Hari masih menjelang malam. Pukul lima. Jadi, mengajak si gembul keluar tidak apa-apa. Pun sudah memberitahu pasangan Bimantara senior bahwasanya si tuan muda dan si pengasuh akan pergi keluar untuk membeli perlengkapan si gembul yang hampir habis. Rosa mengiyakan dengan senang hati, sementara Agam sedikit tak percaya melihat perilaku putra bungsunya.Adrian yang cuek dan jarang peduli itu makin melunak. Makin memperlihatkan sikap perhatian untuk si gembul. Tentu membuat sang Biman senior bahagia–tak perlu lagi memaksa, menyindir atau memerintah si bungsu agar mau memerhatikan si bayi.Mereka berangkat menggunakan kendaraan pribadi si bungsu; mobil. Bia duduk di kursi penumpang di sebelah si tuan muda sambil menggendong si gembul menggunakan alat bantu. Tak jarang mengajak si bayi bermain selama perjalanan. Bian sendiri asik melihat keluar melalui jendela, mengamati pemandangan di luar yang berlalu dengan cepat.Tempat yang dituju oleh si tuan muda adalah sebuah supermarket besar yang
Deg-deg-deg-deg!Kira-kira begitu irama jantung Bia saat sang Tuan muda memegang kakinya–bukan cuma jantung saja yang bereaksi, melainkan seluruh tubuh. Badan si gadis meremang; merinding. Ada desiran aneh saat kulit si majikan menyentuh kulitnya yang membuat operasi jantung di dada makin tak karuan; seperti tersengat.Dulu ..., dia takut berdekatan dengan Adrian–karena teringat malam di mana Bian di adon–yang membuat si gadis takut bukan cuma kejadian naas tersebut, tetapi dia yang tidak sadar, pikirannya kusut dan gelap, aroma aneh yang masih diingat sampai sekarang; seperti menjadi momok terbesar baginya. Bia takut dia mengalaminya lagi. Dia takut tak bisa mengendalikan diri. Takut bila saat sadar dia menemukan dirinya di keadaan mengerikan itu. Bia tidak mau.Namun ..., perasaan takut yang menggerogoti pelan-pelan terkikis. Ditambah sikap si tuan muda yang terlihat biasa–minus cueknya. Interaksi mereka tidak berlebihan, tidak ada perlakuan buruk atau kekejaman yang pernah dia baya
Mereka sudah siap untuk kembali. Posisi sudah berubah; Adrian menggendong si gembul dan dia yang akan membantu si gadis berjalan. Namun, sebelum niatan untuk pulang terlaksana, ponsel si Biman muda yang di simpan di saku celana berbunyi. Sebenarnya malas untuk mengambil dan menerima telepon, apalagi di luar jam kerja. Tapi, lelaki tampan ini tahu jika bukan keluarganya yang menghubungi–karena mereka tahu dia sedang di luar dan bakal malas mengangkat telepon–terlebih dia memberikan nada khusus untuk kontak keluarganya.Jadi, dia meminta si pengasuh untuk duduk kembali–menunggu sebentar–kemudian merogoh saku dan mengambil alat komunikasi yang masih berdering. Melihat nama di layar ponsel, Adrian ingin mendengus namun menahan diri. Dia memutuskan menjawab panggilan tersebut.“Hn?”Sahutan yang tidak boleh ditiru ya teman-teman.“Hm?” si Biman muda memutar badannya. Seperti menemukan yang dicari, dia kembali menyahut suara di seberang. “Oke.”Alat komunikasi tadi dimasukkan lagi ke saku.
Luka Bia sudah tak terlalu sakit. Warna memar–biru keunguan–di punggung kaki serta pinggang sisi kanan mulai memudar. Para Bimantara menyuruhnya untuk beristirahat sampai sembuh karena si gadis kesulitan bergerak maupun menggendong Bian. Pekerjaannya sementara diambil alih oleh Sri; cuma memandikan si gembul. Bagian memberi makan, membuatkan susu dan menidurkan si bayi dilakukan oleh para Bimantara secara bergantian. Lebih banyak si Biman bungsu sih yang melakukannya–Adrian sedang mendalami perannya sebagai seorang ayah.Lagi pula bungsu Biman itu sedang libur, jadi wajar dia yang menghabiskan waktu bersama si gembul.Pun Bia tidak mau berlama-lama beristirahat. Rasanya tak enak karena tidak melakukan apa-apa. Dirasa waktu istirahatnya cukup, si gadis memulai aktivitasnya kembali menjadi pengasuh dan pembantu rumah tangga di kediaman Bimantara. Apalagi putra bungsu Biman sudah masuk kantor lagi. Tak mungkin sang Atasan–Sri, selaku kepala pelayan– yang menggantikannya mengurus Bian. Sr
Sewaktu di supermarket yang dia mendapat kecelakaan dari seorang anak kecil. Ada dua orang menghampiri si tuan muda dan salah satunya adalah gadis cantik berambut lurus itu. Ah, berarti teman bungsu Biman juga? Bia segera menundukkan kepala sedikit sebagai penghormatan.“Boleh aku masuk?”Bia mengangguk dan mempersilahkan gadis itu masuk. Si pengasuh menutup pintu kembali saat si gadis cantik berambut lurus melewatinya kemudian mengekor di belakang. Sesampai di ruang tengah langkah si gadis cantik terhenti tatkala pupilnya menemukan seseorang lain yang dikenali berada di kediaman Bimantara. Bia buru-buru undur diri untuk menyiapkan suguhan sebab dua orang teman tuan mudanya datang.“Oh, Naomi!” si gadis yang duduk di karpet menyapa. Betah duduk di lantai bersandar kaki sofa. Sementara si gembul yang berada dalam pengawasannya masih aktif menandai daerah kekuasaannya dengan merangkak.Sudut bibir si gadis yang namanya di sebut barusan berkedut. Ingin berdecak, tetapi akhirnya menyunggi
“Aku nggak akan tertipu sama omong kosong kalian!”“Kenapa memangnya kalau partner Adrian kampungan? Apa itu urusan kamu? Apa kamu berhak ngatur hidup Adrian? Apa kamu yang urus pasangan hidup orang lain? Naomi, kamu bukan siapa pun di kehidupan Adrian!” Tak lagi menggunakan nada ramah, Sarah mengeluarkan unek-unek dalam hatinya.Si gadis cantik berambut lurus terkejut atas balasan yang diberikan Sarah. Tak menyangka bila perempuan itu berani membantah. Dia berdiri dari sofa, menatap sinis dua orang di lantai; si Nyonya Pramana dan perempuan yang dikatakan adalah partner calon suaminya.“Aku adalah calon istri Adrian. Bukan siapa pun? Mungkin itu kamu, Sarah. Kamu juga bukan siapa pun bagi Bimantara.” Naomi ingin menunjukkan kedudukan; dia lebih tinggi. Dia punya korelasi dengan Bimantara. Bukan cuma sekedar teman sekolah. “Aku bakal bicara dengan Om Agam dan Adrian mengenai hal ini dan membuat kalian dibenci. Kh, untukmu mungkin di pecat,” Naomi mengakhiri ucapannya dan pergi.Setela
Melihat reaksi mama, papa dan kakaknya, si Biman muda menghela. Dia tidak langsung menjelaskan maksud perkataannya, namun beranjak dari sofa karena tak berminat melanjutkan pembicaraan. “Ya, silakan. Aku juga nggak mau menikah gitu aja. Aku bakal minta dia untuk buktiin kalau dia bisa jadi mamanya Bian baru menikah. Aku nggak mau Bian diasuh sama orang yang salah.”Sepertinya sifat kebapakan si bungsu mulai tumbuh.Adrian meninggalkan ruang tengah. Tak terlalu peduli bagaimana akhir pembicaraan karena dia sudah mengatakan apa yang ingin dia sampaikan. Tak perlu basa-basi mengajukan diri menemukan keluarga Wibowo, pun dia malas ke sana. Tidak mood. Tidak mau bertemu si gadis bernama Naomi.Si Biman muda berjalan ke arah kamarnya, namun berhenti di depan pintu ruangan di sebelah kamarnya yang terbuka. Melihat si pengasuh yang merapikan kasur si gembul. Ah, sebelum acara pembicaraan serius di ruang tengah di mulai, Bia membawa Bian ke kamar untuk di tidurkan. Mungkin si gembul sudah lela
“Jadi ... apa menurut kamu; dia cocok jadi mamanya Bian?” Adrian penasaran dengan jawaban si pengasuh.Bia menunduk. Operasi jantungnya makin menggila. Bila kemarin-kemarin dia deg-degan karena takut, malam ini jantungnya seperti mau copot karena sikap ramah si tuan muda. Sikap yang tak pernah terlihat di depannya. Sikap yang tidak baru pertama kali dia rasakan. Ada apa dengan tuan mudanya itu? Apa terjadi sesuatu sebelum bungsu Biman tersebut datang ke kamar Bian? Bia menerka-nerka walau dia tidak menemukan jawaban.“Sa-saya nggak berani berkomentar, Tuan.” Katanya menjawab. Meski dalam hati Bia ingin menolak. Tak mau Bian diasuh oleh orang sombong begitu.“Ya udah. Aku ngerti. Makasih.” Dia mengangguk. “Dan maaf nahan kamu di sini. Kamu boleh pergi.”Buru-buru si gadis menundukkan kepala sebagai bentuk pamit dan berjalan keluar kamar. Dia menarik pintu sepelan mungkin sampai tertutup lalu berlari menjauh. Tak kuat. Jantungnya tidak kuat! Tuan mudanya aneh! Sangat aneh.Di dalam kama