Sewaktu di supermarket yang dia mendapat kecelakaan dari seorang anak kecil. Ada dua orang menghampiri si tuan muda dan salah satunya adalah gadis cantik berambut lurus itu. Ah, berarti teman bungsu Biman juga? Bia segera menundukkan kepala sedikit sebagai penghormatan.“Boleh aku masuk?”Bia mengangguk dan mempersilahkan gadis itu masuk. Si pengasuh menutup pintu kembali saat si gadis cantik berambut lurus melewatinya kemudian mengekor di belakang. Sesampai di ruang tengah langkah si gadis cantik terhenti tatkala pupilnya menemukan seseorang lain yang dikenali berada di kediaman Bimantara. Bia buru-buru undur diri untuk menyiapkan suguhan sebab dua orang teman tuan mudanya datang.“Oh, Naomi!” si gadis yang duduk di karpet menyapa. Betah duduk di lantai bersandar kaki sofa. Sementara si gembul yang berada dalam pengawasannya masih aktif menandai daerah kekuasaannya dengan merangkak.Sudut bibir si gadis yang namanya di sebut barusan berkedut. Ingin berdecak, tetapi akhirnya menyunggi
“Aku nggak akan tertipu sama omong kosong kalian!”“Kenapa memangnya kalau partner Adrian kampungan? Apa itu urusan kamu? Apa kamu berhak ngatur hidup Adrian? Apa kamu yang urus pasangan hidup orang lain? Naomi, kamu bukan siapa pun di kehidupan Adrian!” Tak lagi menggunakan nada ramah, Sarah mengeluarkan unek-unek dalam hatinya.Si gadis cantik berambut lurus terkejut atas balasan yang diberikan Sarah. Tak menyangka bila perempuan itu berani membantah. Dia berdiri dari sofa, menatap sinis dua orang di lantai; si Nyonya Pramana dan perempuan yang dikatakan adalah partner calon suaminya.“Aku adalah calon istri Adrian. Bukan siapa pun? Mungkin itu kamu, Sarah. Kamu juga bukan siapa pun bagi Bimantara.” Naomi ingin menunjukkan kedudukan; dia lebih tinggi. Dia punya korelasi dengan Bimantara. Bukan cuma sekedar teman sekolah. “Aku bakal bicara dengan Om Agam dan Adrian mengenai hal ini dan membuat kalian dibenci. Kh, untukmu mungkin di pecat,” Naomi mengakhiri ucapannya dan pergi.Setela
Melihat reaksi mama, papa dan kakaknya, si Biman muda menghela. Dia tidak langsung menjelaskan maksud perkataannya, namun beranjak dari sofa karena tak berminat melanjutkan pembicaraan. “Ya, silakan. Aku juga nggak mau menikah gitu aja. Aku bakal minta dia untuk buktiin kalau dia bisa jadi mamanya Bian baru menikah. Aku nggak mau Bian diasuh sama orang yang salah.”Sepertinya sifat kebapakan si bungsu mulai tumbuh.Adrian meninggalkan ruang tengah. Tak terlalu peduli bagaimana akhir pembicaraan karena dia sudah mengatakan apa yang ingin dia sampaikan. Tak perlu basa-basi mengajukan diri menemukan keluarga Wibowo, pun dia malas ke sana. Tidak mood. Tidak mau bertemu si gadis bernama Naomi.Si Biman muda berjalan ke arah kamarnya, namun berhenti di depan pintu ruangan di sebelah kamarnya yang terbuka. Melihat si pengasuh yang merapikan kasur si gembul. Ah, sebelum acara pembicaraan serius di ruang tengah di mulai, Bia membawa Bian ke kamar untuk di tidurkan. Mungkin si gembul sudah lela
“Jadi ... apa menurut kamu; dia cocok jadi mamanya Bian?” Adrian penasaran dengan jawaban si pengasuh.Bia menunduk. Operasi jantungnya makin menggila. Bila kemarin-kemarin dia deg-degan karena takut, malam ini jantungnya seperti mau copot karena sikap ramah si tuan muda. Sikap yang tak pernah terlihat di depannya. Sikap yang tidak baru pertama kali dia rasakan. Ada apa dengan tuan mudanya itu? Apa terjadi sesuatu sebelum bungsu Biman tersebut datang ke kamar Bian? Bia menerka-nerka walau dia tidak menemukan jawaban.“Sa-saya nggak berani berkomentar, Tuan.” Katanya menjawab. Meski dalam hati Bia ingin menolak. Tak mau Bian diasuh oleh orang sombong begitu.“Ya udah. Aku ngerti. Makasih.” Dia mengangguk. “Dan maaf nahan kamu di sini. Kamu boleh pergi.”Buru-buru si gadis menundukkan kepala sebagai bentuk pamit dan berjalan keluar kamar. Dia menarik pintu sepelan mungkin sampai tertutup lalu berlari menjauh. Tak kuat. Jantungnya tidak kuat! Tuan mudanya aneh! Sangat aneh.Di dalam kama
“Juga ... kabar ini sengaja nggak kami sebar karena nggak mau menyebabkan rumor.” Agam menghela. “Adrian udah punya seorang anak laki-laki.”“Oh!” Chandra masih terlihat kalem meski sedikit tersentak atas apa yang baru di dengar. “Apa karena itu Adrian nolak di jodohkan?”“Sedari awal tahu tentang perjodohan ini, aku udah protes sama Papa,” ujar si Biman muda cuek. Tidak peduli perkataannya menyakiti seorang gadis cantik berambut lurus di seberang.Naomi masih tidak menyangka bila lelaki yang dia sukai, bahkan secara terang-terangan dia tunjukkan berkata bahwa tidak setuju tentang perjodohan mereka. Padahal dia berusaha agar seimbang untuk berada di sebelah si bungsu Bimantara. Ya, dia sengaja menaikkan status sosialnya sebagai Naomi Wibowo agar orang-orang tidak memandang rendah dan dia bisa bersanding setara dengan Adrian–yang di puja banyak wanita.Selain sebagai Bimantara, memiliki ketampanan di atas rata-rata, si Biman muda dikenal sebagai pekerja keras dan mandiri. Meski bekerja
“Baik? Pengertian?” Hampir si bungsu Bimantara ini tertawa. Terlebih jika mengingat apa yang terjadi di rumahnya yang sebelum dia bertanya pada pengasuhnya, Sarah memberi laporan duluan. Menceritakan kronologi peristiwa kedatangan Naomi dan apa saja yang diucapkan oleh gadis itu. “Lo tahu apa yang aja yang dia bilang tentang anak gue? Dia bilang anak gue menjijikkan.”Ahem. Bukan anaknya sih, melainkan si pengasuh. Tapi, sama saja mengatai anaknya! Sebab waktu itu Sarah mencoba bersandiwara dia memiliki seorang partner yang membuat Naomi mengeluarkan kata-kata tak pantas.Helmi terkejut. Dia tak percaya. Tidak mungkin Naomi mengatakan kata-kata begitu. Dia yakin bila adiknya adalah gadis yang polos dan baik dalam bertutur kata. Tak mungkin Naomi sampai mengatai seseorang. Apalagi yang dikatai adalah anak Adrian. Naomi rak akan mungkin mengatai seorang anak kecil, dia sangat yakin!“Sebenarnya gue nggak mau perempuan kayak gitu jadi ibu dari anak gue.”“Naomi nggak mungkin begitu. Jang
Bayi gendut menggemaskan minta di cubit itu di ranjang sedang bertelungkup dengan bokong yang naik dan kepala menempel di kasur. Sesekali berguling ke kiri atau ke kanan karena merasa bosan tak berhasil melakukan apa yang diinginkan. Tapi, Bian bukan baby yang gampang menyerah! Si gembul akan mencoba lagi dan lagi! Membuat sheet yang terpasang berantakan dan posisi awalnya berada di tengah kini sudah berada di sudut kasur. Membuat senyum si gadis yang menghampiri mengembang.Pupil si gadis cantik menyipit. Dia berhasil menenangkan diri dari gelisah yang dirasa karena intimidasi tadi. Menatap tak suka punggung luruh perempuan di depannya. “Walaupun Adrian yang bilang, tapi aku nggak akan semudah itu percaya. Kamu partner Adrian, huh?”Walau mendengar itu, langkah si pengasuh tak berhenti. Dia sama sekali tidak tertarik persoalan partner tuan mudanya. Lebih memilih si gembul yang kelihatan senang karena melihatnya lalu menggendong si bayi sembari duduk di tepi ranjang. Bia mendudukkan B
Gantian si muka teplon yang menghela. Banyak sekali mereka menghela hari ini. Memangkas keberuntungan yang mungkin datang. Adrian ..., yeah, dia tidak tertarik dengan asmara. Hubungan yang berujung pernikahan. Pasangan, partner, kekasih, cinta atau apa pun itu namanya. Meski dari sekarang merasa begitu, si Biman muda juga tidak bisa memastikan apa selamanya dia tak akan memiliki ketertarikan?Pasangan ya ....Terlintas bayangan seseorang di benak si Biman muda. Berambut panjang, tapi selalu di cepol. Selalu mengenakan pakaian sederhana dengan rok panjang yang mengembang. Tawa halus yang tak sengaja dia dengar sewaktu menemukannya bersama si gembul. Sorot teduh yang selalu bertemu onyxs kelam miliknya. Kepala yang sering tertunduk ketika mereka berpapasan. Postur yang tidak terlalu tinggi. Perhatian. Lembut. Telaten melakukan pekerjaannya. Sangat menyayangi si gembul.Hm? Huh?Apa yang barusan lewat dalam kepalanya?Si bungsu Bimantara terkejut akan kinerja otaknya yang tiba-tiba mem
Adrian Bimantara; tokoh utama kita yang berwajah tampan, tetapi sayang parasnya sangat berbanding terbalik dengan mimik muka yang selalu datar mirip pantat teplon baru saja tiba di depan sebuah gedung berlantai dua yang tidak terlalu besar. Gedungnya di cat putih khas gedung-gedung Rumah Sakit pada umumnya. Ya, dia baru sampai di halaman Rumah Sakit yang diberitahukan oleh sopir pribadi ayahnya mengenai keberadaan si buah hati serta si pengasuh.Entah ada urusan apa sampai mereka ke Rumah Sakit, mana jaraknya cukup jauh dari kota. Si Bimantara muda saja membutuhkan setengah jam, apalagi kalau pakai kendaraan umum. Pasti lebih lama.Dia memarkirkan mobilnya di parkiran khusus roda dua, mematikan mesin lalu keluar dari kendaraan pribadinya. Tak lupa dikunci lagi. Adrian berjalan masuk ke dalam gedung Rumah Sakit. Tapi, baru kakinya menginjak lobi, pemuda ini ingat sesuatu. Bagaimana dia menemui si pengasuh di sini? Adrian tidak tahu si pengasuh berada di mana, sedang apa dan menemui sia
Adrian Bimantara adalah tipikal pria tepat waktu. Benci keramaian dan senang menyendiri. Tipe-tipe introvert, sih. Ah, tapi bukan itu yang mau kita bahas. Bimantara muda tersebut adalah seseorang yang selalu on time; on time sampai di kantor dan on time pulang bekerja. Jadi, saat jam menunjukkan jam pulang–biasanya sekitar pukul lima sore–maka dia akan membereskan semua pekerjaan–menyisihkan yang mesti dilakukan besok atau yang memiliki tenggat waktu lebih lama. Bukan tak mau bekerja keras. Tetapi, buat apa membuang waktumu di saat pekerjaan selesai dan diberikan kelonggaran untuk pekerjaan lainnya? Pun tak cuma badan yang butuh istirahat, otak yang digunakan saat bekerja juga perlu tenang. Karena dia memang tidak suka kelayapan, maka tujuan utama pria tampan minim ekspresi ini adalah rumah; kediaman Bimantara. Sewaktu sampai di basemen lalu berpisah dengan beberapa staf yang satu lift dengannya, lelaki tinggi itu berjalan ke arah ia memarkirkan mobilnya. Namun, langkah Adrian ter
“Erm, Tuan.”Yang mau Bia sampaikan bukannya hal aneh, tapi si gadis kelihatan bingung.“Bilang aja,” ujar si Tuan Besar memaklumi gerak-gerik gadis di depannya. Ya, gadis sederhana tersebut punya kepribadian sangat sungkan terhadap orang lain. Meski mungkin yang dikatakan atau dilakukannya bukan sesuatu yang bisa membuat rasa tak enak di hati.Bia mengambil sesuatu dari saku celananya dan menyodorkan pada sang Kepala keluarga. “Sudah waktunya imunisasi Bian, Tuan.”“Kukira kenapa. Kau membuatku berpikir ada sesuatu yang buruk.” Agam menerima buku yang disodorkan si gadis. Buku catatan ibu dan anak. Membuka dan melihat halaman terakhir. Dia ingat di sana memang ada tertulis jadwal selanjutnya dan benar tanggal yang tertera adalah tanggal hari ini. “Aku akan minta Danu untuk antar kamu.”Si gadis menggeleng. “Boleh saya pergi sendiri, Tuan? Saya janji bakal kembali sebelum malam.” Teringat kejadian waktu lalu, Bia tidak berani membawa si gembul sampai malam. Dia benar-benar akan kembal
Bia terharu. Sungguh. Dia tak mengira. Sang Bimantara senior bahkan mengingatnya dan meminta si photographer untuk mengambil gambarnya. Memegang erat gambar yang ukurannya tidak besar–Agam sengaja meminta di cetak untuk ukuran dompet supaya si gadis bisa menyimpannya tanpa membuat orang lain curiga–lalu di dekatkan dengan dada.Gambar ini akan menjadi penenangnya saat rindu menyerang dan tak bisa bertemu putranya. Apalagi ketika dia keluar dari kediaman Bimantara. Bia mesti mempersiapkan batinnya agar tidak merengek nantinya.“Sama-sama.”Agam sudah menduga jika Bia akan senang, tapi tak memperkirakan si gadis bakal menunjukkan muka sendu kemudian. Entah apa yang dipikirkan oleh gadis itu, tapi ia pun akan berusaha agar Bia tidak berpisah dengan putranya. Dia mengambil sesuatu lagi dalam laci. Kali ini menyerupai buku yang sekali lagi diserahkan pada si pengasuh.“Saya udah pernah bilang sama kamu, sekalipun kamu nggak minta apa pun, ini adalah hasil kerja keras kamu.”Bia menatap ben
Hari ini hampir semua Bimantara berkumpul di rumah; hari minggu. Kecuali sang Nyonya yang sedang ada project di luar. Jadi, tak heran melihat si bungsu berada di ruang tengah sedang memainkan ponsel.Oh, dia sedang membaca artikel-artikel yang ditemukan di internet. Artikel tentang apa? Ahem, ingat soal si bungsu ini yang sempat berpikir untuk meriset sesuatu yang tidak dimengerti? Berhubung libur dan tak membawa pulang pekerjaan–dia jarang melakukannya, sih–jadi dia merisetnya sekarang. Mengetikkan sebaris kalimat di kotak pencarian sehingga bermunculan hasil yang sesuai dengan kata kunci yang dimasukkan. Si Biman muda mencari tahu sehubungan dengan hatinya yang terasa aneh dan jantung yang berdebar lebih cepat saat bersama seseorang.Dan rata-rata artikel yang dia temukan serta baca malah berisi pertanyaan lain yang membuatnya bingung. Apa hubungannya dengan yang ingin dia ketahui? Pertanyaannya adalah; ‘apa kamu juga sangat memedulikan orang itu? Merasa nyaman?’ lalu diakhiri kata,
Bia terdiam. Mencerna perkataan si tuan muda. Mencoba mengingat kembali saat dia membawa Bian imunisasi lalu ... ah, dia ingat. Waktu itu si tuan muda bilang; ‘ingat posisimu, pengasuh’. Dia memang merasa sakit waktu itu. Tapi, rasa sakitnya sudah hilang. Tak disimpan lama-lama dalam hati. Bia berusaha melupakannya. Dia segera menggeleng. “Tuan nggak perlu minta maaf. Sa-saya juga salah. Saya cuma kasih tahu Tuan Besar, nggak tuan Adrian.”Senyum yang tadinya tersemat cuma tipis, kini terukir lebar. Lama-lama menjadi kekehan kecil lalu tawa. Suasana yang semula sendu karena si gadis menangis berubah drastis sebab tawa halus meluncur dari bibir tipis si Biman muda. Tawa ringan yang mencairkan hawa dingin. Tawa yang membuat linangan air mata berhenti. Tawa yang membuat satu organ di dada berdegup keras. Tawa yang menghangatkan udara malam.Bia terhenyak. Menikmati suara tawa yang kedua kali dia dengar. Tawa dari si Biman muda yang membuat jantungnya jadi berdebar-debar dan wajahnya pana
Dua pertanyaan yang diajukan dengan nada santai barusan membuat gadis berpakaian sederhana yang kebingungan jadi kelabakan. Dia buru-buru–tetap merasa ragu–duduk di sebelah si tuan muda di sisi yang kosong. Memberi sedikit jarak agar tidak menempel atau bersentuhan dengan si tuan muda. Bia gugup, tentu saja. Pertama, posisi duduk yang bersebelahan–walau dia memberi celah–tetap terbilang dekat. Kedua, dia tak tahu apa yang ingin dibicarakan oleh si tuan muda. Apa tentang hari ini? Kehebohan yang terjadi? Tentang Bian? Atau malah si gadis yang menjadi calon istri?Suara jangkrik terdengar. Ahem.Si gadis duduk sembari menautkan kedua jemari. Dia sedang bingung dan gugup. Bertanya-tanya dalam hati apa yang ingin dibicarakan oleh si tuan muda. Sedang si Biman muda menarik napas lalu dihembuskan. Sejenak menenangkan diri. Oh, bukan karena dia bakal mengajak bicara si pengasuh, tetapi karena lelah batin yang dirasa karena kejadian yang cukup menguras emosi hari ini.“Aku nggak berharap bany
“Rabia nggak mungkin kayak gitu.” Adnan memberanikan diri bersuara.Agam menghela di tegangnya suasana. “Iya. Saya juga tahu, Bia nggak akan seperti itu.”Adam menyungging seringai tipis mendengarnya. Sementara Naomi tak percaya jika Bimantara-Bimantara lain tak ada yang membela. Dia melirik ke arah calon ayah mertua, ibu mertua dan kakak ipar yang sama sekali tak melihat ke arahnya. Pun orang yang dia sukai ternyata diam di tempat tanpa mencoba menyelamatkan dirinya. Kenapa mereka semua malah membela perempuan udik itu?“Yeah ..., saya tahu,” imbuh si Tuan Paling Besar. Dia kembali menatap si gadis cantik bersurai lurus. “Kamu tahu kenapa?”Naomi menelan ludah. Dia tidak berdaya.“Bia mempunyai naluri seorang ibu, sedangkan kamu tidak.”Kalimat sang Bimantara senior barusan menohok seorang pemuda di tempatnya bersimpuh. Naluri seorang ibu? Si pengasuh juga pernah membahasnya. Orang yang bisa merawat Bian mesti memiliki naluri seorang ibu.“Saya rasa Bia malah menganggap Bia seperti a
“Tadi pagi siapa saja yang bareng sama Bian?” Tanya sang Biman senior sembari membenarkan posisi baju si gembul dan membiarkan bayi buntal itu bermain-main sendiri di karpet; berguling ke kiri dan ke kanan, telungkup lalu tertawa sendiri. Melakukan itu berulang-ulang.Sebenarnya enggan mengatakannya, sebab Bia tidak bisa memastikan. Kalau salah tunjuk, bagaimana? Dia yang bakal menanggung. Apalagi sikap menghakimi tanpa bukti kan salah. Tapi, tidak ada orang lain yang bersama Bian waktu itu. Si gadis menghela. Pun karena sudah terjadi dan membuat bayinya terluka, dia tak ingin kejadian serupa terulang.“Saya nggak mau nuduh. Tapi, orang yang terakhir kali sama Bian adalah Nona Naomi.” Katanya serius menatap mata hitam milik sang Bimantara.“Naomi?” Adam mengulang. “Naomi Wibowo?”“Nona Naomi kemari untuk belajar rawat Bian sebagai calon istri Tuan Adrian,” Bia memberitahu. Ini bukan rahasia, kan? Semua penghuni rumah tahu.Sang Biman senior tahu; dia tak bisa ikut campur untuk masalah