Suara tangis bayi terdengar di penjuru rumah. Membuat para Bimantara yang sedang bersantai di ruang tengah serentak menghentikan kegiatan mereka dan beranjak menuju asal suara. Yah, si bungsu sih ditarik paksa oleh kakaknya karena bersikap acuh dan tak peduli, padahal yang menangis asalah anaknya. Sejak Bia mengasuh Bian, Adrian seperti makin tidak peduli. Maka dari itu Adnan geram sekali rasanya.Mereka tiba di dapur dan melihat Bian yang meronta ketika diberi susu. Bia tampak kewalahan menggendong si bayi dan Minah yang berusaha membujuk Bian agar mau meminum susu. Namun, si gembul yang diusianya yang hampir memasuki tujuh bulan sehingga beratnya bertambah membuat sulit menahannya ketika bergerak liar.“Ayo, Tuan Bian. Minum susu dulu. Nanti dingin, nggak enak, loh!” ujar Minah sembari mengusap-usap pipi Bian yang masih menangis kencang.Yah, meski sudah pasti si gembul tidak mungkin mengerti apa yang dikatakan oleh perempuan itu.“Bian sayang ..., hus, hus, jangan nangis.” Si penga
Tak ada pembicaraan di dalam mobil. Adrian fokus menyetir, sedang si gadis biasa duduk di sebelah kursi pengemudi. Tadi, sebelum berangkat si bungsu yang menyuruh Bia duduk di sebelahnya. Dia merasa seperti sopir jika gadis itu duduk di belakang walau tengah menggendong Bian.Si bayi gembul juga tidak menangis lagi, malahan terkantuk-kantuk sebab kelelahan memberontak, namun tetap tak mendapatkan apa yang diinginkan. Bia mengusap-usap puncak kepala Bian dan sesekali mengecup keningnya. Si bayi gembul kelihatan sangat nyaman atas perlakuan Bia ditambah suasana sunyi, AC mobil yang diatur agar tidak terlalu dingin dan detakan dari ibunya yang bagai lantunan lagu tidur menambah kenyamanan si gembul sehingga lima menit mobil melaju dia sudah nyenyak dipelukan si pengasuh.Degup jantung si gadis biasa sebenarnya sangat cepat. Napasnya hampir tersendat. Namun, dia menutupi semuanya agar tidak mencurigakan. Apalagi ada Bian yang membantunya dapat fokus hanya kepada si gembul. Jadi otak Bia t
Iris coklat bening milik seorang bayi bertubuh gembul sudah ditutup kelopak; matanya terpejam walau mulut tetap bekerja menyedot susu dari dalam botol. Ya, si gembul bernama Bian ini sudah mau minum susu formula. Tidak menolak lagi. Mungkin dia ingat dengan rasa susu formula yang sering di cicip sebagai pengganti ASI. Posisinya berbaring terlentang dengan mulut yang maju karena menyedot isi botol.Ketika isi botol habis dan Bian tampak nyenyak, Bia yang berbaring di sebelahnya melepas dot dari mulut si bayi dan meletak botol kosong ke atas nakas. Dia memandangi Bian sejenak, mengusap kening si gembul dan mendaratkan kecupan ringan di pipi gembilnya. Dia sangat menyayangi si bayi. Prioritas Bia saat ini adalah tumbuh kembang Bian yang dapat dia pantau. Berada dekat dengan bayinya saja sudah cukup, Bia tidak membutuhkan hal lainnya lagi.Si gadis biasa menghela kemudian bangkit dari ranjang. Pelan-pelan memindahkan tubuh gembul si bayi ke pelukannya. Dia mesti memberikan Bian pada putra
Ada rasa syukur di hati sang Nyonya. Karena kehadiran Bian, Adrian sedikitnya berubah. Meski baru awal, tapi semoga si bungsu itu bisa terbuka. Untuk keluarga maupun orang lain. Mengurangi muka datar dan mulutnya yang bagai terkunci rapat.Sedang si gadis biasa hanya menyungging senyum tipis. Adrian yang ini sangat berbeda. Seperti orang lain. Bukan sosok laki-laki yang tersimpan dalam otaknya.“Oh, Bia bisa ambilin aku ini?” Si bungsu menarik perhatian Bia yang mengarahkan pandangan pada mangkuk yang ada di depan Rosa–yang ditunjuk oleh si pemuda tampan–mangkuk berisi sup.Rosa memanjangkan tangan, “Sini biar Bian saya gendong.”Si pengasuh menyerahkan si gembul pada sang Nyonya lalu menunduk pada dua Bimantara di depannya dan berlalu. Bian masih anteng, masih tampak bahagia, masih berceloteh sendiri. Mungkin memang moodnya sedang bagus. Si bayi bermain-main sendiri dengan rambut panjang sang Nyonya yang tergerai.Melihat bayi itu kegirangan, Adrian tanpa sadar mencubit pipi gembilny
“Rabia.”Si gadis biasa yang sedang berjalan menuju dapur sambil membawa pakaian kotor milik si gembul Bian menghentikan langkah dan berbalik. Dia buru-buru membalas begitu tahu siapa yang memanggilnya; sang Kepala keluarga. “Iya, Tuan?”“Kamu bilang kamu kehilangan dokumen-dokumen penting kamu karena di rampok?”“Iya, Tuan.”“Saya bantu kamu untuk urus lagi. Nanti siang datang ke kantor. Saya bakal minta Danu buat jemput kamu. Kamu nggak mungkin jadi pengasuh Bian selamanya. Kamu masih muda dan masih bisa cari pekerjaan yang lebih baik.” Agam meneliti ekspresi gadis di depannya yang sedikit tegang ketika ia menyebut ‘tak mungkin selamanya menjadi pengasuh Bian’.Bia cuma merespon anggukan. Walau dia tak memikirkan dokumen-dokumen itu, tetapi sewaktu mendengar dari orang lain bila dia tak bisa selamanya berada di sisi Bian membuat dia merasa ditusuk. Sakit dan pedih. Si gadis biasa menyembunyikan kesakitannya dan menyahut, “Iya, Tuan. Terima kasih banyak.”“Oke. Saya tunggu kedatanga
“Bian~” melihat respon si bayi yang tertawa, Sarah makin gemas, “Boleh aku yang gendong? Please, Adrian.” Menunjukkan wajah semelas yang ia bisa.Adnan bangkit dari lantai. Pundaknya–yang dipukul Sarah–terasa sakit. Bokongnya pun sakit karena jatuh dan terseret. Ah, masih pagi dia sudah dianiaya. Sambil mengusap pundak, ia mengambil posisi di sebelah ayahnya. Posisi di sebelah sang Mama adalah tempat duduk Adrian, sebab mama mereka pasti akan meminta Bian untuk diberi sarapan atau susu.Si bungsu mengangguk. Sarah sudah menikah. Entah kapan, tapi pasti bakal punya keturunan, kan? Tidak apa-apa ia memberikan Bian sebentar padanya. Sebagai latihan menggendong bayi nanti. Pelan-pelan memberikan si bayi gembul yang tampak masih riang. Menginstruksi perempuan cantik itu bagaimana menggendong bayi dengan benar. Ehm, sebenarnya Adrian juga dipaksa untuk mempelajari hal tersebut dari mamanya. Makanya dia tidak ragu-ragu menggendong Bian dan beruntung si gembul sudah lewat setengah tahun. Cob
Dikarenakan hari minggu; keluarga Bimantara tidak ada yang pergi bekerja. Semuanya berada di rumah. Sang Nyonya tengah bermain dengan Bian di ruang tengah, si bungsu juga berada di sana–duduk di seberang sofa yang ditempati sang Mama–bersandar di sandaran sofa menghela napas banyak-banyak.Hari ini Adrian dikerjai oleh kakaknya yang mengatakan dia mesti lebih memperhatikan si gembul. Meminta si tampan muka teplon selalu menggendong Bian, memberi makan, memberi susu dan hampir si bungsu ini diminta memandikan si gembul yang langsung di tolak mentah-mentah. Memandikan ... bagaimana kalau dia salah pegang? Bagaimana jika sabunnya masuk ke mulut, telinga, hidung atau mata Bian? Tidak-tidak. Beruntung Bia segera mengambil alih dan mengatakan bahwa itu adalah pekerjaannya. Oh, Adrian terselamatkan.Namun, si bayi yang memang tidak rewel hari ini tampak tidak bersemangat. Bian masih menanggapi candaan Rosa, namun tak seceria biasanya. Apa mungkin karena Sarah tadi pagi? Ah, perempuan cantik
“Bia, Bia.”Si gadis biasa segera berlari menghampiri sang Nyonya yang memanggilnya dari ruang tengah. Berdiri di sebelah Rosa yang tampak terburu-buru lalu menyerahkan Bian padanya. Beruntung Bia sempat meletakkan kain lap kotor yang dia pegang saat sang Nyonya memanggil.Tak lama Sri pun datang ke ruang tengah. Memberi tahu pada Rosa kalau sudah siap kemudian berdiri di sebelah sang Nyonya Bimantara.“Saya ada keperluan mendadak sekaligus pergi belanja sama Sri. Cuma ada kamu sama Minah di rumah. Saya titip Bian ya. Saya janji nggak bakal lama,” ujar Rosa sembari meraih tas yang terletak di sofa. “Saya pergi dulu. Ayo, Sri.”Bia mengangguk. Mengantar sang Nyonya ke pintu depan. Mereka berinteraksi sejenak dengan Bian sebelum akhirnya berangkat menggunakan mobil yang telah terparkir di depan teras.Si gadis biasa memandangi mobil yang dikendarai oleh sang Nyonya melaju ke gerbang di depan yang terbuka otomatis. Dia masuk ke rumah, menutup pintu dan melangkah ke ruang tengah. Dia send