit pun dari raut wajahnya. Dia asyik bermain ponsel, seolah tak ada urusan dengan hilangnya Surtini, padahal gadis itu sudah berbuat jahat untuk menyingkirkan sang adik.Rukmini menggigit ujung kuku."Biasanya kalau main paling cuma sebentar," gumamnya semakin resah."Mana aku tau, Mak. Mungkin aja mainnya hari ini asyik banget, 'kan? Nanti juga pulang palingan kalo lapar," sinis Hastuti.Rukmini menghela napas berat. Akhirnya, dia memutuskan untuk pergi mencari Surtini. Namun, baru saja membuka pintu, Matanya menangkap selembar amplop putih di meja teras, tepatnya di bawah asbak."Ini apa?"
Barang-barang di tas Surtini hanya sedikit. Penggeledahan tak memakan waktu lama. Pelayan yang memeriksa menggeleng pelan, menandakan dia tak menemukan cincin. "Berarti, Surtini bersih. Sekarang, kita akan lanjut kepada yang lain," putus Mirna. "Hah? Surti benar-benar bersih, Bu?" pekik Sari tanpa sadar. Mirna yang tadinya hendak melangkah ke luar kamar menghentikan langkah. Dia berbalik. Sari menelan ludah menyadari kecerobohannya. Sorot mata dingin Mirna menelisik tajam. "Apa tadi yang kamu katakan, Sari?" Sari cepat memperbaiki raut wajahnya. Dia tiba-tiba saja berekspresi seperti penuh haru. "Saya senang Surti benar-benar tidak terlibat dalam kasus ini, Bum Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kami harus bersikap nanti jika dia benar-benar pelakunya," kilahnya. "Oh begitu." Meskipun kata-katanya seperti percaya, tetapi Mirna mengucapkannya dengan nada sarkastik. "Baiklah, kita lanjutkan ke kamar lain– tunggu!"
Amira mondar-mandir di ruang rawat inap suaminya. Pikirannya masih dihantui firasat buruk. Laporan Rehan bahwa keluarga Surtini baik-baik saja tidak cukup menenangkan. Sebenarnya, Amira juga menelepon Rukmini beberapa kali, tetapi tidak diangkat. Kadang, Hasuti yang menerima panggilan. Gadis itu mengatakan ibunya mandi, atau sedang pergi dan ketinggalan ponsel. "Aduh, kenapa susah dihubungi, ya?" gumam Amira resah. Dia dan sang suami memang tengah berada jauh dari keluarga Surtini. Dokter menyarankan Aris untuk dirawat di Singapura. Oleh karena itu, di Negeri Merlion inilah mereka kini berada. Melihat tingkah galau sang istri, Aris yang sedari tadi menikmati semangkuk bubur terpaksa menghentikan sarapannya. "Kenapa, Ma? Dari tadi mondar-mandir terus?" celetuknya. "Masih kepikiran sama Bu Rukmini, Pa. Firasat Mama tuh enggak enak banget. Kok, kayaknya ada yang salah gitu," cerocos Amira. Dia mengempaskan tubuh di sofa. Rupanya,
Untuk Apa lagi kamu ke sini? Hah? Pergi! Pergi!" usir Hastuti dengan mata melotot.Dia begitu emosi. Suaminya sampai kewalahan menyabarkan. Awalnya, mereka hendak mengunjungi Rukmini. Kebetulan, tiba bersamaan dengan kedatangan Eka. Jadilah, Hastuti mengamuk.Keributan itu terdengar sampai ke dalam rumah. Rukmini dan Surtini ke luar rumah dengan tergopoh-gopoh. Melihat gadis yang dicintainya, Eka sempat-sempatnya mengerling nakal. Hastuti langsung berdiri menghalangi.Rukmini menghela napas berat. "Saya mohon pergilah, Nak Eka. Sudah cukup kamu menyakiti putri saya. Tolong jangan ke sini lagi," pintanya.Eka malah mengenggam tangan Rukmini. "Tapi, Ibu ... saya tidak berniat menyakitinya. Saya justru ingin membahagiakannya."Hastuti merangsek maju, melepaskan paksa genggaman tangan Eka. "Dasar gila! Kau pikir kami bodoh! Pulang sana! Pulang!" bentaknya dengan dada turun naik.Dia mendorong Eka dengan kasar. Sebenarnya, dorongan itu tidak terlalu kuat. Namun, Eka memang banyak akalnya d
Hanya dalam 6 bulan, Mahardika berhasil mengakuisisi perusahaan utama milik Hartono Group. Seperti perkiraan Eka, ayahnya memang tidak kompeten. Gilang mudah sekali memberikan tanda tangannya, sehingga aset juga bisa diambil alih dengan cepat. Hari ini, Bambang datang ke perusahaan. Namun, tindakannya sudah sangat terlambat. Dia hanya bisa murka kepada sang putra dan menggeram galak ke arah Mahardika yang tersenyum licik. Sementara Eka tentu saja ikut berakting marah."Kenapa Om Dika tega melakukan ini? Padahal, aku percaya Om benar-benar membantu kami!" serunya."Kau itu murid jenius, Eka. Kenapa masalah sepele begini saja malah tertipu?" ejeknya, tentu juga berpura-pura. Mereka justru sudah merencanakan kehancuran Bambang Hartono sejak awal.Brak!Bambang tiba-tiba menggebrak meja. "Puas kau, Mahardika! Ternyata kau sama busuknya dengan ayahmu!" umpatnya.Mahardika tertawa lepas. "Saya sedikit koreksi ucapan Anda, Pak Bambang. Ayah dari Mahardika sama sekali tidak busuk. Tapi, kala
"Jadi, solusi apa yang kau tawarkan, Eka?""Menjalin kerja sama dengan perusahaan lain yang mumpuni dan mendapat simpati publik. Kita juga bisa menjaminkan beberapa aset," sahut Eka sembari menunjukkan beberapa dokumen.Gilang mengambil dokumen. Dia mengernyitkan kening saat membaca nama perusahaan yang tertulis di kertas. Keraguan menyusup di hati. Perusahaan Keluarga Pratama memang tidak akan menimbulkan masalah. Gilang hanya khawatir Bambang tidak akan menyetujui kerja sama dengan pihak Prasetya. Namun, Eka juga benar. Kedua perusahaan tersebut besar, keuangan stabil, dan mendapat simpati publik karena bersih dari kecurangan dan sering melakukan kegiatan amal. Gilang memijat-mijat keningnya yang mendadak berdenyut."Eka, kakekmu mungkin tidak akan setuju untuk Mahardika Group. Kamu tahu, kan, pendirinya bekas orang kepercayaan Om Danu.""Iya, Pak Gilang. Saya tahu benar perselisihan tak habis-habisnya antara Pak Bambang Hartono dan Pak Langit Prasetya. Tapi, bukankah generasi suda
Aula Hotel Blue Sky mulai ramai. Para tamu dari kelas atas saling berbincang. Bisnis atau barang mewah yang menjadi bahan obrolan. Eka tersenyum. Proyek yang telah menyita waktunya sebulan terakhir sukses besar dan pesta hari ini adalah untuk merayakannya.Namun, rasa bangga Eka dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Dia tak sengaja melihat sosok familiar di antara para tamu. Gadis yang selama ini dirindu itu tak seharusnya berada di sana. Ya, Surtini tampak sedang sibuk menata kue-kue di meja.Eka memanggil salah seorang staf bagian makanan. "Setahu saya, gadis itu bukan bagian dapur, kenapa ada di sana?" tanyanya sambil menunjuk Surtini."Ah, itu karena Bu Sylvia, Pak. Beliau menambahkan menu kue dari toko kue favoritnya. Gadis itu dari toko kue tersebut," jelas staf."Oh begitu, terima kasih penjelasannya. Kamu bisa kembali bekerja."Staf bagian makanan itu membungkukkan badan, lalu pamit pergi. Eka seketika mendecakkan lidah. Mau seenak apa pun kue di toko Rukmini, mustahil seora
Usaha toko kue Rukmini berkembang semakin pesat. Dia bahkan sudah membuka dua cabang. Hastuti sampai mengundurkan diri dari pekerjaannya demi mengelola cabang pertama. Sementara cabang satunya lagi dipegang oleh Surtini. Sudah 3 minggu berlalu sejak hari pembukaan cabang kedua toko kue Rukmini. Pelanggan semakin bertambah setiap harinya. Bahkan, mereka juga sudah menerima pesanan besar beberapa kali. Akibatnya, Surtini menjadi sangat sibuk. Namun, anehnya, dia sering melihat ke jalan raya, sedikit berharap Eka akan tiba-tiba datang. "Ada apa, Mbak Sur?" tegur salah seorang karyawan saat Surtini lagi-lagi tanpa sadar menatap sendu kaca jendela yang menghadap ke jalan raya."Eh, iya, Dek? Apa?""Aku liat dari tadi Mbak Surti liat ke luar terus, kirain ada apaan?"Surtini menyengir lebar. "Aku cuma berharap seseorang datang, tapi kayaknya enggak bakal datang deh."Karyawan itu mengangguk-angguk meskipun masih penasaran. Dia tak mungkin mengorek-ngorek informasi atasan sembarangan. Akhi
Hastuti terlempar menghantam dinding. Surtini menjerit kaget. Tenaga laki-laki dan perempuan secara normal jelas memiliki perbedaan signifikan. Beno tentu bisa dengan mudah membanting putrinya."Mbak Tuti!"Surtini menghambur ke arah Hastuti, mencoba melakukan pertolongan pertama. Namun, baru berhasil menghentikan pendarahan di kening sang kakak, tubuhnya sudah ditarik dengan kasar. Beno mencengkeram kuat lengan Surtini dan menyeretnya paksa."Tunjukan di mana uang yang disimpan Rukmini! Atau kamu akan kujual!" desis Beno tajam di telinga Surtini.Brak!Pintu dibuka paksa dari luar. Lima petugas berseragam merangsek masuk. Beno mengumpat, lalu mencengkeram lengan Surtini dengan lebih kuat. Kuku-kukunya yang panjang dan kehitaman menggores luka di kulit gadis itu."Saudara Beno, menyerahlah! Anda sudah terkepung!" seru salah seorang polisi.Bukannya takut, Beno malah terbahak-bahak. Para polisi mengarahkan moncong senjata, memberikan ancaman. Namun, hal tersebut tidak juga menyurutkan
"Aku sangat berterima kasih atas perhatian Mas Rehan, tapi perasaan tidak bisa dipaksakan. Maaf, Mas, aku tidak bisa menerima perasaanmu," tutur Surtini dengan perasaan tak enak hati. Dia tak menyangka perkataan Amira beberapa waktu lalu terbukti kebenarannya. Ternyata, Rehan memang memendam rasa bahkan sejak mereka masih remaja. Menolak cinta pemuda baik tentu menyisakan rasa bersalah dan kecanggungan yang sungguh mencekik. Namun, Surtini juga tidak akan pernah coba-coba dengan perasaan orang lain. Dia tidak mau menerima Rehan dengan masih menyimpan Eka di hati. Hal seperti itu sangat kejam dan tidak adil. Pemuda dengan kualitas sekelas Rehan tak seharusnya menjadi pelarian.Sorot mata Rehan jelas memancarkan kekecewaan, tetapi pemuda itu berusaha tersenyum tegar. "Baiklah, Mas mengerti.”Meskipun menjawab seperti itu, harapan Rehan belum pupus. Dia berpikir Surtini hanya masih terluka. Jika suatu saat gadis itu sudah move on, pasti akan membuka hatinya lagi untuk cinta yang baru.
Waktu berlalu dengan cepat. Sylvia telah benar-benar masuk ke tim proyek terbaru. Perlahan, dia menjalin keakraban dengan Eka. Taktik yang digunakannya adalah tampil sebagai wanita cerdas dan kreatif. Sylvia berusaha menunjukkan dirinya sudah berubah, tidak akan ada lagi anak manja sombong.Sayangnya, semua itu palsu. Ide-ide brilian yang sering diajukan dan mendapat pujian dari Eka tidak orisinil. Secara rutin, Sylvia berkomunikasi dengan asisten kakeknya yang juga dikenal sebagai jenius.Seperti hari ini, Sylvia kembali datang ke kantor Eka. Dia membawa beberapa dokumen. Surtini sempat melirik sinis, tetapi cepat berpura-pura mengerjakan laporan ketika Eka memberi peringatan lewat isyarat mata."Kalo begini bagaimana, Ka?" tanya Sylvia saat sudah duduk di hadapan Eka. Dia menunjukkan lembar kedua dari dokumen yang dibawanya.Eka membaca isi dokumen. Mata elangnya menelaah setiap baris kalimat. Beberapa kali, dia mengelus dagu. Sylvia mencuri kesempatan untuk memandangi wajah tampan i
Ruang wakil direktur Hartono Group terasa mencekam. Dua pria berhadapan dengan topik pembicaraan yang pelik. Eka mengetuk meja dengan ujung pulpennya beberapa kali. Sementara lelaki paruh baya di depannya terus menjelaskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan pihak perusahaan mereka, sehingga permasalahan semakin membesar dan dapat menyebabkan proyek harus ditunda atau bahkan dihentikan.“Surti, mana laporan yang kuminta kemarin!” titah Eka dengan wajah dingin.Surtini segera mencarikan laporan yang diminta dan segera menyerahkannya. Eka membuka lembaran dokumen. Mata elangnya tiba-tiba mendelik. Dia mendecakkan lidah."Ini sudah yang ketiga kalinya, Surti! Kenapa mengerjakan ini saja kamu tidak bisa!" bentak Eka sembari menghempaskan dokumen di meja.Sudah seminggu berlalu sejak masalah menimpa proyek yang tengah ditangani Eka. Dia mudah menjadi emosional dan jauh lebih sensitif dibandingkan biasanya. Hampir tak ada karyawan yang lolos dari amukannya. Hari-hari yang lalu, Surtini selal