“Bia, Bia.”Si gadis biasa segera berlari menghampiri sang Nyonya yang memanggilnya dari ruang tengah. Berdiri di sebelah Rosa yang tampak terburu-buru lalu menyerahkan Bian padanya. Beruntung Bia sempat meletakkan kain lap kotor yang dia pegang saat sang Nyonya memanggil.Tak lama Sri pun datang ke ruang tengah. Memberi tahu pada Rosa kalau sudah siap kemudian berdiri di sebelah sang Nyonya Bimantara.“Saya ada keperluan mendadak sekaligus pergi belanja sama Sri. Cuma ada kamu sama Minah di rumah. Saya titip Bian ya. Saya janji nggak bakal lama,” ujar Rosa sembari meraih tas yang terletak di sofa. “Saya pergi dulu. Ayo, Sri.”Bia mengangguk. Mengantar sang Nyonya ke pintu depan. Mereka berinteraksi sejenak dengan Bian sebelum akhirnya berangkat menggunakan mobil yang telah terparkir di depan teras.Si gadis biasa memandangi mobil yang dikendarai oleh sang Nyonya melaju ke gerbang di depan yang terbuka otomatis. Dia masuk ke rumah, menutup pintu dan melangkah ke ruang tengah. Dia send
Tepat setelah mengantar Bian ke kamar Adrian, Bia menghampiri ruang kerja sang Kepala keluarga. Dia hampir hapal seluk-beluk kediaman Bimantara, jadi tak perlu dituntun lagi untuk tahu di mana ruang khusus milik sang Tuan besar dan dia bisa datang sendiri. Semua orang sudah masuk ke kamar masing-masing sehingga keadaan rumah sangat sepi. Sudah jam tidur. Hanya Bia yang tampak masih berjalan dan berhenti di depan sebuah pintu suatu ruangan.Si gadis biasa menelan ludah. Dia masih takut. Masih deg-degan. Dia berharap agar pagi cepat datang, agar malam ini cepat berlalu, agar tak terjadi apa pun di dalam ruang itu nantinya. Napas si gadis biasa tersendat. Dia menghirup udara lalu di hembuskan. Melakukannya beberapa kali–meski tidak membantu supaya rileks–Bia mencoba mengetuk pintu.Satu, dua, tiga.“Permisi, Tuan.”“Masuk.” Terdengar suara dari dalam.Si gadis biasa yang menyandang peran pengasuh ini makin-makin ingin tenggelam rasanya. Menghilang di telan bumi. Dia sama sekali tak beran
Bia yang hampir mencapai pintu keluar dari kitchen berhenti. Menoleh ke belakang dan mendapati seorang lelaki tinggi menghampirinya. Menarik troli ke dalam, melihat ke kiri dan ke kanan–memastikan keadaan–para pekerja di dapur sini tampak sibuk dan tidak melihat ke arah mereka. Laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari sakunya; bungkusan yang isinya berwarna putih kemudian menuang isinya ke dalam salah satu gelas. Mengaduk isi gelas sehingga tercampur dengan rata, tetapi warna minumannya tidak berubah.“Itu apa?” Tanya Bia. Curiga.“Pesanan dari orang di kamar itu. Kamu nggak perlu tahu. Udah, ayo. Mereka nunggu.” Katanya dan menuntun si gadis biasa keluar dan berjalan bersama menuju lift karyawan.Mereka sama-sama masuk ke dalam lift. Menuju lantai tiga. Tidak ada pembicaraan sama sekali hingga tiba di lantai tempat tujuan. Bia mendorong troli seraya melihat sekitar untuk mencari kamar yang ia tuju dibarengi oleh laki-laki tadi yang berjalan di belakang si gadis biasa.Tidak sulit menc
Seperti baru tersiram air, binar coklat milik si gadis biasa yang sebelumnya tampak kosong mulai berbinar kembali. Dalam pandangannya tertangkap sesosok pria yang sedang bergerak. Lalu tubuhnya yang terlonjak-lonjak dan ... ah, suara itu ... dari mulutnya? Bia sontak menutup mulut, menghalangi suara aneh yang keluar. Hingga ngilu serta sakit ia rasakan dari bagian bawah tubuhnya.Penglihatan yang belum fokus mengarah ke sana; ke arah selatan yang mana dia baru menyadari apa yang terjadi. Bia membelalak. “Hmng?! Ng!” Dia menggeleng-gelengkan keoala, melepas bekapan di mulut kemudian memegang lengan pria yang berada di atas. “Le-lepas-nh-berhentih! Ah-stop-uh!”“Berhenti? Bukannya kamu nikmatin juga?” suaranya yang dalam, menekan tiap kata yang terucap dan mempercepat gerakan sambil menyeringai. Membuat si gadis biasa tak kuasa menahan teriakannya. “See, kamu menikmatinya.”“Ng-nggak–aku-kumohon–ugh–uh~ anh~ ngh!” matanya terpejam erat. Sensasi menakjubkan itu menyerang. Bersamaan denga
Agam bangkit dari kursi kerjanya membuat si gadis sedikit berjengit lalu membungkuk sembilan puluh derajat. “Maafkan saya. Atas nama Adrian, saya meminta maaf sama kamu, Rabia Anjasari.”Biasanya bentuk permintaan maaf begini dilakukan oleh orang-orang luar sana yang kulturnya berbeda. Iya, memang. Tapi, Agam sengaja melakukannya sebagai bentuk dia betul-betul meminta maaf dan menyesal pada gadis di depannya.Tak mungkin Bia tidak terkejut atas apa yang dilakukan oleh sang Kepala keluarga. Dia ikut bangkit berdiri, tapi tak tahu mesti berbuat apa. “Tu-Tuan nggak perlu minta maaf. Jangan begini, Tuan. Saya nggak bisa terima.”“Saya mohon maaf atas apa yang dilakukan sama anak saya, Adrian. Saya minta maaf.”“Iya, Tuan. Saya maafin. Tegakkan lagi badan Tuan. Saya maafin tuan muda.” Sudah dari lama Bia tak pernah memikirkan Adrian, tidak membayangkan dia meminta pertanggung jawaban apa pun–bisa dikatakan dia sudah memaafkan si bungsu Bimantara sejak lama.Agam menegakkan tubuhnya, mengan
Bia dipersilahkan masuk oleh Danu. Sedang pria hesar dan tinggi itu menundukkan kepala di ambang pintu pada si Bimantara bungsu kemudian menutup kembali pintu ruangan. Si gadis biasa masuk ke dalam sembari menggendong Bian. Melihat Adrian dalam balutan pakaian rapi dan duduk di balik meja–walau sudah beberapa kali melihat penampilan si laki-laki muda yang rapi, gagah dan tampan–pertama kali Bia melihat Adrian bekerja.“Sebentar lagi aku selesai, tunggu di sana.” Adrian menunjuk deretan sofa yang ada di sisi kanan ruangan, merapat ke dinding.Tanpa menyahut kata, cuma anggukan, si pengasuh berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Adrian. Menempati salah satu sofa panjang lalu menurunkan Bian. Si bayi langsung sigap bergerak agar dapat melihat sekitar. Ah, Bian mahir sekali berguling-guling. Si bayi juga sudah mulai belajar duduk.Bian tertawa, mulutnya terbuka lebar, wajahnya gembira. Sepertinya sangat senang karena di bawa ke tempat baru. “Mam! Mam! Mam! Ah! Aaa!” serunya sambil menepuk-ne
Adrian melihat-lihat alat bantu gendong yang diperlihatkan oleh si pramuniaga. Di matanya semua sama saja, meski si pramuniaga menjelaskan perbedaan–yang mungkin dari bahan dan lainnya. Si tuan muda ini menatap Bia yang berdiri–berjarak tiga langkah–di sebelah kanan sedang mengayun-ayunkan si bayi gembul. Memerhatikan gerakan si gadis biasa kemudian mengambil salah satu alat bantu gendong dan di cocokkan ke tubuh Bia.“Anu, Tuan. Kalau boleh ....” Menatap si tuan muda dari ekor mata. “Sesuatu yang bantu saya gendong Tuan Bian dalam posisi tidur.”“Oh, saya tahu.” Si pramuniaga dengan cepat menyahut. Dia bergerak menjauh. Mungkin mengambil yang dimaksud oleh Bia.Si bungsu memandangi Bia. Di tangannya masih terdapat alat bantu gendong yang biasa di gunakan untuk menggendong bayi di depan dada. “Kalau yang kayak gini gimana?” Tanyanya. Dia butuh pendapat. Adrian baru pertama kali berbelanja begini; maksudnya membeli perlengkapan bayi. Dia tidak mengerti apa pun.“Kalau kedua tangan Tuan
Keduanya bingung. Berdiri mematung dengan pemikiran sama, namun tak saling buka suara. Beberapa detik berselang, si pemuda Bimantara melirik ke arah si pengasuh yang menggendong si bayi gembul dengan alat bantu–yang kemudian balas melirik. Mereka masih belum buka mulut. Ah, suasana canggung macam apa ini?“Anu, hm ....” Oh, oh, baru kali ini si tuan muda Bimantara terlihat kikuk dan spechless. Sedikit malu bertanya. Ya, dia masih awam. Tidak pernah berurusan dengan bayi! Apalagi membeli perlengkapan. Adrian lebih sering menghabiskan uangnya untuk membeli buku bisnis atau melihat profit bagus dari suatu usaha.Haa ... si tampan muka teplon menghela panjang. Menilik Bia yang masih berdiri diam. Memerhatikan si gadis dari kepala hingga kaki. Selain Bian, sepertinya gadis bernama lengkap Rabia Anjasari itu juga perlu beberapa perlengkapan baru. Melihat pakaian yang dikenakan si gadis–dan dia baru menyadarinya–Bia benar-benar tidak mempunyai–hm-uang-hm–untuk membenahi diri. Hah, selagi mas