“Ini, gendong Bian. Mama mau pergi. Duh, udah telat.” Nyonya Bimantara–Rosa menyerahkan begitu saja bayi berusia enam bulan ke dalam dekapan putra bungsunya–yang tentu dengan sigap Adrian terima.
Bayi, loh!Mamanya seenaknya menyerahkan Bian–mereka memanggilnya begitu, karena rasanya Abian terlalu panjang–tanpa pandang kiri-kanan kemudian berlalu sembari menggumam jika sudah terlambat. Argh! Kenapa mesti Adrian yang menggendong atau menjaga si bayi ketika mamanya ingin pergi?“Ma! Aku ngambil libur hari ini bukan buat jadi pengasuh Bian!” jerit Adrian tak terima. Hah! Dia sengaja libur memang karena ingin istirahat, bukan menjaga si gembul yang tak protes atau rewel diserahi pada ayahnya.Abian memang bayi yang ceria dan hyperactive, tapi tidak menyusahkan. Bayi lucu itu cenderung suka digendong, jadi siapa pun yang menggendong dia hanya akan tertawa tanpa suara dan tenang. Hmph, gampang sekali untuk diculik.Rosa berbalik setelah mendengar ucapan putra bungsunya, “Trus siapa yang jaga Bian? Para asisten rumah tangga sibuk. Papa kamu ada meeting, Adnan juga ada pertemuan dengan client trus mama pun harus ketemu client sekarang!”“Tapi ....”“Nggak ada tapi-tapi, jaga Bian. Jangan lupa buatin susu dan ganti popoknya!” peringat sang Nyonya yang lalu melanjutkan langkah.Aku mana bisa lakuin itu semua! Itu pekerjaan para ibu! Adrian mendumel dalam hati. Astaga~ mengapa hari ini jadi begini? Niatnya ingin bersantai malah di repotkan menjaga bayi. Meski Abian anteng saja dalam gendongannya.Keluarga Bimantara memang keluarga yang sibuk. Masing-masing memiliki pekerjaan. Adnan dan Adrian bekerja di perusahaan yang dirintis oleh sang Ayah; Agam Bimantara. Perusahaan apa itu tanya saja pada yang bersangkutan. Pun Rosan mempunyai usaha sendiri; membuka galery wedding organizer. Jika ada client, dia bisa sibuk sampai hari H–atau bisa beberapa minggu.Memperkerjakan tiga asisten rumah tangga yang tinggal di dalam rumah dan beberapa yang pulang hari mempunyai pekerjaan masing-masing–yang tak mungkin direpotkan lagi mengurus bayi. Beberapa hari kemarin Rosa tak sibuk, jadi bisa mengawasi Bian. Lain ceritanya hari ini saat dia dihubungi bila ada client yang ingin menggunakan jasa WOnya.“Aku cari babysitter untuk Bian ya,” sebuah ide tercetus dari mulut si bungsu Bimantara.Membuat langkah sang Mama terhenti sekali lagi. Membalik badan dan memandang Adrian dengan bintang-bintang di mata. “Good job! Ide bagus. Tapi, mama yang bakal wawancara calonnya nanti ya. Dah~” dan meninggalkan Adrian.Si bungsu menghela. Dia berjalan ke ruang keluarga atau tengah dan mendudukkan diri di sofa. Menyandarkan punggung. Si bayi berpindah ke pangkuannya di posisikan duduk menyandar ke perut Adrian. Bian kan belum bisa duduk sendiri.“Okeh ...,” Adrian mengeluarkan ponselnya dari saku dan mulai menyalakan layar. Cahaya dari ponsel menarik perhatian Bian sehingga matanya terus mengarah pada benda hitam di tangan sang Ayah. “Kita buat iklan mencari babysitter untuk kamu.” Katanya.Baby Bian hanya diam. Fokus penglihatannya mengarah pada layar ponsel sang Ayah yang tampak menarik. Mengikuti kemana pun ponsel itu digerakkan oleh Adrian. Sesekali tangan Bian menepuk-nepuk sendiri kakinya dan tertawa karena melihat hal baru.Si bungsu membuka salah satu aplikasi job yang baru di unduh di ponsel; memiliki fitur membuat iklan dan mengjsi tiap-tiap kolom–spesifikasi untuk calon pelamar dan nomor telepon yang dihubungi. Berhubung mamanya yang mau wawancara, jadi dia memasukkan kontak sang Mama. Tapi, Adrian tidak menyertakan alamat kediaman Bimantara–takut jika yang datang atau menghubungi mamanya bukan karena pekerjaan yang ditawarkan, tetapi meneror keluarga mereka.Ah, pandangan Adrian terhadap prilaku orang-orang–khususnya perempuan–yang mengidolakannya adalah teror. Ahem. Karena keluarga Bimantara termasuk salah satu keluarga yang menjadi sorotan publik; anggotanya sering menjadi topik di media massa atau online. Dia tidak suka kehidupan pribadinya di kulik dan di papar menjadi berita. Apalagi dengan fisik mereka yang tampan dan cantik, tentu menjadi perhatian banyak orang. Namun, si bungsu tidak suka menjadi objek pembicaraan dalam bidang apapun.“Okay, udah selesai.” Adrian menyimpan kembali ponselnya. Tidak menyadari si bayi di pangkuan mengikuti gerakan tangannya yang memasukkan ponsel ke saku celana sehingga tubuh Bian makin lama makin miring kemudian jatuh ke sofa di sebelahnya.Huh?Bian tidak menangis. Si bayi malah tertawa tanpa suara. Dia mencoba bergerak-gerak, memiring-miringkan badan. Tapi tidak berhasil. Tubuhnya tetap seperti sewaktu jatuh, tertelungkup di sofa. “Mm! Mmm!” Bian mengeram karena tak mampu bergerak.“Ha-ha ...,” Adrian tertawa kecil, mengambil tubuh kecil itu dan kembali memangku–dengan posisi berhadapan. “Tidak bisa membalik, hm?”Bibir si gembul terbuka lebar, memperlihatkan gusinya yang belum ditumbuhi gigi. Raut wajah Bian tampak girang. Lalu menggerakkan badannya naik-turun. Melonjak-lonjak di paha sang Ayah.Senyum tipis terbit di bibir si bungsu. Dia memang belum mengakui Bian sebagai putranya; belum bisa menerima si bayi adalah keturunan Bimantara dari dirinya, namun ... bukan berarti dia akan bersikap ketus dan menjauhi Bian. Si gembul berpipi chubby minta digigit itu masih bayi, tidak mengerti apapun–tidak wajar bila dia menghindari si bayi. Jadi, setidaknya Adrian memperlihatkan sosialisasinya sebagai manusia, sebagai seseorang yang memiliki nurani, otak dan perasaan.Yah ..., tidak buruk juga menghabiskan waktu dengan si gembul yang tak rewel ini.** Menarik napas dalam lalu dihembuskan. Melakukannya beberapa kali untuk menetralkan degup jantung yang tidak beraturan sembari memandang bangunan besar di balik pagar. Meski sudah berusaha tenang, tapi tetap saja detak di dada bukannya kembali normal malah makin kencang seraya dia melihat seorang laki-laki berpakaian security terlihat di pos penjaga. Bia memejam mata sebentar. Mengucap doa di dalam hati, sekali lagi menarik napas lalu berjalan ke pos penjaga.“Pe-permisi, Pak.” Katanya memanggil laki-laki berbadan besar berseragam petugas keamanan yang biasa dilihat di rumah-rumah gedong atau orang kaya.Laki-laki tadi menundukkan kepala supaya wajahnya bisa dilihat dari jendela kecil di posnya, “Ya?”“Sa-saya mau lamar pekerjaan di sini. Katanya yang punya rumah lagi cari babysitter.” Bia menjelaskan dengan gugup. Pasalnya pekerjaan yang dia bilang cuma sekedar dengar saja. Tak tahu apakah benar-benar mencari orang atau sudah dapat atau dia salah dengar atau malah salah presepsi. Tapi, yang penting datang dulu dan mengkonfirmasi.“Oh, sebentar ya mbak. Saya tanyain dulu.” Kata si petugas keamanan kemudian berbalik.Bia melihat laki-laki besar yang kelihatan menakutkan karna posturnya yang tinggi-besar, namun nada bicaranya ramah sedang menelpon. Mungkin bermaksud bertanya kebenaran yang dia sampaikan tadi. Tak lama petugas tadi kembali ke dekat jendela dan memperlihatkan wajahnya.“Saya udah konfirmasi. Sebentar saya buka gerbangnya.” Ujar si petugas keamanan sangat santun.Gerbang besar yang berada di depan perempuan yang menguncir satu rambut panjangnya pelan-pelan terbuka sendiri. Dia menghela. Sekali lagi berusaha menenangkan diri. Terlebih saat setelah gerbang dibuka dan memperlihatkan rumah besar berhalaman luas terpampang di depannya. Bia menelan ludah. Dia sudah sampai di sini. Tinggal berjalan beberapa langkah lagi.“Silahkan, mbak.” Si petugas keamanan muncul di sisi kiri dekat pos penjaga. Mempersilahkan perempuan yang memakai baju sederhana yang berdiri di depan gerbang tadi masuk.Bia mengangguk, “Terima kasih, Pak.” Katanya dan matanya kembali fokus pada rumah besar di hadapannya. Berapa kali sudah dia menghela, menghembus dan menarik napas saat tiba di sini? Di area perumahan yang ukurannya besar; perumahan orang-orang kaya. Detak jantung yang hampir normal kembali beroperasi kencang. Memperbaiki posisi tas yang ukurannya cukup besar–seperti tas yang biasa dipakai atlet–dia mempersiapkan diri.Satu langkah. Dia berhasil melakukannya. Dua langkah. Berlanjut langkah-langkah selanjutnya–tak dihitung lagi. Hingga sampai di pekarangan rumah. Dia mesti menaiki tiga anak tangga supaya tiba di teras. Kemudian berjalan sedikit dan akhirnya berada di depan pintu berwarna coklat dengan handle yang kemungkinan terbuat dari besi–entah, Bia tidak tahu dan tak mau memikirkannya. Ragu-ragu tangannya memanjang dan menekal saklar kecil yang dia tahu adalah bel. Biasanya begitu, kan? ***Suara bel yang kencang terdengar di seluruh penjuru rumah. Tak memakan waktu lama pintu utama segera terbuka dan menampakkan seorang perempuan paruh baya dari balik pintu.“Selamat malam. Selamat datang di kediaman Bimantara.” Sapaan hormat dilontar oleh perempuan paruh baya yang terlihat seperti petugas pelayanan di kantor-kantor jasa. “Mau bertemu siapa?” tanyanya sopan.Gadis berkuncir satu ini mengangguk kikuk, “Se-selamat malam. Sa-saya mau ketemu yang punya rumah, katanya mereka lagi cari babysitter. Jadi, saya mau calonkan diri.”“Silahkan masuk. Saya akan panggil Tuan rumah.” Ujar perempuan paruh baya ini. Bergeser sedikit dari pintu sehingga menciptakan celah.Perempuan yang masih kelihatan sangat muda ini mengangguk lagi lalu berjalan masuk sambil memperbaiki tali tas yang tersampir di pundak mendahului perempuan paruh baya yang mungkin adalah asisten atau maid–entahlah. Dia dipersilahkan duduk di sofa di ruang tamu, sementara perempuan tadi menghilang di lorong yang kemungk
“Ini kamar kamu,” ujar putra sulung Bimantara seraya membuka sebuah pintu yang di baliknya terdapat kamar yang sudah lengkap dengan ranjang, lemari dan beberapa properti lain yang biasa ada di kamar. “Kamu bisa kerja mulai besok pagi. Sekarang, istirahatlah,” sambungnya.“Um, Tuan,” Bia terdengar ragu, “Bian gimana?”Ah, bayi kecil itu. Adnan merasa sedikit kasihan karena Bian menangis kencang sewaktu dipisahkan dari si gadis yang bakal menjadi pengasuhnya. Seakan-akan tidak mau dijauhkan dari Bia. Tangisnya membuat semua orang yang berada di sekitar menjadi tidak tega dan kasihan. Tapi, mereka tak bisa langsung menyerahkan Bian begitu saja dalam pengawasan Bia. Setidaknya tunggu sampai si gadis benar-benar di waktu bekerja.Meski pada akhirnya si gembul tertidur karena kelelahan menangis. Menyisakan kesunyian diantara mereka sampai sang Kepala keluarga buka suara meminta Adnan mengantar Bia ke sebuah kamar. Pun hari sudah malam dan waktunya istirahat.“Yah, aku cuma bisa bilang Bian
Tangis bayi Bian tiba-tiba mereda–meski tidak berhenti menangis, tapi tangisnya yang kencang dan cukup membuat telinga berdengung mulai mengecil. Hanya isak-isak tangis biasa. Si bayi yang berada di pelukan sang Nyonya kembali bergerak-gerak, kali ini gerakannya seakan ingin maju dengan kedua tangan memanjang ke arah Bia.“Hng! Hng! Hng!” si gembul mengeram sambil menatap si gadis biasa dan berusaha meraih seseorang yang dicari-cari sejak tadi.Bia terenyuh. Sungguh.“Bo-boleh saya gendong, Nyonya?” tanya Bia dengan mata berkaca. Dia bersyukur ruangan ini cukup gelap sehingga Rosa tak akan melihat matanya yang basah.Melihat reaksi Bian yang juga berusaha meraih si gadis biasa, mau tak mau Rosa memberikan si gembul ke pelukan Bia. Dan sangat ajaib, Bian berhenti menangis. Bayi itu mendusel-dusel wajah ya ke dada Bia. Tanpa sepengetahuan Rosa, Bian yang berada di pelukan si gadis, menjalari dada Bia dengan mulutnya. Membuat gadis berusia sembilan belas tahun itu berjengit.“Ma-maaf, Ny
Sri yang sudah seperti kepala pelayan–karena tetap bersikap sopan terhadap Bia meski sesama pekerja rumah tangga atau mungkin memang sikapnya begitu? Entahlah. Meninggalkan si gadis biasa dan bayi Bian yang menguap lebar. Si gembul itu sepertinya mulai terjaga, matanya yang sayu mengerjap kemudian merapatkan badan ke tubuh yang dikenali adalah ibunya.“Bian mandi dulu ya,” Bia masuk ke dalam kamar mandi. Melepas seluruh pakaian si bayi yang membuat Bian sedikit bergidik. Sebelum memasukkan si gembul ke tempat mandinya, dia menampung sedikit air menggunakan tangan dan di usapkan ke tubuh Bian. Agar tidak terkejut ketika berendam nanti.Dirasa cukup, Bia memasukkan si bayi. Ya, Bian tidak menangis. Si gembul dengan pipi cubitable itu–yang baru sadar bertemu air–seakan kehilangan kantuknya. Tangannya bergerak menepuk-nepuk sehingga air terciprat dan mengenai Bia. “Iya, Bian lagi mandi. Gimana? Seneng? Nggak dingin, kan?” dia mengajak si bayi berbicara yang hanya disahuti tawa tanpa suara
Seperti yang dikatakan oleh sang Ibu majikan, selagi bayi Bian tidur, Bia dipersilahkan membantu pekerjaan rumah tangga. Hal itu yang dilakukan si gadis biasa sekarang. Setelah memastikan si gembul aman dan nyenyak, dia mencari Sri dan bertanya apa yang dapat dia bantu. Perempuan yang sangat sopan itu–meski terhadap sesama pekerja rumah tangga–meminta si gadis biasa untuk merapikan ruang tengah sebab sebentar lagi para Bimantara akan pulang. Mereka sering menggunakan ruang tersebut, jadi sesegera mungkin dirapikan dan dibersihkan.Dengan senang hati Bia melakukannya. Mengatur bantal-bantal di sofa, membersihkan debu–ah, dia sempat diajari cara menggunakan vacum cleaner oleh Minah. Tentu si gadis biasa sedikit kaku karena dia tak pernah menggunakan alat itu sebelumnya. Dia hanya mengerti cara manual membersihkan debu. Tapi, pekerjaannya tidak terlalu berat dan dia dapat melakukannya dengan baik.“Oh, Rabia.”Sebuah suara menginterupsi kegiatan si gadis biasa yang hampir selesai merapi
Suara tangis bayi terdengar di penjuru rumah. Membuat para Bimantara yang sedang bersantai di ruang tengah serentak menghentikan kegiatan mereka dan beranjak menuju asal suara. Yah, si bungsu sih ditarik paksa oleh kakaknya karena bersikap acuh dan tak peduli, padahal yang menangis asalah anaknya. Sejak Bia mengasuh Bian, Adrian seperti makin tidak peduli. Maka dari itu Adnan geram sekali rasanya.Mereka tiba di dapur dan melihat Bian yang meronta ketika diberi susu. Bia tampak kewalahan menggendong si bayi dan Minah yang berusaha membujuk Bian agar mau meminum susu. Namun, si gembul yang diusianya yang hampir memasuki tujuh bulan sehingga beratnya bertambah membuat sulit menahannya ketika bergerak liar.“Ayo, Tuan Bian. Minum susu dulu. Nanti dingin, nggak enak, loh!” ujar Minah sembari mengusap-usap pipi Bian yang masih menangis kencang.Yah, meski sudah pasti si gembul tidak mungkin mengerti apa yang dikatakan oleh perempuan itu.“Bian sayang ..., hus, hus, jangan nangis.” Si penga
Tak ada pembicaraan di dalam mobil. Adrian fokus menyetir, sedang si gadis biasa duduk di sebelah kursi pengemudi. Tadi, sebelum berangkat si bungsu yang menyuruh Bia duduk di sebelahnya. Dia merasa seperti sopir jika gadis itu duduk di belakang walau tengah menggendong Bian.Si bayi gembul juga tidak menangis lagi, malahan terkantuk-kantuk sebab kelelahan memberontak, namun tetap tak mendapatkan apa yang diinginkan. Bia mengusap-usap puncak kepala Bian dan sesekali mengecup keningnya. Si bayi gembul kelihatan sangat nyaman atas perlakuan Bia ditambah suasana sunyi, AC mobil yang diatur agar tidak terlalu dingin dan detakan dari ibunya yang bagai lantunan lagu tidur menambah kenyamanan si gembul sehingga lima menit mobil melaju dia sudah nyenyak dipelukan si pengasuh.Degup jantung si gadis biasa sebenarnya sangat cepat. Napasnya hampir tersendat. Namun, dia menutupi semuanya agar tidak mencurigakan. Apalagi ada Bian yang membantunya dapat fokus hanya kepada si gembul. Jadi otak Bia t
Iris coklat bening milik seorang bayi bertubuh gembul sudah ditutup kelopak; matanya terpejam walau mulut tetap bekerja menyedot susu dari dalam botol. Ya, si gembul bernama Bian ini sudah mau minum susu formula. Tidak menolak lagi. Mungkin dia ingat dengan rasa susu formula yang sering di cicip sebagai pengganti ASI. Posisinya berbaring terlentang dengan mulut yang maju karena menyedot isi botol.Ketika isi botol habis dan Bian tampak nyenyak, Bia yang berbaring di sebelahnya melepas dot dari mulut si bayi dan meletak botol kosong ke atas nakas. Dia memandangi Bian sejenak, mengusap kening si gembul dan mendaratkan kecupan ringan di pipi gembilnya. Dia sangat menyayangi si bayi. Prioritas Bia saat ini adalah tumbuh kembang Bian yang dapat dia pantau. Berada dekat dengan bayinya saja sudah cukup, Bia tidak membutuhkan hal lainnya lagi.Si gadis biasa menghela kemudian bangkit dari ranjang. Pelan-pelan memindahkan tubuh gembul si bayi ke pelukannya. Dia mesti memberikan Bian pada putra
Adrian Bimantara; tokoh utama kita yang berwajah tampan, tetapi sayang parasnya sangat berbanding terbalik dengan mimik muka yang selalu datar mirip pantat teplon baru saja tiba di depan sebuah gedung berlantai dua yang tidak terlalu besar. Gedungnya di cat putih khas gedung-gedung Rumah Sakit pada umumnya. Ya, dia baru sampai di halaman Rumah Sakit yang diberitahukan oleh sopir pribadi ayahnya mengenai keberadaan si buah hati serta si pengasuh.Entah ada urusan apa sampai mereka ke Rumah Sakit, mana jaraknya cukup jauh dari kota. Si Bimantara muda saja membutuhkan setengah jam, apalagi kalau pakai kendaraan umum. Pasti lebih lama.Dia memarkirkan mobilnya di parkiran khusus roda dua, mematikan mesin lalu keluar dari kendaraan pribadinya. Tak lupa dikunci lagi. Adrian berjalan masuk ke dalam gedung Rumah Sakit. Tapi, baru kakinya menginjak lobi, pemuda ini ingat sesuatu. Bagaimana dia menemui si pengasuh di sini? Adrian tidak tahu si pengasuh berada di mana, sedang apa dan menemui sia
Adrian Bimantara adalah tipikal pria tepat waktu. Benci keramaian dan senang menyendiri. Tipe-tipe introvert, sih. Ah, tapi bukan itu yang mau kita bahas. Bimantara muda tersebut adalah seseorang yang selalu on time; on time sampai di kantor dan on time pulang bekerja. Jadi, saat jam menunjukkan jam pulang–biasanya sekitar pukul lima sore–maka dia akan membereskan semua pekerjaan–menyisihkan yang mesti dilakukan besok atau yang memiliki tenggat waktu lebih lama. Bukan tak mau bekerja keras. Tetapi, buat apa membuang waktumu di saat pekerjaan selesai dan diberikan kelonggaran untuk pekerjaan lainnya? Pun tak cuma badan yang butuh istirahat, otak yang digunakan saat bekerja juga perlu tenang. Karena dia memang tidak suka kelayapan, maka tujuan utama pria tampan minim ekspresi ini adalah rumah; kediaman Bimantara. Sewaktu sampai di basemen lalu berpisah dengan beberapa staf yang satu lift dengannya, lelaki tinggi itu berjalan ke arah ia memarkirkan mobilnya. Namun, langkah Adrian ter
“Erm, Tuan.”Yang mau Bia sampaikan bukannya hal aneh, tapi si gadis kelihatan bingung.“Bilang aja,” ujar si Tuan Besar memaklumi gerak-gerik gadis di depannya. Ya, gadis sederhana tersebut punya kepribadian sangat sungkan terhadap orang lain. Meski mungkin yang dikatakan atau dilakukannya bukan sesuatu yang bisa membuat rasa tak enak di hati.Bia mengambil sesuatu dari saku celananya dan menyodorkan pada sang Kepala keluarga. “Sudah waktunya imunisasi Bian, Tuan.”“Kukira kenapa. Kau membuatku berpikir ada sesuatu yang buruk.” Agam menerima buku yang disodorkan si gadis. Buku catatan ibu dan anak. Membuka dan melihat halaman terakhir. Dia ingat di sana memang ada tertulis jadwal selanjutnya dan benar tanggal yang tertera adalah tanggal hari ini. “Aku akan minta Danu untuk antar kamu.”Si gadis menggeleng. “Boleh saya pergi sendiri, Tuan? Saya janji bakal kembali sebelum malam.” Teringat kejadian waktu lalu, Bia tidak berani membawa si gembul sampai malam. Dia benar-benar akan kembal
Bia terharu. Sungguh. Dia tak mengira. Sang Bimantara senior bahkan mengingatnya dan meminta si photographer untuk mengambil gambarnya. Memegang erat gambar yang ukurannya tidak besar–Agam sengaja meminta di cetak untuk ukuran dompet supaya si gadis bisa menyimpannya tanpa membuat orang lain curiga–lalu di dekatkan dengan dada.Gambar ini akan menjadi penenangnya saat rindu menyerang dan tak bisa bertemu putranya. Apalagi ketika dia keluar dari kediaman Bimantara. Bia mesti mempersiapkan batinnya agar tidak merengek nantinya.“Sama-sama.”Agam sudah menduga jika Bia akan senang, tapi tak memperkirakan si gadis bakal menunjukkan muka sendu kemudian. Entah apa yang dipikirkan oleh gadis itu, tapi ia pun akan berusaha agar Bia tidak berpisah dengan putranya. Dia mengambil sesuatu lagi dalam laci. Kali ini menyerupai buku yang sekali lagi diserahkan pada si pengasuh.“Saya udah pernah bilang sama kamu, sekalipun kamu nggak minta apa pun, ini adalah hasil kerja keras kamu.”Bia menatap ben
Hari ini hampir semua Bimantara berkumpul di rumah; hari minggu. Kecuali sang Nyonya yang sedang ada project di luar. Jadi, tak heran melihat si bungsu berada di ruang tengah sedang memainkan ponsel.Oh, dia sedang membaca artikel-artikel yang ditemukan di internet. Artikel tentang apa? Ahem, ingat soal si bungsu ini yang sempat berpikir untuk meriset sesuatu yang tidak dimengerti? Berhubung libur dan tak membawa pulang pekerjaan–dia jarang melakukannya, sih–jadi dia merisetnya sekarang. Mengetikkan sebaris kalimat di kotak pencarian sehingga bermunculan hasil yang sesuai dengan kata kunci yang dimasukkan. Si Biman muda mencari tahu sehubungan dengan hatinya yang terasa aneh dan jantung yang berdebar lebih cepat saat bersama seseorang.Dan rata-rata artikel yang dia temukan serta baca malah berisi pertanyaan lain yang membuatnya bingung. Apa hubungannya dengan yang ingin dia ketahui? Pertanyaannya adalah; ‘apa kamu juga sangat memedulikan orang itu? Merasa nyaman?’ lalu diakhiri kata,
Bia terdiam. Mencerna perkataan si tuan muda. Mencoba mengingat kembali saat dia membawa Bian imunisasi lalu ... ah, dia ingat. Waktu itu si tuan muda bilang; ‘ingat posisimu, pengasuh’. Dia memang merasa sakit waktu itu. Tapi, rasa sakitnya sudah hilang. Tak disimpan lama-lama dalam hati. Bia berusaha melupakannya. Dia segera menggeleng. “Tuan nggak perlu minta maaf. Sa-saya juga salah. Saya cuma kasih tahu Tuan Besar, nggak tuan Adrian.”Senyum yang tadinya tersemat cuma tipis, kini terukir lebar. Lama-lama menjadi kekehan kecil lalu tawa. Suasana yang semula sendu karena si gadis menangis berubah drastis sebab tawa halus meluncur dari bibir tipis si Biman muda. Tawa ringan yang mencairkan hawa dingin. Tawa yang membuat linangan air mata berhenti. Tawa yang membuat satu organ di dada berdegup keras. Tawa yang menghangatkan udara malam.Bia terhenyak. Menikmati suara tawa yang kedua kali dia dengar. Tawa dari si Biman muda yang membuat jantungnya jadi berdebar-debar dan wajahnya pana
Dua pertanyaan yang diajukan dengan nada santai barusan membuat gadis berpakaian sederhana yang kebingungan jadi kelabakan. Dia buru-buru–tetap merasa ragu–duduk di sebelah si tuan muda di sisi yang kosong. Memberi sedikit jarak agar tidak menempel atau bersentuhan dengan si tuan muda. Bia gugup, tentu saja. Pertama, posisi duduk yang bersebelahan–walau dia memberi celah–tetap terbilang dekat. Kedua, dia tak tahu apa yang ingin dibicarakan oleh si tuan muda. Apa tentang hari ini? Kehebohan yang terjadi? Tentang Bian? Atau malah si gadis yang menjadi calon istri?Suara jangkrik terdengar. Ahem.Si gadis duduk sembari menautkan kedua jemari. Dia sedang bingung dan gugup. Bertanya-tanya dalam hati apa yang ingin dibicarakan oleh si tuan muda. Sedang si Biman muda menarik napas lalu dihembuskan. Sejenak menenangkan diri. Oh, bukan karena dia bakal mengajak bicara si pengasuh, tetapi karena lelah batin yang dirasa karena kejadian yang cukup menguras emosi hari ini.“Aku nggak berharap bany
“Rabia nggak mungkin kayak gitu.” Adnan memberanikan diri bersuara.Agam menghela di tegangnya suasana. “Iya. Saya juga tahu, Bia nggak akan seperti itu.”Adam menyungging seringai tipis mendengarnya. Sementara Naomi tak percaya jika Bimantara-Bimantara lain tak ada yang membela. Dia melirik ke arah calon ayah mertua, ibu mertua dan kakak ipar yang sama sekali tak melihat ke arahnya. Pun orang yang dia sukai ternyata diam di tempat tanpa mencoba menyelamatkan dirinya. Kenapa mereka semua malah membela perempuan udik itu?“Yeah ..., saya tahu,” imbuh si Tuan Paling Besar. Dia kembali menatap si gadis cantik bersurai lurus. “Kamu tahu kenapa?”Naomi menelan ludah. Dia tidak berdaya.“Bia mempunyai naluri seorang ibu, sedangkan kamu tidak.”Kalimat sang Bimantara senior barusan menohok seorang pemuda di tempatnya bersimpuh. Naluri seorang ibu? Si pengasuh juga pernah membahasnya. Orang yang bisa merawat Bian mesti memiliki naluri seorang ibu.“Saya rasa Bia malah menganggap Bia seperti a
“Tadi pagi siapa saja yang bareng sama Bian?” Tanya sang Biman senior sembari membenarkan posisi baju si gembul dan membiarkan bayi buntal itu bermain-main sendiri di karpet; berguling ke kiri dan ke kanan, telungkup lalu tertawa sendiri. Melakukan itu berulang-ulang.Sebenarnya enggan mengatakannya, sebab Bia tidak bisa memastikan. Kalau salah tunjuk, bagaimana? Dia yang bakal menanggung. Apalagi sikap menghakimi tanpa bukti kan salah. Tapi, tidak ada orang lain yang bersama Bian waktu itu. Si gadis menghela. Pun karena sudah terjadi dan membuat bayinya terluka, dia tak ingin kejadian serupa terulang.“Saya nggak mau nuduh. Tapi, orang yang terakhir kali sama Bian adalah Nona Naomi.” Katanya serius menatap mata hitam milik sang Bimantara.“Naomi?” Adam mengulang. “Naomi Wibowo?”“Nona Naomi kemari untuk belajar rawat Bian sebagai calon istri Tuan Adrian,” Bia memberitahu. Ini bukan rahasia, kan? Semua penghuni rumah tahu.Sang Biman senior tahu; dia tak bisa ikut campur untuk masalah