Suara bel yang kencang terdengar di seluruh penjuru rumah. Tak memakan waktu lama pintu utama segera terbuka dan menampakkan seorang perempuan paruh baya dari balik pintu.
“Selamat malam. Selamat datang di kediaman Bimantara.” Sapaan hormat dilontar oleh perempuan paruh baya yang terlihat seperti petugas pelayanan di kantor-kantor jasa. “Mau bertemu siapa?” tanyanya sopan.Gadis berkuncir satu ini mengangguk kikuk, “Se-selamat malam. Sa-saya mau ketemu yang punya rumah, katanya mereka lagi cari babysitter. Jadi, saya mau calonkan diri.”“Silahkan masuk. Saya akan panggil Tuan rumah.” Ujar perempuan paruh baya ini. Bergeser sedikit dari pintu sehingga menciptakan celah.Perempuan yang masih kelihatan sangat muda ini mengangguk lagi lalu berjalan masuk sambil memperbaiki tali tas yang tersampir di pundak mendahului perempuan paruh baya yang mungkin adalah asisten atau maid–entahlah. Dia dipersilahkan duduk di sofa di ruang tamu, sementara perempuan tadi menghilang di lorong yang kemungkinan memanggil sang Tuan rumah.Selagi menunggu, dia memandangi keadaan ruang tamu. Dekorasinya simple. Empat sofa berbeda ukuran mengelilingi sebuah meja persegi panjang yang dilapisi taplak bermotif bunga dan dihiasi bunga plastik. Dindingnya dihiasu lukisan pemandangan alam. Hanya begitu. Tidak ada aksen lain. Yah, begini saja sudah cukup, sih.Seorang perempuan datang ke ruang tamu sembari menggendong bayi. Duduk di hadapan si gadis berpakaian sederhana dan memandanginya intens. Sedang si bayi tampak sibuk menggigiti mainan karet berbentuk bebek.“Maaf ...,” suara Nyonya Bimantara mengalihkan fokus perempuan di depannya, “Kamu mau mencalonkan diri sebagai babysitter? Kamu yakin?” dia kira yang datang adalah seorang perempuan yang sudah berumur seperti kebanyakan ART yang bekerja di rumah. Tapi, ternyata masih sangat muda. Apa tahu cara merawat bayi?Untuk merawat si gembul, Rosa tak mau memperkerjakan sembarangan orang. Nanti cucunya juga dirawat sembarangan. Apalagi banyak kasus pengasuh anak yang kasar pada anak yang diasuh. Pun, dia kira putra bungsunya menghubungi agen penyalur pembantu. Tapi, perempuan itu datang sendiri. Tanpa agen? Bagaimana bisa sampai kemari?Si gadis berkuncir satu ini mengukir senyum kecil lalu mengangguk. “Saya punya pengalaman mengasuh bayi, saya yakin, Bu.” Katanya.Sang Nyonya Bimantara masih belum bisa meyakinkan dirinya. Meski punya pengalaman, entah mengapa dia tak dapat percaya begitu saja. Rosa berusaha tersenyum agar perempuan di depannya tidak merasa terlalu cepat di tolak, “Um ..., saya bicarakan sama suami dan anak-anak saya dulu, ya. Sebentar ....” bangkit berdiri dan beranjak dari ruang tamu.Malam begini, anggota keluarga Bimantara biasanya berkumpul di ruang tengah. Meski melakukan kegiatan masing-masing; pastinya mereka ada di sana. Rosa buru-buru menghampiri sang suami yang sedang menonton televisi.“Pa ..., ada yang mau jadi babysitter untuk Bian,” ujar Rosa memberitahu.Adnan yang sedang mengetik di laptop mendongak, “Loh, bukannya bagus, ma? Langsung ada yang datang ke sini.”“Aku nggak masukin alamat rumah ini di iklan.”Kalimat si bungsu membuat anggota yang lain saling pandang bertatapan–kecuali si gembul yang tidak peduli dan hanya fokus memencet-mencet mainan karetnya.Mereka diam beberapa saat hingga semuanya bergegas meninggalkan ruang tengah menuju ruang tamu. Di sana sosok perempuan berkuncir satu dan berpakaian sederhana duduk di salah satu sofa. Menunduk sambil menautkan ke sepuluh jarinya. Agam berdeham membuat gadis itu mengangkat kepala dan melihat seluruh anggota Bimantara berdiri di dekatnya.Memandangi mereka satu-persatu hingga sorotnya terhenti sewaktu bertatapan dengan si bungsu. Gadis ini cepat-cepat mengalihkan perhatian.Sang Kepala keluarga diikuti istri serta anak-anaknya menempati semua sofa ruang tamu. Menatap perempuan yang datang ke rumah mereka mengatakan ingin menjadi babysitter.“Bisa perkenalkan diri kamu?” sang Tuan rumah–Agam–angkat bicara.Si gadis berkuncir satu mengangguk, “Saya Rabia Anjasari. Sembilan belas tahun. Lulus SMA tahun lalu. Saya punya pengalaman mengasuh bayi.”Agam mengangguk. Masih sangat muda. Lulus tahun lalu pula. Mestinya bisa mencari pekerjaan lain dibanding menjadi babysitter atau pengasuh. Hm ....“Gimana kamu tahu kalau kami yang buat iklan mencari babysitter?” Adrian bertanya. Merasa ganjil terhadap perempuan di depannyam darimana dia tahu rumah ini? Dia sama sekali tidak mencantumkan identitas apapun tentang Bimantara.Perempuan bernama Rabia ini tidak mau memandang ke arah Adrian. Dia sedikit menunduk dan menjawab pertanyaan itu, “Ma-maaf. Saya nggak sengaja dengar waktu bantu bawain barang-barang di depan toko.”“Toko? Toko apa?”“Saya nggak tahu pastinya, tapi nama tokonya Rosa Galery.” Jelas Bia, tetap tak mengarahkan pandangannya pada si bungsu yang mencecar pertanyaan.Rosa tersentak. Gerak-gerik sang Nyonya tertangkap mata oleh Agam dan Adnan. Sontak saja si sulung mendelik pada mamanya. Nah, sekarang mereka tahu siapa yang membocorkan identitas–mereka yang mencari babysitter. Adrian sendiri menghela ketika nama galeri sang Mama disebut. Berarti Rosa dan Bia secara tak sengaja bertemu lalu seakan diajak kemari untuk bekerja.“Ya udah. Tapi, apa kamu yakin bisa jadi babysitter? Kamu masih muda, pasti bisa cari pekerjaan lain yang lebih pantas.” Usul Rosa. Rasanya tidak tega mengizinkan si gadis muda menjadi pengasuh bayi. Tidak elit sama sekali.Kepala yang rambutnya diikat satu makin menunduk, “Saya ... semua dokumen-dokumen saya hilang karena di rampok. Saya dari desa, kalau balik lagi ... ma-maaf, kalau Tuan dan Nyonya terima saya, saya bersedia nggak dibayar. Tapi, izinin saya tinggal di sini. Saya nggak punya tempat tinggal.”Rosa dan Agam saling berpandangan. Merasa iba pada perempuan di hadapan mereka. Sang Nyonya Bimantara mengalihkan tatapan pada kedua putranya. Berbicara dari ekspresi mereka. Adnan setuju dan tidak merasa keberatan, sedang Adrian tampak tak yakin.“Rabia, begini ... kalaupun kami setuju, kamu harus bisa ambil hati Bian,” kata sang Nyonya lalu memposisikan si bayi di pangkuannya menyebabkan mainan karet yang sejak tadi menjadi fokus si gembul jatuh, “Dia yang nentuin apa kamu bisa jadi pengasuhnya.“Saya ngerti, Bu.” Balas Bia pasrah.“Nah, coba kamu panggil,” pinta Rosa.Yah, meskipun si bayi tidak rewel dan mau saja digendong orang lain, tapi belum tentu mau begitu saia menerima orang baru di sisinya. Apalagi Rabia akan hampir dua puluh empat jam berada di dekat Bian. Bisa jadi bayi ini mulai rewel dan menolak. Tidak mau berdekatan dengan pengasuhnya. Karena Adrian sewaktu kecil juga begitu. Suka dengan siapa saja yang menggendongnya, namun menolak tiap pengasuh yang bertugas menjaganya. Alhasil Rosa tak bisa lepas mengawasi si bungsu.Hm, apa sifat Bian akan seperti Adrian? Buah kan jatuh tidak jauh dari pohonnya.Akhirnya kepala Bia terangkat, memandang bayi di pangkuan Rosa–yang terus melihat ke bawah dimana mainannya jatuh–dengan pandangan rindu. Tanpa diketahui siapapun, bibir gadis ini memoles senyum tipis. Ujung bibirnya naik sedikit. Dia mengangguk atas permintaan sang Nyonya, “Bian ....”Bayi yang tengah menunduk itu menengadah saat merasa dipanggil. Irisnya yang berbinar bertemu sorot teduh dari perempuan di depan. Abian yang memang sedang tak terlalu aktif tiba-tiba tertawa. Tangannya memanjang seakan ingin menggapai Bia bersamaan dengan tubuhnya terdorong ke depan.“Ah! Mm! Mm! Mmm~!” si gembul mengeram. Memaksa tubuhnya maju. Ingin segera meraih orang yang ada di depannya.Mau tak mau Rosa bangkit lalu menyerahkan Bian pada Bia. Bayi itu kegirangan, melompat-lompat di dekapan si perempuan berkuncir satu.“Aah!” kedua tangan kecil si gembul menepuk pipi Bia, senyum tak pudar dari wajahnya. “Aaah! Mm! Mm-mm-mah! Mah!” dia terus berceloteh dengan bahasa sendiri.Melihat itu ... tampaknya Bian menerima si perempuan yang akan menjadi pengasuhnya. Para Bimantara lain juga yang selama beberapa hari ini melihat si gembul tidak tahu jika Bian bisa selincah dan seceria itu bersama seseorang. Dia kelihatan sangat menyukai perempuan bernama Rabia tersebut.Kamu kangen, ya? Sama. Mama juga kangen banget sama Abi. Retina cokkat milik Bia berbayang. Buliran bening menumpuk di mata. Dia pengin nangis!***“Ini kamar kamu,” ujar putra sulung Bimantara seraya membuka sebuah pintu yang di baliknya terdapat kamar yang sudah lengkap dengan ranjang, lemari dan beberapa properti lain yang biasa ada di kamar. “Kamu bisa kerja mulai besok pagi. Sekarang, istirahatlah,” sambungnya.“Um, Tuan,” Bia terdengar ragu, “Bian gimana?”Ah, bayi kecil itu. Adnan merasa sedikit kasihan karena Bian menangis kencang sewaktu dipisahkan dari si gadis yang bakal menjadi pengasuhnya. Seakan-akan tidak mau dijauhkan dari Bia. Tangisnya membuat semua orang yang berada di sekitar menjadi tidak tega dan kasihan. Tapi, mereka tak bisa langsung menyerahkan Bian begitu saja dalam pengawasan Bia. Setidaknya tunggu sampai si gadis benar-benar di waktu bekerja.Meski pada akhirnya si gembul tertidur karena kelelahan menangis. Menyisakan kesunyian diantara mereka sampai sang Kepala keluarga buka suara meminta Adnan mengantar Bia ke sebuah kamar. Pun hari sudah malam dan waktunya istirahat.“Yah, aku cuma bisa bilang Bian
Tangis bayi Bian tiba-tiba mereda–meski tidak berhenti menangis, tapi tangisnya yang kencang dan cukup membuat telinga berdengung mulai mengecil. Hanya isak-isak tangis biasa. Si bayi yang berada di pelukan sang Nyonya kembali bergerak-gerak, kali ini gerakannya seakan ingin maju dengan kedua tangan memanjang ke arah Bia.“Hng! Hng! Hng!” si gembul mengeram sambil menatap si gadis biasa dan berusaha meraih seseorang yang dicari-cari sejak tadi.Bia terenyuh. Sungguh.“Bo-boleh saya gendong, Nyonya?” tanya Bia dengan mata berkaca. Dia bersyukur ruangan ini cukup gelap sehingga Rosa tak akan melihat matanya yang basah.Melihat reaksi Bian yang juga berusaha meraih si gadis biasa, mau tak mau Rosa memberikan si gembul ke pelukan Bia. Dan sangat ajaib, Bian berhenti menangis. Bayi itu mendusel-dusel wajah ya ke dada Bia. Tanpa sepengetahuan Rosa, Bian yang berada di pelukan si gadis, menjalari dada Bia dengan mulutnya. Membuat gadis berusia sembilan belas tahun itu berjengit.“Ma-maaf, Ny
Sri yang sudah seperti kepala pelayan–karena tetap bersikap sopan terhadap Bia meski sesama pekerja rumah tangga atau mungkin memang sikapnya begitu? Entahlah. Meninggalkan si gadis biasa dan bayi Bian yang menguap lebar. Si gembul itu sepertinya mulai terjaga, matanya yang sayu mengerjap kemudian merapatkan badan ke tubuh yang dikenali adalah ibunya.“Bian mandi dulu ya,” Bia masuk ke dalam kamar mandi. Melepas seluruh pakaian si bayi yang membuat Bian sedikit bergidik. Sebelum memasukkan si gembul ke tempat mandinya, dia menampung sedikit air menggunakan tangan dan di usapkan ke tubuh Bian. Agar tidak terkejut ketika berendam nanti.Dirasa cukup, Bia memasukkan si bayi. Ya, Bian tidak menangis. Si gembul dengan pipi cubitable itu–yang baru sadar bertemu air–seakan kehilangan kantuknya. Tangannya bergerak menepuk-nepuk sehingga air terciprat dan mengenai Bia. “Iya, Bian lagi mandi. Gimana? Seneng? Nggak dingin, kan?” dia mengajak si bayi berbicara yang hanya disahuti tawa tanpa suara
Seperti yang dikatakan oleh sang Ibu majikan, selagi bayi Bian tidur, Bia dipersilahkan membantu pekerjaan rumah tangga. Hal itu yang dilakukan si gadis biasa sekarang. Setelah memastikan si gembul aman dan nyenyak, dia mencari Sri dan bertanya apa yang dapat dia bantu. Perempuan yang sangat sopan itu–meski terhadap sesama pekerja rumah tangga–meminta si gadis biasa untuk merapikan ruang tengah sebab sebentar lagi para Bimantara akan pulang. Mereka sering menggunakan ruang tersebut, jadi sesegera mungkin dirapikan dan dibersihkan.Dengan senang hati Bia melakukannya. Mengatur bantal-bantal di sofa, membersihkan debu–ah, dia sempat diajari cara menggunakan vacum cleaner oleh Minah. Tentu si gadis biasa sedikit kaku karena dia tak pernah menggunakan alat itu sebelumnya. Dia hanya mengerti cara manual membersihkan debu. Tapi, pekerjaannya tidak terlalu berat dan dia dapat melakukannya dengan baik.“Oh, Rabia.”Sebuah suara menginterupsi kegiatan si gadis biasa yang hampir selesai merapi
Suara tangis bayi terdengar di penjuru rumah. Membuat para Bimantara yang sedang bersantai di ruang tengah serentak menghentikan kegiatan mereka dan beranjak menuju asal suara. Yah, si bungsu sih ditarik paksa oleh kakaknya karena bersikap acuh dan tak peduli, padahal yang menangis asalah anaknya. Sejak Bia mengasuh Bian, Adrian seperti makin tidak peduli. Maka dari itu Adnan geram sekali rasanya.Mereka tiba di dapur dan melihat Bian yang meronta ketika diberi susu. Bia tampak kewalahan menggendong si bayi dan Minah yang berusaha membujuk Bian agar mau meminum susu. Namun, si gembul yang diusianya yang hampir memasuki tujuh bulan sehingga beratnya bertambah membuat sulit menahannya ketika bergerak liar.“Ayo, Tuan Bian. Minum susu dulu. Nanti dingin, nggak enak, loh!” ujar Minah sembari mengusap-usap pipi Bian yang masih menangis kencang.Yah, meski sudah pasti si gembul tidak mungkin mengerti apa yang dikatakan oleh perempuan itu.“Bian sayang ..., hus, hus, jangan nangis.” Si penga
Tak ada pembicaraan di dalam mobil. Adrian fokus menyetir, sedang si gadis biasa duduk di sebelah kursi pengemudi. Tadi, sebelum berangkat si bungsu yang menyuruh Bia duduk di sebelahnya. Dia merasa seperti sopir jika gadis itu duduk di belakang walau tengah menggendong Bian.Si bayi gembul juga tidak menangis lagi, malahan terkantuk-kantuk sebab kelelahan memberontak, namun tetap tak mendapatkan apa yang diinginkan. Bia mengusap-usap puncak kepala Bian dan sesekali mengecup keningnya. Si bayi gembul kelihatan sangat nyaman atas perlakuan Bia ditambah suasana sunyi, AC mobil yang diatur agar tidak terlalu dingin dan detakan dari ibunya yang bagai lantunan lagu tidur menambah kenyamanan si gembul sehingga lima menit mobil melaju dia sudah nyenyak dipelukan si pengasuh.Degup jantung si gadis biasa sebenarnya sangat cepat. Napasnya hampir tersendat. Namun, dia menutupi semuanya agar tidak mencurigakan. Apalagi ada Bian yang membantunya dapat fokus hanya kepada si gembul. Jadi otak Bia t
Iris coklat bening milik seorang bayi bertubuh gembul sudah ditutup kelopak; matanya terpejam walau mulut tetap bekerja menyedot susu dari dalam botol. Ya, si gembul bernama Bian ini sudah mau minum susu formula. Tidak menolak lagi. Mungkin dia ingat dengan rasa susu formula yang sering di cicip sebagai pengganti ASI. Posisinya berbaring terlentang dengan mulut yang maju karena menyedot isi botol.Ketika isi botol habis dan Bian tampak nyenyak, Bia yang berbaring di sebelahnya melepas dot dari mulut si bayi dan meletak botol kosong ke atas nakas. Dia memandangi Bian sejenak, mengusap kening si gembul dan mendaratkan kecupan ringan di pipi gembilnya. Dia sangat menyayangi si bayi. Prioritas Bia saat ini adalah tumbuh kembang Bian yang dapat dia pantau. Berada dekat dengan bayinya saja sudah cukup, Bia tidak membutuhkan hal lainnya lagi.Si gadis biasa menghela kemudian bangkit dari ranjang. Pelan-pelan memindahkan tubuh gembul si bayi ke pelukannya. Dia mesti memberikan Bian pada putra
Ada rasa syukur di hati sang Nyonya. Karena kehadiran Bian, Adrian sedikitnya berubah. Meski baru awal, tapi semoga si bungsu itu bisa terbuka. Untuk keluarga maupun orang lain. Mengurangi muka datar dan mulutnya yang bagai terkunci rapat.Sedang si gadis biasa hanya menyungging senyum tipis. Adrian yang ini sangat berbeda. Seperti orang lain. Bukan sosok laki-laki yang tersimpan dalam otaknya.“Oh, Bia bisa ambilin aku ini?” Si bungsu menarik perhatian Bia yang mengarahkan pandangan pada mangkuk yang ada di depan Rosa–yang ditunjuk oleh si pemuda tampan–mangkuk berisi sup.Rosa memanjangkan tangan, “Sini biar Bian saya gendong.”Si pengasuh menyerahkan si gembul pada sang Nyonya lalu menunduk pada dua Bimantara di depannya dan berlalu. Bian masih anteng, masih tampak bahagia, masih berceloteh sendiri. Mungkin memang moodnya sedang bagus. Si bayi bermain-main sendiri dengan rambut panjang sang Nyonya yang tergerai.Melihat bayi itu kegirangan, Adrian tanpa sadar mencubit pipi gembilny